Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH DAERAH – DAERAH

 KABUPATEN GOWA

Dalam khasanah sejarah nasional, nama Gowa sudah tidak asing lagi. Mulai abad ke-
15, Kerajaan Gowa merupakan kerajaan maritim yang besar pengaruhnya di perairan Nusantara.
Bahkan dari kerajaan ini juga muncul nama pahlawan nasional yang bergelar Ayam Jantan dari
Timur, Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI yang berani melawan VOC Belanda pada tahun-tahun
awal kolonialisasinya di Indonesia. Kerajaan Gowa memang akhirnya takluk kepada Belanda
lewat Perjanjian Bungaya. Namun meskipun sebagai kerajaan, Gowa tidak lagi berjaya, kerajaan ini
mampu memberi warisan terbesarnya, yaitu Pelabuhan Makassar. Pelabuhan yang kemudian
berkembang menjadi Kota Makassar ini dapat disebut anak kandungnya, sedangkan Kerajaan
Gowa sendiri merupakan cikal bakal Kabupaten Gowa sekarang.
Kota Makassar lebih dikenal khalayak dibandingkan dengan Kabupaten Gowa. Padahal
kenyataannya sampai sekarang Kabupaten Gowa ibaratnya masih menjadi ibu bagi kota ini.
Kabupaten yang hanya berjarak tempuh sekitar 10 menit dari Kota Makassar ini memasok sebagian
besar kebutuhan dasar kehidupan kota. Mulai dari bahan material untuk pembangunan fisik, bahan
pangan, terutama sayur-mayur, sampai aliran air bersih dari Waduk Bili-bili.
Kemampuan Kabupaten Gowa menyuplai kebutuhan bagi daerah sekitarnya dikarenakan keadaan
alamnya. Kabupaten seluas 1.883,32 kilometer persegi ini memiliki enam gunung, di mana yang
tertinggi adalah Gunung Bawakaraeng. Daerah ini juga dilalui Sungai Jeneberang yang di daerah
pertemuannya dengan Sungai Jenelata dibangun Waduk Bili-bili. Keuntungan alam ini menjadikan
tanah Gowa kaya akan bahan galian, di samping tanahnya subur.
 KABUPATEN BONE

Kabupaten Bone adalah salah satu Daerah otonom di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu


kota kabupaten ini terletak di kota Watampone. Berdasarkan data Kabupaten Bone Dalam Angka
Tahun 2021 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik kabupaten Bone, jumlah penduduk
kabupaten Bone tahun 2020 adalah 801.775 jiwa, terdiri atas 391.682 laki‐laki dan 410.093
perempuan. Dengan luas wilayah Kabupaten Bone sekitar 4.559,00 km2, rata‐rata tingkat kepadatan
penduduk Kabupaten Bone adalah 162 jiwa/km2.

Kabupaten Bone sebagai salah satu daerah yang berada di pesisir timur Sulawesi Selatan memiliki
posisi strategis dalam perdagangan barang dan jasa di Kawasan Timur Indonesia yang secara
administratif terdiri dari 27 kecamatan, 328 desa dan 44 kelurahan. Kabupaten ini terletak 174 km ke
arah timur Kota Makassar, berada pada posisi 4°13'- 5°6' LS dan antara 119°42'-120°30' BT. Luas
wilayah Kabupaten Bone 4.559 km² dengan rincian lahan sebagai berikut Bahasa resmi instansi
pemerintahan di Kabupaten Bone adalah bahasa Indonesia. Menurut Statistik Kebahasaan
2019 oleh Badan Bahasa, terdapat dua bahasa daerah di Kabupaten Bone,[13] yaitu bahasa
Bugis (khususnya dialek Bone) dan bahasa Bajo. Bahasa Bajo digunakan di Kelurahan
Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur.

 KABUPATEN MAROS

Kabupaten Maros adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.


Jauh dari sebelumnya Kabupaten Maros adalah salah satu bekas daerah kerajaan di Sulawesi
Selatan. Di daerah ini pernah berdiri Kerajaan Marusu' dengan raja pertama bergelar Karaeng Loe
Ri Pakere. Maros memperoleh status sebagai kabupaten pada tanggal 4 Juli 1959 berdasarkan UU
No. 29 Tahun 1959. Pada tanggal tersebut juga ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Maros
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 3 Tahun 2012. Ibu kota kabupaten ini
terletak di Kota Turikale. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.619,12 km² dan berpenduduk
sebanyak 353.121 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 218,09 jiwa/km² pada tahun
2019.[2][6]
Bersama Kabupaten Takalar dan Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros dikenal sebagai kabupaten
penyangga Kota Makassar. Karena Kabupaten Maros merupakan wilayah yang berbatasan
langsung dengan ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan tersebut dengan jarak kedua kota tersebut
berkisar 30 km dan sekaligus terintegrasi dalam pengembangan Kawasan Metropolitan
Mamminasata.
Dalam kedudukannya, Kabupaten Maros memegang peranan penting terhadap pembangunan Kota
Makassar karena sebagai daerah perlintasan yang sekaligus sebagai pintu gerbang Kawasan
Mamminasata bagian utara yang dengan sendirinya memberikan peluang yang sangat besar
terhadap pembangunan di Kabupaten Maros. Di daerah ini juga terdapat banyak tempat wisata
andalan bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Makassar dan Sulawesi Selatan, yaitu Taman
Nasional Bantimurung-Bulusaraung dan objek wisata batu karst terbesar kedua di dunia Rammang-
Rammang, selain itu Kabupaten Maros juga memiliki potensi ekonomi karena Bandar Udara
Internasional Sultan Hasanuddin berada di Kabupaten Maros.

 KABUPATEN BULUKUMBA

Mitologi penamaan "Bulukumba", konon bersumber dari dua kata dalam bahasa Bugis yaitu


"Bulu’ku" dan "Mupa" yang dalam bahasa Indonesia berarti "masih gunung milik saya atau tetap
gunung milik saya".Mitos ini pertama kali muncul pada abad ke–17 Masehi ketika terjadi perang
saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Di pesisir
pantai yang bernama "Tana Kongkong", di situlah utusan Raja Gowa dan Raja Bone bertemu,
mereka berunding secara damai dan menetapkan batas wilayah pengaruh kerajaan masing-masing.
Bangkeng Buki' (secara harfiah berarti kaki bukit) yang merupakan barisan lereng bukit dari Gunung
Lompobattang diklaim oleh pihak Kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya mulai dari
Kindang sampai ke wilayah bagian timur. Namun pihak Kerajaan Bone berkeras memertahankan
Bangkeng Buki' sebagai wilayah kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan.
Berawal dari peristiwa tersebut kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis "Bulu'kumupa"
yang kemudian pada tingkatan dialek tertentu mengalami perubahan proses bunyi menjadi
"Bulukumba".Konon sejak itulah nama Bulukumba mulai ada dan hingga saat ini resmi menjadi
sebuah kabupaten.
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang–Undang
Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang
ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang
Lambang Daerah. Akhirnya setelah dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan
narasumber Prof. Dr. H. Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi
Kabupaten Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun
1994.
Secara yuridis formal Kabupaten Bulukumba resmi menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan
Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4
Februari 1960 dan selanjutnya dilakukan pelantikan bupati pertama, yaitu Andi Patarai pada tanggal
12 Februari 1960.

 KABUPATEN WAJO

Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas
masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari
kerajaan-kerajaan besar pada saat itu. Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya
pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan bersepakat
membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang
kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo. Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We
Tadampali, seorang putri dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Dia
dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut Majauleng, berasal dari
kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon kabarnya dia dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian
dikenal sebagai Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga dia sembuh.
Saat dia sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru, hingga suatu
saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan Soppeng) yang beristirahat di
dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-
raja Wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni,
tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.

 KABUPATEN SOPPENG

Soppeng adalah sebuah kota kecil di mana dalam buku-buku lontara terdapat catatan tentang raja-
raja yang pernah memerintah sampai berakhirnya status daerah Swapraja, satu hal menarik sekali
dalam lontara tersebut bahwa jauh sebelum terbentuknya kerajaan Soppeng, telah ada kekuasaan
yg mengatur daerah Soppeng, yaitu sebuah pemerintahan berbentuk demokrasi karena berdasar
atas kesepakatan 60 pemukan masyarakat, tetapi saat itu Soppeng masih merupakan daerah yang
terpecah-pecah sebagai suatu kerajaan-kerajaan kecil. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
Arung,Sulewatang, dan Paddanreng serta Pabbicara yang mempunyai kekuasaan tersendiri.
Setelah kerajaan Soppeng terbentuk maka dikoordinasi oleh Lili-lili yang kemudian disebut Distrikvdi
Zaman Pemerintahan Belanda.

Literatur yang ditulis tentang sejarah Soppeng masih sangat sedikit. Sebagaimana tentang daerah-
daerah di Limae Ajattappareng, juga Mandar dan Toraja, Soppeng hanyalah daerah “kecil” dan
mungkin “kurang signifikan” untuk diperebutkan oleh dominasi dua kekuatan di Sulawesi Selatan
yakni Luwu dan Siang sebelum abad ke-16. Namun, seperti disebutkan oleh sebuah kronik
Soppeng, dulunya Soppeng bersama Wajo, sangat bergantung kepada kerajaan Luwu.
Seiring menguatnya kekuatan persekutuan Goa-Tallo di Makassar; untuk mengimbanginya, Bone
sempat mengajak Wajo dan Soppeng membentuk persekutuan Tellumpocco pada perjanjian
Timurung tahun 1582. Akan tetapi, masuknya Islam di Sulawesi Selatan di paruh akhir abad ke-16,
ditandai dengan masuknya Karaeng Tallo I Mallingkang yang lebih dikenal sebagai Karaeng
Matoaya serta penguasa Goa I Manga’rangi yang kemudian bergelar Sultan Alauddin, telah
mengubah peta politik di Sulawesi Selatan. Untuk sementara, kekuatan Bugis Makassar menjadi
satu kekuatan baru untuk melawan orang kafir ketika Soppeng dan Sidenreng memeluk Islam tahun
1609, Wajo 1610 dan akhirnya Bone pada tahun 1611.
Perkembangan berikutnya sepanjang abad ke-17, menempatkan Soppeng pada beberapa
perubahan keputusan politik ketika persaingan Bone dan Goa semakin menguat. Jauh sebelum
perjanjian Timurung yang melahirkan persekutuan Tellumpocco, sebenarnya Soppeng sudah
berada di pihak kerajaan Goa dan terikat dengan perjanjian Lamogo antara Goa dan Soppeng.
Persekutuan Tellumpocco sendiri lahir atas “restu” Goa. Namun, ketika terjadi gejolak politik antara
Bugis dan Makassar disebabkan oleh gerakan yang dipelopori oleh Arung Palakka dari Bone,
Soppeng sempat terpecah dua ketika Datu Soppeng, Arung Mampu, dan Arung Bila bersekutu
dengan Bone pada tahun 1660 sementara sebagian besar bangsawan Soppeng yang lain menolak
perjanjian di atas rakit di Atappang itu.

Anda mungkin juga menyukai