*Panjirsan*
panjirsan@yahoo.co.id
Abstrak : Penulisan sejarah dan kebudayaan suku Tolaki di Pulau Wawonii bertujuan
untuk mengembangkan dan melestarikan sejarah dan budaya lokal yang nilai praktisnya
dapat dimanfaatkan untuk memperkokoh identitas lokal. Dalam perspektif Nasional,
kokohnya kebudayaan daerah menjadi sarana untuk memperkuat jati diri bangsa
Indonesia yang multikultural. Kampung Tolaki merupakan salah satu pemukiman tua di
Pulau Wawonii yang tergabung dengan Kampung Lampeapi dimulai pada saat
pemerintahan Wawonii berstatus Onderdistrik sampai menjadi Kecamatan dan
dimekarkan menjadi Desa Wungkolo pada tahun 1983. Masyarakat Desa Wungkolo
memiliki tradisi khas dan unik. Masyarakat setempat menamakan tradisi tersebut
mewado, yakni baku tukar barang atau disebut juga "barter" antara nelayan Bajo dengan
penduduk desa Wungkolo.
Kata Kunci : Pulau Wawonii, Kampung Tolaki, Mewado
Menurut sumber Portugis bahwa pada tahun 1575 Masehi, pulau wawonii disebut
Pulau Kepiting. Salah satu sumber sejarah yang menjelaskan akan penyebutan ini
terdapat dalam sebuah laporan penjelajah bernama Francis Fletcher tahun 1854 : The
World Encompassed by Sir Francis Drake, Being His Next Voyage to that to Nombre di
Dios, collected with an Unpublished Manuscript of Francis Fletcher. Dalam tulisan ini
dilaporkan bahwa setelah meninggalkan Maluku, Sir Francis Drake tak sengaja
menemukan pulau tak berpenghuni di lepas pantai Tenggara Sulawesi. Ia menamai
daerah itu pulau kepiting. Sang pelaut Sir Francis Drake dan anak buahnya memutuskan
singgah beristirahat dan tinggal di pulau itu selama 26 hari untuk melakukan perbaikan
besar-besaran terhadap kapalnya. (F. Fletcher: 1854).
Dalam peta tua Sulawesi yang dibuat sekitar tahun 1795 tentang rute perjalanan
dan pelayaran orang-orang Ternate dalam melakukan perdagangan dan penyebaran
Agama Islam abad XV - XVII, menunjukan rute tersebut menyinggahi Konawe bagian
utara, meskipun daerahnya tidak tertulis namun cukup jelas garis rute tersebut. Keadaan
ini tidak terlepas dari ekspansi Ternate dalam menyebarkan Islam, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Prof. Dr. Anthony Reid bahwa, dimana pada tahun 1580, Sultan
Baabullah bersama dengan Calapaya menganeksasi wilayah Bungku, Tiworo, Buton,
Ambon, Selayar dan kerajaan-kerajaan di pantai timur dan utara Sulawesi dan di bagian
selatan Mindanao dan menyebarluaskan Agama Islam ke wilayah-wilayah itu. (Susanto
Zuhdi: 1999).
Pada tahun 1897 Masehi, rombongan dua orang bersaudara dari Kulisusu datang ke
pulau Wawonii. Kedua orang itu bernama Laode Gola dan Laode Maisara. Laode Gola
bersama istri dan anaknya bertolak dari Kulisusu menuju pantai Wawonii bagian
Tenggara tepatnya di pantai Solongko. Sedangkan Laode Maisara dan keluarganya
datang bermukim di Muara. Laode Maisara memiliki dua orang Putra yaitu Lapuru dan
Larengga, namun putranya Larengga bersama istri dan anaknya pindah ke Sangi-Sangi
(Laonti) dan bermukim disana. Lapuru memiliki tiga orang anak yaitu Tanggasa,
Wembatu dan Labudulu. Sekitar tahun 1901, Laode Maisara pergi mengunjungi
Larengga putranya di Sangi-Sangi, tetapi disana ia jatuh sakit karena sudah usia uzur dan
wafat di Sangi-Sangi (Laonti). Lapuru dan keluarganya bermukim di Muara sampai pada
tahun 1902. (Wawancara Hariru: 2020).
Volume 1, Nomor 1, Maret 2021 |2
Jurnal : Sejarah Kampung Tolaki di Pulau Wawonii
Pada pertengahan tahun 1902 Masehi, Lapuru bersama istri dan anaknya merintis
pemukiman, mereka menggunakan perahu dayung dari Muara melewati hutan bakau
hingga sampai di Lobota. Setibanya di Lobota mereka mendengar suara burung
“Wunggoloko” (Kepodang), Lapuru bin Laode Maisara kemudian menyampaikan
kepada anak-anaknya bahwa daratan yang akan mereka jadikan tempat pemukiman
dinamai “Wunggolo” dan dikemudian hari nama Wunggolo berubah menjadi Wungkolo.
Lapuru dan keluarganya kemudian membuat gubuk dan bercocok tanam. Pada tahun
1926, Lapuru bin Laode Maisara kembali ke Kulisusu dan wafat disana. (Wawancara
Hariru: 2020).
Tanggasa bin Lapuru dan istrinya bernama Wedamu dikarunia lima orang anak
yaitu: Weadu, Lahasi, Latongge, Wahura, dan Hariru. Weadu menikah dengan La Agu,
Lahasi menikah dengan Tiali dari Sanggula, Latongge menikah dengan Pode
(bersaudara dengan Tiali), Wahura menikah dengan Hamasa bin Samunu dan Hariru
menikah dengan Weati. Wembatu binti Lapuru dan suaminya bernama Porande
dikaruniai dua orang anak yaitu: Abdul Rahman Porande alias Laporu dan Wemuna.
Sedangkan Labudulu bin Lapuru dan istrinya bernama Waliha binti Lasambe dikaruniai
enam orang anak yaitu: Damila, Suraiya, Lila, Sitiha, Lahiya, dan Sakaria. (Wawancara
Musrah: 2020).
Pada tahun 1911 Masehi, sepasang suami istri dari Andoolo bernama Samunu dan
Halina datang bermukim di Lamangkuri. Halina adalah anak keturunan Garagasi yang
melarikan diri karena pernikahannya dengan Samunu tidak direstui oleh keluarganya.
Samunu dan Halina dikaruniai tiga orang putra yaitu: Langa, Hamasa dan Rumono.
Langa bin Samunu memiliki dua istri yaitu Suraiya dan Saipa. Hamasa bin Samunu
hanya memiliki satu istri yaitu Wahura binti Tanggasa. Sedangkan Rumono bin Samunu
memiliki dua istri yaitu Tina (Laonti) dan Ndeke. Pada periode inilah pemukiman warga
Wungkolo terbagi menjadi dua tempat yaitu pemukiman Lobota dan pemukiman
Lamangkuri. Etnik Tolaki mulai berdatangan dan saling menikahkan anak-anak mereka
sehingga terjadi percampuran etnik antara Tolaki dan Kulisusu. (Wawancara Taiyeb:
2020).
Kose dan Wetongga adalah anak dari Pae-Pae yang berasal dari Pondidaha. Kose
menikah dengan Ndilenggopa dan dikaruniai empat orang putra yaitu: Sabura, Sanabu,
Nasimu dan Lateli. Lateli menikah dengan Wemuna binti Porande. Sedangkan Wetongga
dinikahi oleh Lasambe dan dikaruniai tiga orang anak yaitu: Marahu, Waliha dan
Walepa. Marahu memiliki tiga orang anak yaitu: Hasan, Sitiali dan Wakama. Waliha
dinikahi oleh Labudulu bin Lapuru, sedangkan Walepa dinikahi oleh Hamidu dari
Waworope. Hasan bin Marahu menikah dengan Tina dari Lalonggasumeeto.
(Wawancara Salihi: 2020).
Lamau dan Masarapa merupakan saudara sepupu, ayah mereka adalah keturunan
bangsawan Konawe. Lamau memiliki tiga orang putra yaitu: Lahali, Achmad alias Lakue
dan Lamburu. Lahali menikah dengan Wakama binti Marahu, Achmad menikah dengan
Mehi dan Lamburu menikah dengan Malia. Sedangkan Masarapa menikah dengan
Weriolo dan menetap menjadi warga Laonti. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan
(putri tunggal) bernama Wenandi. Wenandi dinikahi oleh Usman, putra dari Pewu dan
Tina Asi. (Wawancara Haripudin: 2020).
Kepala Desa Lampeapi pertama kali adalah Abdul Halim yang menjabat dari tahun
1964 sampai tahun 1965. Desa Lampeapi membawahi kampung Batumea, Wungkolo dan
Cempedak yang masing-masing dipimpin Kepala RK (Rukun Kampung). Pada saat itu
yang ditunjuk menjadi Kepala Rukun Kampung Wungkolo (kampung Tolaki) yaitu
Hasanudin. (Wawancara Musrah: 2020).
Pada tahun 1965 terjadi pemekaran wilayah hal ini sesuai usul pemecahan desa
dalam wilayah kecamatan Wawonii dari 6 (enam) desa menjadi 10 (sepuluh) desa.
Pengangkatan kepala/anggota pamong desa baru sesuai surat kepala Kecamatan Wawonii
Nomor: pemb. 1/2/1/Rah/1965. Pada tahun ini Desa Lampeapi mengalami perubahan
menjadi Desa Lamongupa yang terdiri dari kampung Batumea, Lampeapi, dan
Wungkolo. Kampung Cempedak dikeluarkan dari Desa Lamongupa dan dimasukkan ke
Desa Laonti. Berikut struktur organisasi pemerintahan Desa Lamongupa:
1. Muh. Sunusi : Kepala Desa
2. Tambali : Wakil
3. Sadaka : Tata Usaha
4. Achmad : Bagian Pembangunan
5. Muh. Amin : Bagian Keuangan
Suku Bajo selama ini dikenal sebagai pelaut paling tangguh di wilayah nusantara.
Mungkin karena menjadi pelaut, seperti ditulis Ericssen di National Geographic, suku
Bajo lebih dikenal sebagai komunitas yang lebih suka hidup nomaden, dari pulau ke
pulau dan memilih menetap di teluk atau kawasan tepi laut. Mereka pun mengandalkan
hidup dari habitat laut, dengan cara mencari ikan, cumi, dan binatang laut lainnya.
Dengan hidup nomaden, suku Bajo pun akhirnya hidup menyebar atau berdiaspora.
Volume 1, Nomor 1, Maret 2021 |6
Jurnal : Sejarah Kampung Tolaki di Pulau Wawonii
Tidak aneh apabila suku Bajo bisa dijumpai di wilayah mana saja di nusantara, seperti di
Sulawesi, Kalimantan, bahkan di Filipina serta Malaysia.
Adapun topik yang diilustrasikan dalam tulisan ini adalah tradisi unik yang
disebut mewado, yang hingga saat ini dilestarikan sebagian suku Bajo di Sulawesi
Tenggara, khususnya di Pulau Wawonii yang termasuk wilayah Kabupaten Konawe
Kepulauan. Lokasi mewado berada di muara Wungkolo.
Boleh jadi, masyarakat Bajo yang melestarikan mewado saat ini hanya
melanjutkan tradisi yang sudah dilakukan nenek moyangnya, entah sejak kapan. Salah
seorang nelayan Bajo, kepada penulis, mengatakan tradisi tersebut diikutinya sejak tahun
2006. Adapun barang yang ditukarkan warga Wungkolo, antara lain umbi-umbian, buah-
buahan, sayuran, dan lainnya. Dalam melakukan barter (mewado) antara warga
Wungkolo dengan nelayan suku Bajo, mereka masing-masing menyesuaikan harga yang
akan ditukarkan. Misalnya, kelapa muda dan singkong yang ditukarkan disesuaikan
harganya dengan harga ikan dari nelayan suku Bajo. Ketika dari masing-masing telah
terjadi kecocokan dan kesepakatan maka terjadilah barter (mewado).
Nelayan suku Bajo berasal dari berbagai macam daerah. Ada yang dari
Tinanggea, Bombana, Lora dan Pulau Maginti. Mereka datang dan tinggal di muara
Wungkolo pada saat musim teduh, yaitu pada awal bulan April sampai dengan akhir
bulan Juni. Kegiatan mewado berlangsung selama dua bulan lebih. Pada akhir bulan Juni,
nelayan suku Bajo kembali ke daerahnya masing-masing dan menjual ikan asin yang
telah diolahnya selama berada di muara Wungkolo.
KETERANGAN
Volume 1, Nomor 1, Maret 2021 |7
Jurnal : Sejarah Kampung Tolaki di Pulau Wawonii
DAFTAR PUSTAKA
Volume 1, Nomor 1, Maret 2021 |8
Jurnal : Sejarah Kampung Tolaki di Pulau Wawonii
Susanto Zuhdi, Labu Wana Labu Rope; Sejarah Butun abad XVII – XVIII, Disertasi,
Jakarta: Univ. Indonesia, 1999.
Antony J., The Ecology of Sulawesi., Whitten,. Yogyakarta: UGM Press, 1997.
Basrin Melamba dkk, Sejarah Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017.
Francis Fletcher tahun 1854 : The World Encompassed by Sir Francis Drake, Being
His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with an Unpublished Manuscript
of Francis Fletcher.
Kantor Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.