Anda di halaman 1dari 8

Suku Bugis (Lontara: ᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗ) merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi

Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga
pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai
tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan
sebagai orang Bugis.[3] Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang
Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai
provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, DKI
Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau. Disamping itu
orang-orang Bugis juga banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura yang telah beranak pinak
dan keturunannya telah menjadi bagian dari negara tersebut. Karena jiwa perantau dari
masyarakat Bugis, maka orang-orang Bugis sangat banyak yang pergi merantau ke
mancanegara.

Sejarah
Awal mula
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk
ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata
"Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja
pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La
Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja
mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,
ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan
beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah
kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah
kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah
Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa
tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan.
Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara,
dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain
Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan
membentuk suku Bugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah
dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten
yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis
dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan
Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan
yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak
menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)

Masa kerajaan
Kedatuan Luwu adalah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dan merupakan asal muasal lahirnya
kerajaan - kerajaan lain seperti kerajaan Bone, kerajaan Gowa, kerajaan Soppeng, kerajaan
Wajo, kerajaan Sidenreng Rappang dan Mandar.
Di dalam epik La Galigo, terdapat versi menggambarkan sebuah wilayah pesisir dan sungai yang
didefinisikan secara samar-samar yang ekonominya berbasis pada perdagangan. Pusat-pusat
penting di wilayah ini adalah Luwu dan kerajaan Cina (diucapkan Cheena tapi identik dalam
pengucapan bahasa Indonesia ke China), yang terletak di lembah Cenrana bagian barat,
dengan pusat istananya di dekat dusun Sarapao di distrik Pamanna. Ketidakcocokan La Galigo
dan ekonomi politik dengan realitas kerajaan agraris Luwu menyebabkan sejarawan Bugis
mengajukan periode intervensi kekacauan untuk memisahkan keduanya secara kronologis.[4]
Penelitian arkeologi dan tekstual yang dilakukan sejak tahun 1980-an telah meruntuhkan
kronologi ini.[5] Survei dan penggalian yang ekstensif di Luwu telah mengungkapkan bahwa Luwu
tidak lebih tua dari kerajaan agraris yang berdiri paling awal di semenanjung barat daya.
Pemahaman yang baru adalah bahwa orang Bugis yang berbicara dengan pemukim dari
lembah Cénrana barat mulai menetap di sepanjang batas pantai sekitar tahun 1300. Teluk
Bone bukanlah daerah yang berbahasa Bugis saja: ini adalah daerah dengan keragaman etnis
yang sangat beragam. Orang Pamona, Padoe, Toala, Wotu dan Lemolang tinggal di dataran
rendah pesisir dan kaki bukit, sedangkan lembah dataran tinggi merupakan rumah bagi
kelompok yang berbicara dalam berbagai bahasa Sulawesi Tengah dan Selatan lainnya. Orang-
orang Bugis ditemukan hampir di sepanjang pantai, yang terbukti bahwa mereka bermigrasi
untuk berdagang dengan masyarakat adat Luwu. Sudah jelas bahwa dari sumber arkeologi dan
tekstual bahwa Luwu adalah koalisi Bugis dari berbagai kelompok etnis, yang dipersatukan oleh
hubungan perdagangan.
Ekonomi politik Luwu didasarkan pada peleburan bijih besi yang dibawa turun, melalui
pemerintahan Lémolang di Baebunta, ke Malangke di dataran pantai tengah. Di sini besi yang
akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat pertanian dan diekspor ke dataran rendah
selatan yang memproduksi beras. Hal ini membawa kekayaan yang besar, dan pada abad ke-
14 Luwu telah menjadi entitas yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan
tenggara. Penguasa pertama yang diketahui secara nyata adalah Dewaraja (memerintah 1495-
1520). Cerita saat ini di Sulawesi Selatan menceritakan serangan agresifnya terhadap kerajaan
tetangga, Wajo dan Sidenreng. Kekuasaan Luwu mulai memudar pada abad ke-16 oleh
meningkatnya kekuatan kerajaan agraris dari selatan, dan kekalahan militernya ditetapkan
dalam Tawarik Bone.
Pada tanggal 4 atau 5 Februari 1605, Datu Luwu, La Patiwareq, Daeng Pareqbung, menjadi
penguasa yang pertama dari wilayah Sulawesi bagian selatan yang memeluk Islam,
menggunakan gelar Sultan Muhammad Wali Mu'z'hir (atau Muzahir) al-din. Dia dimakamkan di
Malangke dan disebut dalam kronik sebagai Matinroe ri Wareq, ("Dia yang tidur di Wareq"),
bekas pusat istana Luwu. Guru agamanya, Dato Sulaiman, dikuburkan di dekatnya. Sekitar
tahun 1620, Malangke ditinggalkan dan sebuah ibu kota baru didirikan di sebelah barat, Palopo.
Tidak diketahui mengapa wilayah Malangke, yang populasinya mungkin mencapai 15.000 pada
abad ke-16, tiba-tiba ditinggalkan: kemungkinan besar termasuk penurunan harga barang besi
dan potensi ekonomi perdagangan dengan suku-suku dari dataran tinggi Toraja.
Pada abad ke-19, Luwu telah menjadi kerajaan kecil. James Brooke, yang di kemudian hari
menjadi Rajah Sarawak, menulis pada tahun 1830-an bahwa "Luwu adalah kerajaan Bugis
tertua, dan yang paling rusak [...] Palopo adalah kota yang menyedihkan, yang terdiri dari sekitar
300 rumah, tersebar dan bobrok [...] Sulit dipercaya bahwa Luwu bisa menjadi negara yang kuat,
kecuali dalam keadaan peradaban asli yang sangat rendah."[6]
Pada tahun 1960-an, Luwu menjadi wilayah fokus pemberontakan DI/TII yang dipimpin
oleh Kahar Muzakkar. Dewasa ini, wilayah bekas kerajaan adalah rumah bagi
tambang nikel terbesar di dunia dan mengalami ledakan ekonomi yang didorong oleh migrasi ke
dalam, namun masih memiliki sebagian besar atmosfer perbatasan aslinya.
Kerajaan Bone
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To
Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri
Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif
yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata
Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa
tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah
Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre
Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka
lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif
Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat.
Kerajaan Makassar
Pada abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali
dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar (Gowa)
kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya
kerajaan kembar ini (Gowa & Tallo) kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar (Gowa).
Kerajaan Soppeng
Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang
wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng
ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili
yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan
Soppeng.
Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di
sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural
yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal dia, komune tersebut berpindah ke Boli yang
dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke
seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian
membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk
Kerajaan Wajo.
Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing: La Paukke Arung Cinnotabi
I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung
Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni
La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan
Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan
kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo.
Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung cinnotabi V), kemudian La
Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis
bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La
Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. Setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi
Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Konflik antarkerajaan
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo
mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi
antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah
Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang
Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah
barat sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas
payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae
adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk
mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang
beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan
dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan
Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan
Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat
aliansi yang disebut "Tellumpoccoe".

Penyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan
Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan
Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani
(Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.[7]

Kolonialisme Belanda
Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga
terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan
terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung
Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang berhianat pada kerajaan Gowa.
Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung
Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan
banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan ini mengakibatkan
ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa. Pernikahan Lapatau
dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi
atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai
kemudian pada tahun 1905–1906 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang
dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis
baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan
Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja
sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak
lagi berdaulat, tetapi hanya sekadar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga
berdirinya NKRI.

Masa kemerdekaan
Para raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno) untuk
membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an,
Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan pemberontakan. Pemberontakan ini
mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Pada zaman Orde
Baru, budaya periferi seperti budaya di Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga semakin
terkikis. Sekarang generasi muda Makassar & Bugis adalah generasi yang lebih banyak
mengonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat pendidikan
pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka. Seiring dengan arus reformasi, munculah
wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk provinsi baru yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten
Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga
dimekarkan. Namun sayangnya tanah tidak bertambah luas, malah semakin sempit akibat
bertambahnya populasi dan transmigrasi.

Kepercayaan
Saat ini mayoritas orang Bugis menganut agama Islam (sekitar 99%). Islamisasi masyarakat
Bugis telah mengakar kuat, walau masih ada sebagian kecil masyarakat yang menganut agama
asli suku Bugis yakni agama Tolotang yang jumlahnya sekitar sebanyak 27 ribu jiwa dan tinggal
di wilayah Sidenreng Rappang. Pada masa sebelumnya, masyarakat suku Bugis yang masih
menganut agama Tolotang juga pernah mengalami nasib yang tragis. Mereka dikejar-kejar oleh
para pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar. Para
pemberontak memaksa banyak penganut agama Tolotang untuk keluar dari keyakinan mereka.
Tidak sedikit para penganut Tolotang yang mati dibunuh.[8]
Sebelum Islamisasi masyarakat Bugis, telah ada sebagian masyarakat yang menganut
agama Kristen abad ke 16 yang dibawa oleh Portugis. Saat ini masih ada komunitas penganut
Kristen di daerah Soppeng namun jumlahnya hanya sekitar 5 ribu jiwa. Pada abad ke-17,
penyebaran Islam yang dibawa oleh para pendakwah dari
tanah Melayu dan Minangkabau membuat banyak masyarakat penganut Kristen dan Tolotang
masuk Islam sehingga Islam menyebar luas di tanah Bugis dan Makassar.

Mata pencarian
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan
dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati
orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan
dan menekuni bidang pendidikan.
Perompak
Sudah bukan rahasia lagi apabila Bugis identik dengan dunia perompakan. Sejak Perjanjian
Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis
dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang
diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda,
menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun
sebagai Suku Bugis yang keras dan tidak mau mengikuti aturan, kebebasan ini tentu disalah
gunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di
dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang
internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam
Belanda di benteng Malaka. Hingga masa modern ini perompak Bugis masih ada dan menjadi
momok menakutkan di perairan Indonesia[9]

Serdadu bayaran
Selain sebagai perompak, karena jiwa keras dan haus membunuh orang-orang Bugis terkenal
sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda mereka
salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat
pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan
pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.
[10]
Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu
bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana
Minangkabau pimpinan Raja Kecil.

Perkawinan
Orang Bugis memandang perkawinan sebagai suatu upacara adat yang bertujuan untuk
menyatukan hubungan kekeluargaan antara dua keluarga besar menjadi semakin erat.
Perkawinan tidak dianggap sebatas menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri,
melainkan mendekatkan hubungan keluarga yang sudah jauh. Pandangan ini membuat orang
Bugis memilih perkawinan antara keluarga dekat, karena mereka sudah saling mengenal
sebelumnya.[11]

Kebudayaan
Suku Bugis menganggap lontara sebagai sumber tertulis yang berkaitan dengan sejarah,
budaya, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Orang Bugis menggunakan lontara sebagai alat
untuk menyampaikan cara berpikir dan pengalaman masa lalu masyarakatnya. Lontara dijadikan
sebagai simbol budaya suku Bugis yang diwariskan dari masyarakat terdahulu ke masyarakat
masa berikutnya.[12]

Tempat tinggal
Suku Bugis umumnya membedakan bentuk rumah sebagai penanda pranata sosial di dalam
masyarakatnya. Rumah suku Bugis dibedakan menjadi "saoraja'' dan ''bola''. Perbedaan
keduanya terletak pada simbol-simbol tertentu di dalam arsitektur rumah dan bukan dari struktur
dan konstruksinya. ''Saoraja'' adalah rumah berukuran besar yang ditempati oleh keturunan raja
atau kaum bangsawan, sedangkan ''bola'' adalahi rumah biasa yang menjadi tempat tinggal bagi
rakyat biasa. Saoraja memiliki 40 sampai 48 tiang sehingga berukuran lebih besar,
sedangkan bola memiliki 20 sampai 30 tiang sehingga berukuran lebih kecil. Perbedaan status
sosial dapat diketahui melalui bentuk tutup bubungan atap rumah yang disebut
''timpaklaja''. Timpaklaja pada saoraja bertingkat-tingkat antara 3-5 tingkat, sedangkan timpaklaja
pada bangunan bola tidak bertingkat. Semakin banyak jumlah tingkat timpaklaja maka semakin
tinggi pula status sosial penghuninya.[13]
Bugis perantauan

Museum Bugis di Johor, Malaysia.


Suku Bugis dikenal sebagai suku yang menyebar luas ke berbagai daerah di Indonesia. Orang
Bugis melakukan perantauan besar-besaran di kawasan Nusantara sejak abad ke-17
Masehi. Koloni-koloni suku Bugis ditemukan di Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, Pontianak, Johor, dan Semenanjung Melayu. Di perantauan, koloni suku Bugis
mengembangkan pelayaran, perdagangan, perikanan, pertanian dan pembukaan
lahan perkebunan.[14]
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan
mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika
Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang
bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang
mereka[butuh rujukan].
Oleh karena itulah, pada daerah-daerah yang ditempati suku Bugis ini, dapat dijumpai mushaf
Quran kuno. Biasanya di daerah pesisir, serupa Bima, Sumbawa, dan Bali. Bahkan Quran dari
suku Bugis pun pernah dijumpai di Riau.[15]

Penyebab merantau
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-
16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini
menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya
merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis
hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

Bugis di Kalimantan Timur


Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh
terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara
gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya di antaranya ada yang
hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng
Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo
dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar
kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan
dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu
segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili
seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang
berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-
gunung (Gunung Selili).

Bugis di Jambi
Penduduk Bugis mulai merantau ke Sumatra termasuk ke Jambi pada saat daerahnya dijajah
oleh pasukan Belanda. Penduduk Bugis berangsur-angsur meninggalkan daerahnya pada
sekitar tahun 1950-an dan mencari daerah yang situasi nya lebih aman. Penduduk Bugis
di Provinsi Jambi kebanyakan bermukim di wilayah pesisir timur Provinsi Jambi tepatnya di
Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Kuala Tungkal, Pangkal Duri) maupun di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur (Mendahara, Kampung Laut, Tanjung Solok, Muara Sabak, Alang Alang, Simbur
Naik, Lambur, Pemusiran, Nipah Panjang) serta bermukim di daratan seperti di Kota Jambi dan
kebanyakan di Desa Tangkit Baru Kabupaten Muaro Jambi. Selain di Provinsi Jambi, penduduk
Bugis juga menyebar di daerah tetangga yaitu di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau (Pulau
Kijang, Sungai Terab, Keritang, Kotabaru Reteh, Sanglar, Pebenaan, Benteng, Kuala Enok,
Tanah Merah, Tembilahan, Sungai Guntung, Pulau Burung).

Bugis di Sumatra dan Semenanjung Malaysia


Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau
Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis
lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Di sini
mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak
raja-raja di Johor & selangor yang merupakan keturunan Luwu.

Lihat pula
 Melayu-Bugis
 Demografi Indonesia
 Daftar tokoh Bugis
 Bahasa Bugis
 Andi (Gelar)
 Budaya Bugis

Referensi
1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia
Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175.
2. ^ "Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus
Pramono. Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapore: ISEAS: Institute of Southeast
Asian Studies. p. 271.". 2015.
3. ^ http://www.rajaalihaji.com/id/article.php?a=YURIL3c%3D= Situs Raja Ali Haji
4. ^ Pelras, C. 1996. The Bugis. Oxford: Blackwell.
5. ^ Bulbeck, D. and I. Caldwell. 2000. Land of iron; The historical archaeology of Luwu and
the Cenrana valley. Hull: Centre for South East Asian Studies, University of Hull.
6. ^ Brooke, J. 1848. Narrative of events in Borneo and Celebes down to the occupation of
Labuan. From the Journals of James Brooke, Esq. Rajah of Sarawak and Governor of
Labuan [. . .] by Captain Rodney Mundy. London: John Murray.
7. ^ Naim, Mochtar. Merantau.
8. ^ 1001 Indonesia: Kepercayaan Lokal Komunitas Towani Tolotang di Sidenreng
Rappang. 25 Januari 2019. Diakses 30 Maret 2019.
9. ^ Vlekke, Bernard H.M. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. hlm. 263.
10. ^ Vlekke, Bernard H.M. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. hlm. 200.
11. ^ Hafid, dkk. (2016). Adat Perkawinan Suku Bugis di Perantauan: Studi di Kabupaten
Bombana (PDF). Kendari: Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
Sultra. hlm. 3. ISBN 978-602-60719-0-3.
12. ^ Misnah (2019). Budaya Tradisi Lisan: Sumber Pembelajaran Sejarah Lokal Sulawesi
Tengah (PDF). Banyumas: CV. Pena Persada. hlm. 61–62. ISBN 978-623-7699-08-8.
13. ^ Duli, dkk. (2013). Monumen Islam di Sulawesi Selatan (PDF). Makassar: Balai
Pelestarian Cagar Budaya Makassar. hlm. 90. ISBN 978-602-8405-50-8.
14. ^ Hendraswati, Dalle, J., dan Jamalie, Z. (2017). Diaspora dan Ketahanan Budaya Orang
Bugis di Pagatan Tanah Bumbu (PDF). Yogyakarta: Penerbit Kepel Press. hlm. 2–
3. ISBN 978-602-356-197-1.
15. ^ Permana, Fuji E.; editor: Wachidah Handasah. 10 Desember 2018. "Melestarikan
Mushaf Kuno Nusantara". Republika. Hlm.17

Anda mungkin juga menyukai