Anda di halaman 1dari 5

Jahe (Zingiber officinale), adalah tumbuhan yang rimpangnya sering digunakan sebagai rempah-

rempah dan bahan baku pengobatan tradisional. Rimpangnya berbentuk jemari yang
menggembung di ruas-ruas tengah. Rasa dominan pedas yang dirasakan dari jahe disebabkan
oleh senyawa keton bernama zingeron.
Jahe termasuk dalam famili Zingiberaceae (temu-temuan).[2] Nama ilmiah jahe diberikan oleh
William Roxburgh.

Asal usul dan penyebaran[sunting | sunting sumber]


Jahe diperkirakan merupakan tumbuhan pribumi Asia Tenggara.[3] Penyebarannya diperkirakan
mengikuti migrasi yang dilakukan oleh Suku Bangsa Austronesia pada abad ke-4 SM
menyeberangi Kepulauan Melayu dari CIna Tenggara sampai ke Taiwan. Jahe pun menjadi
tumbuhan khas wilayah tersebut bersamaan dengan lengkuas, temu putih dan lempuyang.[4]
Tumbuhan jahe dikategorikan sebagai tumbuhan kultigen dan tidak tersedia lagi dalam bentuk
liar di alam. Hal ini disebabkan karena jahe telah kehilangan kemampuannya tumbuh melalui biji
seperti kebanyakan jenis rempah-rempah lainnya dan hanya bisa berkembang biak
melalui reproduksi vegetatif menggunakan akarnya yang merupakan akibat dari seleksi
buatan yang dilakukan manusia.[4] Tumbuhan ini telah lama didomestikasi di India dan Tiongkok.
[3]

Suku Bangsa Austronesia menggunakan jahe sebagai bahan-bahan masakan dan juga sebagai
penghangat tubuh dalam ritual kelahiran yang disebut dengan nama "benkidu". Ritual ini
merupakan ritual penghangatan ibu dan bayi baru saja dilahirkan di dalam sebuah ruangan
disebut dengan nama "bilik" dengan paparan api dan pemberian jahe sebagai penghangat
selama sebulan atau 41 hari.[5] Bagi penutur bahasa proto oseanik, jahe digunakan di dalam
ritual sihir.[6]
Jahe disebarkan oleh Suku Bangsa Austronesia dengan membawanya dalam pelayaran dan
menanamnya di setiap taman di pulau-pulau yang mereka kunjungi selama berlayar. Kebiasaan
inilah yang menyebabkan jahe tersebar hingga ke Filipina dan Kepulauan Maluku, lalu ke
seluruh Indonesia seperti Sumatra, Jawa, Pulau Papua sampai ke Selat Malaka.
[4]
Penyebarannya terus berlanjut hingga mencapai Eritrea dan Jazirah Arab sebagai pemasok
jahe ke wilayah Rumania dan Yunani untuk digunakan oleh para apoteker dan tabib sebagai
bahan antidot seperti mithridaticum yang secara rutin diminum oleh Mithridates VI dari Pontos.[4]
Jahe mulai dikenalkan ke wilayah Laut Tengah pada Abad ke-1 Era Umum yang dibawa oleh
pedagan dan terkenal di Inggris pada Abad ke 11. Selanjutnya, bangsa spanyol membawanya
ke Hindia Barat dan Meksiko.[7]

Sejarah tertulis[sunting | sunting sumber]


Jahe pertama kali ditulis di dalam buku Analek Konfusius yang ditulis oleh Kong Hu Cu pada
tahun 557–479 SM dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah mengonsumsi makanan tanpa
jahe di dalamnya,[8]

Penamaan Jahe[sunting | sunting sumber]


Jahe memiliki nama ilmiah (Zingiber officinale) yang pertama kali dinamai oleh William
Roxburgh dalam bukunya Flora Indica yang diterbitkan pada tahun 1832.[9]
[10]
Kata Zingiber berasal dari Bahasa Yunani “Zingiberi” yang diserap dari kata “Singabera”
dari Bahasa Sanskerta yang memiliki makna "tanduk'' karena bentuk jahe yang mirip dengan
tanduk rusa. Officinale merupakan serapan bahasa latin (officina) yang memiliki makna bahwa
tumbuhan digunakan dalam kebutuhan farmasi dan ilmu kesehatan.[11]
Jahe memiliki nama yang beragam di seluruh Indonesia. Daerah yang berada di
Pulau Sumatra mengenalnya dengan
nama halia (Aceh), beuing (Gayo), bahing (Karo), alia (Melayu), pege (Toba), sipode (Mandailing
), lahya (Komering) lahia (Nias), sipodeh (Minangkabau), page (Lubu), dan jahi (Lampung).
Nama jahe mungkin berasal dari pulau Jawa karena memiliki kemiripan
seperti jahe dalam bahasa Sunda, jae (Jawa), jhai (Madura), dan jae (Kangean).
Daerah Indonesia timur seperti Pulau Sulawesi mengenal jahe dengan nama
layu (Mongondow), moyuman (Poros), melito (Gorontalo), yuyo (Buol), siwei (Bare'e), goraka (Ba
re'e Tojo), laia atau leya (Makassar), dan pace (Bugis). Di Maluku, jahe dikenal dengan
nama hairalo (Amahai), pusu, seeia, sehi, siwe (Ambon), sehi (Hila), sehil (Nusa
Laut), siwew (Buns), garaka atau woraka (Ternate), gora (Tidore), sohi (Banda) dan laian (Aru).
Daerah di Pulau Papua menyebutnya dengan nama tali dalam bahasa Kalanapat
dan marman dalam bahasa Kapaur. Wilayah Nusa Tenggara dan sekitarnya menyebutnya
dengan nama jae atau jahi (Bali), reja (Bima), alia (Sumba), dan lea (Flores). Bahasa dayak di
Kalimantan (Dayak) mengenal jahe dengan sebutan lai, sedangkan dalam bahasa
banjar disebut tipakan.[11][12]

Botani dan sistematika[sunting | sunting sumber]


Jahe merupakan jenis tumbuhan yang termasuk dalam famili Zingiberaceae.

Hasil panen jahe.


Karena jahe hanya bisa bertahan hidup di daerah tropis, penanamannya hanya bisa dilakukan di
daerah katulistiwa seperti Asia Tenggara, Brasil, dan Afrika. Saat ini Equador dan Brasil menjadi
pemasok jahe terbesar di dunia. Dalam sistematika tumbuhan, tanaman jahe termasuk dalam
kingdom Plantae, Subkingdom Tracheobionta, Superdivisi: Spermatophyta, Divisi:
Magnoliophyta/Pteridophyyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Liliopsida-Monocotyledoneae,
Subkelass: Zingiberidae, Ordo: Zingiberales, Suku/Famili: Zingiberaceae, Genus: Zingiber P.
Mill. Species: Zingiber officinale (Roscoe, 1817) (US National Plant Database 2004). Sinonim
nama jahe adalah: Amomum angustifolium Salisb., dan Amomum zingiber L. Ada sekitar 47
genera dan 1.400 jenis tanaman yang termasuk dalam dalam suku Zingiberaceae, yang tersebar
di seluruh daerah tropis dan sub tropis. Penyebaran Zingiber terbesar di belahan timur bumi,
khususnya Indo Malaya yang merupakan tempat asal sebagian besar genus Zingiber
(Lawrence 1951: Purseglove 1972). Di Asia Tenggara ditemukan sekitar 80-90 jenis Zingiber
yang diperkirakan berasal dari India, Malaya dan Papua. Namun hingga saat ini, daerah asal
tanaman jahe belum diketahui. Jahe kemungkinan berasal dari China dan India (Grieve 1931;
Vermeulen 1999) namun keragaman genetik yang luas ditemukan di Myanmar (Jatoi et al. 2008)
dan India, yang diduga merupakan pusat keragaman jahe (Ravindran et al. 2005).
Jahe memiliki jumlah kromosom 2n=2x=22, tetapi beberapa kultivar jahe diketahui sebagai
poliploid (Kubitzki, 1998). Darlington dan Ammal (1945) dalam Peter et al. (2007) melaporkan
terdapat jenis Z. officinale yang memiliki jumlah kromosom sebanyak 28. Darlington dan Wylie
(1955) juga menyatakan bahwa pada jahe terdapat 2 kromosom B. Rachmandran (1969)
melakukan analisis sitologi pada 5 spesies Zingiber dan menemukan pada seluruh spesies
memiliki jumlah kromosom 2n=22. Ratnabal (1979) mengidentifikasi kariotipe 32 kultivar jahe (Z.
officinale) dan menemukan seluruh kultivar jahe memiliki kromosom somatik berjumlah 22 dan
ditemukan pula adanya kromosom asimetris (kromosom B) pada seluruh kultivar kecuali kultivar
Bangkok dan Jorhat. Beltram dan Kam (1984) dalam Peter et al. (2007) mengobservasi 9
Zingiber spp. dan menemukan bahwa Z. officinale bersifat aneuploid (2n=24), polyploid (2n=66)
dan terdapat B kromosom (2n= 22+2B). Tetapi Etikawati dan Setyawan (2000), Z. officinale
kultivar jahe putih kecil (emprit), gajah dan merah memiliki jumlah kromosom 2n=32.
Eksomtramage et al. (2002) mengamati jumlah kromosom 3 spesies Z. officinale asal Thailand
dan menemukan 2n=2x=22. Yulianto (2010) menyatakan jumlah kromosom jahe putih dan jahe
merah yakni 2n=24=22+2B. Rachmandran (1969) melakukan analisis sitologi pada 5 spesies
Zingiber, selain menemukan jumlah khromosom pada seluruh spesies 2n=22 juga membuktikan
adanya struktur pindah silang akibat peristiwa inversi. Observasi pada fase metaphase mitosis
menemukan bahwa jahe diploid (2n=2x=22) memiliki panjang kromosom rata-rata 128.02 μm
dan lebar 5.82 μm. Rasio lengan kromosom terpanjang dan terpendek adalah 2.06:1, hampir
45,5% kromosom memiliki 2 lengan dan terdapat 2 kromosom yang berbeda (Zhi-min et al.
2006). Adanya variasi pada jumlah kromosom merupakan suatu mekanisme adaptasi dan
pembentukan spesies pada tanaman. Hal ini juga menjadi penyebab terjadinya variasi genetik
pada jahe. Selain itu ditemukannya struktur pindah silang diduga menjadi penyebab rendahnya
fertilitas tepung sari yang menyebabkan pembentukan buah dan biji pada jahe jarang terjadi.

Ciri morfologi[sunting | sunting sumber]

Tanaman Jahe di kebun.


Batang jahe merupakan batang semu dengan tinggi 30 hingga 100 cm. Akarnya berbentuk
rimpang dengan daging akar berwarna kuning hingga kemerahan dengan bau menyengat. Daun
menyirip dengan panjang 15 hingga 23 mm dan panjang 8 hingga 15 mm. Tangkai daun berbulu
halus.
Bunga jahe tumbuh dari dalam tanah berbentuk bulat telur dengan panjang 3,5 hingga 5 cm dan
lebar 1,5 hingga 1,75 cm. Gagang bunga bersisik sebanyak 5 hingga 7 buah. Bunga berwarna
hijau kekuningan. Bibir bunga dan kepala putik ungu. Tangkai putik berjumlah dua.

Pengolahan dan pemasaran[sunting | sunting sumber]


Rimpang jahe, terutama yang dipanen pada umur yang masih muda tidak bertahan lama
disimpan di gudang. Untuk itu diperlukan pengolahan secepatnya agar tetap layak dikonsumsi.
Untuk mendapatkan rimpang jahe yang berkualitas, jahe dipanen pada umur tidak terlalu muda
juga tidak terlalu tua.
Jahe segar
Selain dipasarkan dalam bentuk olahan jahe, juga dipasarkan dalam bentuk jahe segar, yaitu
setelah panen, jahe dibersihkan dan dijual kepasaran.
Terdapat beberapa hasil pengolahan jahe yang terdapat di pasaran, yaitu:

 Jahe kering
 Awetan jahe
 Jahe bubuk
 Minyak jahe
 Oleoresin jahe
Jahe kering[sunting | sunting sumber]
Merupakan potongan jahe yang dikeringkan dengan irisan memotong serat irisan tipis
(digebing). Jenis ini sangat populer di pasar tradisional.

Awetan jahe[sunting | sunting sumber]


Merupakan hasil pengolahan tradisional dari jahe segar. Yang paling sering ditemui di pasaran
adalah, tingting jahe (permen jahe), acar, asinan, sirup, dan jahe instan. Beberapa jenis olahan
jahe ini disukai konsumen dari daerah Asia dan Australia.
Bubuk jahe[sunting | sunting sumber]
Merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dari jahe menggunakan teknologi industri, jahe
dikeringkan selanjutnya digiling dengan kehalusan butiran bubuk yang ditentukan. Bubuk jahe
diperlukan untuk keperluan farmasi, minuman, alkohol dan jamu. Biasanya menggunakan bahan
baku jahe kering.

Oleoresin jahe[sunting | sunting sumber]


Adalah hasil pengolahan lebih lanjut dari tepung jahe. Warnanya cokelat dengan kandungan
minyak asiri 15 hingga 35%. Mengandung komponen bioaktif berupa senyawa fenolik yang
dapat bertindak sebagai antioksidan, yakni gingerol, shogaol, dan zingeron. Ketiganya
berpengaruh dalam pencegahan penyakit degeneratif, seperti kanker dan penyumbatan
pembuluh darah [13]

Habitat[sunting | sunting sumber]


Jahe tumbuh subur di ketinggian 0 hingga 1500 meter di atas permukaan laut, kecuali jenis jahe
gajah di ketinggian 500 hingga 950 meter.
Untuk bisa berproduksi optimal, dibutuhkan curah hujan 2500 hingga 3000 mm per tahun,
kelembapan 80% dan tanah lembap dengan PH 5,5 hingga 7,0 dan unsur hara tinggi. Tanah
yang digunakan untuk penanaman jahe tidak boleh tergenang.

Varietas[sunting | sunting sumber]


Terdapat tiga jenis jahe yang populer di pasaran, yaitu:

Jahe gajah/jahe badak[sunting | sunting sumber]


Merupakan jahe yang paling disukai di pasaran internasional. Bentuknya besar gemuk dan
rasanya tidak terlalu pedas. Daging rimpang berwarna kuning hingga putih.

Jahe kuning[sunting | sunting sumber]


Merupakan jahe yang banyak dipakai sebagai bumbu masakan, terutama untuk konsumsi lokal.
Rasa dan aromanya cukup tajam. Ukuran rimpang sedang dengan warna kuning.

Jahe merah[sunting | sunting sumber]


Jahe jenis ini memiliki kandungan minyak atsiri tinggi dan rasa paling pedas, sehingga cocok
untuk bahan dasar farmasi dan jamu. Bahkan digunakan pula sebagai pengawet alami di industri
pangan karena memiliki aktivitas antibakteri dalam kandungannya terhadap bakteri patogen dan
perusak pangan.[14] Ukuran rimpangnya paling kecil dengan kulit warna merah, serat lebih besar
dibanding jahe biasa.

Produk jahe[sunting | sunting sumber]


Di masyarakat barat, ginger ale merupakan produk yang digemari. Sementara Jepang dan
Tiongkok sangat menyukai asinan jahe.[15] Sirup jahe disenangi masyarakat Tiongkok, Eropa dan
Jepang.
Di Indonesia, sekoteng, bandrek, dan wedang jahe merupakan minuman yang digemari karena
mampu memberikan rasa hangat di malam hari, terutama di daerah pegunungan.

Referensi[sunting | sunting sumber]


1. ^ "Zingiber officinale information from NPGS/GRIN". www.ars-grin.gov. Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2015-10-01. Diakses tanggal 2008-03-03.
2. ^ "Zingiberaceae | Description, Genera, & Facts |
Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-10.
3. ^ Lompat ke:a b Ravindran, P.N (2004). "Introduction". Dalam Ravindran, P.N; Babu,
K.Nirmal. Ginger The Genus Zingiber. Boca Raton: CRC Press.
hlm. 7. ISBN 9781420023367.
4. ^ Lompat ke:a b c d Dalby, Andrew (2000). Dangerous Tastes: The Story of Spices (dalam
bahasa Inggris). Berkeley: University of California Press. hlm. 21. ISBN 978-0-520-
23674-5.
5. ^ Fox, James J. (2006). Inside Austronesian Houses: Perspectives on Domestic Designs
for Living (dalam bahasa Inggris). Canberra: ANU E Press. hlm. 86,137. ISBN 978-1-
920942-84-7.
6. ^ Osmond, Meredith (2000). "Horticultural practices". Dalam Malcolm, Ross; Andrew,
Pawley; Meredith, Osmond. The lexicon of Proto Oceanic : The culture and environment
of ancestral Oceanic society. Pacific Linguistics. 152. Canberra: ANU Pr int ing Serv ice.
hlm. 128. ISBN 0 85883 507 X.
7. ^ "Ginger | plant". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17
Juli 2021. ((Perlu berlangganan (help)).
8. ^ Pickersgill, Barbara (2005). "Spices". Dalam Prance, Ghillean; Nesbitt, Mark. The
Cultural History of Plants. New York: Routledge. hlm. 163. ISBN 0415927463.
9. ^ Roxburgh, William (1832). Carey, William, ed. Flora Indica, or, Descriptions of Indian
plants. 1. Serampore: W. Thacker & co. hlm. 47.
10. ^ Duncan, Andrew (1829). Supplement to The Edinburgh new dispensatory. Edinburgh:
Bell & Bradfute. hlm. 14.
11. ^ Lompat ke:a b Bermawie, Nurliani; Purwiiyanti, Susi (2011). "Botani, sistematika dan
keragaman kultivar jahe". Dalam Supriadi; Yusron, M; Dono, Wahyuno; Miftahudin;
Eflana. JAHE (Zingiber officinale Rosc.) (PDF). Bogor: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. hlm. 1. ISBN 978-979-548-031-0.
12. ^ Crawfurd, John (2017). Sejarah Kepulauan Nusantara: Kajian Budaya, Agama, Politik,
Hukum dan Ekonomi. 1. Diterjemahkan oleh Zara, Muhammad Yuanda. Yogyakarta:
Penerbit Ombak. hlm. 366. ISBN 9786022584698.
13. ^ Astawan, Made (2020). Sehat Dengan Rempah dan Bumbu Dapur. Jakarta: Buku
Kompas. ISBN 978-623-241-372-6.
14. ^ Rialita, Tita; Rahayu, Winiati Pudji; Nuraida, Lilis; Nuratama, Budi (2015). "Aktivitas
Antimikroba Minyak Esensial Jahe Merah dan Lengkuas Merah terhadap Bakteri
Patogen dan Perusak Pangan". Agritech. 35 (1): 43–52.
15. ^ Wihman, Liisa (30 Desember 2016). "The Story of Ginger". Metropolis Japan (dalam
bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-10.

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]


 Harmono, STP dan Drs Agus Andoko, Budidaya dan Peluang Bisnis Jahe, Penerbit
Agromedia Pustaka, 2005.

Anda mungkin juga menyukai