Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jahe (Zingiber officinale Rosc)


Di Indonesia, terdapat sekitar 30.000 spesies tanaman, 940 spesies di
antaranya dikategorikan sebagai tanaman obat dan 140 spesies di antaranya
sebagai tanaman rempah. Dari sejumlah spesies tanaman rempah dan obat,
beberapa di antaranya sudah digunakan sebagai obat tradisional oleh berbagai
perusahaan atau pabrik jamu. Dalam masyarakat Indonesia, pemanfaatan obat
tradisional dalam sistem pengobatan sudah membudaya dan cenderung terus
meningkat. Salah satu tanaman rempah dan obat-obatan yang ada di Indonesia
adalah jahe (Rukmana, 2000).
Nama ilmiah jahe adalah Zingiber officinale Rosc. Kata Zingiber berasal
dari bahasa Yunani yang pertama kali dilontarkan oleh Dioscorides pada tahun 77
M. Nama inilah yang digunakan Carolus Linnaeus seorang ahli botani dari Swedia
untuk memberi nama latin jahe (Anonimus, 2007). Menurut para ahli, jahe
(Zingiber officinale Rosc.) berasal dari Asia Tropik, yang tersebar dari India
sampai Cina. Oleh karena itu, kedua bangsa itu disebut-sebut sebagai bangsa yang
pertama kali memanfaatkan jahe, terutama sebagai bahan minuman, bumbu
masakan, dan obat-obatan tradisional. Belum diketahui secara pasti sejak kapan
mereka mulai memanfaatkan jahe, tetapi mereka sudah mengenal dan memahami
bahwa minuman jahe cukup memberikan keuntungan bagi hidupnya (Santoso,
1994).
Tanaman Jahe (Zingiber officinale rosc) dalam dunia tanaman memiliki
klasifikasi sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber

5
6

Species : Zingiber officinale Rosc.


Famili Zingiberaceae terdapat disepanjang daerah tropis dan sub tropis
terdiri atas 47 genus dan 1.400 species. Genus Zingiber meliputi 80 species yang
salah satu diantaranya adalah jahe yang merupakan species paling penting dan
paling banyak manfaatnya (Hapsoh, 2008 dalam Putri, 2014).

2.2 Jenis-jenis Jahe


Menurut Farry (1991), Adapun jenis-jenis jahe yang ada di Indonesia
dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpang, yaitu
sebagai berikut:
1. Jahe Putih Besar / Jahe Gajah (Zingiber officinale var officinarum)
Varietas jahe ini banyak ditanam di sekitar masyarakat dan dikenal dengan
nama latin Zingiber officinale var officinarum. Ukuran rimpangnya lebih besar
dan gemuk jika dibandingkan jenis jahe lainnya. Jika diiris rimpang berwarna
putih kekuningan. Berat rimpang berkisar 0,18 – 1,04 kg dengan panjang 15,83 –
32,75 cm, ukuran tinggi 6,02 – 12,24 cm. Ruas rimpangnya lebih menggembung
dari kedua varietas lainnya. Jenis jahe ini bisa dikonsumsi baik saat berumur
muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan (Hapsoh,
2008 dalam Putri, 2014).

Gambar 2.1 Jahe Gajah (Zingiber officinale var officinarum)

2. Jahe Putih/Kuning Kecil/Jahe Emprit (Zingiber officinale var amarum)


Jahe ini dikenal dengan nama latin Zingiber officinale var amarum
memiliki rimpang dengan bobot berkisar antara 0,5 - 0,7 kg/rumpun. Struktur
rimpang kecil-kecil dan berlapis. Daging rimpang berwarna putih kekuningan.
Tinggi rimpangnya dapat mencapai 11 cm dengan panjang antara 6 - 30 cm dan
7

diameter antara 3,27 - 4,05 cm. Ruasnya kecil, agak rata sampai agak sedikit
menggembung. Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua (Hapsoh, 2008 dalam
Putri, 2014).

c
Gambar 2.2 Jahe emprit (Zingiber officinale var amarum)

3. Jahe Merah atau Jahe Sunti


Jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) berasal dari Asia Pasifik yang
tersebar dari India sampai China. Oleh karena itu kedua bangsa ini disebut-sebut
sebagai bangsa yang pertama kali memanfaatkan jahe terutama sebagai bahan
minuman, bumbu masak dan obat-obatan tradisional (Setiawan, 2015: 17).

Gambar 2.3. Jahe merah (Zingiber officinale var rubrum)

Penyebaran tanaman jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) kini


sampai di wilayah tropis dan subtropis, contohnya Indonesia. Jahe merah
(Zingiber officinale var rubrum) disebut juga jahe sunti. Selain itu, banyak nama
lain dari jahe dari berbagai daerah di Indonesia antara lain halia (Aceh), beeuing
(Gayo), bahing (Batak Karo), sipodeh (Minangkabau), jahi (Lampung), jahe
8

(Sunda), jae (Jawa dan Bali), jhai (Madura), melito (Gorontalo), geraka (Ternate),
dan sebagainya (Setiawan, 2015: 17).
Jahe merah/jahe sunti (Zingiber officinale var rubrum) memiliki rimpang
dengan bobot antara 0,5 - 0,7 kg/rumpun. Struktur rimpang jahe merah, kecil
berlapis-lapis dan daging rimpangnya berwarna kuning kemerahan, ukuran lebih
kecil dari jahe kecil. Memiliki serat yang kasar. Rasanya pedas dan aromanya
sangat tajam. Diameter rimpang 4,2 -4,3 cm dan tingginya antara 5,2 - 10,40 cm.
Panjang rimpang dapat mencapai 12,39 cm. sama seperti jahe kecil, jahe merah
juga selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki kandungan minyak atsiri yang
lebih tinggi dibandingkan jahe kecil, sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan
(Setiawan, 2015: 23).

2.3 Kandungan Jahe


Jahe banyak mengandung berbagai fitokimia dan fitonutrien. Beberapa zat
yang terkandung dalam jahe adalah minyak atsiri 2-3%, pati 20-60%, oleoresin,
damar, asam organik, asam malat, asam oksalat, gingerin, gingeron, minyak
damar, flavonoid, polifenol, alkaloid, dan musilago. Minyak atsiri jahe
mengandung zingiberol, linaloal, kavikol, dan geraniol. Rimpang jahe kering per
100 gram bagian yang dapat dimakan mengandung 10 gram air, 10-20 gram
protein, 10 gram lemak, 40-60 gram karbohidrat, 2-10 gram serat, dan 6 gram abu.
Rimpang keringnya mengandung 1-2% gingerol (Suranto, 2004).
Kandungan gingerol dipengaruhi oleh umur tanaman dan agroklimat
tempat tumbuh tanaman jahe. Gingerol juga bersifat sebagai antioksidan sehingga
jahe bermanfaat sebagai komponen bioaktif anti penuaan. Komponen bioaktif jahe
dapat berfungsi melindungi lemak atau membran dari oksidasi, menghambat
oksidasi kolesterol, dan meningkatkan kekebalan tubuh (Kurniawati, 2010).
Menurut Rismunandar, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komposisi
kimia rimpang jahe adalah antara lain: jenis jahe, tanah sewaktu jahe ditanam,
umur rimpang saat dipanen, pengolahan rimpang jahe (Putri, 2014). Komponen
yang Universitas Sumatera Utara 12 terkandung dalam jahe antara lain adalah air
80,9%, protein 2,3%, lemak 0,9%, mineral 1-2%, serat 2-4%, dan karbohidrat
9

12,3% (Rahingtyas, 2008).


Menurut Denyer, secara umum jahe mengandung pati, minyak atsiri, serat,
sejumlah kecil protein, vitamin, mineral, dan enzim proteolitik yang disebut
zingibain. Menurut penelitian Hernani dan Hayani (2001), jahe merah mempunyai
kandungan pati (52,9%), minyak atsiri (3,9%) dan ekstrak yang larut dalam
alkohol (9,93%) lebih tinggi dibandingkan jahe emprit (41,48; 3,5 dan 7,29%) dan
jahe gajah (44,25; 2,5 dan 5,81%). Rimpang jahe juga mengandung senyawa
fenolik. Beberapa komponen bioaktif dalam ekstrak jahe antara lain (6)-gingerol,
(6)-shogaol, diarilheptanoid dan curcumin. Jahe juga mengandung zat aktif
shogaol dan gingerol yang berfungsi untuk membangkitkan energi. Bahkan, para
ahli menyebutnya sebagai jenis tanaman antioksidan terkuat sedunia (Anonim,
2007). Jahe memiliki sifat khas, yaitu oleoresin dan minyak atsiri. Minyak atsiri
dan oleoresin jahe terdapat pada sel-sel minyak jaringan korteks dekat permukaan
kulit (Koswara, 1995). Karakteristik tiga jenis utama jahe dapat dilihat pada Tabel
2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik jenis jahe

Sumber: Bermawie, et al.(1997)

Diantara ketiga jenis jahe, jahe merah memiliki kandungan minyak atsiri
dan oleoresin yang paling tinggi. Kandungan minyak atsiri jahe merah berkisar
antara 2.58-3.72% (bobot kering), sedangkan jahe gajah 0.821.68% dan jahe
emprit 1.5-3.3%. Selain itu, kandungan oleoresin jahe merah juga lebih tinggi
dibandingkan jahe lainnya, yaitu 3% dari bobot kering (Herlina, et al., 2002).
10

2.3.1. Kandungan Kimia Jahe


Kandungan senyawa kimia pada jahe secara umum terdiri dari minyak
menguap (volatile oil), dan ada minyak tidak menguap (non volatile oil), dan pati.
Minyak atsiri termasuk jenis minyak menguap dan merupakan suatu komponen
yang memberi aroma yang khas pada jahe (Harmono dan Andoko, 2005).
Kandungan minyak atsiri ditentukan oleh umur panen dan jenis jahe. Pada umur
panen muda, kandungan minyak atsirinya tinggi. Sedangkan pada umur tua,
kandungannyapun makin menyusut walau baunya semakin menyengat.
Kandungan minyak tidak menguap (non volatile oil) disebut oleoresin, merupakan
komponen yang memberikan rasa pahit dan pedas.
Sifat pedas tergantung dari umur panen, semakin tua umurnya semakin
terasa pedas dan pahit. Jahe yang berumur 5-7 bulan mengandung sedikit serat
dan komponen pungent pada jahe tidak tajam, sementara pada usia 9 bulan,
komponen volatil dan pungent jahe mencapai maksimum begitu juga dengan
kandungan serat jahe yang semakin bertambah seiring dengan bertambahnya usia
jahe (Mayuni, 2006). Komponen Kimia Jahe Menurut Kesumaningati (2009),
adapun kandungan rimpang jahe terdiri dari dua komponen yaitu :
1. Volatile oil (minyak menguap)
Biasa disebut minyak atsiri merupakan komponen pemberi aroma yang
khas pada jahe, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air.
Minyak atsiri merupakan salah satu dari dua komponen utama minyak jahe. Jahe
kering mengandung minyak atsiri 1-3%, sedangkan jahe segar yang tidak dikuliti
kandungan minyak atsiri lebih banyak dari jahe kering. Bagian tepi dari umbi atau
di bawah kulit pada jaringan epidermis jahe mengandung lebih banyak minyak
atsiri dari bagian tengah demikian pula dengan baunya. Kandungan minyak atsiri
juga ditentukan umur panen dan jenis jahe. Pada umur panen muda, kandungan
minyak atsirinya tinggi. Sedangkan pada umur tua, kandungannya pun makin
menyusut walau baunya semakin menyengat.
2. Non-volatile oil (minyak tidak menguap)
Biasa disebut oleoresin salah satu senyawa kandungan jahe yang sering
diambil, dan komponen pemberi rasa pedas dan pahit. Sifat pedas tergantung dari
11

umur panen, semakin tua umurnya semakin terasa pedas dan pahit. Oleoresin
merupakan minyak berwarna coklat tua dan mengandung minyak atsiri 15-35%
yang diekstraksi dari bubuk jahe. Kandungan oleoresin dapat menentukan jenis
jahe. Jahe rasa pedasnya tinggi, seperti jahe emprit, mengandung oleoresin yang
tinggi dan 9 jenis jahe badak rasa pedas kurang karena kandungan oleoresin
sedikit. Jenis pelarut yang digunakan, pengulitan serta proses pengeringan dengan
sinar matahari atau dengan mesin mempengaruhi terhadap banyaknya oleoresin
yang dihasilkan.
Tabel 2.2 Komponen Volatil dan Non-volatil Rimpang Jahe
Fraksi Senyawa
(-)-zingeberene, (+)-ar-curcumene, (-)-
βsesquiphelandrene, -pinene, bornyl acetat, borneol,
camphene,-bisaboline, -cymene, cineol, cumene, β-
Volatil elemene, farnesene, βphelandrene, geraneol,
limonene, linalool, myrcene, β-pinene, sabinene.
Non-volatil Gingerol, shogaol, gingediol, gingediasetat,
Gingerdion, Gingerenon
Sumber : WHO Monographs on selected medicinal plants Vol 1,1999

Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman jahe


terutama golongan flavonoida, fenolik, terpenoida, dan minyak atsiri (Benjelalai,
1984). Senyawa fenol jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin, yang
berpengaruh dalam sifat pedas jahe sedangkan senyawa terpenoida adalah
merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau, dapat diisolasi
dari bahan nabati dengan penyulingan minyak atsiri. Monoterpenoid merupakan
biosintesa senyawa terpenoida, disebut juga senyawa essence dan memiliki bau
spesifik. Senyawa monoterpenoid banyak dimanfaatkan sebagai antiseptik,
ekspektoran, spasmolitik, sedative, dan bahan pemberi aroma makanan dan
parfum (Kesumaningati, 2009).

2.4 Oleoresin Jahe


12

Oleoresin merupakan komponen yang memberi rasa pedas dan pahit yang
khas pada jahe. Sifat pedas ini tergantung pada umur panen. Semakin tua umurnya
semakin pedas dan pahit. Salah satu senyawa yang memberikan karakteristik
pungent dari oleoresin jahe adalah gingerol atau 1(3'-metoksi-4'-hidroksifenil)-5-
hidroksialkan-3-ones yang memiliki rantai samping yang bervariasi. Rantai
samping senyawa gingerol yang telah diidentifikasi adalah (3)-, (4)-, (5)-, (6)-,
(8)-, (10)-, dan (12)-gingerol memiliki karbon atom berturut-turut 7, 8, 9, 10, 12,
14, dan 16 (Araona, et al., 1999).
Oleoresin bersifat tidak stabil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap
cahaya atau adanya oksigen karena mengandung zat-zat volatil. Senyawa lain
yang lebih pedas namun memiliki konsentrasi yang lebih kecil adalah shogaol
(fenilalkanone). Gingerol dapat berubah menjadi shagaol bila dilakukan proses
pengeringan, pemasakkan maupun penyimpanan (Hernani dan Raharjo, 2005).
Biasanya pada jahe segar kandungan shogaol hanya sedikit, rasio antara gingerol
dan shogaol dalam jahe segar sekitar 7 : 1. Gingerol dan shogaol telah
diidentifikasi sebagai komponen antioksidan fenolik pada jahe. Selain gingerol
dan shogaol juga ditemukan senyawa lain pada oleoresin jahe seperti gingediol,
gingediasetat, gingerdion, dan gingerenon. Menurut Farrel (1990), beberapa
keuntungan dari oleoresin antara lain dapat menjadi senyawa anti bakteri dan
kontaminan lain, tidak mengandung enzim, mengandung antioksidan alami,
memiliki umur simpan yang relatif lama (pada kondisi normal).

Gambar 2.4 Rumus Struktur Molekul Gingerol, Shogaol dan Zingerone


Sumber :Sazalina (2005)
13

Oleoresin dari rimpang jahe mengandung [6]-gingerol (1-[4’-hidroksi-


3’metoksifenil]-5-hidroksi-3-dekanon). Senyawa ini bersifat pungent dan memiliki
aktivitas farmakologi dan fisiologis yang sangat luas (Mustafa et al., 1993; Surh
et al., 1998 diacu dalam Surh, 2002). Senyawa aktif yang paling pungent pada
jahe yaitu (6)-gingerol (Shahidi dan Naczk, 1995). Beberapa review (Connell dan
McLachlan, 1972; Murata et al., 1972; Masada et al., 1973, 1974; Harvey, 1981;
Smith, 1982; Chen et al., 1986 diacu dalam Ravindran dan Babu, 2005)
menyebutkan bahwa oleoresin jahe mengandung komponen-komponen pungent
sebagai berikut: (3)-, (4)-, (5)-, (6)-, (8)-, (10)-, (12)-, (14)-gingerol; metil-(6)-,
metil-(8)-, metil-(10)-, metil-(12)-gingerol; (4)-, (6)-, (10)-shogaol; (6) ,
(8)metilshogaol; (4)-, (6)-, (8)-, (10)-gingediol; (6)-metilgingediol;(4)-, (6)-
gingediasetat; (6)metilgingediasetat; (4)-, (6)-, (8)-gingerdion; dihidrogingerol;
heksahidrokurkumin; dan desmetilheksahidrokurkumin.
Komposisi kuantitatif oleoresin tergantung pada jenis pelarut yang
digunakan dan secara umum tersusun oleh komponen-komponen: (1) gingerol dan
zingeron, senyawa turunan fenol dan keto-fenol, (2) shogaol dengan rumus
bangun (C17H24O, yaitu senyawa homolog dari zingeron, (3) minyak volatil, dan
(4) resin (Koswara, 1995). Selain itu, oleoresin jahe juga mengandung komponen-
komponen minor seperti gingerdiol, paradol, heksahidrokurkumin, dan
gingerdiasetat, lemak, lilin, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Kimura et al.,
2005; Shukla dan Singh, 2006). Rimpang jahe juga mengandung enzim proteolitik
yang disebut zingibain (Shukla dan Singh, 2006). Menurut Purseglove (1981),
pelarut yang baik digunakan untuk ekstraksi oleoresin jahe adalah etanol, aseton,
dan trikloroetana. Selain itu oleoresin jahe memiliki kandungan berbagai zat di
antaranya yaitu minyak atsiri (20-30%), minyak (10%), konstituen resin terutama
gingerol (50-70%). Konstituen resin (gingerol) tersebut berperan dalam
pembentukan rasa pedas khas jahe (Uhl, 2000). Ekstraksi oleoresin menggunakan
pelarut etanol menghasilkan rendemen oleoresin 3.1-6.9% yang memberikan
warna coklat tua lebih kental, sedangkan pelarut aseton menghasilkan rendemen
oleoresin sekitar 3.9-10.3% yang memberikan warna coklat muda dan lebih encer.
14

Titik didih pelarut yang digunakan untuk ekstraksi perlu dipertimbangkan.


Pelarut yang memiliki titik didih terlalu tinggi memerlukan suhu yang tinggi
ketika proses pemisahan pelarut, sehingga beberapa komponen yang diekstraksi
mengalami degradasi atau ikut menguap dengan pelarutnya. Sebaliknya, pelarut
yang memiliki titik didih yang terlalu rendah dapat mengakibatkan kehilangan
pelarut yang berlebihan melalui penguapan yang secara ekonomis merugikan
(Goldman, 1949).
Menurut Farrel (1990), beberapa keuntungan dari oleorsin antara lain:
bentuknya seragam, lebih higinis, mengandung citarasa yang lengkap seperti
kompenen bahan asalnya, bebas dari bakteri dan kontaminan lain, tidak
mengandung enzim, mengandung antioksidan alami, memiliki umur simpan yang
relatif lama (pada kondisi normal), kehilangan minyak atsiri akibat penguapan
dapat diminimalisir, dan hemat dalam tempat penyimpanan. Sementara beberapa
kerugian dari oleoresin antara lain: mengandung tanin, kemungkinan masih
mengandung pelarut, bersifat viskos (kental) sehingga menyulitkan dalam
penimbangan dan dapat menempel pada wadah penyimpanan (hilang), bersifat
immiscible (tidak larut) sehingga tidak terdispersi dengan baik dalam matriks
makanan, konsentrasinya tinggi, dan citarasanya dipengaruhi oleh sumber dan
kualitas bahan bakunya yang tidak memungkinkan sumber yang sama seperti
bahan yang ingin digantikan.
Komponen utama minyak atsiri jahe adalah seskuiterpen, monoterpen, dan
monoterpen teroksidasi. Beberapa kandungan minyak atsiri jahe yaitu, zingiberen,
kurkumin, borneol, geraniol, dan linalool. Komponen utama minyak atsiri yang
membuat harum adalah zingiberen dan zingiberol. Zingiberen merupakan
seskuiterpen hidrokarbon, sedangkan zingiberol merupakan seskuiterpen alkohol
(Koswara, 1995). Berikut standar baku mutu oleoresin jahe dapat dilihat pada
Tabel 2.3

Tabel 2.3 Standar mutu menurut LPTI dan BP Kimia Bogor


Karakteristik Standar mutu
Minyak Atsiri 1,5 – 3,2
15

Berat jenis 0,8910 – 0,9160

Indeks bias 1,4679 – 1,901


Penampakan dan bau Cokelat tua, kental sekali dengan aroma jahe
(Daryono, 2008)

2.4.1 Sifat Fisika Oleoresin Jahe


Berikut sifat Fisika oleoresin jahe dapat dilihat pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Sifat Fisika oleoresin jahe


Karkteristik Standar
Warna Kuning hingga cokelat pekat kental
Bau Bau khas jahe yang menyengat
Titik Didih 60 – 80 ⁰C
Kelarutan Larut dalam benzyl benzoat, alkohol dengan endapan, air
dengan berbagai perbandigan
Densitas 0,891- 9,160 g/cm3
Nyala tidak mudah terbakar

Indeks Bias 1,4679 – 1,901


(Sabel & Waren, 1973)

2.4.2 Sifat Kimia Oleoresin Jahe

- Larut dalam alkohol dengan berbagai perbandingan dengan endapan


(Santoso, 1989)

2.5 Proses Ekstraksi


Proses ekstraksi merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan
oleoresin. Kesempurnaan proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain ukuran bahan baku, pemilihan pelarut, waktu proses ekstraksi, suhu ekstraksi
da lain-lain (Enymia, 2002). Beberapa faktor yang berpengaruh dalam operasi
ekstraksi adalah sebagai
berikut :
a. Penyiapan bahan sebelum ekstraksi
16

Untuk memudahkan proses ekstraksi perlu dilakukan penyiapan bahan


baku yang meliputi pengeringan bahan dan penggilingan. Sebelum di ekstraksi
bahan harus dikeringkan dahulu untuk mengurangi kadar airnya dan disimpan
pada tempat yang kering agar terjaga kelembabannya. Dengan pengeringan yang
sempurna akan dihasilkan ekstrak oleoresin yang memiliki kemurnian yang
tinggi.
b. Ukuran partikel
Operasi ekstraksi akan berlangsung dengan baik bila diameter partikel
diperkecil. Pengecilan ukuran ini akan memperluas bidang kontak antara jahe
dengan pelarut, sehingga produk ekstrak yang diperoleh pun akan semakin besar.
Sebaliknya ukuran padatan yang terlalu halus dinilai tidak ekonomis karena biaya
proses penghalusannya mahal dan semakin sulit dalam pemisahannya dari larutan.
c. Pelarut
Dalam pemilihan jenis pelarut faktor yang perlu diperhatikan antara lain
adalah daya melarutkan oleoresin, titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar
dan pengaruh terhadap alat peralatan ekstraksi (Gamse, 2002).
d. Metode yang digunakan
Ekstraksi oleoresin dapat dilakukan dengan cara antara lain ekstraksi
dengan cara perkolasi, ekstraksi kontinyu dan ekstraksi cara soklet (batch).
Waktu dan suhu ekstraksi merupakan hal yang berpengaruh dalam ekstraksi
oleoresin jahe ini. Semakin lama waktu ekstraksi dan semakin tinggi suhu maka
jumlah oleoresin yang terekstrak akan semakin banyak (Gaedcke, 2005).
e. Suhu ekstraksi
Semakin tinggi suhu maka jumlah oleoresin yang terekstrak pun semakin
banyak namun juga dapat menyebabkan kerusakan oleoresin yang tidak tahan
pada suhu di atas 45°C (Gaedcke, 2005).
f. Waktu ekstraksi
Waktu ekstraksi merupakan hal yang berpengaruh dalam ekstraksi
oleoresin jahe ini. Semakin lama waktu ekstraksi maka semakin banyak pula
oleoresin yang didapat. Namun waktu yang terlalu lama menyebabkan biaya
operasi semakin tinggi.
17

2.5.1 Jenis Ekstraksi


1. Metode maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi dengan prinsip pencapaian konsentrasi
pada kesetimbangan (dengan perendaman). Mesarasi merupakan metode
sederhana yang paling banyak digunakan. Cara ini sesuai, baik skala kecil maupun
skala industri (Agoes, 2007). Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia
yang mengandung komonen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak
mengandung benzoin, tiraks dan lilin. Keuntungan dari metode ini adalah
peralatannya sederhana. Sedang kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan
untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih
banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras
seperti benzoin, tiraks dan lilin. Metode maserasi dapat dilakukan dengan
modifikasi sebagai berikut : ·
- Modifikasi maserasi melingkar
- Modifikasi maserasi digesti
- Modifikasi maserasi melingkar bertingkat
- Modifikasi remaserasi
- Modifikasi dengan mesin pengaduk
2. Metode Soxhletasi
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan,
cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi
menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia
dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk
sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara
langsung. Digunakan pelarut yang lebih sedikit, pemanasannya dapat diatur.
Sedangkan kerugian dari metode ini yaitu, karena pelarut didaur ulang, ekstrak
yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga
dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas.
Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui
kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam wadah dan
18

membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya. Bila


dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan pelarut
dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti metanol atau air, karena seluruh alat
yang berada di bawah kondensor perlu berada pada temperatur ini untuk
pergerakan uap pelarut yang efektif. Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan
pelarut murni atau campuran azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk
ekstraksi dengan campuran pelarut, misalnya heksan :diklormetan = 1 : 1, atau
pelarut yang diasamkan atau dibasakan, karena uapnya akan mempunyai
komposisi yang berbeda dalam pelarut cair di dalam wadah.
3. Metode Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui
serbuk simplisia yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini adalah tidak
memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari
ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas
dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses
perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien.
4. Metode refluks
Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi
sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung.
Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar dan sejumlah
manipulasi dari operator.
5. Metode destilasi uap
Destilasi uap adalah metode yang popular untuk ekstraksi minyak-minyak
menguap (esensial) dari sampel tanama. Metode destilasi uap air diperuntukkan
untuk menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau mengandung
komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal.

6. Metode Padat-Cair (Leaching)


Ekstraksi padat cair (leaching) biasanya banyak digunakan dalam industri
metalurgialumunium, cobalt, mangan, nikel dan timah. Juga digunakan dalam
industri kopi, minyak kedelai, teh dan juga dalam pembuatan gula. Dasar proses
biologi, inorganik dan substansi organik terjadi dalam campuran dengan
19

komponen yang berbeda dalam solid. Tujuannya adalah untuk memisahkan


campuran solute atau menghilangkan komponen solute yang tidak diinginkan fase
solid, solid dikontakkan dengan fase cair. Dua fase ini dikontakkan dengan
intim dan solute dapat mendifusi dari fase solid ke fase cair yang mana
menyebabkan pemisahan original komponen dalam solid. Proses ini disebut
liquid-solid (leaching) atau leaching sederhana. Istilah ekstraksi juga digunakan
untuk mendeskripsikan unit operasi, meskipun itu juga mengarah pada liquid-
liquid. Dalam leaching ketika komponen yang tidak diinginkan dihilangkan dari
solid dengan menggunakan air, proses ini disebut washing (pencucian).
(Geankoplis, 1993)

2.6 Pelarut
Pelarut dalam proses ekstraksi digunakan untuk memisahkan konsentrat
dari suatu komponen yang diinginkan serta menghilangkan atau mengurangi
konsentrat dari komponen yang tidak diinginkan. Pelarut harus dipilih yang cukup
baik, tidak merusak residu. Pelarut yang digunakan adalah pelarut yang memiliki
viskositas rendah, hal ini bertujuan agar sirkulasi bebas dapat terjadi. Pelarut yang
digunakan untuk mengekstrak bahan pangan harus memiliki kriteria tertentu.
Syarat pelarut yang perlu diperhatikan dalam ekstraksi oleoresin adalah
faktor keamanan dan faktor ekonominya, diantaranya adalah :
a. pelarut memiliki kelarutan yang tinggi pada suhu tinggi, kelarutan yang
rendah pada suhu ruang, karena untuk evaporasi harus terjadi pemisahan
antara minyak dan pelarut.
b. toksisitas (tidak beracun ketika diproses).
c. memiliki selektivitas yaitu keefektifan pelarut dalam melarutkan zat
yang dikehendaki dengan cepat dan juga baik.
d. mudah mengalami penguapan.
e. memiliki sifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen minyak.
f. tidak bereaksi dengan peralatan.
g. tidak mudah meledak.
h. memiliki harga yang terjangkau atau murah.
20

Pelarut yang dapat digunakan dalam ekstraksi oleoresin dari jahe adalah
etanol, n-heksana, etilen dikhlorida, petroleum eter, dan juga aseton (Djubaedah,
1986)
Proses pemisahan pelarut dari hasil ekstraksi bertujuan untuk memisahkan
pelarut dari ekstrak oleoresin dengan cara distilasi (Treybal, 1981). Ekstraksi
padat cair atau leaching adalah proses pengambilan komponen dalam suatu
padatan dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Treybal, 1981).

Interaksi antara solute dengan padatan, solute dengan pelarut dan pelarut
dengan padatan sangat berpengaruh pada proses ekstraksi. Pada proses ekstraksi
ini, dengan adanya pemanasan solute yang terperangkap di dalam padatan mulai
meleleh, bergerak melalui pori-pori padatan. Adanya penambahan pelarut
menyebabkan pori-pori padatan mengembang dan pelarut yang masuk kemudian
melarutkan solute dilanjutkan dengan berdifusi keluar permukaan partikel padatan
dan bergerak ke lapisan film sekitar padatan, untuk selanjutnya ke badan cairan.
Menurut Koswara (1995), Suatu proses ekstraksi biasanya melibatkan tahap-tahap
berikut :
1. Pencampuran bahan ekstraksi dengan pelarut dan membiarkannya saling
kontak. Dalam hal ini terjadi perpindahan massa secara difusi pada bidang
antar muka bahan ekstraksi dengan pelarut. Dengan demikian terjadi
pelarutan ekstrak.
2. Memisahkan larutan ekstrak dan raffinate, yang sering dilakukan dengan
cara penjernihan atau filtrasi.
3. Mengisolasi ekstrak dari larutan ekstrak dan mendapatkan kembali pelarut,
umumnya dilakukan dengan menguapkan pelarut. Dalam hal-hal tertentu,
larutan ekstrak dapat langsung diolah setelah dipekatkan.
Pada tahapan ekstraksi memerlukan pelarut yang digunakan untuk
ekstraksi oleoresin jahe dimana harus memiliki selektivitas yang tinggi dan aman
sesuai standar makanan serta farmasi. Dalam hal ini digunakan etanol sebagai
pelarut karena etanol memiliki kemampuan mengekstrak yang sangat baik dan
aman dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit menurut standar Federal Food, Drug
21

and Cosmetic Regulation. Disamping itu, ukuran partikel padatan merupakan


faktor yang berpengaruh dalam ekstraksi. Semakin kecil ukuran partikel maka
luas permukaan bidang kontak. Menurut Gamse (2002), Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut, yaitu :
a. Sifat pelarut, terdiri dari :
- Selektivitas
- Koefisien dan Densitas
- Tegangan antar permukaan
- Kemudahan pengambilan kembali pelarut
- Keaktifan secara kimia
b. Jumlah pelarut
Semakin banyak jumlah pelarut semakin banyak pula jumlah produk yang
akan diperoleh, hal ini dikarenakan :
- Distribusi partikel dalam pelarut semakin menyebar, sehingga memperluas
permukaan kontak.
- Perbedaan konsentrasi solute dalam pelarut dan padatan semakin besar.
Pemilihan jenis pelarut faktor yang perlu diperhatikan antara lain adalah
daya melarutkan, titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan pengaruh
terhadap alat peralatan ekstraksi.

2.7 Etanol (C2H5OH)


Etanol adalah senyawa yang terbentuk dari karbon, hidrogen dan oksigen
dengan rumus kimia C2H5OH (Lavoiser, Saussure, 1808). Etanol merupakan
cairan yang tidak berwarna, dan mudah menguap merupakan salah satu alkohol
yang sifat-sifatnya dipengaruhi gugus hidroksil. Merupakan pelarut yang
serbaguna, larut dala air dan pelarut organik lainya karena etanol mempunyai
polaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstrak lebih banyak dibandingkan jenis
pelarut organik yang lain. Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan
karbonil (keton) termasuk dalam pelarut polar. Etanol mempunyai titik didih yang
rendah dan cenderung aman. Etanol juga tidak beracun dan berbahaya.
22

Kelemahan penggunaan pelarut etanol adalah etanol larut dalam air, dan
juga melarutkan komponen lain seperti karbohidrat, resin dan gum. Larutnya
komponen ini mengakibatkan berkurangnya tingkat kemurnian oleoresin.
Keuntungan menggunakan pelarut etanol dibandingkan dengan aseton yaitu etanol
mempunyai kepolaran lebih tinggi sehingga mudah untuk melarutkan senyawa
resin, lemak, minyak, asam lemak, karbohidrat, dan senyawa organik lainnya
( Gamse, 2002).
2.7.1 Sifat Fisika Etanol
Berikut sifat Fisika Etanol dapat dilihat pada Tabel 2.5
Tabel 2.5 Sifat Fisika Etanol
Karkteristik Standar
Warna Bening atau tidak berwarna
Bau Bau khas yang menyengat
Titik Didih 78,29 ⁰C
Kelarutan Larut dalam air dan eter
Densitas 0,789 g/cm3
Nyala Mudah terbakar (flammable)

Indeks Bias 1,361


(Perry, 1999)
2.7.2 Sifat Kimia Etanol
- Pelarut yang baik untuk senyawa organik
- Larut dalam air dan eter
- Jika reaksikan dengan asam karboksilat menghasilkan air dan eter
- Dehidrogenasinya menghasilkan asetaldehid

2.8 Aseton (C3H6O)


2.8.1 Sifat Fisika Aseton
Berikut sifat Fisika Aseton dapat dilihat pada Tabel 2.6
Tabel 2.6 Sifat Fisika Aseton
Karkteristik Standar
Warna Bening atau tidak berwarna
23

Bau Bau khas yang menyengat

Titik Didih 56,29 ⁰C


Kelarutan Larut dalam air dengan berbagai perbandingan
Densitas 0,783 g/cm3
Nyala Mudah terbakar (flammable)
Indeks Bias 1,358
(Kirk &Othmer, 1983)

2.8.2 Sifat Kimia Aseton


- Aseton dapat dikondensasi dengan asetilen membentuk 2-metil 3-
butinaldiol, suatu intermediate untuk isoprena.
- Dengan hidrogen sianida dalam kondisi basa akan menghasilkan aseton
sianohidrin.
(Kirk & Othmer, 1983)

2.9 Indeks Bias


Pengukuran indeks bias dalam industri dapat digunakan untuk menemukan
parameter fisik berupa konsentrasi, suhu, tekanan, dan lain-lain (Govinda et al,
2009). Menurut (Bojan et al 2007) indeks bias larutan adalah parameter
karakteristik yang sangat penting dan beberapa parameter terkait seperti suhu,
konsentrasi dan lain-lain dapat diperkirakan dari itu. Indeks bias suatu zat
merupakan ukuran kelajuan cahaya di dalam zat cair dibanding ketika di udara.
(Mudarka et al, 2010)

2.10 Penelitian sebelumnya


Penulis/tahun/judul Metode Hasil
Bahan baku berupa 3 jenis jahe Rendemen
Difa Fathona / 2011/
segar yang berbeda diiris tipis oleoresin jahe
Knadungan gingerol
dan shogaol, intensitas lalu dioven dan dijadikan berturut-turut dari
kepedasan dan
bubuk jahe dengan cara yang terbesar
penerimaan panelis
terhadap oleorsin jahe diblender, setelahnya di hingga yang
gajah Zingiber
ekstraksi menggunakan terkecil
officinale var. Rosc),
24

jahe emprit (Zingiber metode ekstraksi adalah jahe emprit


officinale var.
mesari( perendaman ) selama 12.52%, jahe merah
Amarum), dan jahe
merah (Zingiber 72 jam menggunakan pelarut 11.35%, dan jahe
officinale var. Rubrum)
etanol 96% dan di rotari gajah 2.02%.
dengan kecepatan 80 rpm. Rendemen
Dengan perbandingan tiap oleoresin jahe gajah
jenis bubuk jahe dan etenol paling rendah
1:4. Pelarut kemudian di diantara ketiga jenis
pisahkan dari oleoresin dengan jahe karena
menggunakan vakum rendemen jahe
evaporator pada suhu 50⁰C gajah
hingga tidak tersisah etanol. bubuk sangat
rendah.
Ahmad Eka /2010 Penelitian dilakukan dengan Hasil penelitian
/Pengaruh konsentrasi metode ekstraksi menunjukkan
etanol, suhu dan jumlah menggunakan pelarut bahwa rendemen
stage pada ekstraksi campuran ekstraksi tertinggi
oleoresin jahe etanol-air secara batch. Selain dapat diperoleh
(Zingiber officinale itu, suatu model matematik dengan
juga diusulkan untuk mewakili menggunakan
Rosc) secara batch
fenomena ekstraksi oleoresin etanol 99,8 %
jahe dari butir rimpang jahe sebagai pelarut
kering dengan pelarut pada suhu 40
campuran o

etanol dengan air. Variabel C selama 6 jam,


tetap yang digunakan dalam yakni
penelitian ini adalah ukuran sebesar 12,65%.
partikel jahe 0,5mm, kecepatan Selain itu, ekstraksi
pengadukan 450 rpm, waktu oleoresin jahe akan
ekstraksi 6 jam dan lebih efektif jika
perbandingan berat pelarut hanya
dengan bubuk jahe sebesar menggunakan 1
7,5 : 1. Sedangkan variabel stage ekstraksi.
berubahnya adalah suhu
o o
ekstraksi (30 C, 35 C dan 40
o
C), konsentrasi etanol (80, 85,
90, 95 dan 99,8 % (b/b)) dan
jumlah stage.

Faleh Setia Budi /2009/ Pada penelitian ini, variasi Kondisi optimum
25

Pengambilan Oleoresin yang digunakan adalah suhu yang terbaik untuk


dari ampas jahe ( hasil
dan waktu ekstraksi dengan menghasilkan
samping penyulingan)
Dengan propses sampel ampas jahe dari oleoresin dari
ekstraksi penyulingan dan pelarut n- ampas jahe adalah
hexane. Adapun variasi suhu pada waktu
yaitu 30°C, 60°C dan waktu 2 ekstraksi selama 5,5
dan 6 jam. jam dengan suhu 6
jam.

Anda mungkin juga menyukai