Anda di halaman 1dari 5

BAMBU KUNING

2.1 Taksonomi dan Morfologi Bambu Kuning Bambu kuning merupakan tumbuhan yang berasal dari Dunia Lama, khususnya dari kawasan Asia tropis. Jenis ini diyakini sebagai bambu yang paling banyak dibudidayakan di seluruh penjuru kawasan tropis dan subtropis. Dikawasan Asia Tenggara, bambu jenis ini banyak dibudidayakan dan kadang tumbuh dimana saja. Di Indonesia bambu ini banyak terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sulawesi (LIPI, 1977). Bambusa vulgaris Schrad ini memiliki 2 varietas yaitu yang hijau dan yang kuning. Kedua varietas ini memiliki nama daerah masing-masing, varietas yang hijau secara umum di Indonesia disebut bambu ampel; pring amper, aor, haor di Jawa; awi ampel, aor, haor untuk di Sunda; gurung di Manggarai; guru di Bajawa; oo todo di Bima; au dian di Tetun. Sedangkan varietas yang kuning di Indonesia sering disebut bambu kuning; pring kuning di Jawa; awi koneng, haor koneng di Sunda; oo muncar dio Bima;dan tiying gading di Bali (Widjaja, 2001 ). Habitat tumbuhnya di daerah yang sangat kering dan lembab dan dapat tumbuh pula pada daerah yang tergenang air 2-3 bulan (Widjaja, 2001). Bambu kuning sangat mudah beradaptasi di tanah marjinal atau di sepanjang sungai, tanah genangan, pH optimal 5-6,5, serta di daerah-daerah pada ketinggian 1200 m dpl (meter diatas permukaan laut), paling baik pada dataran rendah. Oleh karenanya jenis ini tidak jarang dijumpai di pematang sawah. Jika bambu kuning dipotong dengan mudah dapat tumbuh kembali. Perbanyakan bambu dapat dilakukan dengan menggunakan rhizoma, stek cabang atau batang, cangkok dan kultur jaringan. Dan cara penanaman yang paling baik ialah dengan rimpangnya. Buluh bambu ini sangat kuat namun demikian jenis bambu ini tidak tahan terhadap serangan serangga pengerek batang. Bambu kuning memiliki rumpun simpodial tidak rapat dan tidak teratur serta tumbuh tegak (Soedjono, 1991). Dalam tata nama atau sistematika (taksonomi) tanaman bambu kuning dimasukkan dalam klasifikasi sebagai berikut, menurut Morisco, 2005 antara lain sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionata (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu/ monokotil) Sub-kelas : Commelinidae Ordo : Poales Familia : Poaceae (suku rumput rumputan) Genus : Bambusa Spesies : Bambusa vulgaris Schrad Secara morfologi, bagian bagian tanaman bambu kuning menurut Widjaja, 2001 dapat dideskripsikan sebagai berikut : 2.1.1 Akar Akar rimpang terdapat di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Bagian pangkal akar rimpangnya lebih sempit daripada bagian ujungnya dan setiap ruas mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang ini akan berkembang menjadi rebung yang kemudian memanjang dan akhirnya menghasilkan buluh.

2.1.2 Rebung Rebung kuning tertutup bulu coklat hingga hitam pada bagian ujungnya berwarna kekuningan hingga hijau. Tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh yang keluar. Rebungnya dapat dikonsumsi sebagai sayuran. Biasanya rebung ini segera dipotong atau diambil segera setelah tumbuh, sebab pertumbuhannya cepat, sehingga dengan cepat pula rebung ini akan menjadi buluh muda. Rebung dapat dipanen 1 minggu setelah keluar dari permukaan. Dalam waktu 2 minggu buluh yang muda dapat mencapai 4 m tingginya. 2.1.3 Buluh Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi maksimum dalam beberapa minggu. Tinggi buluh mencapai 15 m dan 20 m dengan garis tengah sampai 10 m. Buluhnya tegak atau agak condong. Buluhnya berwarna kuning, hijau bertotol coklat, hijau mengkilat atau kuning bergaris hijau. Permukaan batang licin dilapisi lilin ketika muda. 2.1.4 Pelepah buluh Pelepah buluh merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas yang terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula. Pelepah buluhnya ditutupi oleh bulu hitam yang berangsurangsur menjadi gugur demikian juga pelepah buluhnya mudah gugur, kuping pelepah buluh membulat dengan ujung melengkung keluar, tinggi mencapai 2 cm, dengan panjang bulu kejur mencapai 3-8 cm, liguna menggerigi, tinggi 3-4 mm dengan panjang mencapai 3 mm pada tepinya, daun pelepah buluh tegak menyegitiga dengan bagian pangkal melebar. 2.1.5 Percabangan Percabangan umumnya terdapat di atas buku-buku. Cabang dapat digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu. Percabangan 1,5 m di bawah permukaan tanah, setiap ruas terdiri atas 2-5 cabang dengan satu cabang lebih besar daripada cabang lainnya yang merupakan cabang primer. Letak cabang berselang-seling. 2.1.6 Helaian Daun Helaian daun berukuran 9 30 x 1 4 cm, gundul, kuping pelepah buluh kecil, tinggi 1 mm dengan bulu kejur yang pendek 1 2 mm; ligula rata, tinggi 1 12 mm.

Gambar 2.1 Morfologi Tanaman Bambu Kuning ( Widjaja, 2001 ) Keterangan : a. Akar b. Rebung c. Buluh d. Pelepah Buluh e. Percabangan f. Helaian Daun

2.2 Etnobotani Bambu Kuning Istilah etnobotani sendiri pertama kali dikemukaan oleh Harshberger yaitu pada tahun 1895 (Waluyo, 2004) beliau memberikan batasan bahwa etnobotani adalah ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat primitif. Selain itu etnobotani merupakan istilah ilmu pengetahuan yang mempelajari pengetahuan tradisional masyarakat lokal tentang tumbuhan dan pemanfaatannya (Matoa, 2007). Pada museum Etnobotani disimpan sekitar 1600 hingga 2000 koleksi mulai dari bahan pangan, sandang, papan, obat-obatan tradisional, alat rumah tangga, alat transportasi, alat pengolah pertanian, perikanan, alat musik, sarana upacara adat, mainan anak, dan juga kosmetik tradisional yang keseluruhan berbahan dasar tumbuh-tumbuhan. Demikian pula dengan etnobotani bambu kuning telah dikenal sejak dahulu, diantaranya dimanfaatkan, antara lain: 2.2.1 Dalam bidang kesehatan (untuk pengobatan) Dari hasil penelitian yang pernah di lakukan di oleh Sangat Roemantyo dan Riswan (1990) yang telah melakukan inventarisasi terhadap tumbuhan obat di Jawa menyatakan bahwa di pulau Jawa ditemukan kurang lebih 151 jenis tumbuhan sebagai sumber obat obatan yang tergolong dalam 125 marga dan 57 suku tumbuhan obat. Kebanyakan jenis-jenis tersebut merupakan bahan jamu/obat dan kosmetika tradisonal. Dilaporkan pula ada beberapa jenis yang memang sudah sulit ditemukan. Dari survai bahan jamu/obat yang dilakukan di beberapa pasar di Yokyakarta dan Surakarta pada bulan Desember 1993, terdapat 115 jenis tumbuhan yang ditemukan dijual di pasar baik dalam bentuk material yang telah dikeringkan maupun dalam

kondisi yang masih segar. Di Maluku terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Salah satunya adalah bambu kuning yang dapat dimanfaatkan sebagai obat penyakit kuning yaitu dengan memanfaatkan bagian tumbuhan bambu kuning yaitu bagian tunas muda. 2.2.2 Dalam bidang industri Bagian batang atau cabang atau buluh tanaman bambu kuning dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, pagar, jembatan, alat angkutan (rakit), pipa saluran air, dan berbagai kebutuhan rumah tangga. Selain itu bambu kuning juga dapat menghasilkan bubur kayu yang baik untuk bahan pembuat kertas (Bumi Mandiri Center, 2008). 2.2.3 Untuk upacara keagamaan Menurut Ida Bagus Sudarsana batang dari bambu kuning dapat digunakan sebagai sarana upakara dalam upacara yadnya di Bali salah satunya dalam pembuatan bale gading yang berperan sebagai Stana Sang Hyang Semara Ratih dalam upacara potong gigi (mepandes) pada Manusa Yadnya. Dalam Pitra Yadnya bambu kuning dimanfaatkan sebagai tunjang (juan) saat ngangget don bingin (memetik daun beringin) dalam upacara nyekah, dan sebagai tumpang salu dalam upacara ngaben. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai batang penjor dalam upacara Dewa Yadnya pada rangkaian upacara Ngenteg Linggih. 2.3 Upacara Upacara berasal dari kata Sansekerta Upa yang artinya berhubungan dengan dan Cara yang berasal dari kata Car yang berarti gerak kemudian mendapat akhiran ran : a menjadi kata benda yang berarti gerakan atau aktivitas. Upacara adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan atau kegiatan, atau dalam kata lain, Upacara adalah gerakan (pelaksanaan) daripada salah satu yadnya (Surayin, 2005). Upacara adalah lapisan paling luar dari agama. Kegunaan upacara dalam agama, selain untuk mewujudkan agama dalam kehidupan namun juga untuk memantapkan perasaan batin dalam memuja Hyang Widhi. Upacara juga berarti yadnya (Purwita, 1992). Menurut Surayin, 2005 umat Hindu di Bali sudah mengenal ada lima jenis Upacara Yadnya yang disebut dengan Panca Yadnya antara lain: 2.3.1 Dewa Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan untuk Ida Sang Hyang Widhi. 2.3.2 Rsi Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan untuk para Rsi. 2.3.3 Manusa Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan untuk Manusia. 2.3.4 Pitra Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan untuk para Leluhur. 2.3.5 Bhuta Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan kepada Bhuta. 2.4 Upacara Potong Gigi Upacara potong gigi merupakan salah satu rangkaian dari upacara Manusa Yadnya yang patut dilaksanakan oleh setiap umat Hindu sebelum seseorang menempuh kehidupan Grhastha (Purwita,1992 ). Bila ditinjau dari etimologi, kata Manusa Yadnya sendiri berasal dari dua kata yaitu Manusa dan Yadnya, kata Manusa yang berarti manusia. Sedangkan Yadnya berarti korban suci yang dilakukan dengan tulus ikhlas dan merupakan salah satu kewajiban bagi Umat Hindu. Jadi Upacara Manusa Yadnya adalah merupakan suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir dan bathin, serta memelihara secara rohaniah hidup manusia ( Surayin,2005 ). Di dalam lontar Dharma Kahuripan, Ekapratama dan rontal Puja Kalapati upacara potong gigi disebut atatah. Dan dalam kehidupan umat Hindu di Bali, disebut Masangih, Matatah, dan Mepandes. Istilah matatah dalam rontal pustaka berasal dari kata tatah yang berarti pahat. Istilah metatah ini dihubungkan dengan suatu tata cara pelaksanaan upacara potong gigi yaitu kedua gigi taring dan empat gigi seri dirahang atas dipahat tiga kali secara simbolik yang merupakan simbol untuk mengurangi Sad Ripu sebelum adanya pengasahan gigi

hal inilah yang memunculkan istilah metatah (Purwita, 1992 ).

Anda mungkin juga menyukai