Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH KERAJAAN GOWA – TALLO


SULAWESI SELATAN

Oleh
Dewi Gadhiza Arfiah Biki
Kelas X E

MADRASAH ALIYAH NEGERI MODEL 1 PLUS KETERAMPILAN


M A N A D O
TAHUN 2023
A. Sejarah Kerajaan Gowa - Tallo
Di Sulawesi Selatan pada abad ke 16 terdapat beberapa kerajaan mandiri
diantaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo, dan Sidenreng. Setiap kerajaan tersebut
membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah
Kerajaan Gowa dan Tallo. Keduanya membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga
melahirkan apa yang lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan
Makassar. Raja Gowa, Daeng Manrabia menjadi raja bergelar Sultan Allaudin dan Raja
Tallo, Karaeng Mantoaya menjadi perdana menteri bergelar Sultan Abdullah karena pusat
pemerintahannya terdapat di Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut sebagai
Kerajaan Makassar. Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan
sekitarnya.
Karena posisinya yang strategis diantara wilayah barat (Malaka) dan timur
nusantara (Maluku), Makassar menjadi bandar pertama untuk memasuki Indonesia Timur
yang kaya rempah-rempah. Kerajaan ini memiliki pelaut-pelaut tangguh yang
memperkuat barisan pertahanan Laut Makassar
Kesultanan ini disebut-sebut kaya akan beras, bahan-bahan makanan lainnya,
daging, dan kapur barus hitam. Mereka memasok barang dagangan dari luar, antara lain
jenis pakaian dari cambay, bengal, dan keling. Dan penemuan banyak jenis keramik dari
asal Dinasti Sung dan Ming di daerah Sulawesi Selatan juga membuktikan kerajaan ini
telah menjalin hubungan dagang dengan Cina.

B. Perkembangan Kerajaan Gowa Tallo


Pada awalnya, Kerajaan Gowa – Tallo yang lebih dikenal sebagai Kerajaan Makassar
terdiri dari beberapa kerajaan yang bercorak Hindu, antara lain, Gowa, Tallo, Wajo, Bone,
Soppeng, dan Luwu. Dengan adanya dakwah dari Dato'ri Bandang dan Dato' Sulaiman,
Sultan Alauddin (Raja Gowa) masuk Islam. Setelah raja memeluk Islam, rakyat pun segera
ikut memeluk Islam.
Kerajaan Gowa dan Tallo kemudian menjadi satu dan lebih dikenal dengan nama
Kerajaan Makassar dengan pemerintahannya yang terkenal adalah Sultan Hasanuddin
(1653 – 1669). Ia berhasil memperluas pengaruh Kerajaan Makassar sampai ke Matos,
Bulukamba, Mondar, Sulawesi Utara, Luwu, Butan, Selayar, Sumbawa, dan Lombok.
Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan menjadi bandar transito di
Indonesia bagian timur pada waktu itu. Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan dari
Timur. Karena keberaniannya dan semangat perjuangannya, Makassar menjadi kerajaan
besar dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya.

a) Kondisi Sosial Politik Kerajaan Gowa Tallo


Pada awal abad ke 16, datanglah Dato’ ri Bandang, Ulama Islam dari Sumatera
Barat. Ia menyebarkan ajaran Islam di makassar. Raja Makassar, Daeng Manrabia
memeluk agama Islam, dan namanya diubah menjadi Sultan Alauddin. Dibawah
pemerintahannya ( Pemerintah 1591-1638) Kesultanan Makassar berkembang menjadi
Negara Maritim yang kuat. Pada masa ini pula orang mulai mengenal jenis perahu layar
Lambo dan Pinisi Kerajaan mencapai puncaknya pada masa Sultan Muhammad Said
(1639-1653) dan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Kedua Sultan ini membawa Makassar
sebagai daerah dagang yang maju. Wilayah kekuasaannya meluas sampai ke Fores dan
Pulau Solor di Nusa Tenggara. Secara khusus dibawah Hasanuddin, kerajaan- kerajaan
kecil di sekitar Makassar seperti Kerajaan Wajo, Bone, Luwu, dan Sopeng berhasil dikuasai

b) Kerajaan Gowa Tallo dari segi Ekonomi dan Sosial Budaya


Kerajaan ini memperoleh kemajun ekonomi yang amat pesat, terutama dibidang
perdagangan. Kemajuan di bidang perdagangan ini disebabkan antara lain :
- Banyak pedagang hijrah ke Makassar setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis
pada tahun 1511.
- Orang-orang Makassar dan Bugis terkenal sebagai pelaut ulung yang dapat
mengamankan wilayah lautnya.
- Tersedia banyak rempah-rempah (dari Maluku).

Makassar berkembang sebagai pelabuhan internasional. Banyak oedagang asing seperti


Portugis, Inggris, Denmark datang berdagang di Makassar dengan tipe perahunya seperti
pinisi dan lombo, pedagang-pedagang Makassar memegang peran penting dalam
perdagangan di Nusantara, meski akhirnya untuk itu harus terlibt perang dengan VOC.
Sementara itu, untuk menjamin dan mengatur perdagangan dan pelayaran di wilayahnya,
Makassar mengeluarkan UU dan hukum perdagangan yang disebut Ade Allopiloping
Bacanna Pabalue, yang dimuat dalam buku Lontana Amanna Coppa.
Meski memiliki kebebasan dalam mencapai kesejahteraan hidup, dalam kehidupan
sosial sehari-hari mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral.
Norma kehidupan sosial Makassar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut
Pangadakkang. Selain norma tersebut, masyarakat Makassar juga mengenal pelpisan
sosial; lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut
“Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to maradeka”, dan
masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut golongan “ata”.
Mengingat statusnya sebagai negara maritim, sebagian besar kebudayaannya
bercorak maritim. Hasil kebudayaannya yang terkenal adalah perahu pinisi. Perahu-
perahu ini berlayar tidak saja berlayar di perairan Indonesia, tapi juga sampai ke
mancanegara.

c) Hubungan antara VOC dengan Kerajaan Gowa Tallo


Pada masa pemerintahan Hasanuddin, Kesultanan Gowa Tallo terlibat perang besar
dengan VOC, yang terkenal dengan nama Perang Makassar Perang ini termasuk perang
terbesar yang dialami oleh VOC abad ke abad ke-17. Perang tersebut dilatar belakangi
cita-cita Hassanudin menjadikan Makassar pusat kegiatan perdagangan di Indonesia
bagian Timur. Hal ini mengancam aktivitas ekonomi Belanda. Pertama bagi Belanda
kehadiran kesultanan, Gowa Tallo saja mengancam lalu lintas perdagangan mereka dari
Maluku ke Batavia. Kedua, rencana Hasanuddin mengancam eksistensi dan penguasaan
ekonomi mereka di Maluku. Sudah lama Belanda yang merasa berkuasa atas Maluku
sebagai seumber rempah-rempah menganggap Makassar sebagai pelabuhan gelap karna
ikut juga memperjual belikan rempah-rempah dari Maluku.
Diawali perlucutan dan perampasan terhadap armada Belanda di Maluku oleh
pasukan Hasanuddin, Belanda kemudian menyerang Makassar setelah sebelumnya
mendapat kepastian bantuan dari Sultan Bone, Aru Palaka. Aru Palaka bersedia
membantu Belanda tetapi Sempat terdesak, Belanda akhirnya berhasil memaksa
Hasanuddin menyepakati Perjanjian Bongaya pada tahun 1667, yang isinya :
▪ VOC (Serikat dagang Belanda) memperoleh monopoli perdagangan di Makassar.
▪ Belanda mendirikan benteng di Makassar (kelak bernama benteng Rotterdam).
▪ Makassar melepaskan daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau disekitar
Makassar.
▪ Makassar mengakui Aru Palaka sebagai raja Bone.
Keberanian Hasanuddin memorak-porandakan pasukan Belanda di Maluku membuatnya
mendapat julukan “Ayam Jantan Dari Timur”.
Sepeninggal Hasanuddin, Makassar dipimpin oleh putranya bernama Mapasomba.
Sama seperti ayahnya, sultan ini menentang kehadiran Belanda di Makassar, bahkan lebih
keras. Konon, sultan Hasanuddin menasehati Mapasomba agar dapat bekerjasama
dengan Belanda dengan tujuan menjamin eksistensi Kesultanan Makassar. Namun,
Mapasomba gigih pada tekadnya : Mengusir Belanda dari Makassar. Sikapnya yang keras
dan tidak mau bekerja sama menjadi alasan Belanda mengerahkan pasukan secara besar-
besaran. Pasukan Mapasomba berhasilkan dihancurkan dan Mapasomba sendiri tidak
diketahui nasibnya. Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas Kesultanan Makassar.

C. Runtuhnya Kerajaan Gowa Tallo


Daerah kekuasaan Makassar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia timur
dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada
dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan
oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hungan antara Batavia (pusat
kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya Kerajaan Makassar.
Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara sultan Hasanuddin dengan
VOC. Bahkan menyebabkan terjadinya perperangan, perperangan tersebut terjadi
didaerah Maluku.
Dalam perperangan melawan VOC, Sultan Hasanuddin memimpin sendiri
pasukannya untuk memporak-porandakan pasuka Belanda di maluku. Akibatnya
kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasanuddin tersebut maka
Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda
untuk mengakhiri perperangan dengan Makassar yaitu dengan melakukan politik adu
domba antara Makassar dengan Kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makassar). Raja Bone
yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makassar meminta bantuan kepada VOC untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Makassar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu
dengan VOC untuk menghancurkan Makassar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota Kerajaan
Makassar. Dan secara terpaksa Kerajaan Makassar harus mengakui kekalahannya dan
menandatangani perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan
Kerajaan Makassar.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makassar terhadap
Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasanuddin yaitu Mapasomba
(Putera Hasanuddin) meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk mengahadapi
perlawanan Rakyat Makassar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran.
Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya Kerajaan Makassar, dan Makassar atau
Kerajaan Gowa Tallo mengalami kehancuran.

D. Peninggalan Kerajaan Gowa – Tallo


Gowa-Tallo adalah sebuah kerajaan kembar kesultanan yang berpusat di
daerah Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa-Tallo sendiri berpusat di kabupaten Gowa dan
beberapa wilayah yang ada di sekitarnya. Kerajaan yang sempat menempati puncak
kejayaannya pada abad ke-17 ini merupakan salah satu kerajaan di tanah air yang
mengadopsi Islam sebagai agama resmi.
Meski kerajaan ini sudah tidak ada, namun sisa-sisa peninggalannya masih bisa
masyarakat tanah air lihat hingga saat ini. Berikut beberapa peninggalan dari Kerajaan
Gowa-Tallo :

1. Ford Rotterdam
Salah satu peninggalan bersejarah yang cukup mengagumkan dari kerajaan Gowa-
Tallo adalah Ford Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang. Ford Rotterdam adalah
sebuah benteng yang
dibangun oleh I Manrigau
Daeng Bonto Karaeng
Lakiung, yaitu Raja Gowa
ke-9 pada tahun 1545. Fort
Rotterdam sendiri terletak
di pesisir pantai sebelah
barat Makassar.
Dahulu kala benteng yang
dikenal dengan sebutan Benteng Panyyua oleh masyarakat setempat berfungsi sebagai
markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Nama Panyyua sendiri diambil karena bentuk
bentengnya yang mirip dengan seekor penyu yang hendak turun ke lautan.
2. Balla Lompoa
Balla Lompoa atau
rumah besar adalah sebuah
istana tempat tinggal sultan
Gowa. Istana yang berdiri di
atas lahan seluas sekitar 3
hektar ini merupakan salah
satu peninggalan kerajaan
Gowa-Tallo yang masih
berdiri hingga saat ini.
Balla Lompoa dibangun setelah diangkatnya Raja Gowa XXXV, I Mengimingi Daeng
Matutu, Karaeng Bontonompo yang bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin pada
tahun 1936. Balla Lompoa terletak di Jalan Sultan Hasanuddin No 48, Kota Sungguminasa,
Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.

3. Masjid Katangka
Peninggalan kerajaan Gowa-Tallo selanjutnya adalah Mesjid Katangka yang
bernama asli Masjid Al-Hilal. Mesjid Katangka merupakan masjid tertua yang berada di
provinsi Sulawesi Selatan,
tepatnya di Kelurahan
Katangka, Kecamatan Somba
Opu, Kabupaten Gowa.
Mesjid yang sempat digunakan
oleh kesultanan Gowa sebagai
benteng pertahanan ketika
melawan penjajah ini memiliki
desain unik perpaduan Jawa-Eropa-China. Menurut sebuah prasasti, mesjid yang berdiri
di tanah seluas 150 meter ini dibangun pada tahun 1603. Namun, tak sedikit pula para
peneliti yang menyebutkan bahwa bangunan bersejarah itu dibangun pada awal abad ke-
18.
4. Kompleks Makam Katangka

Kompleks Makam Katangka merupakan situs pemakaman raja dari kesultanan


Gowa. Makamnya sendiri berada di area sekitar halaman masjid Katangka yang terletak
di kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Di makam ini diketahui
terdapat 71 buah makam kuno dengan 112 nisan yang terdiri dari 76 nisan berbentuk
pipih, 31 nisan berbentuk silindris dan 4 berbentuk balok polos. Nama Katangka sendiri
diambil dari bahasa Makassar Tangkasa atau berarti kampung suci.

5. Masjid Jami ‘Nurul Mu’minin


Masjid Nurul Mukminin adalah masjid kuno yang terletak di Kecamatan
Panakkukang jalan Urip Sumoharjo, kota Makassar. Dahulu masyarakat menyebut mesjid
ini dengan nama Karuwisi. Masjid ini dibangun pada tahun 1924 oleh sang pemilik mesjid
yang bernama H. Kawari.
Pada awalnya mesjid yang
dirancang oleh H. Andi Cincin
Karaeng Lengkese ini digunakan
untuk kegiatan peribadatan
keluarga. Namun, sejak 1995 masjid
Nurul Mukminin pun kemudian
berubah menjadi milik masyarakat
umum yang ada di sekitar masjid. Sebelum renovasi, Masjid Nurul Mukminin sendiri
dikenal memiliki ciri khas dua menara kembar yang mengapit serambi depan mesjid.
6. Masjid Jongaya (Babul Firdaus)
Salah satu mesjid tertua
selanjutnya yang menjadi
peninggalan kerajaan Gowa-Tallo
adalah Masjid Jongaya atau Babul
Firdaus. Mesjid yang dibangun pada
1893 Masehi di Sulawesi Selatan ini
berada di Jalan Kumala, Kelurahan
Jongaya, Kecamatan Tamalate, Kota
Makassar. Babul Firdaus sendiri adalah masjid ketiga yang dibangun oleh Kesultanan
Gowa, setelah Masjid Katangka dan Masjid Taeng. Dahulu kala Masjid Babul Firdaus ini
digunakan sebagai tempat untuk memperdalam ilmu agama dan juga digunakan sebagai
tempat pertemuan raja-raja dalam rangka mengatur strategi menghadapi para
penjajahan Belanda.

7. Makam Syekh Yusuf Tajul Khalwati


Salah satu peninggalan yang
bisa kita lihat lainnya adalah makan
Syekh Yusuf Tajul Khalwati. Selain
pernah berjuang mempertahankan
tanah air dari para penjajah
Belanda, Syekh Yusuf Tajul Khalwati
merupakan tokoh ulama yang telah
berjasa menyebarkan agama
Islam di Kerajaan Gowa. Makam
Syekh Yusuf terletak tidak jauh dari Benteng Somba Opu yang dibangun oleh Daeng
Matanre Karaeng Tumapa.
Shekh Yusuf diketahui wafat pada 23 Mei 1699 di wilayah bernama Kaap yang
berada di Afrika Selatan. Sementara proses pemakamannya sendiri dilakukan di Lakiung,
Kabupaten Gowa pada tanggal 6 April 1705. Kini makam Shekh Yusuf telah menjadi salah
satu situs cagar budaya yang berada di kabupaten Gowa.
8. Batu Pallantikang
Batu Petantikan raja atau batu
Pallantikang adalah peninggalan
kerajaan Gowa yang juga masih bisa kita
lihat hingga saat ini. Konon, Batu
Pallantikang merupakan tempat
mengikrarkan sumpah para Raja
penguasa Kerajaan Gowa-Tallo. Batu ini
terletak di sebelah tenggara kompleks pemakaman Tamalate. Batu Pallantikang
merupakan batu yang terbentuk secara alami. Batu ini terdiri dari dua jenis batuan, yaitu
satu batuan andesit dan dua batu kapur. Batu Andesit merupakan batu yang sering
digunakan dalam ritual para penganut animisme. Masyarakat yang hidup pada masa
tersebut pun mempercayai bahwa batu tersebut adalah batu keramat dari khayangan.

9. Benteng Somba Opu


Benteng Somba Opu adalah
benteng peninggalan dari Kesultanan
Gowa. Benteng ini dibangun oleh
Daeng Matanre Karaeng Tumapa ‘risi'
Kallonna, yaitu Raja Gowa ke-9 yang
dibangun pada abad ke-16. Benteng
Somba Opu berlokasi di Jalan Daeng
Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan. Dahulu kala, Benteng Somba Opu pernah menjadi pusat perdagangan sebelum
akhirnya dikuasai oleh penjajah VOC pada tahun 1669 dan ditemukan kembali pada tahun
1980 setelah sebelumnya tenggalam oleh air laut.
10. Benteng Tallo

Peninggalan kerajaan Gowa-Tallo lainnya yang juga cukup menarik adalah benteng
Tallo yang berada di muara sungai Tallo. Benteng yang memilliki luas sekitar 2 kilometer
diperkirakan memiliki tebal dinding mencapai 260 cm. Benteng Tallo sendiri kemudian
dihancurkan setelah perjanjian Bongaya pada tahun 1667.
Meski bangunannya sudah tidak berbentuk, namun masyarakat sendiri masih bisa
melihat sisa-sisa reruntuhan batuan yang tersebar di wilayah tersebut. Masyarakat sendiri
kerap memanfaatkan batuan tersebut untuk beberapa keperluan. Sementara sisanya
masih bisa kita lihat dalam bentuk fondasi yang mengelilingi makam raja-raja Tallo.
E. Kesimpulan

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa adalah salah satu kerajaan besar dan
paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal
dari suku Makassar yang berdiam diujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Sejak Gowa
Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Ternate
yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni Baabullah mengajak Raja
Gowa Tallo untuk masuk islam, tapi gagal. Baru pada masa raja Datu ri bandang datang
ke kerajaan Gowa Tallo, agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini.

Setahun kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk islam.


Mubaligh yang berjasa menyebarkan Islam adalah Abdul Kodir Khotib Tunggal yang
berasal dari Minangkabau. Makassar mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Daerah kekuasaan Makassar luas seluruh
jalur perdagangan di Indonesia timur dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal
sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Dalam peperangan melawan voc,
sultan hasanuddin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan
belanda di maluku. Akibatnya kedudukan belanda semakin terdesak. Atas keberanian
Sultan Hasanuddin tersebut maka belanda memberikan julukan padanya sebagai ayam
jantan dari timur.

Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak raja
Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad
18 kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi
penjajahan. Saat itu, sistem pemerintahan pun mengalami transisi dimasa raja Gowa
XXXVI Andi Itjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian republik Indonesia yang
bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II otonom. Sehingga
dengan perubahan tersebut, Andi Itjo pun tercatat dalam sejarah sebagai raja Gowa
terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.

Anda mungkin juga menyukai