Bimaswara.P.P (30)
Deky Rifandi (34)
• Asal- Usul Kerajaan
Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu
melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap
Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya
Arung Palakka. Tapi perang ini bukan berati perang antar suku Makassar – suku Bugis,
karena di pihak Gowa ada sekutu bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada
sekutu Makassarnya. Politik Divide et Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini.
Perang Makassar ini adalah perang terbesar Belanda yang pernah dilakukannya di abad
itu.
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama
Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa:
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili.
Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung
untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh
Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan
empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah
Batara Guru dan saudaranya
•Perkembangan Kerajaan
Pada awalnya, Kerajaan Gowa – Tallo yang lebih dikenal sebagai Kerajaan
Makassar terdiri dari beberapa kerajaan yang bercorak Hindu, antara lain,
Gowa, Tallo, Wajo, Bone, Soppeng, dan Luwu. Dengan adanya dakwah dari
Dato'ri Bandang dan Dato' Sulaiman, Sultan Alauddin (Raja Gowa) masuk
Islam. Setelah raja memeluk Islam, rakyat pun segera ikut memeluk Islam.
Kerajaan Gowa dan Tallo kemudian menjadi satu dan lebih dikenal dengan
nama Kerajaan Makassar dengan pemerintahannya yang terkenal adalah
Sultan Hasanuddin (1653 – 1669). Ia berhasil memperluas pengaruh Kerajaan
Makassar sampai ke Matos, Bulukamba, Mondar, Sulawesi Utara, Luwu, Butan,
Selayar, Sumbawa, dan Lombok. Hasanuddin juga berhasil mengembangkan
pelabuhannya dan menjadi bandar transito di Indonesia bagian timur pada
waktu itu. Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur. Karena
keberaniannya dan semangat perjuangannya, Makassar menjadi kerajaan besar
dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya.
Perkembangan Makassar menyebabkan VOC merasa tersaingi. Makassar tidak
tunduk kepada VOC, bahkan Makassar membantu rakyat Maluku melawan
VOC. Kondisi ini mendorong VOC untuk berkuasa di Makassar dengan
menjalin kerja sama dengan Makassar, tetapi ditolak oleh Hasanuddin. Oleh
karena itu, VOC menyerang Makassar dengan membantu Aru Palaka yang
telah bermusuhan dengan Makassar. Akibatnya, benteng Borombong dan ibu
kota Sombaopu jatuh ke tangan musuh, Hasanuddin ditangkap dan dipaksa
menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).
Akibat kekalahannya, peranan Makassar sebagai penguasa
pelayaran dan perdagangan berakhir. Sebaliknya, VOC
memperoleh tempat yang strategis di Indonesia bagian timur.
Rakyat Makassar yang tidak mau menerima Perjanjian Bongaya,
seperti Kraeng Galesung dan Monte Merano, melarikan diri ke
Mataram. Selanjutnya, untuk memperlemah Makassar, benteng
Sombaopu dihancurkan oleh Speelman dan benteng Ujung
Pandang dikuasai VOC diganti nama menjadi benteng Ford
Roterdam.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin)
meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda
mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya
kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
•Perkembangan Ekonomi
Seperti yang telah Anda ketahui bahwa kerajaan Makasar
merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat
perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh
beberapa faktor seperti letak yang strategis, memiliki pelabuhan
yang baik serta didukung oleh jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-
pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai
pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-
pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan
sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan
hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING
BICARANNA PABBALUE (ket : artinya apa), sehingga dengan
adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar
menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan
pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang
subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
•Perkembangan Sosial Budaya
Sejak Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan
dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni Baabullah
mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru pada masa Raja Datu Ri
Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini.
Setahun kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk Islam. Mubaligh
yang berjasa menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib Tunggal yang berasal dari
Minangkabau.
Raja Gowa Tallo sangat besar perannya dalam menyebarkan Islam, sehingga bukan rakyat
saja yang memeluk Islam tapi kerajaan-kerajaan disekitarnya juga menerima Islam,
seperti Luwu, Wajo, Soppeg, dan Bone. Wajo menerima Islam tahun 1610 M. Raja Bone
pertama yang menerima Islam bergelar Sultan Adam. Walaupun masyarakat Makasar
memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi
dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap
sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam
yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap
norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang
terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut
dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan
masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda
budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal.
Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai
mancanegara.
Peninggalan kerajaan Gowa Tallo
1. Benteng Ford Ratterdam
Benteng Fort Rotterdam adalah sebuah bangunan benteng peninggalan masa
kejayaan kerajaan Gowa Tallo yang terletak di pesisir barat pantai kota
Makassar. Benteng ini dibangun oleh raja Gowa ke-9, yakni I Manrigau Daeng
Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna pada tahun 1545. Karena awalnya
berbahan tanah liat, Raja Gowa ke-14, yakni Sultan Alauddin kemudian
memugar bangunan benteng dengan bahan batu padas yang diperoleh dari
pegunungan Karst di Maros.
Orang Makassar menyebut benteng Fort Rotterdam dengan sebutan benteng
panyyua atau benteng penyu. Pasalnya, jika dilihat dari atas, benteng ini
memiliki bentuk seperti penyu. Bentuk ini memiliki filosofi bahwa Kerajaan
Gowa Tallo adalah kerajaan yang berjaya di laut dan daratan, sama seperti penyu
yang hidup di dua alam.
Pada masa silam, benteng Fort Rotterdam menjadi markas pasukan katak
kerajaan. selain itu, ia juga berfungsi sebagai pusat pertahanan kerajaan Gowa-
Tallo dari serangan laut. Pada masa kepemimpinan Cornelis Speelman atas
distrik Sulawesi benteng ini pernah beralih fungsi menjadi tempat
penyimpanan rempah-rempah dari seluruh wilayah di Indonesia Timur. Selain
itu, nama benteng yang sebetulnya adalah benteng Ujung Pandang, olehnya
kemudian diubah pula menjadi Benteng Rotterdam untuk mengenang tanah
kelahirannya di kota Rotterdam, Belanda.
2. Batu Pallantikang
Batu pallantikang atau batu pelantikan adalah sebuah batu andesit yang diapit
batu kapur. Batu peninggalan Kerajaan Gowa Tallo ini dipercaya memiliki tuah
karena dianggap sebagai batu dari khayangan. Karena anggapan tersebut,
sesuai namanya batu ini digunakan sebagai tempat pengambilan sumpah atas
setiap raja atau penguasa baru di kerajaan Gowa Tallo. Batu ini masih insitu
atau berada di tempat aslinya, yakni di tenggara kompleks pemakaman
Tamalate.
3. Masjid Katangka
Masjid Katangka atau kini disebut masjid Al-Hilal adalah masjid peninggalan
Kerajaan Gowa Tallo yang diperkirakan dibangun pada tahun 1603. Masjid ini
secara administratif kini terletak di Desa Katangka, Kec. Somba Opu, Gowa,
tak jauh dari kompleks pemakaman Sultan Hassanudin. Nama Katangka
diyakni berasal dari nama bahan pembuatannya yaitu kayu Katangka.
4. Kompleks Makam Katangka
Di areal masjid Katangka, terdapat sebuah kompleks pemakaman dari
mendiang keluarga dan keturunan raja-raja Gowa, termasuk makam Sultan
Hasanuddin. Makam raja-raja bisa dikenali dengan mudah karena diatapi
dengan kubah. Sementara makam pemuka agama, kerabat, serta keturunan
raja hanya ditandai dengan batu nisan biasa.
5. Makam Syekh Yusuf
Syekh Yusuf adalah ulama besar yang hidup di zaman
kolonial Belanda. Pengaruhnya yang sangat besar bagi
perlawanan rakyat Gowa Tallo terhadap penjajah,
membuat Belanda mengasingkannya ke Srilanka,
kemudian ke Cape Town, Afrika Selatan. Jenazahnya
setelah beberapa tahun kemudian dikembalikan ke
Makassar dan dimakamkan di sana, tepatnya di dataran
rendah Lakiung sebelah barat Masjid Katangka.