Anda di halaman 1dari 8

RANGKUMAN PERLAWANAN RAKYAT MAKASSAR

Latar Belakang Perlawanan Makassar Terhadap Belanda


Makassar merupakan pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini disebabkan
karena letak wilayah Makassar yang strategis dan menjadi bandar penghubung antara
Malaka, Jawa, dan Maluku. Lemahnya pengaruh Hindu-Buddha di kawasan ini menyebabkan
nilai-nilai kebudayaan Islam yang dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi ciri
yang cukup menonjol dalam aspek kebudayaannya.
Kerajaan Makassar mengembangkan kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai Islam dan
tradisi dagang. Berbeda dengan kebudayaan Mataram yang bersifat agraris, masyarakat
Sulawesi Selatan memiliki tradisi merantau. Keterampilan membuat perahu phinisi
merupakan salah satu aspek dari kebudayaan berlayar yang dimiliki oleh masyarakat
Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1660), Kerajaan
Makassar mencapai puncak kejayaannya. Ia berhasil membangun Makassar menjadi
kerajaan yang menguasai jalur perdagangan di wilayah Indonesia Bagian Timur.
Pada masa Hasanuddin terjadi peristiwa yang sangat penting. Persaingan antara Goa-Tallo
(Makassar) dengan Bone yang berlangsung cukup lama diakhiri dengan keterlibatan Belanda
dalam Perang Makassar (1660-1669). Perang ini juga disulut oleh perilaku orang-orang
Belanda yang menghalang-halangi pelaut Makassar membeli rempah-rempah dari Maluku
dan mencoba ingin memonopoli perdagangan. Sebagai salah satu kota dan Bandar niaga di
Asia Tenggara, Somba Opu memiliki setidak-tidaknya lima konsul dagang Eropa sebagai
tempat perwakilan dagang Negara-Negara Eropa di kerajaan itu.
Konsulat dagang yang ada di Somba Opu antara lain, Konsulat Portugis, Konsulat Denmark,
Konsulat Inggris, Konsulat Spanyol dan Konsulat Belanda. Namun Konsulat Belanda menarik
diri pada tahun 1661 karena perang. Awal tahun 50an perusahaan-perusahaan ekspedisi
Belanda berlomba-lomba mengirimkan armadanya untuk memperebutkan rempah
Indonesia. Akibat persaingan itu adalah meningkatnya pengiriman rempah ke Eropa dan
naiknya harga rempah.
Untuk mengatasi persaingan dagang yang tidak sehat pada tahun 1602 perusahaan-
perusahaan ekspedisi Belanda itu akhirnya melebur menjadi satu pada tanggal 20 Maret
1602 dengan nama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC atau Perserikatan Maskapai
Hindia Timur). Dalam lidah kita persekutuan dagang itu dikenal dengan nama Kompeni (dari
kata Compagnie). Namun perwakilan dagang VOC di Somba Opu tidak terlalu berkembang
karena kekurangan modal dibandingkan dengan perwakilan-perwakilan dagang Eropa
lainnya. Akibatnya perwakilan dagang VOC tutup. Memang, sementara volume perdagangan
antara Gowa dengan Negara-Negara Eropa lainnya berkembang sedangkan VOC malah
terancam bangkrut.
Pedagang rempah di Maluku yang selama ini menjadi sumber utama VOC telah segan untuk
berdagang dengan VOC karena memasok harga dibawah standar Somba Opu. Akibatnya
ibukota Somba Opu semakin ramai dan semarak menjadi ajang tawar-menawar
perdagangan. Dan oleh sebab itu juga Somba Opu menjadi incaran utama pedagang-
pedagang dari Eropa untuk mendapatkan modal yang tinggi. Alasan bangkrutnya VOC yaitu
disebabkan karena mereka lagi berperang dengan Malaka. Sejak jatuhnya kerajaan Malaka
ke tangan kompeni banyak pedagang asing yang merupakan saingan kompeni
membangun ,usaha di Makassar yang merupakan pusat perdagangan. Melihat kejayaan
kerajaan Makassar.
Kompeni berniat hendak mematikan usaha-usaha dagang yang sungguh sangat maju dan
semarak itu. Kompeni tidak tahan melihat perdagangan Cengkeh hasil dari Kepulauan
Maluku yang di usahakan pedagang-pedagang Spanyol, Portugis, Inggris dan bangsa lain-lain
berjalan sangat pesat di Somba Opu yang merupakan sebagai pelabuhan transito. Pada
tahun 1637 terjadi peperangan antara pedagang-pedagang asing (alinasi Portugis, Inggris,
Spanyol, Denmark dan Francis) dengan Belanda karena mereka menilai Belanda telah
merusak tata niaga perdagangan dan menentang prinsip-prinsip Perjanjian Eropa (West
Phalia) dan Perjanjian Hiderabat.
Sultan Hasanuddin yang merupakan raja dari Kerajaan Makassar pada saat itu membantu
aliansi Eropa melawan Belanda dalam perang. Akibatnya kompeni Belanda terdesak di
beberapa wilayah di Maluku dan Selat Makassar. Bantuan Raja Sultan Hasanuddin
dipandang sebagai perang terbuka oleh kompeni. Akibatnya Belanda lebih
mengkonsentrasikan diri untuk merebut kota dagang Somba Opu. Terjadilah peperangan
selama puluhan tahun, namun pada akhir tahun 1667 Kerajaan Makassar menyerah maka
raja Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya.
Dengan adanya daerah kekuasaan Makasar yang luas tersebut, maka seluruh jalur
perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai raja
yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan
monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan
antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya
kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan
Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan.
Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan
Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda
di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan
Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari
Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan
melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan
Makasar).
Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC
untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu
dengan VOC untuk menghancurkan Makasar. Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda
dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus
mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya
tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:

1.  VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.


2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
3. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau
di luar Makasar.
4. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra
Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan
rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda
dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.

Jalannya Perlawanan Makassar Terhadap Belanda


Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara  Kerajaan
Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari Eropa
ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan  monopoli.
Pelabuhan Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC  untuk mengontrol
jalur  perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam  kebudayaan bahari yang
dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa  secara umum laut adalah milik
bersama, siapapun boleh melayarinya.  Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli
perdagangan di Makasar  ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:
“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara  umat
manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah  kedengaran larangan
buat siapapun untuk mengarungi lautan.”

Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini
berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan
pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa
juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak
kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang
meninggalkan kampung halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan
Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan
oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan
Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar
jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi
awal telah beradaptasi dengan baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis
kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,  sementara orang
Makasar di Jawa dan Madura.
Sedangkan dalam jumlah kecil mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar 
awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa
Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo
melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada  tahun 1679.
Hal yang sama juga terjadi di Banten  ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan
800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai
kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai musuh
VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga
orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan
pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan
Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan
bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah
kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para
bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi
pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha
menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar
mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni
dibantu olehpasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon.
Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din
Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap
Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan
Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa
Bongaya pada tahun 1667.
Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda
terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten
setiap melakukan perlawanan terhadap VOC. Dengan disahkannya perjanjian Bongaya,
maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali
berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala
bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak
menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng
pertahanan yang paling kuat di Somba Opu.
Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan,
setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani. Peperangan demi
peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat
banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap
perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya
benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian
itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh
daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang
pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di
Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi
penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin
lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru
Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi
kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar
( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam
waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun
demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk
membela tanah air dari cengkraman penjajah.
Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di
daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau
dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan
lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah
Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669,
setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada
1667.
Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini
berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan
pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa
juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak
kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang
meninggalkan kampung halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan
Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan
oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan
Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar
jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi
awal telah beradaptasi dengan baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis
kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,  sementara orang
Makasar di Jawa dan Madura.
Sedangkan dalam jumlah kecil mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar 
awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa
Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo
melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada  tahun 1679.
Hal yang sama juga terjadi di Banten  ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan
800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai
kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai musuh
VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga
orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan
pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan
Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan
bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah
kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para
bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi
pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha
menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar
mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni
dibantu olehpasukan Raja Bone (Arung Palakka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon.
Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din
Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap
Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan
Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa
Bongaya pada tahun 1667.
Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda
terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten
setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh
karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda
cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada
bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda
berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu
diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa
mempertahankannya dengan gagah berani.

Akhir Perlawanan Makassar Terhadap Belanda


Di akhir cerita, Sultan Hasanuddin tidak berhasil mematahkan ambisi Belanda untuk
menguasai Makassar. Sultan Hasanuddin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani
perjanjian Bongaya pada tahun 1667.
Isi Perjanjian Bongaya
Berikut ini terdapat beberapa isi perjanjian bongaya, antara lain sebagai berikut:

1. Menghargai dua perjanjian sebelumnya (1660) yang dibuat Jacob Cau di Makassar
dan Karaeng Popo di Batavia.
2. Segera mengembalikan seluruh orang Belanda yang sejak dulu hingga kini melarikan
diri ke Makassar.
3. Mengembalikan seluruh meriam, peralatan, dan lain-lainnya yang tersisa dari
kapal Leuwin dan Walvisch yang kini masih ada di Makassar.
4. Mengadili semua yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan yang terjadi.
5. Mengamankan seluruh utang yang masih harus dibayar pada VOC
6. Bebaskan dan hilangkan seluruh kekuasaan Gowa atas tanah Bugis, sekutu VOC.
7. Serahkan kepada VOC dan sekutunya seluruh daerah yang direbut selama perang ini.
8. Bebaskan Turatea dari kekuasaan Kerajaan Gowa.
9. Bayar ganti rugi akibat kerusakan terhadap rakyat dan harta Sultan Ternate di Sula,
bebaskan seluruh wilayah yang selama ini dikuasai Yang Mulia sejak lama, dan bayar
kompensasi untuk lima belas meriam dan senjata-senjata yang lebih kecil yang
diambil dari Sula.
10. Bayar kompensasi atas penjarahan yang dilakukan pada ekspedisi terakhir di Buton.
11. Lepaskan kekuasaan atas Bima dan serahkan kepada VOC.
12. Batasi pelayaran orang Makassar dan permintaan mereka untuk izin lewat.
13. Batalkan hak berdagang orang Makassar ke seluruh orang berkebangsaan Eropa
untuk selama-lamanya.
14. Serahkan hanya kepada VOC perdagangan pakaian dan barang-barang Cina.
15. Hancurkan seluruh benteng Makassar kecuali Somba Opu.
16. Serahkan hak atas benteng utara, Ujung Pandang, kepada VOC dan tidak lagi
mencampuri urusan orang-orang yang akan tinggal di sana.
17. Perdagangan bebas bea bagi VOC.
18. Tidak membangun lagi benteng baru tanpa persetujuan VOC.
19. Bayar kompensasi pada VOC terhadap kerusakan barang-barang akibat perang.
20. Serahkan Sultan Bima dan “kaki tangan”nya.
21. Serahkan Karaeng Bontomarannu.
22. Mensyahkan koin Belanda, besar dan kecil, di Makassar.
23. Tidak memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung kepada Wajo, Bulo-Bulo
dan Mandar, karena negeri-negeri ini telah melakukan kesalahan terhadap VOC.
24. Membayar denda kepada VOC 1.500 budak atau yang senilai dengan itu.
25. VOC akan memberi bantuan dan persahabatan kepada orang Makassar dan
sekutunya.
26. Kerajaan Gowa harus mengirim orang-orang terkemuka dari pemerintahannya untuk
berangkat ke Batavia dengan Speelman untuk meminta konfirmasi atas perjanjian ini
dari Gubernur Jenderal dan, jika dia menginginkan, orang-orang ini akan tinggal di
Batavia sebagai sandera.

Dampak Perlawanan Makassar Terhadap Belanda


Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami
Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh
terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah
hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah
berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian
itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh
daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang
pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di
Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi
penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin
lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Arung
Palakka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi
kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar
( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam
waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun
demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk
membela tanah air dari cengkraman penjajah.

Tokoh Perlawanan Makassar Terhadap Belanda


» Tokoh Indonesia (Makassar)

 Sultan Hasanuddin.
 Sultan Alauddin.
 Muhamad Sa’id.

» Tokoh Belanda

 Speelman.
 John van Olden.
  Pangeran Maitus.
 Gubernur Jenderal Matsuyker.

NAMA: NUR LEILANI NABILAH

KELAS: XI MIPA 3

NIS: 9699

Anda mungkin juga menyukai