Jawaban ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk melawan tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini
berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan
pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan. Bahkan para penguasa
juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak
kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan, saudagar, dan pelaut Makasar yang
meninggalkan kampung halamannya pergi merantau ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan
Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora dihancurkan
oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan
Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin menambah besar
jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan Bugis generasi
awal telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis
kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sementara orang
Makasar di Jawa dan Madura.
Sedangkan dalam jumlah kecil mereka menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar
awalnya mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa
Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo
melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada tahun 1679.
Hal yang sama juga terjadi di Banten ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan
800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai
kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun 1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan sebagai musuh
VOC dengan tidak mendukung perlawanan penguasa setempat terhadap VOC. Sehingga
orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan Bugis dan
pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan oleh Sultan
Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin merebut tahta dengan
bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah
kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para
bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom di kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi
pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha
menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar
mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni
dibantu olehpasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon.
Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din
Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap
Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan
Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa
Bongaya pada tahun 1667.
Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda
terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten
setiap melakukan perlawanan terhadap VOC. Dengan disahkannya perjanjian Bongaya,
maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali
berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala
bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak
menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng
pertahanan yang paling kuat di Somba Opu.
Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan,
setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani. Peperangan demi
peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat
banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap
perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya
benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian
itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh
daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang
pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di
Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi
penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin
lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru
Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi
kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar
( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam
waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun
demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk
membela tanah air dari cengkraman penjajah.
Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di
daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau
dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan
lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah
Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669,
setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada
1667.
Jawaban ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk melawan tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini
berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan
pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan. Bahkan para penguasa
juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak
kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan, saudagar, dan pelaut Makasar yang
meninggalkan kampung halamannya pergi merantau ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan
Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora dihancurkan
oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan
Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin menambah besar
jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan Bugis generasi
awal telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis
kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sementara orang
Makasar di Jawa dan Madura.
Sedangkan dalam jumlah kecil mereka menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar
awalnya mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa
Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo
melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada tahun 1679.
Hal yang sama juga terjadi di Banten ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan
800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai
kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun 1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan sebagai musuh
VOC dengan tidak mendukung perlawanan penguasa setempat terhadap VOC. Sehingga
orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan Bugis dan
pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan oleh Sultan
Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin merebut tahta dengan
bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah
kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para
bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom di kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi
pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha
menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar
mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni
dibantu olehpasukan Raja Bone (Arung Palakka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon.
Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din
Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap
Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan
Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa
Bongaya pada tahun 1667.
Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda
terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten
setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh
karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda
cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada
bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda
berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu
diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa
mempertahankannya dengan gagah berani.
1. Menghargai dua perjanjian sebelumnya (1660) yang dibuat Jacob Cau di Makassar
dan Karaeng Popo di Batavia.
2. Segera mengembalikan seluruh orang Belanda yang sejak dulu hingga kini melarikan
diri ke Makassar.
3. Mengembalikan seluruh meriam, peralatan, dan lain-lainnya yang tersisa dari
kapal Leuwin dan Walvisch yang kini masih ada di Makassar.
4. Mengadili semua yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan yang terjadi.
5. Mengamankan seluruh utang yang masih harus dibayar pada VOC
6. Bebaskan dan hilangkan seluruh kekuasaan Gowa atas tanah Bugis, sekutu VOC.
7. Serahkan kepada VOC dan sekutunya seluruh daerah yang direbut selama perang ini.
8. Bebaskan Turatea dari kekuasaan Kerajaan Gowa.
9. Bayar ganti rugi akibat kerusakan terhadap rakyat dan harta Sultan Ternate di Sula,
bebaskan seluruh wilayah yang selama ini dikuasai Yang Mulia sejak lama, dan bayar
kompensasi untuk lima belas meriam dan senjata-senjata yang lebih kecil yang
diambil dari Sula.
10. Bayar kompensasi atas penjarahan yang dilakukan pada ekspedisi terakhir di Buton.
11. Lepaskan kekuasaan atas Bima dan serahkan kepada VOC.
12. Batasi pelayaran orang Makassar dan permintaan mereka untuk izin lewat.
13. Batalkan hak berdagang orang Makassar ke seluruh orang berkebangsaan Eropa
untuk selama-lamanya.
14. Serahkan hanya kepada VOC perdagangan pakaian dan barang-barang Cina.
15. Hancurkan seluruh benteng Makassar kecuali Somba Opu.
16. Serahkan hak atas benteng utara, Ujung Pandang, kepada VOC dan tidak lagi
mencampuri urusan orang-orang yang akan tinggal di sana.
17. Perdagangan bebas bea bagi VOC.
18. Tidak membangun lagi benteng baru tanpa persetujuan VOC.
19. Bayar kompensasi pada VOC terhadap kerusakan barang-barang akibat perang.
20. Serahkan Sultan Bima dan “kaki tangan”nya.
21. Serahkan Karaeng Bontomarannu.
22. Mensyahkan koin Belanda, besar dan kecil, di Makassar.
23. Tidak memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung kepada Wajo, Bulo-Bulo
dan Mandar, karena negeri-negeri ini telah melakukan kesalahan terhadap VOC.
24. Membayar denda kepada VOC 1.500 budak atau yang senilai dengan itu.
25. VOC akan memberi bantuan dan persahabatan kepada orang Makassar dan
sekutunya.
26. Kerajaan Gowa harus mengirim orang-orang terkemuka dari pemerintahannya untuk
berangkat ke Batavia dengan Speelman untuk meminta konfirmasi atas perjanjian ini
dari Gubernur Jenderal dan, jika dia menginginkan, orang-orang ini akan tinggal di
Batavia sebagai sandera.
Sultan Hasanuddin.
Sultan Alauddin.
Muhamad Sa’id.
» Tokoh Belanda
Speelman.
John van Olden.
Pangeran Maitus.
Gubernur Jenderal Matsuyker.
KELAS: XI MIPA 3
NIS: 9699