Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini
sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini
memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan
peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOCyang dibantu
oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.
Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan
Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar
adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.
Karena keberaniannya , Sultan Hasanudin mendapat julukan "Ayam Jantan dari Timur".
Julukan ini justru diberikan oleh lawannya yaitu Belanda, karena merasakan bahwa perang dan
perlawanan Sultan Hasanaudin adalah perlawanan yang paling dahsyat yang dirasakan Belanda
dibandingkan perang-perang yang lain.
Sultan Hasanudin naik tahta sebagai raja Gowa ke-16 menggantikan Sultan Muhammad
Said. Meskipun sebenarnya bukan putra mahkota, namun pengalaman dan kemampuannya yang
luas ditunjuk oleh Sultan Muhammad Said menggantikan dirinya setelah wafat.
Karena tidak mau tunduk terhadap pemerintah kolonialis Belanda yang berpusat di
Batavia, Sultan Hasanudin berkali-kali mendapat serangan dari pasukan Belanda yaitu
penyerangan yang pertama terjadi pada tahun1660, kedua terjadi tahun 1666, ketiga tahun 1667
dan keempat pada tahun1669. Perang yang dilakukan oleh Sultan Hasanudin bukan semata-mata
untuk mempertahankan tanah air atau mengusir kaum imperialis, namun juga membantu rakyat
di luar kerajaannya yang mengalami tindakan kejam yang dilakukan oleh Belanda. Dalam hal
ini, pada bulan Maret 1645 Sultan Hasanudin mengirimkan armada yang kuat terdiri dari 100
perahu untuk membantu rakyat Maluku mengadakan perlawanan terhadap kekejaman Belanda
yang dikenal dalam sejarah sebagai "Perang Hongi".
Meskipun pada masa pemerintahannya berulang kali terjadi peperangan, namun Sultan
Hasanuddin bukanlah sosok pemimpin yang suka kekerasan dan haus perang. Sifat
humanismenya sebagai raja besar nampak pada kesediaannya untuk menerima Perjanjian
Bungaya pada tanggal 18 November 1667.
Dengan menerima perjanjian tersebut Sultan Hasanudin dapat mencegah banyaknya
korban jatuh di kedua belah pihak, apalagi ternyata pasukannya harus berhadapan dengan bangsa
sendiri yaitu Tidore, Ternate, Buton dan Bone yang membantu Belanda. Penghentian sementara
perang ini juga merupakan strategi Sultan Hasanudin untuk mengatur nafas sebelum menghadapi
perang selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
a. Latar Belakang Terjadinya Perang Makassar
b. Jalannya Perang Makassar
c. Dampak Perang Makassar

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 
1. Untuk menambah pengetahuan mengenai penyebab terjadinya perang makassar
2. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai konflik yang sering terjadi
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah Indonesia abad ke19
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Perang Makassar


Makassar merupakan pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini disebabkan
karena letak wilayah Makassar yang strategis dan menjadi bandar penghubung antara Malaka,
Jawa, dan Maluku. Lemahnya pengaruh Hindu-Buddha di kawasan ini menyebabkan nilai-nilai
kebudayaan Islam yang dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi ciri yang cukup
menonjol dalam aspek kebudayaannya. Kerajaan Makassar mengembangkan kebudayaan yang
didasarkan atas nilai-nilai Islam dan tradisi dagang. Berbeda dengan kebudayaan Mataram yang
bersifat agraris, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki tradisi merantau. Keterampilan membuat
perahu phinisi merupakan salah satu aspek dari kebudayaan berlayar yang dimiliki oleh
masyarakat Sulawesi Selatan.
Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1660), Kerajaan Makassar mencapai
puncak kejayaannya. Ia berhasil membangun Makassar menjadi kerajaan yang menguasai jalur
perdagangan di wilayah Indonesia Bagian Timur. Pada masa Hasanuddin terjadi peristiwa yang
sangat penting. Persaingan antara Goa-Tallo (Makassar) dengan Bone yang berlangsung cukup
lama diakhiri dengan keterlibatan Belanda dalam Perang Makassar (1660-1669). Perang ini juga
disulut oleh perilaku orang-orang Belanda yang menghalang-halangi pelaut Makassar membeli
rempah-rempah dari Maluku dan mencoba ingin memonopoli perdagangan. Sebagai salah satu
kota dan Bandar niaga di Asia Tenggara, Somba Opu memiliki setidak – tidaknya lima konsul
dagang Eropa sebagai tempat perwakilan dagang Negara – Negara Eropa di kerajaan itu.
Konsulat dagang yang ada di Somba Opu antara lain, Konsulat Portugis, Konsulat Denmark,
Konsulat Inggris, Konsulat Spanyol dan Konsulat Belanda. Namun Konsulat Belanda menarik
diri pada tahun 1661 karena perang.
Awal tahun 50an perusahaan - perusahaan ekspedisi Belanda berlomba-lomba
mengirimkan armadanya untuk memperebutkan rempah Indonesia. Akibat persaingan itu adalah
meningkatnya pengiriman rempah ke Eropa dan naiknya harga rempah. Untuk mengatasi
persaingan dagang yang tidak sehat pada tahun 1602 perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda
itu akhirnya melebur menjadi satu pada tanggal 20 Maret 1602 dengan nama Vereenigde Oost-
Indische Compagnie (VOC atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur). Dalam lidah kita
persekutuan dagang itu dikenal dengan nama Kompeni (dari kata Compagnie). Namun
perwakilan dagang VOC di Somba Opu tidak terlalu berkembang karena kekurangan modal
dibandingkan dengan perwakilan – perwakilan dagang Eropa lainnya. Akibatnya perwakilan
dagang VOC tutup. Memang, sementara volume perdagangan antara Gowa dengan Negara –
Negara Eropa lainnya berkembang sedangkan VOC malah terancam bangkrut. Pedagang rempah
di Maluku yang selama ini menjadi sumber utama VOC telah segan untuk berdagang dengan
VOC karena memasok harga dibawah standar Somba Opu. Akibatnya ibukota Somba Opu
semakin ramai dan semarak menjadi ajang tawar – menawar perdagangan. Dan oleh sebab itu
juga Somba Opu menjadi incaran utama pedagang – pedagang dari Eropa untuk mendapatkan
modal yang tinggi.
Alasan bangkrutnya VOC yaitu disebabkan karena mereka lagi berperang dengan Malaka.
Sejak jatuhnya kerajaan Malaka ke tangan kompeni banyak pedagang asing yang merupakan
saingan kompeni membangun ,usaha di Makassar yang merupakan pusat perdagangan. Melihat
kejayaan kerajaan Makassar. Kompeni berniat hendak mematikan usaha – usaha dagang yang
sungguh sangat maju dan semarak itu. Kompeni tidak tahan melihat perdagangan Cengkeh hasil
dari Kepulauan Maluku yang di usahakan pedagang – pedagang Spanyol, Portugis, Inggris dan
bangsa lain – lain berjalan sangat pesat di Somba Opu yang merupakan sebagai pelabuhan
transito.
Pada tahun 1637 terjadi peperangan antara pedagang – pedagang asing (alinasi Portugis,
Inggris, Spanyol, Denmark dan Francis) dengan Belanda karena mereka menilai Belanda telah
merusak tata niaga perdagangan dan menentang prinsip – prinsip Perjanjian Eropa (West
Phalia) dan Perjanjian Hiderabat. Sultan Hasanuddin yang merupakan raja dari Kerajaan
Makassar pada saat itu membantu aliansi Eropa melawan Belanda dalam perang. Akibatnya
kompeni Belanda terdesak di beberapa wilayah di Maluku dan Selat Makassar. Bantuan Raja
Sultan Hasanuddin dipandang sebagai perang terbuka oleh kompeni. Akibatnya Belanda lebih
mengkonsentrasikan diri untuk merebut kota dagang Somba Opu.
Terjadilah peperangan selama puluhan tahun, namun pada akhir tahun 1667 Kerajaan
Makassar menyerah maka raja Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian
Bongaya.
Dengan adanya daerah kekuasaan Makasar yang luas tersebut, maka seluruh jalur
perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai raja
yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli
yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia
(pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar.
Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC,
bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk
memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin
terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan
padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan
Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone
(daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar
meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai
akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar. Akibat
persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara
terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian
Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
v  VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
v  Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
v  Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar
Makasar.
v  Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin)
meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar,
Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai
sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.

B. Jalannya Perang Makassar


Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara  Kerajaan
Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari Eropa ataupun
dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan  monopoli. Pelabuhan
Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC  untuk mengontrol jalur 
perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam  kebudayaan bahari yang dimiliki oleh
orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa  secara umum laut adalah milik bersama,
siapapun boleh melayarinya.  Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di
Makasar  ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:
“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara  umat
manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah  kedengaran larangan buat
siapapun untuk mengarungi lautan.”
Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan
dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan pelabuhan
dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa juga menjadi kaya
karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang
Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung
halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan
Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan oleh
VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone
melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar jumlah
penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi awal telah
beradaptasi dengan baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis kemudian menetap di
wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, 
sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka 
menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya
melihat bahwa para pengungsi Makasar  awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka
terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya,
mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya
mengalami kekalahan pada  tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten  ketika Karaeng
Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal
dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun 
1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai
musuh VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga
orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan pengikutnya
yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan Johor, Abd al-
Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan bantuan Orang
Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai
tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian
membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi
pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-
halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan.
Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone
(Aru Palaka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin
oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku
Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar
dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk
menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Factor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba
Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat
Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan
oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas,
sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni
1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil
merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki
Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa
mempertahankannya dengan gagah berani.
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang
dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh
terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah
hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian
itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh
daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah
di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi
penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama
makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan
Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi.
Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam
masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat
memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan
Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari
cengkraman penjajah.
Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di
daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan
penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada
1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai.
Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan
Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667.
Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan
dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan pelabuhan
dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa juga menjadi kaya
karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang
Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung
halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan
Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan oleh
VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone
melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar jumlah
penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi awal telah
beradaptasi dengan baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis kemudian menetap di
wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,  sementara orang Makasar di Jawa dan
Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar 
awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa
Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan
Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada  tahun 1679. Hal yang sama
juga terjadi di Banten  ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang
pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan
akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai
musuh VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga
orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan pengikutnya
yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan Johor, Abd al-
Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan bantuan Orang
Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai
tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian
membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi
pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-
halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan.
Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone
(Arung Palakka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin
oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku
Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar
dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk
menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Factor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba
Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat
Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan
oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas,
sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni
1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil
merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki
Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa
mempertahankannya dengan gagah berani.
C. Dampak Perang Makassar
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang
dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh
terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah
hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung
berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian
itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang
ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh
daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah
di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi
penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama
makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Arung Palakka
dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan
sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada
dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat
memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan
Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari
cengkraman penjajah.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Pada awalnya di daerah
Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan
Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang,
Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Sejak Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan
laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik.
Raja Ternate yakni Baabullah mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru
pada masa Raja Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama Islam mulai masuk ke
kerajaan ini.
Setahun kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk Islam. Mubaligh yang
berjasa menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib Tunggal yang berasal dari Minangkabau.
Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 –
1669). Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat
dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk
memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin
terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan
padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.

Anda mungkin juga menyukai