Anda di halaman 1dari 7

KETANGGUHAN AYAM JANTAN

DARI TIMUR
IPS

Anggota Kelompok:

1. Dini Saravi
2. Rihadatul Aisya Dwiki
3. Rafie Yohanza
4. Rahmat Rizky
Tiantoko
5. Rasyid Ferdian
Kelas: VIII.2

SMP NEGERI 1 TUALANG


TP.2021/2022
A. LATAR BELAKANG
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada 12 Januari 1631. Dia lahir dari
pasangan Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-15, dengan I Sabbe To’mo Lakuntu.
Jiwa kepemimpinannya sudah menonjol sejak kecil. Selain dikenal sebagai sosok
yang cerdas, dia juga pandai berdagang. Karena itulah dia memiliki jaringan
dagang yang bagus hingga Makassar, bahkan dengan orang asing.
Hasanuddin kecil mendapat pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala.
Sejak kecil ia sering diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting, dengan
harapan dia bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang. Beberapa kali dia
dipercaya menjadi delegasi untuk mengirimkan pesan ke berbagai kerjaan.
Sultan Hasanuddin dijuluki Ayam Jantan dari Timur oleh Belanda dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I
Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama pemberian
dari Ǫadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad
Bafaqih Al-Aidid. Setelah menaiki takhta, ia digelar Sultan Hasanuddin, setelah
meninggal ia digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Karena keberaniannya, ia
dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari
Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai
Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6
November 1973.
Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi
Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin
memerintah Kerajaan Gowa mulai tahun 1653 sampai 1669. Kesultanan Gowa
adalah merupakan kesultanan besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai
jalur perdagangan.

B. SULTAN HASANUDDIN DIANGKAT MENJADI RAJA


Muhammad Bakir atau I Mallombasi Daeng Karaeng Bonto Mangape yang
lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin lahir di Ujungpandang tahun 1631.
Ia merupakan putra kedua Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-15 yang
dinobatkan menjadi raja Gowa ke-16 pada tahun 1653. Sebenarnya sebagai putera
kedua,
Hasanuddin tidak berhak atas tahta kerajaan Gowa. Akan tetapi, saat sang ayah
mangkat pada tahun 1665, para pembesar kerajaan sepakat untuk menobatkannya
sebagai Raja Gowa. Pilihan itu didasarkan atas prestasi yang dicapainya saat
ayahnya masih memerintah.
Sejak awal, Hasanudin memang sudah dipersiapkan untuk menjadi raja,
sehingga keahlian yang berkaitan dengan pemerintahan diajarkan kepadanya. Ia
sudah sering diutus oleh ayahnya ke beberapa kerajaan lain di Indonesia, seperti
Banten dan Mataram untuk mengadakan perjanjian kerja sama perdagangan dan
pertahanan. Saat itu, kesultanan Gowa menguasai lalu lintas perdagangan wilayah
timur Nusantara.
Pada masa pemerintahan ayahnya, Belanda sudah mendirikan beberapa
kantor dagang di Kepulauan Maluku dan berusaha memonopoli perdagangan
rempah-rempah di daerah tersebut. Hal itu merupakan ancaman bagi kerajaan
Gowa. Setelah Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan beberapa
kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk bersama-sama menghadapi
Belanda.

C. AWAL MULA TERJADINYA PERPERANGAN


Ketegangan dengan kongsi dagang Belanda memuncak ketika Hasanuddin
naik tahta memerintah Gowa. Kehendak Belanda untuk memonopoli perdagangan
rempah-rempah menyebabkan benturan dengan kerajaan ini. Kebijakan monopoli
itu sangat menyinggung kedaulatan Kerajaan Gowa dan dapat mengancam
kehidupan ekonomi Kerajaan Gowa yang sebagai kerajaan maritim sangat
tergantung pada usaha perdagangan.
Hasrat VOC untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara selalu
memicu konflik terhadap masyarakat di daerah yang dikunjunginya. Salah satu
daerah yang kontra dengan kehadiran VOC adalah Gowa di Sulawesi Selatan yang
diduduki oleh Kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa terletak di tengah-tengah lalu-lintas pelayaran dan
perdagangan yang ramai antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur.
Kerajaan ini menjadi pusat perhubungan antara Pulau Jawa, Pulau Kalimantan
dengan Kepulauan Maluku yang menjadi surganya rempah-rempah. Faktor inilah
yang membuat kongsi dagang Hindia-Belanda ini ingin menguasai dan
memonopoli perdagangan di wilayah ini.
Namun untuk memonopoli perdagangan di Gowa pada abad 17, kongsi
dagang yang memiliki nama lengkap Vereenigde Oostindische Compagnie ini
sedikit tertatih-tatih. Kesulitan tersebut terjadi karena Kerajaan Gowa sedang
dipimpin oleh seorang raja yang sangat menentang keras praktik monopoli
perdagangan VOC.
Sebelum Sultan Hasanuddin menduduki singgasana kerajaan, orang-orang
Gowa sudah tidak suka dengan kehadiran bangsa Barat yang ingin menguasai
rempah-rempah di perairan Sulawesi dan Maluku. Saat tampuk kerajaan dipegang
olehnya, barulah perlawanan mulai terjadi.

D. PERPERANGAN
Sultan Hasanuddin mengawali perlawanan dengan VOC pada tahun 1660.
Di bawah komando Sultan Hasanuddin, pasukan Kerajaan Gowa yang terkenal
dengan ketangguhan armada lautnya mulai mengumpulkan kekuatan bersama
kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk menentang dan melawan VOC.
VOC yang melihat Kerajaan Gowa memperkuat pasukan tidak tinggal diam.
VOC juga menjalin kerja sama dengan Kerajaan Bone yang sebelumnya memiliki
hubungan kurang baik dengan Kerajaan Gowa. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh
VOC untuk menghimpun kekuatan untuk menghancurkan Kerajaan Gowa. Namun,
armada militer Kerajaan Gowa masih terlalu tangguh untuk dihancurkan VOC dan
para sekutunya.
Pada 1663, pemimpin Kerajaan Bone yang bernama Arung Palakka
melarikan diri ke Batavia untuk menghindari kejaran tentara Kerajaan Gowa. Di
pusat pemerintahan Hindia-Belanda itu ia berlindung sekaligus meminta bantuan
yang jauh lebih besar dari VOC untuk menghancurkan Kerajaan Gowa.
Setelah 3 tahun, pada 24 November tahun 1966 pun terjadi pergerakan
besar-besaran yang dilakukan pasukan VOC di bawah pimpinan Laksamana
Cornelis Janszoon Speelman. Armada laut VOC meninggalkan pelabuhan Batavia
menuju ke Sombaopu (ibukota Gowa). Pada tanggal 19 Desember 1666 armada
VOC yang kuat ini sampai di depan Sombaopu, ibukota dan sekaligus pelabuhan
Kerajaan Gowa. Speelman mula-mula mau menggertak Sultan Hasanudin, namun
karena Sultan Hasanuddin tidak gentar Speelman segera menyerukan tuntutan agar
kerajaan Gowa membayar segala kerugian yang berhubungan dengan pembunuhan
orang-orang Belanda oleh orang Makassar.
Karena peringatan dari VOC tidak diindahkan, Speelman mulai mengadakan
tembakan meriam yang gencar terhadap kedudukan dan pertahanan orang-orang
Gowa. Tembakan-tembakan meriam kapal-kapal VOC ini dibalas pula dengan
dentuman-dentuman meriam yang gencar pula dilancarkan oleh pihak Kerajaan
Gowa. Maka terjadilah tembak-menembak dan duel meriam yang seru antara
kapal-kapal armada VOC dengan benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa.
Pertempuran hebat terus terjadi. Armada VOC diperkuat oleh pasukan
Kerajaan Bone yang berada di bawah komando Arung Palakka. Akhirnya, setelah
tak kuat menahan gempuran dari VOC dan pasukan Kerajaan Bone, Sultan
Hasanuddin pun dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November
1667.
Perjanjian tersebut memukul telak Sultan Hasanuddin di mana ia harus
mengakui monopoli VOC yang selama ini ia tentang. Selain itu, ia juga harus
mengakui Arung Palakka menjadi Raja Bone. Wilayah Kerajaan Gowa pun
dipersempit. Akan tetapi, itu semua tidak serta-merta memadamkan semangat
juang Sultan Hasanuddin beserta para pasukannya. Perlawanan-perlawanan masih
terjadi pascaperjanjian, namun sayang tidak membuahkan hasil yang maksimal
sehingga VOC masih mendominasi di wilayah Sulawesi Selatan.
Sementara itu, beberapa kerajaan kecil bersiap-siap untuk melepaskan diri
dari kekuasaan Gowa. Arung Palakka dari Kerajaan Bone dengan dibantu Raja
Soppeng mengadakan pemberontakan. Tetapi pemberontakan itu dapat dikalahkan
Hasanuddin.

D. AKHIR DARI PERPERANGAN


Ada satu hal yang patut diperhatikan dalam perjuangan Hasanudin, yaitu
masalah dengan Raja Bone, Arung Palakka. Gowa dan Bone sebenarnya sama-
sama bersikap anti Belanda. Namun perlakuan pasukan Gowa yang pernah
melakukan pembunuhan terhadap keluarga Raja Bone, menjadikan dendam pribadi
terhadap Kerajaan Gowa, meskipun kejadian itu terjadi sebelum Hasanuddin naik
tahta sebagai raja. Di pihak lain, Arung Palakka mau membantu Belanda dengan
satu syarat bahwa Belanda tidak mengganggu kedaulatan Kerajaan Bone. Dengan
strategi seperti itu, Bone memang berhasil mempertahankan kemerdekaannya
sampai beberapa generasi. Kepandaian Belanda dalam berdiplomasi menyebabkan
Bone dan kerajaan taklukan lainnya selalu dapat dimanipulasi untuk melawan
kerajaan-kerajaan yang anti-Belanda. Pada tahun 1660, meletus perang antara
Gowa dan Belanda. Perang itu diakhiri dengan perdamaian. Tetapi, perdamaian itu
terlalu banyak merugikan Gowa.
Pada tahun 1662 timbul insiden dengan VOC. Kapal De Walvisch yang
memasuki perairan Makassar tanpa izin karena dikejar oleh pasukan Gowa, kandas
di pantai. Sebanyak 16 pucuk meriam disita oleh Gowa. Dua tahun kemudian kapal
VOC De Leeuwin juga tenggelam di Pulau Dayang-dayang. Seratus anak buah
kapal mati tenggelam dan sisanya sebanyak 162 orang ditawan di Gowa
Untuk menyelidiki kapal tenggelam tersebut, VOC mengirim 14 orang
pegawainya ke tempat kandasnya kapal tanpa memberitahu kepada sultan.
Kehormatan Hasanuddin merasa dilanggar dengan tindakan tersebut sehingga para
pegawai VOC itu pun ditawan lalu dibunuh.
Pada tahun 1665 Gubernur Jenderal Joan Mattsuijker mengutus Joan van
Wesenhagen ke Gowa untuk berdamai dengan Hasanuddin, tetapi perundingan
damai itu ditolak. Alasannya, syarat-syarat yang ditentukan VOC merugikan
kerajaan Gowa. Menghadapi perlawanan itu, pada bulan November 1666 armada
VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman berangkat dari Batavia menuju Gowa.
Armada itu berkekuatan 21 kapal perang dengan membawa 1.000 orang tentara,
600 di antaranya adalah serdadu Belanda.
Dengan kekuatan sebesar itu pada tanggal 21 Desember 1666, Hasanuddin
kembali memaklumkan perang kepada Belanda. Dalam perang ini Belanda dibantu
oleh beberapa kerajaan yang dapat mereka pengaruhi. Beberapa buah benteng
pertahanan Gowa yaitu Samba Opu, Panakupang, dan Ujung Pandang dihujam
meriam. Serangan itu mendapat balasan dari kerajaan Gowa. Speelman menyadari
bahwa pertahanan Gowa tidak mungkin ditembus sehingga ia mengubah taktik
serangan. Ia menggerakkan armadanya ke Buton, tetapi di daerah pedalaman
mereka mendapat perlawanan dari penduduk. Pasukan Belanda terpaksa kembali
ke kapalnya dan berlayar menuju Bantaeng. Di tempat itu mereka mendapat
perlawanan sengit dari pasukan Gowa. Setelah membakar persediaan padi, pasukan
Belanda kembali ke Buton. Perlawanan Raja Gowa itu sepenuhnya didukung oleh
kelompok bangsawan di Istana raja, ditambah dengan militansi tentara kerajaan
menambah kekuatan pasukan. Tidak mengherankan bila orang Belanda menjuluki
Sultan Hasanudin sebagai Haanstjes van Het Oosten atau “Ayam Jantan (jago) dari
Timur”. Julukan ini berdasarkan kenyataan bahwa semenjak pecah perang, armada
dagang Belanda di kawasan Laut Sulawesi, Laut Maluku (Ternate), bahkan di
Kawasan Kalimantan tidak pernah aman dari gangguan armada Raja Gowa itu. Di
perairan Buton, berkobar pertempuran, Belanda dibantu Arung Palakka. Akibatnya
Gowa kewalahan. Pimpinan Gowa Karaeng Bontomaranu, Datu Luwu, dan Sultan
Bima ditawan Belanda.
Pertempuran berkobar kembali. Karena kekuatan tidak seimbang, Sultan
Hasanuddin mengundurkan diri dari Banteng menuju Gowa. Karena pertempuran
yang terus berkobar mendatangkan kerugian banyak di pihak Gowa, Sultan
Hasanuddin bersedia membuat perjanjian dengan VOC. Perjanjian yang
mengakhiri perang itu disebut Perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada
tanggal 18 November 1667.
Perjanjian itu sangat merugikan Gowa. Oleh karena itu, Hasanuddin yang
merasa dirinya terlalu tertekan oleh isi perjanjian itu kembali menyusun kekuatan
dan pada bulan April 1668 kembali melancarkan serangan terhadap kedudukan-
kedudukan Belanda. Pertempuran sengit terjadi di beberapa tempat. Hasanuddin
memberikan perlawanan yang gigih. Tetapi, akhirnya ia terpaksa mengakui
keunggulan lawannya. Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat dan terakhir
kerajaan Gowa, yakni benteng Sombaopu jatuh ke tangan Belanda. Sebanyak 272
buah meriam disita Belanda termasuk meriam pusaka “Anak Makassar”. Dengan
jatuhnya benteng tersebut, kekuatan Sultan Hasanuddin semakin lemah. Lima hari
kemudian ia mengundurkan diri dari takhta kerajaan. Pemerintahan Kerajaan
Gowa pun kemudian diserahkan kepada puteranya Sultan Amir Hamzah. Namun,
Hasanuddin tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda hingga meninggal dunia
tanggal 12 Juni 1670. Atas jasa-jasanya kepada negara, Sultan Hasanuddin
Pahlawan Nasional dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden
RI No. 087/TK/Tahun 1973, 6 Nov 1973.

Anda mungkin juga menyukai