Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di
Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat ditemui dengan jumlah yang signifikan di luar
Sulawesi Tenggara seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Maluku, dan
Papua dikarenakan migrasi orang Buton di akhir tahun 1920-an.
Suku Buton
Bahasa
Cia-cia, Wolio
Agama
Islam
Persebaran
Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan
Kesultanan Buton. Daerah-daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di
Sulawesi Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan,
Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten
Bombana, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat.
Sejarah
Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan
mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang
dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya
“empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui,
Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di
Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung
Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar
akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan
kawan-kawannya.
Dalam tahun 1275 bertolaklah satu tentara Kertanagara dari pelabuhan Tuban. Tentara itu
mendarat di daerah muara sungai Jambi dan: rebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah
takluk bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu 10 tahun saja, jajahan kerajaan Jawa itu telah
dapat diluaskan sampai kedaerah hulu sungai jambi. Didirikanlah kembali kerjaan Melayu
lama didaerah itu, tetapi sebagai negara bagian pada kerajaan Singosari. Raja Melayu
dijadikan Raja takluk kepada Baginda Kertanagara. Kerajaan Melayu menjadi penting
kedudukannya, sehingga dalam abad ke 14 seluruh Sumatra kerapkali disebut juga melayu.
(H. J. Van Den Berg)
Suatu kumpulan karya, yang di dapat orang di daerah Jambi, atas perintah Kertanagara
diangkut ke melayu dalam tahun 1286. Maksud kertanagara telah jelas, yaitu mendirikan satu
kerajaan Jawa di Sumatra tengah, yang akan menjadi pusat kebudayaan Jawa dipulau itu.
Kerajaan Jawa yang di Sumatra itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi
Sriwijaya. Akan tetapi Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu.
Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. Dibagian Utara Semenanjung Malaka.
Sebagian dari daerah Sriwijaya telah direbut kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Di Aceh
pun telah mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Kesultanan
Samudra Pasai. Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan islam (yang pertama di Indonesia).
Perhubungannya dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kerajaan Pahang pun yang terletak
di Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari,
yang telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya, rupanya terlepas pula
dalam zaman itu dan telah menjadi bagian kerjaan Singosari.
Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “sula” yang
sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak
jauh lapangan udara Betoambari. Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang
membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada
zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali
pembentukan kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi
kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang sebagai Rajanya yang
pertama Ratu I Wa Kaa Kaa.
Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan
Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi
pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim. Karena di tempat
yang baru itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman
mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya
dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat pusat
kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.
Diriwayatkan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-teman menebas hutan
belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau. Terlebih di atas sebuah bukit bernama
“Lelemangura” Rahantulu – Di tempat ini diketemukan putri Raja Wa Kaa Kaa. Lelemangura
bahasa Wolio terdiri dari anak kata “lele” dan “mangura”. Lele berarti tetap dan mangura
mudah. Ini mengandung makna kiasan terhadap putri Wa Kaa Kaa yang karena ditemukan
dan dianggap sebagai bayi dalam arti “diberi baru menerima, disuap lalu menganga dan
hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya”. Tujuan hakekatnya supaya tetap diingat
bahwa Raja adalah “anak” dari Betoambari Bontona Peropa dan Sangariarana Bontona
Baluwu Siolimbona pada keseluruhannya
Bukit inilah yang kemudian masyur dengan sebutan Lelemangura. Salah seorang teman dari
Sipanjonga yang bernama Sijawangkati mendapatkan enau dan dengan diam-diam ia
menyadap enau itu. Ketika yang empunya enau yang bernama Dungkungeangia datang
menyadap enaunya, didapatinya enaunya sudah di sedap orang yang tidak diketahuninya.
Timbullah marahnya. Dipotongnya sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan
batang kayu itu, timbul dalam pemikirannya betapa besar dan kuat orang yang memotong
kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut pada diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi
potongan kayu itu, dipotongnya rotan yang panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga,
kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu,
hampir tidak kelihatan, kemudian diletakkannya di atas bekas potongan batang kayu itu.
Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin bukan
manusia biasa.
Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka terjadilah perkelahian
yang sengit, yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah. Pada akhirnya
keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Mufakatlah keduanya untuk hidup damai dan
saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam alam
kesatuan dan persatuan. Dengan adanya perdamaian sijawangkai Dungkusangia tersebut
maka negeri tobe-tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Letak negeri tobe-Tobe itu dari
tempat tinggal Sipanjonga +7 KM.
Mata pencaharian
Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu sudah
mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi
jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Kebudayaan
Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini
peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, diantaranya
Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang
merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa
menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan
banyak lagi.
Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Suku_Buton&oldid=18946176"
Terakhir disunting 3 bulan yang lalu oleh RaFaDa20631
Wikipedia