Anda di halaman 1dari 8

BUDAYA LOKAL SUMBAWA

Secara geografis kabupaten Sumbawa terletak pada posisi yang cukup strategis, yaitu berada
pada segi tiga emas kawasan pariwisata antara pulau Bali, Lombok dan pulau Komodo.
Kabupaten Sumbawa juga memiliki kekayaan sumberdaya alam yang cukup potensial, yaitu
berupa lahan pertanian dan peternakan dan telah ditetapkan sebagai lumbung padi dan daerah
pengembangan ternak di NTB. Di samping itu, juga memiliki kekayaan hutan, flora dan
fauna, mineral, pertambangan emas dan tembaga, industri dan sumber daya kelautan dengan
panjang pantai mencapai 900 km. Luas wilayah darat mencapai 8.493 km2 dan wilayah laut
4912,46 km2. Jumlah penduduk seluruhnya 452.746 jiwa, (laki-laki 228.717 jiwa dan
perempuan 224.029 jiwa). Sedangkan jumlah penduduk asli (etnis Samawa) mencapai
68,66% selebihnya adalah berasal dari etnis Bali, Sasak (Lombok), Jawa, Sunda, Madura,
Mbojo (Bima/ Dompu), Bugis, Makasar, Minang, Sumba/ Timor, dan Arab.[1]
Penduduk asli Sumbawa atau yang kemudian dikenal dengan nama Tau Samawa akan
menjadi pokok bahasan. Pada awalnya mereka merupakan para pendatang yang menemukan
daerah baru. Pada saat itu tempat mereka mendarat dijadikan sebagai tempat bermukim.
Kemudian pemukiman mereka berkembang sampai masuk ke pedalaman. Masuknya mereka
ke pedalaman disebabkan kebutuhan akan lahan pertanian yang subur. Mereka semua berasal
dari berbagai daerah dan memiliki tingkat keahlian dan ilmu pengetahuan yang tinggi dalam
bercocok tanam dan perbintangan. Diantara mereka ada yang berasal dari Semenanjung
Melayu, Aceh, Minang, Banten, Banjar, Jawa, kemudian Sulawesi melalui pantai selatan,
barat, maupun utara.

SEJARAH ADAT LOKAL SUMBAWA

Perpidahan penduduk ke Sumbawa telah terjadi jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya menguasai
sebagian Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Batu-Buddha diantara
Senawang dan Batu Rotok. Sejak saat itu pulau yang sebelumnya bernama Pulau Nasi
berubah menjadi Pulau Sumbawa. Nama Samawa sendiri berasal dari bahasa Sansakerta yang
berarti menunjuk ke selatan, tempat yang aman tentram, subur makmur. Hal ini mengacu
pada salah satu nama semedi Buddha Sidharta Utama yaitu Samava (yoga atau meditasi
Buddha).
Sejak zaman kuno, Hindu-Buddha, hingga Kesultanan, Daerah Sumbawa telah menjadi lahan
pertemuan antar etnik Nusantara. Akulturasi yang terjadi di dalam masyarakatnya terjadi
secara alami dengan menerima dan diterima dengan penuh keterbukaan. Pada masa Dewa
Batara Sukin dari Kerajaan Dewa Awan Kuning, wilayah ini masih belum menyatu dan
teratur dalam adat istiadat serta sistem pemerintahannya. Pada saat itu tidak ada perbedaan
antara Raja dengan Menterinya, menteri dengan bawahannya hingga dengan rakyat jelata
sekalipun sama sekali tidak ada perbedaannya. Namun berbagai upaya dilakukan oleh raja
untuk memperbaiki keadaan tersebut. Ini terjadi pada masa Kerajaan Hindu-Buddha.
Ada hal yang unik dalam masuknya Islam ke Sumbawa, jika pada umumnya raja memeluk
agama Islam terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh rakyatnya. Hal ini tidak berlaku bagi
masyarakat Sumbawa, terbukti dengan adanya penemuan arkeologis yang menyatakan bahwa
masyarakat Sumbawa lebih dulu memeluk Islam dari rajanya. Ketika Islam masuk ke
Sumbawa, wilayah ini masih di bawah pengaruh Majapahit. Namun kondisi ini tidak
mengurangi penerimaan mereka terhadap para pedagang muslim yang sekaligus menyiarkan
agama Islam. Pada saat itu Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam sedang berkuasa
di wilayah Jawa. Sehingga ketika Sultan Trenggono wafat, menyebabkan hubungan yang
sulit antara Kerajaan yang ada di Sumbawa. Meskipun Islam diterima oleh masyarakat,
namun para petinggi kerajaan belum bisa menerimanya. Sehingga penyebaran Islam ini
dilanjutkan oleh pedagang dan mubaligh yang berasal dari Ternate yang telah belajar agama
di Gersik, Tuban, dan Demak.
Pada awal tahun 1960-an beberapa Kerajaan yang berada di Wilayah Timur memeluk islam,
dan ini mempermudah proses islamisasi di Sumbawa. Bergabungnya beberapa kerajaan kecil
setelah mereka masuk islam menjadi awal berdirinya Kerajaan Sumbawa. Kemudian
Kerajaan Sumbawa ini bergabung dengan Kerajaan Gowa, bahkan setelah menaklukan
Kerajaan Selaparang kedua kerajaan tersebut bergabung. Hingga akhirnya Kerajaan yang
diberi nama Kerajaan Gowa tersebut bergabung dengan Kerajaan Tallo dibawah Raja Gowa
Karaeng Tumapa risi Kallonna tahun 1551.
Sumbawa sendiri merupakan salah satu kabupaten terluas yang didiami oleh salah satu etnik
terbesar di Nusa Tenggara Timur yaitu Tau Samawa. Tau Samawa (yang mengaku dirinya
orang Sumbawa), merupakan orang yang lahir, besar, dan tumbuh di Sumbawa meskipun
tidak berdarah asli Samawa. Selama ia merasa dirinya bagian dari wilayah Sumbawa, maka ia
termasuk Tau Samawa. Tau Samawa telah berhubungan dengan berbagai etnik yang berada
di Nusantara sejak lama. Hal ini menyebabkan terjadinya asimilasi dengan berbagai etnik
tersebut yang kemudian berkembang menjadi Tau Samawa. Meskipun kebudayaan Samawa
sendiri lebih besar dipengaruhi oleh Budaya Bugis dan Makasar jika dilihat dari beberapa
bentuk upacara pada tataran ningrat. Namun dalam kesenian dan arsitektur tradisionalnya
sangat kental dengan pengaruh Melayu. Pengaruh kebudyaan Jawa yang di bawa oleh
Kerajaan Majapahit juga melebur dengan kebudayaan Samawa.
Tau Samawa mempunyai pedoman dan pegangan dapat dilihat dari berbagai akitivitas tradisi
masyarakat yaitu “ADAT BERSENDIKAN SYARA SYARA BERSENDIKAN
KITABULLAH”. Modernisasi telah membuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi perlahan
terkikis. Namun sebenarnya tradisi Samawa tidak benar-benar hilang secara fisik, karena hal
ini telah melekat dalam diri masyarakat Samawa sendiri.
Ada sepuluh konsep kearifan lokal yang didasari oleh rasa-saleng dalam masyarakat
Samawa.
1. Saleng-sakiki yaitu selalu berbagi rasa satu sama lain, bahwa dalam keprihatinan pun tidak
harus meratapi diri sendiri, tetapi bersama-sama saling mengatasi dan memecahkan setiap
persoalan yang dihadapi.
2. Saleng-pedi (saling mengasihi), adalah sikap berempati terhadap penderitaan orang lain. Rasa
ini tumbuh dari kemampuan saleng-sakiki dengan sesama orang terdekat kemudian akan
meluas kepada siapa saja orang-orang yang mengalami penderitaan.
3. Saleng-satingi (saling menghormati), terlebih kepada tamu atau siapapun dia.
4. Saleng-satotang (saling mengingatkan) satu sama lain. Hal ini sesuai dengan ajaran agama
Islam yang dianut mayoritas Tau Samawa.
5. Saleng-sadu (saling-percaya), tumbuh dari dalam lubuk jiwa yang didasari oleh rasa malu
apabila berlaku curang.
6. Saleng-sayang (saling sayang), muncul dari kebiasaan sehari-hari dari rasa saling percaya
mempercayai.
7. Saeing-tulung (saling bantu), sebagai manifestasi dari kebiasaan gotong royong di
masyarakat.
8. Saleng-beme (saling bimbing), saling membina diri antara satu dengan yang lainnya.
9. Saleng-jango (saling jenguk), tidak hanya menjenguk ketika sakit, namun ditekankan pada
mengembangkan silaturahmi dengan sesama.
10. Saleng-saturet (saling seia sekata), suasana demokrasi dalam dimensi keluarga dan
persaudaraan.[2]
Bahasa Tau Samawa
Bahasa biasanya dipakai oleh anggota kolektivitas mulai pada lingkungan keluarga sampai
dengan batas lingkungan di mana warga yang merasa dirinya Tau Samawa berada. Sebelum
pemekaran Kabupaten Sumbawa menjadi dua kabupaten, Bahasa Samawa dipakai mulai dari
Empang sampai ke Jereweh. Dengan demikian masyarakat memunculkan beberapa kelompok
bahasa yang disebut logat (dialek). Bahasa Sumbawa terbagi dalam empat dialek, yaitu
Jereweh, Taliwang, Tongo, dan Sumbawa besar. Dari empat dialek ini terbagi lagi ke dalam
sub-sub dialek. Dialek Jereweh terdiri dari dua sub dialek yaitu, dialek Beru dan Lalar.
Dialek Taliwang terdiri dari tiga sub dialek yaitu, Salet, Meraran, dan Mantar. Dialek Tongo
mempunyai empat sub dialek, Tatar, Singa, Emang, dan Labangkar. Dialek Sumbawa besar
mempunyai tiga sub dialek, Rhe, Seran, dan Batu Rotok.[3]
Pemakaian Bahasa Samawa cukup luas, sehingga pengaruh antar dialek tidak bisa
dihindarkan. Bahasa Sasak juga berpengaruh terhadap Bahasa Samawa, dikarenakan letak
geografis yang berdekatan. Selain itu pengaruh Bahasa Melayu juga Jawa masuk ke dalam
Bahasa Samawa. Namun, anehnya pengaruh Bahasa Mbojo tidak ada sama sekali meskipun
secara geografis berada dalam wilayah yang berdekatan dengan Sumbawa. Pada masa kini
ada kecenderungan Bahasa Samawa cepat atau lambat akan punah. Hal itu terlihat dari
adanya gejala-gejala awal, yaitu kecenderungan keluarga Sumbawa memakai Bahasa
Indonesia untuk komunikasi dalam keluarga.
Kepercayaan Rakyat Tau Samawa (Panyadu Tau Samawa)
Kepercayaan rakyat Tau Samawa ini lebih menjurus kepada takhayul. Diantara takhayul
mereka adalah menyebut tikus yang sedang ribut kawin di loteng rumah dengan
panggilan “daeng”. Mereka percaya kalau mendzalimi tikus dengan mengejar-ngejar dan
membunuhnya dengan perangkap, atau membakarnya akan menimbulkan akibat yang sangat
fatal. Hama tikus akan merajalela dimana-mana. Untuk mengantisipasinya dengan
memelihara kucing atau menyimpan kotak jangkrik peliharaan di dalam lumbung, sehingga
tikus tidak berani mendekat. Selain itu adapula larangan untuk bersenandung dan bernyanyi
ketika memasak di dapur. Hal ini akan mengakibatkan seorang perempuan menjadi janda dan
dibenci oleh mertua.
Tau samawa juga mengenal tentang takhayul yang berhubungan dengan alam gaib.
Kepercayaan akan mahluk halus dibeberapa tempat di Sumbawa masih ditemukan. Diantara
mahluk halus tersebut, yaitu:
 Kono, dipercaya sebagai penghuni lubuk dan jeram di sungai, dianggap tidak mengganggu
jika tidak diganggu. Beberapa kejadian yang menimpa masyarakat sering dihubungkan
dengan Kono.[4] Misalnya jika ada seseorang yang tenggelam di sungai, biasanya
dihubungkan dengan Kono. Sehingga orang-orang melarang bermain-main bahkan mandi di
sungai menjelang sore.
 Bakiq, dilukiskan sebagai mahluk halus seperti manusia, bedanya tumit kakinya ke depan
sementara jari-jari kakinya ke belakang. Berwajah jelek dan ditumbuhi bulu seperti monyet.
Baqik adalah mahluk halus yang menjaga satwa di hutan. Jika ada seseorang yang tersesat di
hutan, maka mereka percaya yang melakukannya adalah Baqik. Orang yang tersesat di hutang
harus menyebutkan mantra “monte rangap” dengan keras. Hal ini akan
membuat Baqik ketakutan dan pergi.
 Leak, adalah mahluk penghisap darah yang digambarkan mirip kancil atau menjangan muda.
Leak ini ada dua jenis, leak yang murni penghisap darah dan leak suruhan yang menyakiti
orang atau musuh. Leak penghisap darah akan berkeliaran di rumah orang yang sedang
melahirkan atau para gadis yang sedang menstruasi. Sementara leak suruhan akan menyakiti
orang dengan santet.
Permainan Rakyat (Pakedek Tau Samawa)
Setiap bangsa di dunia ini mempunyai permainan tradisional. Berdasarkan sifatnya
permainan dapat dibagi dua, yaitu permanian untuk bermain dan permanian untuk bertanding.
Diantara permanian yang terdapat di Sumbawa adalah:
 Barapan, yaitu berkejaran atau menghalau dengan kecepetan. Barapan ini dilaksanakan siang
hari, antara pukul 10.00 sampai selesai. Arena Barapan dipersiapkan pada sawah berlumpur
dengan ketinggian air sebatas lutut kerbau. Peserta dan penonton yang mengelilingi arena
selalu menjadi tolak ukur penyelenggaraan, karena akan menjadi kebanggaan bagi penggagas
kegiatan (pemilik sawah). Ini dilakukan karena sebagian besar mata pencaharian penduduk
Sumbawa adalah petani dan peternak.[5]
 Bakaraci, yaitu permainan keras sehingga pemainnya harus kuat dan tahan terhadap pukulan
yang bertubi-tubi. Permainan Bakarci dimainkan oleh dua orang yang bertanding dengan
saling pukul menggunakan rotan atau kayu yang ditentukan dan hanya dimainkan oleh kaum
laki-laki. Jumlah peserta tidak terbatas, karena permainnya akan berhadapan satu lawan satu
sesuai dengan tantangan. Usia pemain paling muda 21 tahun, dan paling tua 40 tahun.
 Baranek Bawi, yaitu menghantam bagaikan babi menggusur tanah cari umbi untuk makan.
Permainan ini mirip dengan tingkah babi beranak yang marah kalau diganggu. Permainan ini
juga dikenal sebagai tinju ala Sumbawa yang dilakukan tanpa sarung tinju, sambil mengingat
seikat padi kecil di kedua tangannya. Permainan ini diadakan di musim panen, dalam arena
sawah ketika Mataq-ramai (gotong royong memotong padi). Pelaku permainan ini pemuda
berumur 17 tahun ke atas, maksimal berusia 35 tahun.
 Lontak Batu Asa, merupakan permainan anak-anak dan boleh dimainkan oleh semua anak
dari segala lapisan sosial dalam masyarakat. Perlengkapan yang digunakan dalam permainan
ini hanya berupa kain untuk penutup mata. Perminan ini terdiri dari dua regu dan masing regu
terdiri dari dua orang. Setiap regu harus bisa menyelesaikan permainan tanpa kesalahan
dengan menyentuh kaki pemain lawan. Jika menyentuk kaki lawan maka dianggap kalah dan
akan mendapat hukuman.
Selain permainan yang disebutkan diatas masih banyak permainan tradisional yang terdapat
di daerah Sumbawa. Ini akan menambah kekayaan kebudayaan Indonesia. Namun sangat
disayangkan dengan masuknya pengaruh globalisasi dengan masuknya berbagai mainan yang
di impor dari luar membuat anak-anak melupakan permainan ini. Bahkan orang dewasa juga
cenderung mulai meninggalkan permainan tradisional ini. Padahal ini merupakan bagian dari
kekayaan lokal yang harus dilestarikan.
Kerajinan Rakyat (Kaboto Tau Samawa)
Seperti masyarakat di daerah lain, Tau Samawa juga memiliki hasil kerajinan sendiri. Hasil
kerajinan tersebut semuanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Peralatan makan,
pakaian, serta keperluan akan kebutuhan peralatan kerja dikerjakan secara tradisional, dan
tentunya dengan ciri khas yang berbeda. Dari segi bahan, kerajinan Tau Samawa
dikelompokkan dalam empat kelompok besar, yaitu: tanah liat, bambu dan kayu/ daun,
benang dan kain, serta benda logam. Pada umumnya hasil kerajinan rakyat Tau Samawa tidak
dipasarkan. Hal ini dikarenakan produksinya yang tidak berorientasi kepada bisnis, namun
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pesta Rakyat (Basarame Tau Samawa)
Pesta rakyat pada masyarakat Sumbawa pada umumnya ditekankan pada fungsi-fungsi
tertentu berkaitan dengan ekspresi rasa syukur, permohonan dan harapan, silaturahmi dan
gotong royong. Begitu pula Tau Samawa, salah satu bentuk pesta rakyat Samawa adalah
panen raya atau mataq-rame (potong padi). Luasnya kepemilikan lahan masing-masing
keluarga petani Sumbawa membuatnya tidak mampu bekerja sendiri sekeluarga. Dibutuhkan
tenaga bantuan dari luar kampung sehingga disebar pengumuman akan diadakan mataq-
rame. Pada pesta mataq-rame tidak hanya sekedar memotong padi tetapi dilengkapi pula
dengan berbagai atraksi, permainan dan nyanyiain rakyat. Selain itu pemilik lahan
menyiapkan makanan dan minuman dengan memotong minimal seekor kerbau.
Pesta rakyat lain ada yang besifat sakral seperti pesta Ponan di Desa Poto, Kecamatan Moyo
Hilir. Pesta ini diadakan setelah seluruh wilayah persawahan selesai ditanami. Pesta Ponan
melibatkan tiga desa yang seluruh warga desanya meyakini dirinya berasal dari nenek
moyang yang sama. Pada hari pesta Ponan, seluruh warga berbondong-bondong datang
menuju ke bukit membawa berbagai macam penganan. Penganan ini diyakini membawa
berkah akan mendapat hasil panen yang berlimpah dan terhindar dari serangan hama. Pesta
ini diadakan di bukit Ponan dengan berkumpul sebentar kemudian berdo’a bersama kemudian
siraman rohani.
Pesta pernikahan atau Pangantan Samawa secara tradisional diawali dengan pecaran
tertutup. Meskipun rumah seorang laki-laki dan perempuan berdekatan, mereka tidak akan
pernah mengutarakan isi hatinya secara langsung. Biasanya memanfaatkan orang terdekat
lewat pengiriman surat atau penyampaian salam yang dipoles dengan lawas dan pantun.
Proses acara pernikahan Tau Samawa yaitu:
 Babajakan (penjajakan)
 Bakatowan (meminang)
 Basaputes (mufakat)
 Badaq (pemberitahuan kepada calon wanita)
 Nyorong (mengantar dan menyerahkan biaya pernikahan)
 Tama kengkam (masuk pingitan):
1. Barodak (luluran)
2. Rapancar (berinai)
 Nikah (akad nikah)
 Rame mesaq (kumpul keluarga di rumah calon pengantin)
 Ngireng (mengarak pengantin)
 Tokal basai (duduk bersanding)
 Ngerang (bertandang ke rumah orang tua kedua belah pihak)[6]
Arsitektur Tradisional (Bale Tau Samawa)
Meskipun pada dasarnya rumah tradisonal masyarakat Sumbawa adalah rumah panggung.
Mereka mempunyai standar utama yang mengacu pada Dalam Loka (Istana tua peninggalan
terakhir dari kesultanan Sumbawa). Dalam hal membangun rumah masyarakat Sumbawa
akan saling membantu, sehingga jika ada yang ingin membangun rumah maka harus
diumumkan kepada pemuka masyarakat dan adat. Hal ini untuk memudahkan penentuan
lokasi dan jumlah pohon yang akan ditebang di hutan. Kegiatan membangun rumah ini
dilaksanakan berdasarkan urutan yang dibuat oleh pemuka masyarakat dan adat. Adapun
urutan kegiatannya adalah:
 Marempong (menebang pohon)
 Barepat (memahat)
 Siker Tana (berdoa di lokasi bangunan)
 Sanyata-bola (menyetel bahan bangunan)
 Bau Lonto (mencari salur bahan pengikat)
 Marebas (menebang bambu)
 Nyantek (membuat atap bambu)
 Sampanang-bale (mendirikan rumah)
 Entek-bale (naik ke rumah)
Struktur rumah panggung Sumbawa terdiri dari Ruang Luar, sebagai ruangan untuk
menerima tamu, biasanya diberi penyekat sebagai pelindung tempat tidur. Ruang-Tengaq,
adalah ruang utama (keluarga), yang berfungsi sebagai ruang makan jika ada tamu. Ruang
Dalam, berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan atau dapur sementaram dan sebagai
tempat tidur anak perempuan dan pembantu. Jambang, tambahan dari ruang induk
dikhususkan untuk dapur, tempat gentong air, dan tempat cuci piring. Pekonceng, tempat
meresapkan air limbah. Kandawari, sebagai tempat penyimpanan alat-alat dapur. Biasanya
selalu ada loteng yang berfungsi sebagai gudang, atau sebagai lumbung. Ciri khas rumah ini
adalah bangkung yang merupakan ornamen utama. Umumnya berbentuk cagak yang
disebut layang.
Pakaian Tradisional (Kre Lamung Tau Samawa)
Disebut pakaian tradisional karena selalu dipakai pada acara dan upacara tradisional. Secara
umum dikalangan masyarakat Sumbawa mengenal pakaian tradisionalnya secara turun
temurun sperti kre-alang, sapu-alang, sapu-batek, pabasa, dan cilo untuk laki-laki yang tua
dan muda. Sedangkan untuk perempuan dikenal lamung pante, cipo-cila, kida
sangeng, dan kre-alang. Secara tradisi, masyarakat Sumbawa menempatkan pakaian sebagai
tolak ukur kesopanan. Terlihat ketika dalam pertemuan untuk makan bersama mereka akan
memakai tutup kepala. Sikap demikian menunjukkan penghargaan atas rezeki yang
dianugrahkan oleh Allah Swt.
Masyarakat Sumbawa terkenal memiliki kain songket hasil keterampilan para penenun yang
diperoleh akibat persentuhannya dengan kebudayaan masyarakat Bugis. Songket Sumbawa
umumnya menggunakan benang emas, benang perak, juga benang katun. Yang kita kenal
sebagai kain selungka, misalnya, adalah songket yang menggunakan benang emas dan perak,
dan tampilannya menyiratkan pengaruh kebudayaan Bugis. Jenis lainnya, antara lain, kain
tenun motif kotak-kotak yang disebut mbali pida, dan Seperti halnya saudara mereka di Pulau
Lombok, estetika masyarakat Sumbawa pun melahirkan corak hias simbolis, stilasi bentuk
flora untuk kain perempuan dan penggayaan bentuk fauna atau manusia pada kain kaum
lelaki. Kain songket inilah yang kemudian memberi aksentuasi yang khas pada pakaian adat
masyarakat Sumbawa.[7]

Anda mungkin juga menyukai