Anda di halaman 1dari 8

KEHIDUPAN SUKU AMBON

Suku Ambon (Ambon: orang Ambong) adalah sebuah suku campuran


Austronesia-Papua yang berasal dari Kepulauan Ambon-Lease dan sisi
barat Pulau Seram. Suku Ambon merupakan suku terbesar di antara
orang-orang Maluku lainnya, meski banyak darinya yang tersebar
sebagai akibat dari perpindahan keluar dari daerah aslinya. Suku
Ambon berbahasa Melayu Ambon dan bahasa tanah Ambon; keduanya
termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.[1]

Suku Ambon merupakan suku yang paling dikenal dan berpengaruh di


antara suku-suku Maluku lainnya. Mereka mulai melebarkan
pengaruhnya ketika masa penjajahan Portugis. Hal inilah yang
menyebabkan sering kali istilah orang Ambon dipadankan dengan
orang Maluku.[1] Setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang
menyusul penyebaran Islam, suku Ambon dicirikan oleh persaingan
Islam-Kristennya.[2]
Meskipun suku Ambon berasal dari Kepulauan Maluku, sebagian besar
dari mereka tersebar dan membentuk penyebaran bersama orang
Maluku lainnya dalam jumlah yang besar di Papua, Jakarta, dan Jawa
Barat.[3] Beberapa dari mereka pun membentuk penyebaran besar di
Belanda, juga bersama-sama dengan orang Maluku lainnya.

ASAL USUL PENAMAAN

Asal-usul kata Ambon sendiri tidak dapat ditentukan secara pasti.


Namun, yang pasti adalah istilah suku Ambon diambil dari nama Pulau
Ambon. Menurut penduduk setempat, kata Ambon atau Ambong
dalam bahasa Ambonnya berasal dari kata ombong 'embun' dalam
bahasa Ambon. Nama tersebut diperkirakan diberikan karena puncak-
puncak gunung di Pulau Ambon sendiri sering kali ditutupi oleh embun.
[4]

Pada mulanya, istilah orang Ambon atau Ambonezen dalam bahasa


Belanda digunakan untuk merujuk pada orang mestizo yang berasal
dari Pulau Ambon. Namun pada perkembangan selanjutnya, istilah
tersebut digunakan untuk mengacu pada orang yang berasal dari
Seram, Kepulauan Lease, dan pulau-pulau di sekitarnya.[4] Meskipun
pada akhirnya istilah orang Ambon merujuk pada suku Ambon, masih
sering ditemukan pars pro toto dengan maksud keseluruhan orang
Maluku.[1] Hal yang sama terjadi di Belanda, meskipun pada
pertengahan 1960-an para simpatisan Republik Maluku Selatan mulai
menekankan penggunaan istilah orang Maluku Selatan agar lebih
mencakup. Hal tersebut berakhir ditolak oleh Pemerintah Belanda yang
mengganti istilah tersebut dengan cukup orang Maluku.[5]

SEJARAH

Suku Ambon membagi sejarahnya menjadi enam zaman penting,


dimulai dari zaman Nenek Moyang, dilanjutkan oleh Portugis, Vlaming,
Pattimura, Kompeni, hingga zaman Republik. Garis besar sejarah suku
Ambon dimulai dari Nunusaku di Seram Barat.[6][7][8] Karenanya pun,
budaya tradisional Seram menjadi landasan budaya Ambon

Asal-usul suku Ambon

Sunting

Sejarah Ambon menurut adat dimulai dari Gunung Nunusaku di Seram


yang juga dianggap keramat oleh suku Wemale dan Alune.[9] Nunusaku
sendiri dianggap sebagai pusat dunia oleh suku Ambon dan tanah
pertama yang muncul dari dasar laut ketika dunia diciptakan serta
puncaknya memiliki pohon beringin yang bercabang menjadi tiga
sungai: Eti, Tala, dan Sapalewa.[10] Terdapat pula tiga ekor burung
merpati putih yang hinggap di ketiga cabang pohon tersebut.[11] Hal ini
berhubungan dengan nama Nunusaku sendiri yang terdiri dari dua kata,
yaitu nunu atau beringin dan saku atau perlindungan.[12]

Hindu dan Islam

Sunting

Kedatangan Hindu ke Maluku Tengah belum dapat dipastikan kapan


terjadi. Orang yang paling berkemungkinan membawa Hindu (gaya
Jawa) untuk pertama kalinya ke masyarakat Ambon adalah ketiga
bangsawan bersaudara dari Tuban: Patturi, Pattikawa, dan Nyai Mas.
Namun, yang pasti, Hindu sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Ambon setidaknya pada masa Majapahit menguasai
Maluku. Para pengiring ketiga bangsawan bersaudara tersebut adalah
yang paling berkemungkinan besar memperkenalkan sistem
pemerintahan kerajaan Hindu Jawa kepada Kerajaan Hitu. Hal itulah
yang menyebabkan Raja Hitu hanya menjadi lambang persatuan,
sementara pemerintahannya dijalankan oleh keempat perdana (patih).
Di Hitu sendiri, Patturi dan Pattikawa menurunkan garis perdana
Tanahitumessen, sedangkan Nyai Mas menikah dengan Latu Lopulalang
(Raja Selaksa Pedang), Raja Nusaniwe.[16] Hal tersebut menyebabkan
timbulnya hubungan pertalian darah antara Hitu Hitulama dengan
Nusaniwe yang nantinya akan disebut sebagai pela gandong.[17] Seiring
dengan banyaknya peninggalan Majapahit pada suku Ambon, Jazirah
Leitimur dikatakan sebagai pusat Hindu suku Ambon.[15] Pada
kemudian hari, ditemukan bukti-bukti pernikahan politik antara putri-
putri Jawa dengan penguasa Ambon, seperti di Soya yang kala itu sudah
menjadi negara Hindu. Penguasanya, Latu Selemau (Sri Mahu)
memperistri seorang putri Majapahit bernama Vera Ina dan karenanya
mendapatkan gelar berbau Jawa yang masih digunakan oleh Raja Soya
hingga kini.[a][18] Sistem hubungan antarnegeri yang dikenal dengan
uli (persekutuan) mulai muncul pada zaman Hindu seiring dengan
dikenalnya paruh masyarakat.[19] Di Saparua, Kerajaan Iha sudah
terbentuk pada masa ini, walaupun kehinduannya belum dapat
dipastikan.[20]

BUDAYA

Salah satu dari dua mata pencaharian adati suku Ambon adalah tukang
kebun. Suku Ambon menanam berbagai macam sayuran, rempah, dan
buah-buahan di ladangnya, di antaranya kasbi (ketela) yang dahulu
dibawa oleh Portugis untuk memperbaiki gizi masyarakat setempat.[60]
Sagu yang merupakan makanan pokok pun dibudidayakan oleh para
tukang kebun, meski dulunya diambil langsung dari alam.[

Pemerintahan

Sunting

Artikel utama: Negeri (Maluku)

Baileo Sirisori Kristen, Saparua. Baileo merupakan rumah panggung.

Masyarakat suku Ambon yang masih berada di lingkup budaya Ambon


tinggal di negeri (negeri) yang terdiri dari beberapa soa (klan). Negeri
dipimpin oleh seorang raja (kepala negeri) yang berasal dari salah satu
matarumah dari soa paling tinggi kedudukannya di negeri tersebut.
Layaknya raja pada umumnya, gelar raja tersebut diturunkan kepada
orang sematarumah raja itu sendiri, walau kini raja dari beberapa
negeri dipilih langsung oleh rakyat negerinya.[65] Dalam memerintah
negeri, raja didampingi oleh saniri (badan permusyawaratan) yang
berisikan seluruh kepala soa di negeri tersebut atau perwakilan
dewasanya dan dalam beberapa negeri ditambah para kepala adat.
Saniri mengadakan sidang besar berkala setahun sekali di baileo yang
dihadiri seluruh jajaran pemerintah negeri, kepala keluarga, dan laki-
laki negeri dari negeri tersebut. Hal ini sering disebut sebagai salah satu
bentuk kerakyatan langsung.[67] Selain itu, terdapat marinyu sebagai
pesuruh raja. Negeri satu dengan yang lainnya saling memiliki
hubungan pela (persekutuan).[64] Bentuk pela tertinggi adalah pela
keras yang dahulu digunakan untuk menghadapi perang dari pihak luar,
seperti dalam perang melawan Portugis dan Belanda di masa lampau.
[68]

Bahasa utama yang dituturkan oleh suku Ambon adalah bahasa Ambon
atau Melayu Ambon, salah satu bahasa rumpun Austronesia yang
sejatinya merupakan dialek Melayu hasil perkembangan bahasa tanah
(asli) yang dipengaruhi kuat oleh

bahasa Melayu.[61] Menurut pengelompokan bahasa Maluku, bahasa


Ambon termasuk dalam kelompok bahasa Siwalima.[1] Penggunaan
bahasa Ambon yang merupakan dialek bahasa Melayu oleh suku
Ambon dilatarbelakangi oleh perdagangan dan penjajahan. Kini, bahasa
Ambon tak hanya digunakan oleh suku Ambon, tetapi juga digunakan
sebagai basantara seluruh Maluku di samping bahasa Indonesia.[70]

Suku Ambon sangat agamawi.[78] Suku Ambon mayoritas beragama


Kristen dengan minoritas Muslim yang signifikan. Islam dibawa oleh
para pedagang Arab dan Jawa, sementara Kristen datang dalam dua
gelombang. Gelombang pertama Kristen adalah dalam bentuk Katolik
Roma yang dibawa oleh bangsa Portugis, dilanjutkan oleh Protestan
yang dibawa oleh Belanda sejak zaman VOC. Walaupun kedua agama
tersebut merupakan agama utama suku Ambon, mereka sendiri masih
menjalankan beberapa peninggalan kepercayaan asli mereka,
pemujaan roh nenek moyang, yang mereka peluk sebelum datangnya
kedua agama tersebut ke Maluku.[64] Persaingan dan pergesekan di
antara kaum Kristen dan Islam sempat memuncak pada akhir abad XIX.

HASIL PENELITIAN:

LAPORAN PENELITIAN SEJARAH DANNILAI TRADISIONAL AMBON

Laporan Penelitian Sejarah Dan Nilai Tradisional Ambon ini berisikan


beberapa judul meliputi (1) Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong Antar
Negeri-Negeri di Pulau Ambon (oleh Dra. Ny.F Sahusilawane); (2)
Pengaruh Ekonomi Pasar Terhadap Perubahan Sistem Gotong Royong
pada Masyarakat Tani di Pulau Saparua (oleh Julli Pattipeilohy, SH); (3)
Kelanjutan Perlawanan Pasukan Pattimura di Saparua Sesudah Tahun
1817 (oleh Dra.F.Sahusilawane, dkk); (4) Asal-Usul, Arti dan Makna
Rumah Bagi Suku Ambon di Kecamatan Sirimau (oleh Debby Pattinama,
SH).

Kelompok 4
Anggota:-sapira Laura

-nisrina Caesar Komara

-rina sumartikah

-sintia

-neli MELIYANTI

-dandi Lukmanul hakim.

Anda mungkin juga menyukai