Anda di halaman 1dari 58

Bab Tiga

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di


Seram-Maluku

Bumi Seram di Maluku


Pembahasan tentang eksistensi sukubangsa di Seram-Maluku di-
maksudkan untuk menjelaskan tentang eksistensi Orang Bati atau Suku
Bati sebagai salah satu sukubangsa di Pulau Seram-Maluku yang selama
ini distigma orang luar sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-
hilang). Orang Bati atau Suku Bati memiliki identitas maupun teritorial
di Pulau Seram Bagian Timur. Dalam deretan suku-suku di Pulau
Seram, Orang Bati atau Suku Bati belum diakui sebagai salah satu
sukubangsa karena Orang Bati dianggap sebagai manusia ilang-ilang
(hilang-hilang). Studi tentang Esuriun Orang Bati dimaksudkan untuk
menjelaskan tentang Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan
hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan,
dijumpai dalam mekanisme integrasi kultural yang dicapai oleh ke-
lompok Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati untuk mewujud-
kan integrasi eksistensial sehingga Orang Bati memiliki jati diri atau
identitas sebagai manusia maupun sukubangsa dan tidak terbedakan
dari sukubangsa lainnya di Pulau Seram maupun Maluku.
Kalimat kunci yang digunakan Orang Bati kalau tetap bersatu
katong tetap kuat (kal ta buik tetap kuat). Dalam pandangan Orang Bati
bahwa, membangun Maluku tanpa membangun Seram berarti tidak
ada artinya. Sebab Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) yaitu ale
deng beta (kamu dengan saya) berasal dari sana. Selama ini kehidupan
dari suku-suku tertentu di Pulau Seram yang mendiami wilayah pe-
gunungan atau wilayah pedalaman masih jauh dari sentuhan pem-
bangunan sehingga kehidupan mereka benar-benar terabaikan dari
pelayanan umum, termasuk Orang Bati atau Suku Bati di Pulau Seram
Bagian Timur. Untuk memahami tentang posisi di mana suku-suku

67
Esuriun Orang Bati

tersebut berada di wilayah Pulau Seram, berikut ini dikemukakan


tentang keadaan geografis.

Kondisi Geografis
Pulau Seram merupakan pulau terbesar di wilayah Kepulauan
Maluku. Pulau Seram terdiri dari wilayah pegunungan maupun dataran
rendah. Wilayah pegunungan yang cukup tinggi berada di wilayah
Seram Timur sampai dengan Seram Tengah bagian Selatan, sedangkan
di wilayah bagian Barat terdapat pegunungan yang tidak begitu tinggi
seperti di Seram bagian Timur maupun Seram Tengah. Sebutan
Seram! 1). Seperti itu adalah persepsi sebagian besar Orang Maluku (ter-
utama Orang yang mendiami negeri-negeri adat di Pulau Ambon,
Saparua, Haruku, dan Nusa Laut (Kepulauan Lease). Pulau Seram se-
bagai pulau terbesar di Kepulauan Maluku yang terletak di sebelah
utara Pulau Ambon, Pulau Tiga (Nusa Lain, Nuasa Hatala, Nusa Ela),
Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut), sebelah Timur dari
Pulau Buru, Manipa, Kelang, dan Buano, dan sebelah Barat dari Pulau
Geser, Gorom, Keving, Seram Laut, Varan dan Akad.
Secara geografis, bagian barat Pulau Seram dikelilingi oleh Laut
Seram dan Laut Buru. Di sebelah utara terdapat Laut Seram yang me-
nyambung dengan Samudera Pasifik. Di sebelah selatan dikelilingi oleh
Laut Banda yang menyambung dengan Samudera Hindia (Samudera
Indonesia), dan bagian timur dikelilingi oleh Laut Seram yang me-
nyambung dengan Laut Arafura dan Samudera Hindia (Samudera
Indonesia). Keadaan Pulau Seram di Kepulauan Maluku dapat dilihat
pada peta 1 berikut ini:

1)Katong taku pi ka sana (kami takut untuk datang ke sana). Ungkapan ini sering

muncul di kalangan Orang Ambon dan Orang Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut)
ketika berinteraksi. Makna dari ungkapan tersebut yaitu Seram dan Manusianya
menakutkan, menyeramkan. Melalui ungkapan seperti ini Orang Ambon dan Orang
Lease bisa melupakatan bahwa leluhur mereka berasal dari Pulau Seram atau Nusa Ina
(Pulau Ibu) yaitu tempat asal dari anak cucu keturunan Alifuru (Manusia Awal).

68
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Peta 1
Pulau Seram

Pengelompokan Patasiwa dan Patalima di Maluku

Pengelompokan berbasis asal-usul dan budaya tersebut di


Maluku Utara dinamakan Urisiwa dan Urilima, di Maluku Tengah
(Ambon, Lease, dan Seram) dinamakan Patasiwa dan PataLima, dan di
wilayah Maluku Tenggara dinamakan Ursiu dan Lorlim. Arti dari
Patasiwa (Pata = Bagian dan Siwa = Sembilan), (Pata = Bagian dan Lima
= lima). Kelompok sosial Patasiwa dan Patalima dapat dijumpai pada
masyarakat yang mendiami negeri-negeri (adat) di Pulau Seram
maupun wilayah Maluku Tengah secara umum.
Sejak masa lampau kehidupan Alifuru Seram terdapat kelompok
sosial Patasiwa dan Patalima. Kelompok sosial Patasiwa terdiri dari
Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) dan Patasiwa Putih. Kelompok
Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) menempati wilayah Seram sebelah
barat Sungai Mala, sedangkan Patasiwa Putih menempati daerah
sempit sepanjang pantai selatan di sebelah timur Sungai Mala, se-

69
Esuriun Orang Bati

panjang Teluk Teluti (Cooley, 1961 : 119). Masing-masing kelompok


pata mendiami teritorial, menganut bahasa, adat-istiadat, kebudayaan,
dan lainnya yang berbeda-beda. Dalam kehidupan Alifuru Seram, ke-
dua kelompok pata tersebut selalu bermusuhan karena pada zaman itu
sangat kuat tradisi mengayau. Untuk itu pada masa lampau serangan
pemenggalan kepala manusia (mengayau) atau potong kepala manusia
yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain yang
berbeda untuk memenuhi kebutuhan ritual adat tertentu yang di-
lakukan pada rumah adat atau Baileu atau Baileo. Aktivitas mengayau
tidak ditujukan pada kelompok sosial yang sama, tetapi ditujukan pada
kelompok sosial yang berbeda. Untuk itu keberadaan (eksistensi)
rumah adat (baileu) sebagai simbol pemersatu kelompok sangat penting
dalam kehidupan kelompok Patasiwa maupun Patalima sejak masa
lampau sampai saat ini, dan simbol tersebut dapat dijumpai pada semua
negeri adat di Maluku Tengah atau Ambon, Lease, dan Seram maupun
tempat lainnya yang diwujudkan melalui suatu bangunan sakral yang
di tempatkan pada di tengah-tengah negeri atas desa. Baileu sebagai
tempat sakral benar-benar dijaga dan dilindungi oleh pendukung
tradisi dan kebudayaan.
Pada umumnya rumah adat (baileu) pada Orang Patasiwa dan
Patalima berupa bangun fisik yang berada di tengah-tengah negeri.
Rumah adat atau baileu benar-benar dilindungi karena memiliki nilai
kesakralan, dan digunakan untuk maksud-maksud tertentu dalam
ritual adat. Colley (1961 : 113) mengemukakan bahwa baileu itu
disebut atau dilihat sebagai rumah adat. Baileu adalah manifestasi fisik
dari desa sebagai persekutuan adat. Baileu merupakan rumah tua desa,
rumah pusaka dari klen sebagai tempat untuk menyimpan semua
pusaka dan alat-alat yang mereka percaya memiliki arti dan kekuatan
khusus (gaib) karena pusaka dan alat-alat tersebut ada kaitannya
dengan para leluhur, dan tempat orang membicarakan, memutuskan,
dan melaksanakan hal-hal yang ada kaitannya dengan kesejahteraan
klan atau pribadi di dalam kelompok.
Dalam tradisi Alifuru Seram konsep baileu sebagai rumah adat
agar tetap hidup maka manusia harus mati. Hal ini mengandung makna
bahwa kehidupan setelah kematian adalah suatu keharusan sehingga

70
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

baileu tetap hidup. Dalam realitasnya setiap kelompok pata memiliki


rumah adat atau baileu sendiri-sendiri. Agar baileu tetap hidup, dan
manusia ada yang meninggal (mati) maka serangan pemenggalan
kepala manusia untuk kebutuhan ritual, harta kawin, dan sebagainya
yang harus dipersembahkan di baileu menyebabkan kedua kelompok
pata tersebut sering terlibat dalam konflik maupun pertikaian, sehingga
kedua kelompok pata (Patasiwa dan Patalima) selalu hidup dalam
permusuhan.

Struktur Sosial Masyarakat Maluku


Dalam kehidupan Orang Maluku sajak zaman dahulu sampai saat
ini masih teridentifikasi berbagai stuktur sosial. Keragaman struktur
sosial dapat dikemukakan sebagai berikut:
Rumatau atau Lumatau (Mata Rumah)
Rumatau atau lumatau (mata rumah) merupakan ciri umum yang
dapat dijumpai pada setiap lingkungan masyarakat negeri (adat) di
Maluku. Dalam rumatau atau lumatau (mata rumah) terdapat keluarga
sebagai unit terkecil dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan
sebagai struktur sosial dasar. Oleh Effendi (1987 : 25) rumatau atau
lumatau adalah kesatuan kelompok genealogis yang lebih besar sesudah
keluarga. Kata pokoknya adalah ruma atau rumah. Sebutan untuk
rumah ini berbeda di beberapa tempat, sesuai dengan dialek setempat.
Menurut dialek Saparua disebut lumal, dialek Nusalaut rumah, dialek
Haruku ruma, dialek Hila dan Asilulu luma. Sebutan luma juga di-
kemukakan oleh Streseman. Dalam bahasa daerah asli atau bahasa
tanah huruf r dibaca l. Secara harfiah, ruma berarti rumah dan
tau berarti isi. Rumatau berarti rumah yang didiami bersama-sama
oleh orang-orang yang seketurunan dan keanggotaannya tersusun
menurut garis bapak. Nama lain yang populer di kalangan rakyat untuk
rumatau ini adalah mata-mata. Mata berarti asal atau induk.
Rumatau atau lumatau terdiri atas beberapa keluarga dengan
kepala keluarganya masing-masing, dan merupakan struktur dasar bagi
pembentukan struktur sosial di kalangan masyarakat Ambon dan Lease

71
Esuriun Orang Bati

(Saparua, Haruku, dan Nusalaut), karena setiap orang mesti berada


dalam salah satu rumatau. Orang yang tergabung dalam rumatau ada-
lah orang asal, yang lawannya adalah orang dagang atau bukan orang
asli yang berasal dari salah satu rumatau. Dikemukakan lebih lanjut
oleh Effendi (1987 : 26) bahwa setiap orang senantiasa tergabung ke
dalam salah satu rumatau. Mereka yang tidak tergabung ke dalam salah
satu rumatau sukar untuk turut serta di dalam lalu lintas hukum dan
kurang mendapat perlindungan hukum, karena tidak masuk hitungan
sebagai orang asli dari negeri yang bersangkutan. Rumatau adalah
kebanggaan dari anggotanya, dan berada di luarnya berarti kehilangan
kebanggaan dan martabat serta lain-lain hak yang dapat dibanggakan
sebagai orang asli. Untuk mengatur suatu rumatau, baik dalam hu-
bungan ke dalam rumatau, maupun terhadap pihak luar seperti ruma-
tau lain, maka diangkatlah salah seorang dari anggota rumatau yang
bersangkutan menjadi pemimpin dengan gelar upu. Biasanya dipilih
yang tertua atau yang dituakan di antara anggota rumatau itu. Seniori-
tas generasi seseorang memegang peranan penting untuk dapat di-
angkat menjadi upu. Ini dimaksudkan supaya diperoleh seorang
pemimpin yang berwibawa.

Uku
Perkembangan yang terus berlangsung dalam kehidupan ruma-
tau antara lain pertambahan anggota karena kelahiran sehingga jumlah
mereka makin banyak. Anggota-anggota keluarga yang berasal dari
rumatau yang jumlahnya besar kemudian mendirikan rumah disekitar
rumatau induk dan terus mengalami perkembangan sehingga menjadi
banyak sehingga terbentuk pesekutuan hidup yang lebih besar yang
dinamakan Uku atau Huku. Oleh Effendi (1987 : 28) bahwa uku atau
huku itu merupakan suatu persekutuan genealogis. Dalam per-
kembangannya, uku sebagai persekutuan genealogis berganti dengan
persekutuan teritorial atau teritorial genealogis. Namun yang terjadi
kemudian yaitu uku tersebut hanya tinggal nama saja. Riedel me-
nyamakan uku ini dengan soa.

72
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Soa
Persekutuan dalam soa lebih luas. Suatu soa biasanya terdiri dari
mata rumah atau rumatau (lumatau). Artinya di dalam satu soa
terdapat marga-marga atau fam (family) yang berbeda-beda. Effendi
(1987 : 29) mengemukakan bahwa soa adalah suatu persekutuan
teritorial genealogis. Di dalam administrasi pemerintahan, sekarang ini
soa merupakan suatu wilayah yang menjadi bagian dari suatu petuanan
atau negeri. Dalam kenyataannya rumatau-rumatau dalam soa tidak
seketurunan. Mereka berasal dari keturunan yang berbeda, yang secara
kebetulan menempati wilayah yang sama. Unsur teritorial yang
menyebabkan mereka bergabung, dan bukan unsur genealogis.
Dalam suatu soa terdapat satu rumatau asli, tetapi dapat dijumpai
juga bahwa dalam satu soa terdapat beberapa rumatau, maupun marga-
marga pendatang. Pada umumnya pemimpin yang terdapat dalam satu
soa berasal dari rumatau asli yang dinamakan Kepala Soa, dan me-
miliki fungsi dan peran untuk mengkoordinir seluruh anggota yang
terdapat dalam soa tersebut. Nama soa yang terdapat dalam suatu
negeri berbeda-beda, serta jumlah soa pada setiap negeri tidak sama.
Anggota yang terdapat dalam soa tersebut dinamakan Anak Soa.

Hena dan Aman


Hena dan Aman merupakan persekutuan hidup yang lebih besar
dari soa. Artinya gabungan dari beberapa soa kemudian terbentuknya
Hena atau Aman. Menurut G A Wilken dan van Ossenbruggen dalam
Effendi (1987 : 30) menuliskan Hena dengan Henna yang bentuknya
sama dengan yang di Pulau Buru Fenna. Henna atau Fenna berarti
daerah atau wilayah (landstreek) atau daerah suatu suku (stamgebied).
Dalam arti terbatas bisa berarti kampung (dorp). Jadi Hena adalah
suatu kesatuan masyarakat yang berunsurkan teritorial. Menurut dialek
Saparua disebut Amanno, dialek Nusalaut Amanyo, dialek Hila
Amano dan amane, dan dialek Asilulu Hena. Di Ambon Lease, Hena
aslinya adalah sebuah persekutuan yang lebih besar dari Uku. Sebuah
Hena bisa terdiri atas beberapa Uku. Pada mulanya mungkin saja suatu

73
Esuriun Orang Bati

Hena terbentuk oleh Uku-Uku, dan Uku-Uku ini adalah kesatuan-


kesatuan genealogis, namun sudah harus diperhitungkan unsur teri-
torialnya oleh Uku-Uku yang bersangkutan karena sudah menempati
daerah yang luas. Hena itu dinyatakan sebagai suatu persekutuan
genealogis teritorial yang lebih menitik beratkan kepada unsur
genealogisnya atau di mana unsur genealogis yang dominan. Jadi
kebalikan dari soa di mana unsur teritorial yang dominan atas
rumatau-rumatau yang berunsurkan genealogis itu dan bersama-sama
membentuk sebuah persekutuan genealogis teritorial.

Negeri
Negeri merupakan penamaan yang saat ini umumnya digunakan
oleh Orang Maluku untuk mengidentifikasi tempat asal-usul, tanah ke-
lahiran, tampa putus pusa, dan lainnya yang identik dengan itu pada
seseorang. Menurut Effendi (1987 : 31) istilah negeri bukan berasal dari
bahasa asli daerah ini atau bahasa tanah. Suatu negeri adalah per-
sekutuan teritorial yang terdiri atas beberapa soa yang pada umumnya
berjumlah paling sedikit tiga. Kepala Negeri yang disebut Pamerentah
dan sehari-hari dipanggil Raja. Dalam Ordonansi S. 1824-19a disebut
regent. Sekarang ini susunan wilayah pemerintahan negeri adalah
wilayah yang membentuk negeri. Di bawahnya terdapat wilayah-
wilayah soa yang terbentuk dari beberapa rumatau sebagai per-
sekutuan genealogis.

Uli dan Pata


Penamaan Uli dan Pata dapat dijumpai pada Orang-Orang yang
mendiami Ambon, Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut), dan Seram.
Mengenai pengertian Uli itu sendiri menurut Effendi (1987 : 31)
adalah suatu persekutuan yang terbentuk atau tersusun atas beberapa
Hena atau Aman. Uli adalah lembaga masyarakat yang khusus terdapat
di Ambon Lease. Walaupun di daerah sekitarnya terdapat lembaga
yang sama dengan Uli ini, tetapi tidaklah serupa, misalnya di Pulau
Seram. Mengenai arti Uli itu sendiri terdapat perbedaan pendapat

74
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

diantara para penulis. Selanjutnya menurut Effendi, mengenai arti Uli


itu sendiri terdapat perbedaan pendapat di antara para penulis.
Valentijn mengartikannya dengan persekutuan (gespanschap).
Holleman mengartikan Uli adalah perikatan atau gabungan suku-
suku (stammenbond) yang terdiri atas lima atau sembilan aman, hena
atau soa. Dalam uraian selanjutnya Holleman menyebutkan Uli adalah
Volk. Melihat kepada terbentuknya Uli ini, maka volk di sini bukan
berarti bangsa atau nation, tetapi sebagai kelompok rakyat yang terikat
satu sama lainnya karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, kebiasaan-
kebiasaan dan wilayah pemukiman yang sama. Jansen sebagai Residen
terakhir dari pemerintahan penjajahan Belanda di Maluku sampai
datangnya kekuasaan Jepang, tidak memberikan pengertian mengenai
Uli, dan beliau kurang setuju kalau Uli diartikan dengan perikatan
(gespanschap) atau bangsa (volk).
Namun di dalam realitasnya, cara pengelompokan sosial di
Ambon Lease banyak berpengaruh dari konsep Uli karena sistem ini
membagi masyarakat ke dalam kelompok Ulisiwa dan Ulilima. Artinya,
Orang Ambon Lease mesti berada dalam satu Uli tertentu. Kalau tidak
Ulisiwa tentu Ulilima. Di Pulau Seram untuk Uli dikenal istilah Pata.
Patasiwa untuk Ulisiwa, dan Patalima untuk Ulilima. Menurut Effendi
(1987 : 32) walaupun antara Uli dan Pata terdapat kesamaan, namun
ada perbedaannya yaitu Uli lebih cenderung bersifat genealogis,
sedangkan Pata lebih cenderung kepada pengertian teritorial. Uli
sebagai persekutuan yang murni atau secara menyeluruh genealogis
dapat dikatakan tidak ada. Kalau disebut cenderung genealogis
bukanlah berarti bahwa seluruh anggota atau rakyat yang tergabung di
dalam Uli itu berasal dari satu moyang atau satu leluhur, karena Uli
dibentuk oleh beberapa kelompok orang di mana masing-masing
kelompok merupakan kesatuan yang berdiri sendiri dan berasal dari
leluhur yang berbeda. Uli adalah tempat mereka bergabung dibawah
satu pimpinan. Unsur teritorial juga terdapat di dalamnya, karena
wilayah pemukiman mereka bertetangga. Contoh yang kuat tentang ini
adalah Uli Helawan sendiri yang kelompok-kelompok anggotanya
bukan saja tidak seketurunan, tetapi juga berasal dari daerah yang
berbeda-beda.

75
Esuriun Orang Bati

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan mengenai penamaan


Uli tampak bahwa ciri yang terdapat pada Uli yaitu berupa sistem
pengelompokan sosial berdasarkan teritorial, dan bukan genealogis
karena orang-orang yang tergabung dalam satu Uli belum tentu
memiliki asal-usul leluhur yang sama. Orang-orang yang tergabung
dalam satu Uli memiliki hena atau aman, atau saat ini dinamakan
negeri yang bertetangga pada satu pulau tertentu, tetapi bisa berbeda
pulau. Misalnya sebutan Orang Uliaser (Uliasa) atau saat ini dikenal
dengan nama Lease ditujukan pada orang-orang yang mendiami negeri
atau Hena atau Aman yang terdapat di Pulau Saparua, Haruku, dan
Nusalaut. Sistem pengelompokan sosial tersebut dapat dijumpai pada
orang-orang yang mendiami negeri-negeri (adat) di Ambon Lease yang
menampakan ciri sebagai Ulisiwa maupun Ulilima. Ada juga yang me-
nyebut Patasiwa dan Patalima yang memiliki ciri khas berbeda pada
bentuk kedudukan negeri, rumah adat (baileu), perahu, lilitan rotan
pada parang (golok) dan sebagainya. Artinya orang-orang yang ter-
gabung dalam satu Uli tertentu (Ulisiwa maupun Ulilima) menyebut
diri sebagai Orang Patasiwa atau Negeri Patasiwa maupun Orang
Patalima atau Negeri Patalima.
Menurut Effendi (1987 : 32) Uli terbagi atas dua macam atau jenis
yaitu Ulisiwa dan Ulilima. Siwa berarti sembilan dan Lima adalah lima.
Bagaimana asal mulanya sampai ada yang sembilan dan ada yang lima
ini tidaklah jelas. Ada pendapat yang mengatakan bahwa terbentuknya
Uli yang berbeda itu berdasarkan jumlah Hena atau Aman atau
kampung yang membentuk Uli itu, pada Ulisiwa jumlahnya sembilan
dan pada Ulilima jumlahnya lima. Apakah benar-benar dasar per-
bedaannya itu adalah jumah Hena atau Aman yang sekarang menjadi
Soa yang tergabung ke dalam suatu Uli masih diragukan. Setidak-
tidaknya masih harus dibuktikan lagi2). Keragu-raguan itu timbul sebab

2)Mengenai
makna sembilan dan lima dapat dilihat dalam bahasan pada Bab Empat
pada sub pokok bahasan tentang Kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati tentang Siwa-
Lima.

76
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

berdasarkan kenyataan yang ada sekarang ini pada tiap-tiap negeri di


Ambon Lease, tidak satu negeri yang Ulisiwa mempunyai atau ter-
bentuk atas 9 Soa atau lebih, tetapi sebaliknya ada negeri yang Ulilima
mempunyai lebih dari 5 Soa, bahkan ada yang lebih dari 9 Soa. Negeri-
negeri Ulisiwa jumlah soa tidak sampai 9 diantaranya Negeri Nalahia di
Pulau Nusalaut hanya mempunyai empat Soa yaitu Soa Lewerissa,
Rikumahu, Leiwakabessy, dan Berhitu. Negeri Hatiwe Besar di Pulau
Ambon terdiri dari 3 Soa yaitu Soa Lata, Batulubang, dan Masing.
Negeri Asilulu di Pulau Ambon mempunyai 4 Soa yaitu Soa Ely,
Kalauw, Mahu, dan Moni.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Effendi (1987 : 35-37) Berbagai
Uli yang terdapat di Ambon antara lain di Jazirah Hitu terdapat 7 Uli
yaitu Uli Helawan di Negeri Hitumesing, Uli Seilessy di Negeri
Mamala, Uli Sawani di Negeri Wakal, Uli Hatunuku di Negeri Kaitetu,
Uli Ala di Negeri Seith, Uli Nau Bainau di Negeri Lima, dan Uli
Solemata yang meliputi Negeri Tulehu, Tial, dan Tenga-Tenga. Ketujuh
Uli tersebut membentuk lagi Uli gabungan bernama Uli Hitu, dan Uli
Yala Hitu Hua Barkate yang menundukan diri kepada Uli Helawan.
Selanjutnya di Jazirah Leitimor terdapat empat Uli yaitu Uli Nusaniwe
di Negeri Latuhalat, Uli Urimesing di Negeri Urimesing, Uli
Terangbulan meliputi Negeri Kilang, Hatalai, dan Naku, dan Uli
Sirimau di Negeri Soya. Di Pulau Haruku terdapat 2 Uli yaitu Uli
Hatuhaha di pantai utara dan barat dari Pulau Haruku, dan Uli
Buangbessy di pantai selatan. Uli Hatuhaha adalah Uli yang masih
hidup dan paling menonjol dari semua Uli di Ambon Lease sekarang
ini. Uli Hatuhaha berpusat di Negeri Pelauw dan anggota-anggotanya
adalah Negeri Hulaliu, Rohomoni, Kailolo, dan Kabau. Di Pulau
Saparua Uli ini hampir tidak bisa dikesani. Walaupun ada disebut-
sebut Uli Hatawano dan Uli Honimua. Uli Hatawano meliputi daerah
Teluk Hatawano di pantai utara Pulau Saparua, dan Uli Honimua
meliputi daerah selatan di Pulau Saparua. Di Pulau Nusalaut terdapat 2
Uli yaitu Uli Inahaha di bagian atas yang terbentuk oleh Hena-hena
Lesinusa, Kakerisa, Henasiwa, dan Hatalepa-pawae, dan Uli Inaluhu
yang berarti bagian bawah yang dibentuk oleh Hena-Hena Samasuru,
Risapori, Henalatu, dan Tounusa.

77
Esuriun Orang Bati

Alifuru Patasiwa dan Patalima di Seram-Maluku


Sebutan Suku Alifuru atau Orang Alifuru tidak populer di
Maluku, karena selama ini sebutan tersebut dipersepsikan oleh orang
luar (Maluku) sendiri sebagai kehidupan manusia yang primitif, kotor,
jahat, dan sebagainya. Untuk itu dalam interaksi sosial sebutan Alifuru
senantiasa dianggap berkonotasi negatif. Dalam kehidupan sehari-hari
di kalangan Orang Maluku, teristimewa dalam ritual adat untuk
maksud tertentu yang berkaitan dengan adat dalam upacara pelantikan
Raja (Latu), mengerjakan rumah adat (baileu), upacara adat panas
gandong, pela, dan lainnya selalu menggunakan adat-istiadat khas
Alifuru seperti tarian adat cakalele. Dalam kehidupan Alifuru di Pulau
Seram, ternyata mereka terdiri dari berbagai kelompok yang menganut
tradisi, adat-istiadat, bahasa, identitas, kebudayaan, teri-torial, dan
lainnya yang berbeda-beda. Sejak awal kelompok Patasiwa dan
Patalima selalu bersaing. Bahkan kedua kelompok pata tersebut sering
terlibat dalam konflik dan pertikaian.
Kedua kelompok sosial tersebut sering hidup bermusuhan.
Struktur sosial Orang Maluku sajak zaman dahulu sampai sekarang
masih teridentifikasi dalam sistem pengelompokan sosial yang berbasis
Patasiwa (sembilan bagian) dan Patalima (lima bagian ) dapat dijumpai
pada berbagai tempat. Menurut Colley (1961 : 118-122) kata pata
berasal dari bahasa asli seperti juga kata setaraf uli, dan keduanya
berarti kelompok atau bagian. Siwa berarti sembilan dan Lima berarti
lima. Jadi Patasiwa atau Ulisiwa berarti kelompok sembilan, sedang-
kan Patalima atau Ulilima adalah kelompok Lima. Tiap desa di Maluku
Tengah tergolong ke dalam salah satu kelompok, dan biasanya para ahli
dalam soal adat akan mengetahui pada kelompok mana sesuatu desa
tergolong. Lebih lanjut dikemukakan Colley bahwa Patasiwa-Patalima
nampaknya menunjukkan bahwa seluruh desa yang tergolong pada
kelompok sembilan mempunyai sistem adat yang serupa dalam segi-
segi tertentu. Tergolongnya sesuatu desa ke dalam kelompok sembilan
atau kelompok lima, hal ini tampak mempunyai akibat-akibat tertentu.
Adapun susunan sosial dari desa-desa yang tergolong pada kelompok
sembilan dikatakan terdiri dari sembilan satuan yang lebih kecil.
Artinya, secara umum mereka mengetahui tergolong pada Patasiwa

78
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

atau Patalima. Kedua sistem adat seperti ditemukan di desa-desa di


Ambon dan Lease dapat dihubungkan dengan daerah asalnya atau
daerah-daerah adat di Pulau Seram.
Dalam hal ini ada persesuaian pendapat bahwa pembagian
Patasiwa-Patalima pada mulanya ditentukan di Seram, juga mengenai
cara memberikan garis pembatasannya. Patasiwa adalah kelompok
Alifuru yang menghuni bagian Pulau Seram, yang sebagian terletak di
sebelah barat dari Sungai Mala yang bermuara ke dalam Teluk
Elpaputih di sebelah selatan. Orang-Orang Patalima menghuni daerah
yang terletak di sebelah timur perbatasan Sungai Mala. Kelompok
Patasiwa terdiri dari dua subkelompok yaitu kelompok Patasiwa Hitam
(Patasiwa Mete) yang menempati wilayah Pulau Seram bagian barat
dengan batas di Sungai Mala, dan Patasiwa Putih yang menempati
daerah sempit sepanjang pantai selatan di sebelah timur Sungai Mala,
sampai dengan wilayah sepanjang Teluk Teluti.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Colley (1961) bahwa terdapat
pandangan lain yang mengatakan bahwa kelompok siwa (sembilan)
dan kelompok lima (lima) itu sesungguhnya bukan asli Seram, tetapi
berasal dari Kesultanan Tidore dan Ternate. Patasiwa ada pertaliannya
dengan Ternate dan Patalima dengan Tidore. Alasan yang dikemuka-
kan untuk pembagian itu dengan maksud dari Sultan Ternate untuk
memecah-belah Orang-Orang Seram, sehingga lebih mudah me-
naklukan mereka. Banyak contoh dalam sejarah bahwa Kesultanan
Ternate dan Tidore terus-menerus bersaing, paling tidak semenjak
tahun 1450. Juga diketahui perluasan kekuasaan politik ke selatan
setelah pendirian kesultanan-kesultanan yang kuat di Ternate dan
Tidore, terjadi dalam paruh kedua abad ke-15. Bahwa kelompok-
kelompok Patasiwa dan Patalima saling bermusuhan, itu sesuai dengan
pendapat bahwa pengelompokan itu adalah pengaruh dari kekuatan-
kekuatan yang saling bersaing di sebelah utara.
Dapat dikemukakan bahwa pergolakan politik untuk ke-
pentingan penaklukan wilayah suku menyebabkan pergolakan politik
yang makin hebat, sehingga timbul persaingan yang menjadi penyebab
terjadinya pertikaian antar suku, kelompok, dan sebagainya. Hal ini

79
Esuriun Orang Bati

dikemukakan lebih lanjut oleh Colley (1961) terdapat data yang harus
diperhatikan dalam hubungan ini yaitu tentang pembagian kelompok
penduduk di Seram yang berasal dari zaman sebelum pengelompokan
Patasiwa dan Patalima itu diperkenalkan. Di Seram Barat sebelum abad
ke-15 terdapat dua golongan Suku Alifuru yaitu Pata Aloene (Halune)
dan Pata Wemale (Memale). Aloene menghuni daerah Sungai
Sapalewa, sedangkan Wemale menempati daerah selatan di sekitar
Sungai Tala dan terus ke arah timur. Wemale tampaknya terpencar
lebih luas ke daerah yang kemudian diduduki oleh Patalima. Ada per-
bedaan-perbedaan kebudayaan tertentu di antara kedua kelompok
suku ini akibat pengaruh Kerajaan Ternate dan Tidore yang menjadi
penyebab dari pengelompokan kembali Orang-Orang Seram yang lebih
besar akhirnya dinamakan Patasiwa dan Patalima.
Memasuki abad ke-17 keadaan berubah akibat tekanan-tekanan
Hongi yang dilancarkan Belanda menjelang tahun 1655 telah
mengosongkan penduduk daerah Hoamual, Seram Barat, yaitu daerah
milik kelompok Patasiwa. Mereka yang tidak gugur dalam serangan-
serangan itu melarikan diri ke Seram Selatan dan pasti banyak dari
antara mereka yang sampai ke Ambon-Lease. Melalui cara ini
pengaruh Patasiwa (dari Seram Barat) tertanam pada kebudayaan, ter-
utama pada adat Ambon-Lease, sementara pengaruh itu adalah ke-
budayaan yang telah diwarnai oleh kebudayaan dari utara. Perubahan-
perubahan yang terjadi menjelaskan adanya kenyataan bahwa pe-
ngetahuan tentang Patasiwa-Patalima pada saat ini hanya terdapat
garis-garis besar yang kabur sehingga pemahaman pengertiannya sudah
hampir hilang sama sekali.
Suku Alune atau Orang Alune di Seram-Maluku
Orang Alune atau Suku Alune merupakan salah satu suku ter-
besar di Pulau Seram-Maluku. Alune adalah sebutan dalam bahasa
Alune yang artinya Manusia Gunung. Maksud dari manusia gunung
yaitu, pada awalnya leluhur Orang Alune atau Suku Alune mendiami
wilayah pegunungan. Untuk itu kehidupan sebagai manusia gunung.
Proses migrasi yang dilakukan oleh leluhur Orang Alune atau Suku
Alune, baik dalam wilayah Pulau Seram maupun di luar wilayah Pulau

80
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Seram seperti Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Buru, Manipa,


Kelang, Buano, dan lainnya kemudian muncul sub sukubangsa lainnya
dengan sebutan nama masing-masing.
Untuk itu pada saat ini Pulau Seram terdapat berbagai subsuku-
bangsa baik itu suku-suku asli maupun suku-suku pendatang. Selain itu
juga telah terjadi perkawinan campur antara suku asli dan suku-suku
pendatang. Proses ini telah berlangsung cukup lama. Dapat dikemuka-
kan bahwa suku-suku pendatang yang saat ini terdapat di Pulau Seram
antara lain Suku Tobelo, Jailolo, Ternate, Tidore, Bacan, Taliabu,
Sanana, Obi, Kei (Kai), Buton, Bugis, Makasar, Bone, Jawa, Padang,
Papua, Arab, Cina, dan lainnya 3. Umumnya suku-suku pendatang
mendiami pesisir pantai. Suku asli Pulau Seram adalah keturunan Suku
Alifuru atau Orang Alifuru yang mendiami tempat-tempat di sekitar
pegunungan (Jansen, 1948; Mausa, 1987; Matulessy, 1988; Sachse,
2002).
Sampai saat ini sebutan Alifuru masih dianggap negatif di
kalangan Orang Maluku sendiri karena menunjukkan kehidupan pada
orang liar, kotor, bodoh, menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya.
Sebutan ini sering dihindari ketika berlangsungnya interaksi di ka-
langan masyarakat Maluku. Untuk itu sebutan suku Alune atau Orang
Alune atau Pata Halune dan suku Wemale atau Orang Memale atau
Pata Wemale menjadi populer dalam interaksi sosial dikalangan Orang
Seram dan Orang Maluku (Subiyakto dalam Koentjaraningrat, 1999).
Selain itu juga masih terdapat suku-suku lainnya seperti Suku Nuaulu
di Seram Selatan (Ellen, 2002), Suku Huaulu di Seram Utara (Valeri,
1988; Panjaitan dan Topatimasang, 1993). Tradisi, adat, bahasa, mau-
pun kehidupan sosial dari suku-suku tersebut di atas pada hakikatnya
berbeda-beda namun kebiasaan makan sirih, pinang, tembakau, kapur,
kemudian memiliki adat istiadat yang berbasis pada suku Alifuru
seperti tarian adat Cakalele Alifuru terdapat pada semua suku, sehingga

3)Saat ini sebutan Orang Seram telah digunakan oleh suku-suku pendatang maupun

suku asli di Pulau Seram. Tetapi dalam persepsi Orang Maluku yang dimaksud dengan
sebutan Orang Seram ditujukan pada penduduk asli, baik yang mendiami wilayah
pegunungan maupun pesisir pantai yang awalnya adalah Orang Gunung kemudian
melakukan migrasi ke luar dari tempat kediaman dan mendiami wilayah pesisir pantai.

81
Esuriun Orang Bati

dapat dipastikan bahwa suku-suku tersebut baik langsung maupun


tidak langsung memiliki hubungan dengan Suku Alifuru di Pulau
Seram. Berkaitan dengan keadaan dari suku-suku yang mendiami
Pulau Seram, dikemukakan tentang profil dari suku-suku dimaksud
pada gambar 1 dan 2 berikut ini:

Gambar 1
Profil Laki-laki Suku
Alune atau Orang Alune
di Seram
Sumber: Janse, doc,1948.

Gambar 2
Profil Perempuan Suku Alune
atau Orang Alune di Seram
Sumber: Jansen, doc, 1948.

82
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Dewasa ini kehidupan Orang Alune atau Suku Alune di Pulau


Seram-Maluku telah mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan
karena Orang Alune atau Suku Alune sudah melakukan kontak dengan
orang luar cukup lama sehingga terjadi perubahan dalam berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat. Interaksi sosial yang berlangsung
antara Orang Alune atau Suku Alune makin intensif, dan mereka
sangat mudah menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlangsung
dengan lingkungan sekitarnya.

Suku Wemale atau Orang Wemale di Seram-Maluku


Orang Wemale atau Suku Wemale di Pulau Seram merupakan
salah satu sukubangsa yang besar. Pada hakikatnya Orang Wemale atau
Suku Wemale di Pulau Seram memiliki tingkat perkembangan yang
identik dengan Orang Alune atau Suku Alune karena mereka telah
melakukan kontak dengan orang luar cukup lama. Interaksi sosial yang
berlangsung antara Orang Wemale atau Suku Wemale telah ber-
langsung cukup lama, dan Orang Wemale atau Suku Wemale memiliki
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sehingga mudah
menyesuaikan diri dengan proses perubahan yang terus berlangsung.
Wemale atau Suku Wemale telah melakukan migrasi cukup lama
dalam wilayah Pulau Seram maupun ke luar wilayah Pulau Seram
seperti Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Buru, Manipa, Kelang,
Buano, dan berbagai tempat dalam wilayah Kepulauan Maluku. Proses
migrasi yang telah berlangsung ratusan tahun kemudian keturunan
mereka memunculkan subsuku lainnya, baik itu yang mendiami Pulau
Seram maupun di luar Pulau Seram seperti gambar 3 berikut ini:

83
Esuriun Orang Bati

Gambar 3
Profil Laki-Laki dan Perempuan Suku Wemale atau Orang Wemale di
Seram
Sumber: dari Jansen, doc,1948, kemudian dilukis ulang

Dapat dikemukakan bahwa Orang Alune atau Suku Alune mau-


pun Orang Wemale atau Suku Wemale sebagai induk dari subsuku
lainnya di Pulau Seram maupun Kepulauan Maluku, dapat ter-
identifikasi dari cara-cara hidup, adat-istiadat, bahasa, rumah adat, batu
pamali, dan lainnya. Suatu hal yang dapat dikemukakan di sini bahwa
karakteristik, tradisi, adat-istiadat, budaya, dan lainnya dari keturunan
kedua suku ini (Alune dan Wemale) sebagai Orang Gunung masih me-
lekat sangat kuat. Sebagai contoh, kehidupan dari keturunan Orang
Alune atau Suku Alune maupun Orang Wemale atau Suku Wemale
yang telah mendiami pesisir pantai cukup lama, tetapi ketergantungan

84
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

hidup mereka pada wilayah hutan masih sangat kuat. Mereka tidak
dapat dikategorikan sebagai masyarakat nelayan yang profesional,
karena sebagian besar kehidupan mereka lebih mengandalkan per-
tanian atau membuat kebun.
Perspektif kehidupan yang sangat nyata dari keturunan Orang
Alune atau Suku Alune maupun Orang Wemale atau Suku Wemale
yaitu mengakui diri sebagai Keturunan Alifuru, yang dikenal oleh
Orang Maluku dengan sebutan keturunan Alifiru Ina kemudian men-
jadi sebutan yang digunakan sampai saat ini adalah Alifuru Seram.
Tradisi Alifuru pada kedua suku ini masih kuat dipertahankan sampai
saat ini seperti dijumpai dalam upacara adat Cakalele (tarian perang).
Menurut peneliti kedua kelompok sukubangsa ini pada awalnya
memiliki asal-usul leluhur yang sama.
Apabila Alifuru merupakan ciri khas yang dimiliki oleh kedua
suku tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka berasal dari keturunan
Suku Alifuru. Untuk itu studi lebih mendalam mengenai asal-usul
Alifuru Seram perlu didalami sehingga dapat diungkapkan lebih riil
keterkaitan. Selama ini informasi mengenai suku Alifuru berupa
penuturan, sedangkan informasi ilmiah mengenai suku Alifuru sangat
terbatas melalui studi-studi ilmiah yang lebih mendasar.

Bumi Seram Bagian Timur dan Manusianya


Untuk memahami tentang Bumi Pulau Seram Bagian Timur dan
Manusianya, dikemukakan sebagai berikut :

Identifikasi Geografi
Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang terdapat
dalam buku Seram Bagian Timur Dalam Angka 4), terdiri dari pulau-
pulau yang berjumlah 31 pulau. Pulau yang telah dihuni oleh pendu-

4)Data tentang identifikasi geografi, luas wilayah, batas wilayah, iklim dan curah hujan
terdapat dalam Seram Bagian Timur Dalam Angka Tahun 2007, Hal 3-44.

85
Esuriun Orang Bati

duk Seram Bagian Timur yaitu 17, sedangkan 14 pulau lainnya masih
kosong karena tidak berpenghuni. Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian
Timur (SBT) adalah Bula yang terdapat di daratan Pulau Seram Bagian
Timur.

Luas Wilayah
Luas wilayah Seram Bagian Timur seluruhnya kurang lebih
15.887,92 km, yang terdiri dari luas wilayah laut yaitu 11.935,84 km,
dan luas wilayah daratan yaitu 3.952,08 km, dengan perincian sebagai
berikut: (1) Kecamatan Seram Timur yang beribukota di Geser (Pulau
Geser) memiliki luas 603,65 km; (2) Kecamatan Pulau-Pulau Gorom
memiliki luas 171,53 km; (3) Kecamatan Werinama memiliki luas
175,58 Kkm; (4) Kecamatan Bula memiliki luas 3001,32 km.

Batas Wilayah
Batas wilayah Kabupaten Seram Timur (SBT) yaitu: (1) Di sebe-
lah utara dengan Laut Seram; (2) Di sebelah selatan dengan Laut Banda;
(3) Di sebelah timur dengan Laut Arafura; (4) Di sebelah Barat dengan
Kabupaten Maluku Tengah.

Iklim dan Curah Hujan


Iklim dan curah hujan di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT)
adalah iklim laut tropis dan iklim musim.Terjadi iklim tersebut karena
Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) dikelilingi oleh laut yang luas.
Kondisi iklim seperti ini sangat dipengaruhi oleh laut yang berlangsung
seirama dengan musim yang ada (musim yang berlangsung setiap saat).
Akibat luas wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ini tersebar
dalam pulau-pulau yang berbeda, sehingga iklim di Kabupaten Seram
Bagian Timur (SBT) adalah iklim musim.

86
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Suhu dan curah hujan berdasarkan perhitungan klimatologi pada


Stasiun Meteorologi Geser menunjukkan bahwa iklim di Kabupaten
Seram Bagian Timur adalah: (1) Geser dalam tahun 2006 Kecamatan
Seram Timur temperatur rata-rata 27,5C, di mana temperatur
maksimun rata-rata 31,40C dan minimum rata-rata 230C. Jumlah curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni yaitu 632,8 mm, kemudian pada
bulan Pebruari 229,9 mm. Jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada
Juni sebesar 26 hari, dan bulan Januari 19 hari. Rata-rata hari hujan
selama tahun 2006 sebanyak 14 hari. Penyinaran matahari rata-rata
67,3% dengan tekanan udara rata-rata dalam satu tahun yaitu 1011,2
milibar, dan kelembaban nisbi rata-rata 81,2%.
Kecepatan angin di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) rata-
rata 6,4 knot, dengan arah angin terbanyak dari arah selatan. Kece-
patan angin terbesar terjadi pada bulan Januari dan bulan Desember
sebesar 30 knot. Arah angin terbanyak pada saat kecepatan angin
terbesar adalah dari arah Tenggara. Lokasi Kabupaten Seram Bagian
Timur dapat dilihat pada peta 2 berikut ini:

Peta 2
Kabupaten Seram Bagian Timur

87
Esuriun Orang Bati

Keadaan Penduduk Kabupaten Seram Bagian Timur


Jumlah penduduk Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ber-
dasarkan data tahun 2007 sebanyak 117.142 jiwa yang terdiri dari
pendu-duk laki-laki sebanyak 55.983 jiwa, dan penduduk perempuan
seba-nyak 61.159 jiwa. Perincian penduduk di Kabupaten Seram
Bagian Timur (SBT) menurut kecamatan yaitu; (1) Kecamatan Seram
Timur yaitu 40.141 jiwa yang terdiri dari laki-laki 18.907 jiwa dan
perempuan 21.234 jiwa; (2) Kecamatan Pulau-Pulau Gorom jumlah
penduduk sebanyak 46.362 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki
23.440 jiwa dan perempuan 23.433 jiwa; (3) Kecamatan Werinama
jumlah penduduk sebanyak 12.36 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-
laki 6.129 jiwa dan perempuan 6.233 jiwa; (4) Kecamatan Bula jumlah
penduduk sebanyak 17.766 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki
7.507 jiwa dan perempuan 10.259 jiwa.
Apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dan luas wilayah
daratan yaitu 3.952,08 km2 di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT)
maka kepadatan penduduk yaitu sebanyak 21 jiwa, dan jumlah rata-
rata anggota rumah tangga yaitu lima orang. Untuk itu dapat dikatakan
bahwa penyebaran penduduk di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT)
tidak merata, baik dari kepadatan dan rata-rata penduduk per rumah
tangga 5).
Perlu dikemukakan bahwa Kecamatan Seram Timur yang ber-
kedudukan di Geser, dan Kecamatan Pulau-Pulau Gorom yaitu ber-
kedudukan di Pulau Gorom dengan Ibukota Kecamatan di Kataloka
berada pada pulau tersendiri dan terpisah dari daratan Pulau Seram.
Kecamatan Bula dengan Ibukota Kecamatan yaitu Bula, dan Kecamatan
Werinama dengan Ibukota Kecamatan yaitu Werinama adalah ke-
camatan yang berada di daratan Pulau Seram Bagian Timur. Setelah pe-
mekaran Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2002, telah
dimekarkan Kecamatan Tutuk Tolo dari Kecamatan Seram Timur.
Secara geografis, Kecamatan Tutuk Tolo dengan Ibukota Kecamatan

5)Data tentang identifikasi geografis Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ini

bersumber dari buku tentang Seram Bagian Timur Dalam Angka tahun 2007,
BAPPEDA dan BPS Seram Bagian Timur, No 1403.8107, halaman 3-44.

88
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

berada Tutuk Tolo yang terletak daratan Pulau Seram Bagian Timur,
atau dikenal dengan nama Daratan Hunimua.

Tana (Tanah) Bati di Kabupaten Seram Bagian Timur


Orang Bati yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur
menyebut daerah kediamannnya dengan nama Tana (Tanah) Bati yang
terletak di wilayah adat Weurartafela di Negeri Kian Darat, Kecamatan
Seram Timur dan Desa Kilimoi, Kecamatan Tutuk Tolo, Kabupaten
Seram Bagian Timur (SBT). Berikut ini dikemukakan aspek terkait
yaitu:

Identifikasi Geografis
Tanah Bati terdapat di Kecamatan Seram Timur, Kabupaten
Seram Bagian Timur (SBT). Secara geografis Tanah Bati ini berada di
daratan Pulau Seram Bagian Timur yang terbentang dari wilayah
pesisir pantai sampai dengan wilayah pegunungan. Wilayah sekitar
pesisir pantai sudah terdapat jalan penghubung lingkungan yang ter-
buat dari tanah dengan lebar sekitar 3 m. Selain jalan darat dari tanah,
untuk mencapai desa-desa, dan kampung atau dusun (wanuya) yang
terdapat di Tanah Bati dapat ditempuh dari laut dengan menggunakan
perahu (wona) atau motor tempel (katinting), kecuali kampung atau
dusun-dusun yang terdapat lereng-lereng bukit dan pegunungan hanya
dapat ditempuh melalui jalan setapak dengan cara berjalan kaki. Jarak
antara satu kampung atau dusun dengan kampung atau dusun yang lain
tidak sama. Jarak untuk mencapai kampung atau dusun-dusun yang di-
tempati oleh Orang Bati (Bati Pantai) berjarak sekitar 4 sampai dengan
5 km, sedangkan jarak untuk mencapai kampung atau dusun-dusun
Bati (Bati Tengah dan Bati Dalam) yaitu sekitar 6 sampai dengan 7 Km.
Jarak tempuh melalui cara jalan kaki untuk mencapai Kampung atau
Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) kurang lebih 13 sampai dengan 14 Km
dari pesisir pantai.

89
Esuriun Orang Bati

Untuk memberikan akses pada Orang Bati yang mendiami


wilayah di lereng-lereng bukit dan pegunungan, maka Pemerintah
Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2009 telah membuka
jalan penghubung lingkungan untuk menghubungkan kampung atau
dusun di Tana (Tanah) Bati. Jalan penghubung lingkungan ini arahnya
dari Kampung atau Dusun Aertafela yang letaknya di pesisir pantai,
untuk menuju ke kampung atau dusun yang ditempati Orang Bati di
lereng bukit dan pegunungan. Sejak bulan November 2009 jalan yang
baru dibangun telah mencapai Kampung atau Dusun Rumoga (Bati
Pantai), Kampung atau Dusun Rumbou (Bati Tengah), dan kampung
atau dusun yang letak paling akhir di pegunungan yaitu Kampung atau
Dusun Bati Kilusi (Bati Awal). Posisi jalan yang baru dibangun tidak
masuk dalam kampung, tetapi berada di pinggiran kampung. Hal ini
dilakukan sesuai dengan etar (wilayah milik marga) dan tempat-tempat
tertentu yang dianggap sakral sehingga tidak merusak lokasi tersebut.
Orang Bati yang termasuk kelompok sosial Bati Dalam mendiami
Kampung atau Dusun Sayei, Tokonakat, dan Aerweur. Untuk menuju
ke lokasi Orang Bati Dalam yang terdapat di pegunungan, masih
menggunakan jalan setapak yang melewati wilayah hutan di lereng-
lereng bukit. Jalan penghubung lingkungan untuk menjangkau
kampung atau dusun (wanuya) di Tana (Tanah) Bati saat ini baru ber-
ada pada tahap awal pekerjaan, sehingga belum di aspal. Untuk itu
sarana transportasi darat (mobil) belum dapat melintasi jalan tersebut
karena permukaan tanah tidak datar. Jalan yang baru dibangun di-
namakan jalan Esuriun dan hanya dapat ditempuh dengan cara berjalan
kaki.

Iklim dan Suhu Udara


Orang Bati yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur me-
ngalami tiga musim yaitu musim kemarau (musim barat), musim peng-
hujan (musim timor), dan musim pancaroba (peralihan). Antara musim
penghujan dan musim kemarau berlangsung musim peralihan atau
musim pancaroba. Berdasarkan catatan lapangan yang dilakukan sen-
diri oleh peneliti bahwa suhu udara di Kampung atau Dusun Bati Kilusi

90
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

(Bati Awal) yang terletak di pegunungan pada pagi hari jam 06.00 WIT
yaitu 19,50 C, siang hari pada jam 12.00 WIT yaitu 220 C, dan malam
hari jam 19.00 WIT yaitu 180 C 6). Curah hujan tertinggi di Tana
(Tanah) Bati berlangsung pada bulan April sampai dengan bulan
Agustus setiap tahun. Pada bulan Mei, Juni, dan Juli hujan turun terus-
menerus. Orang Bati menyebutkan bahwa:
Puncak hari hujan terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli. Artinya
pada bulan-bulan ini Orang Bati tidak dapat melakukan aktivitas
di luar rumah seperti ladang atau kebun secara leluasa. Orang
Bati beranggapan bahwa pada bulan-bulan ini merupakan masa
yang sangat sulit bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup
bagi rumah tangga 7).

Keadaan Penduduk
Pada saat dilakukan sensus kecil oleh peneliti di lokasi permu-
kiman Orang Bati tahun 2010-2011 berdasarkan hasil sensus kecil yang
dilakukan peneliti yaitu terdapat 8.004 jiwa yang terdiri dari penduduk
laki-laki 4.041 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 3.963 jiwa.
Perincian penduduk yang mendiami kampung atau dusun-dusun di
Tana (Tanah) Bati dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:

6)Data
tentang identifikasi geografi, iklim, dan suhu udara di Tana (Tanah) Bati
dilakukan sendiri oleh peneliti berdasarkan pengalaman studi selama 3 musim (musim
kemarau atau musim barat, musim penghujan atau musim timor, dan musim pancaroba
atau musim peralihan) dengan menggunakan peralatan pengukur suhu (termometer).
7)Wawancara dengan bapak AKil (68 Tahun) Kepala Kampung atau Dusun Bati Kilusi

(Bati Awal), Negeri Kian Darat, pada tanggal 3 Mei 2010.

91
Esuriun Orang Bati

Tabel 1
Keadaan Penduduk di Dusun-Dusun Bati Tahun 2011
No Nama Dusun Kelamin Jumlah Ket
L % P % L+P %
1 Kilusi 26 0,3 24 0,3 50 0,6 Awal
2 Rumbou 115 1,4 45 0,6 160 2 Tengah
3 Rumoga 74 0,9 83 1,0 157 1,9 Pantai
4 Seyei 50 0,6 34 0,4 84 1 Dalam
5 Kilaba 225 2,8 219 2,7 444 5,5 Pantai
6 Uta 80 1 58 0,7 138 1,7 Pantai
7 Kelsaur 21 0,2 13 0,1 34 0,3 Pantai
8 Aerweur 22 0,3 18 0,2 40 0,5 Dalam
9 Tokonakat 18 0,3 18 0,3 36 0,6 Dalam
10 Baru 29 0,4 30 0,4 59 0,8 Pantai
11 Lamdutu 14 0,2 16 0,3 30 0,5 Pantai
12 Kaididia 67 0,8 67 0,8 134 1,6 Pantai
13 Kilimoi 922 11,5 746 9,3 1.668 20,8 Pantai
14 Madak 101 1,3 119 1,5 220 2,8 Pantai
15 Teun Lu 49 0,6 59 0,7 108 1,3 Pantai
16 Sesar Darat 194 2,4 174 2,2 368 4,6 Pantai
17 Sesar Tengah 80 1 93 1,2 173 2,2 Pantai
18 Kufarbolowin 169 2,3 162 2,2 331 4,5 Pantai
19 Garigit 44 0,5 49 0,6 93 1,1 Pantai
20 Kian 216 2,6 221 2,7 437 5,4 Pantai
21 Aertafela 225 2,7 227 2,8 452 5,5 Pantai
22 Angar 118 1,5 159 2 277 3,5 Pantai
23 Watu-Watu 156 1,9 114 1,4 270 3,3 Pantai
24 Kilga Keliwou 157 2 241 3,0 398 5,0 Pantai
25 Kilga Watubau 372 4,5 442 5,4 814 9,9 Pantai
26 Rumfakar 254 3,3 256 3,3 510 6,6 Pantai
27 Keliser 243 3,1 271 3,4 514 6,5 Pantai
- Total 4.041 50,5 3.963 49,5 8.004 100,0 -
Sumber: Data Primer Hasil Sensus Kecil di Tana (Tanah) Bati.

Data penduduk yang terdapat pada tabel di atas menunjukkan


bahwa penduduk laki-laki mempunyai persentase lebih tinggi dari
penduduk perempuan. Keadaan penduduk atau Orang Bati yang berada
di kampung atau Dusun (Wanuya) Kilga Watubau yang termasuk
Orang Bati Pantai mempunyai persentase lebih tinggi dari penduduk di
dusun-dusun lainnya yang berada di Tana (Tanah) Bati, sedangkan
penduduk Orang Bati yang mendiami Dusun Lamdutu mempunyai
persentase terendah atau lebih sedikit jumlah penduduk dari di dusun-
dusun (wanuya) lainnya di Tana (Tanah) Bati.

92
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Kondisi Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku


Orang Bati mendiami kawasan Pulau Seram Bagian Timur.
Sebagian besar wilayah ini sampai sekarang masih terdiri dari hutan
belantara di mana terdapat pohon-pohon besar yang rindang. Pada
umumnya, wilayah kediaman Orang Bati di Pulau Seram Bgian Timur
belum ditempati oleh manusia (penduduk), tetapi bukan berarti tanah
yang terdapat dalam wilayah tersebut tidak ada pemiliknya. Semua
tanah kosong yang terdiri dari hutan belantara ada pemiliknya yaitu
marga tertentu yang mendiami Tana (Tanah) Bati. Setiap jengkal tanah
di Pulau Seram, dan secara khusus di Pulau Seram Bagian, ada orang
yang menguasai, bahkan memilikinya, termasuk tanah dalam wilayah
kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Orang Bati hidup menyatu
dengan tanah mereka, dan terus dijaga, dilindungi secara baik sampai
saat ini untuk bertahan hidup (survive). Dalam interaksi sosial di
kalangan Orang Bati, sebutan orang yang bermakna manusia dan di-
sapa dengan sebutan mancia atayesu (orang gunung) dan mancia layena
(orang pantai) sesungguhnya mengikat mereka dengan dunia atau teri-
tori di mana mereka berada baik itu secara fisik, sosial, budaya, eko-
nomi, politik, dan lainnya.
Sebenarnya sebutan mancia 8) yang digunakan dalam interaksi
dikalangan Orang Bati menegaskan tentang eksistensi mereka sebagai
Orang atau Manusia Gunung (Mancia Atayesu) untuk membedakan
diri mereka dengan Orang atau Manusia Pantai (Mancia Layena) baik
yang memiliki pertalian darah dengan Orang Bati, yang kental dengan
tradisi, adat-istiadat, dan budaya Esuriun, maupun mereka yang tidak
memiliki pertalian darah. Relasi sosial yang berlangsung antara Orang
Bati dengan lingkungan berada dalam mata-rantai roina kakal yang
senantiasa menghubungkan mereka dengan dunianya sendiri. Orang
Bati percaya bahwa pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dengan
budaya, kebutuhan masyarakat, dipastikan dapat menimbulkan gon-
cangan dalam masyarakat. Bahkan dapat menimbulkan bencana pada

8)Bahasa lokal yang digunakan Orang Gunung (Mancia Atayesu) di Tana (Tanah) Bati

dinamakan Bahasa Minakyesu atau Minakesi.

93
Esuriun Orang Bati

diri mereka sendiri karena kehidupan yang dijalani tidak sesuai dengan
adat maupun keselarasannya dengan kosmos.
Orang Bati adalah penduduk yang mendiami Tana (Tanah) Bati
(Atamae Batu) di Pulau Seram Bagian Timur. Dalam interaksi sosial,
sebutan Orang Bati sangat jarang ditemukan. Pada umumnya mereka
menyebut diri yaitu Orang Gunung (Mancia Atayesu), untuk mem-
bedakan diri mereka dengan penduduk yang mendiami perkampungan
di daerah pantai atau Orang Pantai (Mancia Layena), yang termasuk
saudara (roina kakal) yang memiliki asal-usul yang sama tetapi ter-
masuk dalam kelompok Orang Bati Pantai. Dalam pergaulan hidup
sehari-hari Orang Bati menyebut diri (identitas) mereka dengan sapaan
orang dari Dara atau orang dari atas atas orang dari gunung untuk
membedakan mereka dengan Orang Dari Pantai atau Orang Dari Lau.
Maksud dari sebutan orang dari dara atau orang dari atas yaitu mereka
yang mendiami wilayah pegunungan di Seram Timur. Sebutan orang
dari dara atau orang dari atas tersebut berdasarkan bahasa lokal (bahasa
Minakyesu atau Minakesi) yang digunakan Orang Bati yaitu Silimaya
atau dalam adat-istiadat di Tana (Tanah) Bati dinamakan Esuriun
Orang Bati (Alifuru Bati atau Orang Bati dari dara yaitu hutan atau esu,
dan gunung atau ukar).
Untuk memahami tentang dunia Orang Bati, maka perlu diawali
dengan pandangan kosmologi Orang Seram, karena sesungguhnya
Orang Bati merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Seram sejak
zaman dahulu maupun saat ini. Pandangan mereka tentang alam
semesta dan manusia (kosmos) dapat dianggap sebagai bentuk kearifan
lokal (local wisdom) yang dimiliki oleh leluhur kemudian dututurkan
kepada anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) berupa pe-
nuturan tentang perbuatan ajaib yang dilakukan oleh Penguasa Pen-
cipta Alam Semesta dan Manusia dan terpelihara secara baik sampai
saat ini. Pandang dan pemahaman Orang Seram atau Orang Bati dapat
dijelaskan lebih lanjut melalui mitologi Gunung Bati.

94
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Mitologi Gunung Bati


Dalam mitologi Gunung Bati, dikemukakan Orang Bati bahwa
leluhur penghuni Gunung Bati yang dinamakan Oyang Bati adalah
manusia yang lahir bersama dengan Pulau Seram. Untuk itu Orang Bati
sangat percaya bahwa tindakan manusia yang merusak alam (hutan dan
gunung) adalah sama dengan tindakan merusak tubuh manusia beserta
kehidupan yang dijalaninya. Untuk itu Gunung Bati adalah sakral bagi
Orang Bati karena mereka percaya sebagai tempat suci karena pada
tempat tersebut hidup Leluhur Orang Bati (Tata Nusi Si) atau Manusia
Batti. Sebagai anak cucu keturunan Orang Bati yang telah meninggal
dunia akan dipanggil pulang ke Gunung Bati oleh leluhur mereka.
Dalam mitologi Gunung Bati yang dipercaya oleh Orang Bati selama
ini bahwa:
Gunung Bati ini terdiri dari Gunung Laki-Laki dan Gunung
Perempuan. Pertemuan antara dua gunung (gunung laki-laki dan
gunung perempuan) tersebut kemudian melahirkan manusia yang
berhati bersih, baik, jujur, dan sebagainya, yaitu Manusia Batti
sebagai manusia suci yang memiliki batin yang bersih 9).
Kehidupan Orang Bati atau Suku Bati memiliki kaitan langsung
sebagai keturunan Manusia Awal (Alifuru) dari Pulau Seram atau Nusa
Ina (Pulau Ibu) senantiasa menyatu dengan kosmos di mana mereka
berada. Informasi yang disampaikan Orang Bati bahwa:
Dunia Seram, termasuk Dunia Orang Bati sampai saat ini masih
merupakan misteri yang sama sekali tidak diketahui oleh dunia
luar secara benar. Untuk memasuki dunia Orang Bati renungkan
niat itu dalam hati secara baik, baru mengambil keputusan, ke-
mudian bicara dan melangkah. Jangan pernah salah dalam
melakukan hal ini. Sebab kalau salah nanti seng bisa bikin batul,
dan seng bisa dapat apa-apa yang dicari, bahkan katong bisa susah
sendiri. Ingat bae-bae pesan ini kalau mau melangkah untuk
memasuki dalam Dunia Orang Seram maupun Dunia Orang
Bati 10).

9)Wawancara dengan bapak SeSa (74 Tahun), Kepala Adat di Dusun Rumbou (Bati
Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 16 November 2009.
10)Wawancara dengan Oyang Suriti (73 tahun), Tokoh Adat, Maweng, di Dusun

Banggoi, pada 2 Januari 2009. Ia adalah seorang Kepala Adat dan Tuan Tanah di
Kampung Banggoi, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Pesan ini disampaikan
kepada peneliti ketika sedang menjalani inisiasi untuk mempelajari bahasa, tradisi,

95
Esuriun Orang Bati

Pengalaman hidup yang dijalani oleh Kepala Adat dan sekaligus


Tuan Tanah Banggoi yang dijuluki oleh masyarakat setempat sebagai
pengembara hutan Pulau Seram ini ketika mengutarakan pengalaman
hidupnya selama 15 tahun dengan Orang Bati bahwa dunia Orang
Seram dan khususnya Dunia Orang Bati yang penuh dengan rahasia
sehingga menjadi misteri yang belum diungkapkan secara tuntas.
Ungkapan misteri karena banyak sisi kehidupan manusia dan alam
belum terungkap secara ilmiah. Sampai saat ini pandangan orang luar
tentang fenomena kehidupan Manusia Seram dan Alam Semesta
berupa penuturan (ceritera) turun-temurun.
Untuk itu usaha mendalami kehidupan Manusia Seram, dan
secara khususnya dunia Orang Bati sangat penting. Sebab dunia Orang
Bati memiliki kaitan erat dengan dunia Orang Seram karena dahulu le-
luhur mereka mendiami tempat yang sama di Pulau Seram, yaitu di
Gunung Murkele Kecil dan Gunung Murkele Besar sebagai gunung
tertinggi. Dalam mitologi Seram, dituturkan bahwa dahulu leluhur
Orang Bati mendiami tempat yang bernama Kepala Air Samal. Leluhur
Orang Bati memiliki hubungan langsung dengan mata-rumah Tihulu,
Henilau, dan lainnya. Ungkapan seperti ini mengandung makna:
Katong samua pung leluhur adalah sama. Jadi sebagai keturunan
Manusia Awal (Alifuru) katong adalah Orang Basudara. Alifuru
(Alif = Awal dan Uru = Manusia). Katong samua, termasuk kami
Orang Bati ini punya nenek moyang dari suku Alifuru. Siapa yang
menyangkal hal ini berarti jangan injak Nusa Ina (Pulau Ibu) atau
Pulau Seram. Nama saja Ceram atau Seram, artinya menyeramkan
atau menakutkan 11).
Bagi Orang Bati titik startnya yaitu Samos (tanah kering pertama
yang dijumpai) di Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Samos adalah
tempat yang berarti penting bagi kelangsungan hidup generasi pewaris
tradisi dan kebudayaan Bati. Makna dari tanah kering pertama yang

adat-istiadat, sikap, dan perilaku Orang Bati dalam pergaulan hidup. Pengalaman hidup
dari Oyang Suriti (73 Tahun) selama 15 tahun hidup bersama dengan Orang Bati di
Tana (Tanah) Bati ternyata berguna bagi peneliti pada saat mendalami Dunia Orang
Bati di Pulau Seram melalui inisiasi.
11)Wawancara dengan Oyang Suriti (73 Tahun) Kepala Adat, Maweng, Dusun Banggoi

di rumah kediamannya dalam kawasan hutan pedalaman Banggoi, pada tanggal 2


Januari 2009.

96
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

dijumpai yaitu berdasarkan penuturan lisan dari Orang Bati tentang


kondisi Pulau Seram pada masa lampau ketika tergenang oleh air laut.
Pada saat air surut secara perlahan-lahan ada bagian pulau tertentu
yang mulai kering, terutama gunung, kemudian muncul daratan. Anak
cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) yang dapat bertahan hidup
pada waktu itu kemudian disebarkan untuk mendiami tanah kering di
Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Pada tempat yang kering inilah
kehidupan dari keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dimulai, termasuk
juga leluhur Orang Bati yang menempati tanah kering pertama yang
mereka jumpai di Pulau Seram yang dinamakan Samos.
Pembagian wilayah untuk Orang Bati oleh penguasa Pulau
Seram saat itu adalah Hulamasa yaitu berada di sebelah timur dari
Pulau Seram. Perspektif yang ditemui pada saat ini bahwa sistem pem-
bagian wilayah kekuasaan menurut adat masih dipegang kuat oleh
keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati sampai sekarang. Masing-
masing kelompok sukubangsa atau Orang Seram harus dapat menjaga,
melindungi, mengolah, dan memelihara wilayah kekuasaan mereka
secara baik. Orang Bati sebagai Orang Seram mereka sangat memahami
bahwa pada awalnya mereka menempati wilayah yang sama. Hal ini
diungkapkan lebih lanjut bahwa:
Orang-orang asli Seram atau masyarakat Seram termasuk
keturunan Orang Bati pada awalnya tinggal bersama dengan
suku-suku lainnya di sekitar Gunung Murkele. Leluhur Orang
Bati menempati lokasi di sekitar Kepala Air Samal bersama deng
dong pung basudara. Wilayah ini berada sekitar Gunung Murkele
Besar 12). Setelah pembagian wilayah oleh penguasa Pulau Seram,
maka seluruh orang atau suku ke luar menempati wilayah
masing-masing. Nah, leluhur Orang Bati ke luar meninggalkan
wilayah ini menuju ke arah timur dari Pulau Seram. Tempat
mereka di Seram Timur yaitu sekitar Gunung Bati. Nanti di sana
baru dengar penjelasan mereka karena mereka lebih tau, karena
dong yang menjalani itu sendiri. Katong ini tinggal di sini se-

Lihat dalam bahasan tentang Mitologi Penciptaan Alam Semesta dan Penciptaan
12)

Manusia Awal (Alifuru) telah dikemukakan bahwa Orang Bati memiliki hubungan
Orang Basudara dengan orang-orang dari mata-rumah Tihulu, Henilau, dan lainnya.
Mata-rumah yang mendiami Kepala Air Samal antar lain Laisamaulu. Kepala Air Samal
berada dekat Gunung Murkele Besar.

97
Esuriun Orang Bati

hingga tidak bisa menjelaskan dong yang melakukan


perjalanan 13).
Dalam mitologi Bati, leluhur penghuni Gunung Bati yang
dinamakan Manusia Bati lahir bersama dengan Nusa Ina (Pulau Ibu)
atau Pulau Seram. Persepsi Orang Bati mengenai Gunung Bati me-
miliki nyawa karena terkait dengan makna Seram Gunung Manusia, di
mana kepalanya berada di sebelah barat Pulau Seram, badan tengah
membentang dari utara ke selatan di mana Gunung Mawoti (tulang
belakang manusia) sebagai penopang utama tubuh manusia. Pada
bagian depan dari tulang belakang manusia (mawoti) 14) terdapat perut
yang dimaknai sebagai sumber ekonomi Orang Seram. Bagian bawah
tubuh manusia berada di timur dan berfungsi sebagai penyangga
utama, kemudian melahirkan Manusia Awal (Alifuru) di Gunung
Murkele Kecil dan Gunung Murkele Besar yang dipahami sebagai
leluhur dari Alifuru Seram atau Manusia Seram maupun Manusia
Maluku. Tempat ini sampai sekarang dipercaya oleh Alifuru Seram
atau Orang Seram bahwa sebagai wilayah bernyawa sehingga masya-
rakat yang mendiami kawasan ini sering melakukan ritus kepada
Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia Awal melalui pe-
rantaraan leluhur menurut sistem religi yang dianut oleh keturunan
Alifuru Seram.

Kosmologi Orang Bati


Berdasarkan kosmologi Orang Seram tersebut di atas, ternyata
pandangan Orang Bati mengenai Gunung Bati yang terdiri dari
Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan adalah kesemestaan.
Setelah perkawinan antara kedua gunung tersebut kemudian perut
gunung perempuan makin besar karena mengandung, dan kemudian
lahir Manusia Batti yang dipahami oleh Orang Bati sebagai proses

13)Wawancara dengan Oyang Suriti (74 Tahun), Tuan Tanah, Kepala Adat Dusun

Banggoi, Maweng, pada tanggal 2 Januari 2009.


14)Pada saat ini Gunung Mawoti disebut dengan nama Gunung SS. Maknanya yaitu

jalan disekitar gunung ini Mawoti berliku-liku seperti huruf S, dan selain itu juga suhu
udara di sekitar Gunung Mawoti sangat dingin seperti es karena sering ditutupi kabut
tebal sepanjang waktu.

98
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

kelahirannya bersamaan dengan evolusi daratan Seram. Manusia Batti


sebagai leluhur (Tata Nusu Si) bermakna kesemestaan atau merupakan
makrokosmos bagi Orang Bati. Sebab melalui perjalanan kosmos telah
terjadi pertemuan antara Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan
secara rahasia. Untuk itu Gunung Bati merupakan makrokosmos, dan
Alifuru Bati atau Orang Bati merupakan mikrokosmos. Orang Bati
sangat yakin bahwa Manusia Batti tidak pernah meninggal dunia, dan
ia tetap berada sampai saat ini. Bahkan Manusia Batti sebagai leluhur
(Tata Nusu Si) senantiasa berada dengan mereka sebagai anak-cucu
atau keturunannya setiap saat, di mana mereka berada. Antara
makrokosmos dan mikrokosmos maka Orang Bati melaksanakan
Esuriun, karena di dalam Esuriun Orang Bati ada fakur atau mohon doa
restu pada leluhurnya agar mereka dapat bertahan hidup di Bumi
Seram.
Manusia Batti adalah leluhur Orang Bati yang mereka agung-
agungkan selama ini karena keberadaannya tidak pernah berubah se-
panjang zaman. Dalam pandangan Orang Bati mengenai alam semesta
(kosmos) maka semua gunung, terutama Gunung Bati (Gunung Laki-
Laki dan Gunung Perempuan), Sungai (Alsul) Masiwang, Sungai Bobot
dan lainnya, batu, pasir, pohon, hewan, dan segala yang berada dalam
lingkungan alam (kosmos) merupakan sumber kehidupan utama bagi
manusia yang harus mereka jaga (kajaga), lindungi (kalindong) se-
hingga setiap Orang Bati memiliki kewajiban untuk pelihara, rawat,
dan dilestarikan guna mewujudkan kelangsungan hidup dari anak cucu
pewaris tradisi dan kebudayaan Bati agar gunung dan tanah atau
Gunung Tanah sebagai tampa putus pusa (tempat kelahiran, tempat
asal, tanah kelahiran) tetap memberi penguatan dalam diri (spirit)
dalam menjalani kehidupan sepanjang masa. Orang Bati sebagai ben-
teng terakhir Orang-Orang Seram yang tidak dapat ditembusi dari
masa ke masa senantiasa berperan sebagai penjaga Pulau Seram atau
Nusa Ina (Pulau Ibu) di Tanah Maluku selalu mengingatkan bahwa
Wanuya namata dotuk kita tei, tapi kita tamata tatotuk wanuya
(kampung tidak mati buang katorang, tetapi katorang yang mati buang
kampung).

99
Esuriun Orang Bati

Dalam kosmologi Orang Bati, makna terdalam dari pandangan


tersebut di atas yaitu Gunung Tanah, tempat asal, tanah kelahiran,
tanah tumpah darah. Sebagai tampa putus pusa tidak pernah mati atau
meninggal. Tetapi kita sebagai manusia (mancia) yang mati atau me-
ninggal dunia dan pergi meninggalkan Gunung Tanah, tempat asal,
tanah kelahiran, tanah tumpah darah selama-lamanya. Konsep Gunung
Tanah menyatu dengan kosmologi Orang Bati adalah abadi sepanjang
masa, dan menjadi bagian dari dunia Orang Bati sehari-hari sehingga
memberi kekuatan pada Orang Bati secara individu, kelompok, mau-
pun komunitas untuk bertahan hidup (survival strategy).
Gunung Bati sebagai Gunung Tanah adalah makrokosmos bagi
kehidupan Orang Bati, karena di tempat ini berdiamnya roh para
leluhur mereka yang dinamakan Tata Nusu Si. Untuk itu Gunung Bati
dipandang sakral (keramat) karena memiliki makna sebagai Gunung
Manusia di mana pada tempat ini Manusia Awal atau Alifuru Bati
dilahirkan. Pandangan seperti ini identik dengan masyarakat Seram
pada umumnya mengenai hakikat Seram Gunung Manusia sehingga
Gunung Murkele Kecil dan Gunung Murkele Beser dianggap sakral
(keramat) dan dipercaya pada tempat tersebut berdiamnya roh para
leluhur dari Manusia Awal atau Alifuru atau Alifuru Ina diciptakan
oleh Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia yang dimaknai
Orang Bati sebagai Tata Nusu Si. Pemaknaan yang diberikan Orang
Bati sebagai penghormatan tertinggi berdasarkan kosmologi Orang Bati
identik dengan pemaknaan dari suku-suku atau subsuku lainnya di
Pulau Seram maupun Maluku yang mendiami negeri-negeri adat
dengan kepercayaan asli pada Upu Lanite, Kapua Upu Ila Kahuresi,
Upu Kuahatana, Ina Puhun Ama Lahatala, Aupu Lahatala.
Pada tataran mikrokosmos, yang berperan mengisi kehidupan di
alam semesta ini dengan hati yang baik, bersih, jujur, dan sebagainya
sebagai basis nilai yang mendasar dan sangat penting ketika menjalani
kehidupan ini. Manusia dipandang tidak ada apa-apanya apabila ke-
hidupan ini tidak diisi dengan nilai-nilai dasar sebagai sumber utama
keyakinan diri, norma, perilaku dan sebagainya yang dapat diwujud-
kan selama ia hidup di dunia ini. Kehidupan manusia maupun masya-

100
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

rakat menjadi hampa, dan berada di ruang yang kosong apabila hakikat
tentang nilai ini jauh dari mikrokosmos tersebut di atas. Untuk itu
jangan heran apabila Orang Bati tetap mengagung-agungkan nilai yang
melekat pada Manusia Batti karena merupakan sumber dan pancaran
hakikat hidup manusia tentang benar dan salah, baik dan buruk, langit
dan bumi, dingin dan panas, lautan dan daratan, gunung dan pantai,
dan seterusnya ketika mereka menanggapi lingkungannya setiap saat.
Berdasarkan pemahaman Orang Bati tentang makrokosmos yang
menempatkan leluhur atau Tata Nusu Si yaitu Manusia Batti bersifat
kesemestaan, dan mikrokosmos adalah Alifuru Bati atau Orang Bati.
Esuriun Orang Bati berfungsi dan berperan sebagai mezokosmos. Nilai-
nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati meliputi falsafah,
sejarah, tradisi, adat-istiadat, budaya, dan sebagainya yang menjadi inti
kebudayaan Orang Bati di Seram Timur teraktualisasi melalui perilaku
hidup kesehariannya. Untuk itu dalam interaksi sosial, sebutan Anak
Esuriun merupakan implementasi nilai-nilai kultural yang menjadi
basis utama pembentukan identitas maupun perilaku Orang Bati se-
bagai manusia, sukubangsa untuk bertindak menanggapi lingkungan
atau kosmos di mana mereka berada.
Sampai saat ini di Tana (Tanah) Bati, basis nilai yang terdapat
dalam Esuriun Orang Bati menjadi bagian penting dari hakikat hidup
atau orientasi nilai budaya Orang Bati dengan lingkungan di mana
mereka berada, dan menjadi mata-rantai penghubung antara
makrokosmos dan mikrokosmos untuk mengintegrasikan struktur
sosial dalam kehidupan Orang Bati. Struktur ini fungsional dalam
sistem kehidupan socio-cultural di Tana (Tanah) Bati karena masing-
masing orang yang berada dalam marga maupun antar marga di Tana
(Tanah) Bati memahami eksistensi masing-masing untuk menciptakan
keseimbangan hidup dalam sistem sosial yang mereka anut.
Dikatakan bahwa Esuriun Orang Bati merupakan akar budaya
karena terdapat nilai, norma, dan lainnya sebagai pranata yang benar-
benar hidup dan terlembagakan dalam adat sehingga terus berperan
sebagai pembentuk maupun turut membentuk perilaku Orang Bati
secara individu maupun kelompok sosial dalam pergaulan hidup di-

101
Esuriun Orang Bati

antara sesama Orang Bati maupun antara Orang Bati dengan orang
luar. Menanggapi setiap lingkungan di mana mereka berada. Sampai
saat ini budaya Esuriun di Tana (Tanah) Bati senantiasa dilakukan
melalui ritus-ritus penting dalam hidup yang berkaitan dengan makna
kelangsungan hidup Orang Bati yang mendiami kawasan hutan hujan
di Pulau Seram Bagian Timur.

Kosmologi Siwa-Lima di Tana (Tanah Bati)


Setiap masyarakat memiliki pandangan yang berbeda tentang
bumi (alam semesta) di mana mereka berada. Begitu juga Orang Seram
memiliki pandangan tentang alam semesta (kosmologi) yang berisi
bumi dan manusia yang dikonsepsikan sebagai dunia mereka sehari-
hari dan senantiasa menyatu. Pandangan Orang Seram tentang alam
semesta (kosmologi) yang menempatkan Bumi Pulau Seram atau Nusa
Ina (Pulau Ibu) sebagai tampa putus pusa, atau tampa (tempat) asal,
tanah asal, tanah kelahiran bagi anak cucu keturunan Manusia Awal
atau Alifuru atau Alifuru Ina bersifat total.
Dalam kosmologi Orang Bati atau Suku Bati sebagai Orang
Seram yaitu tampa putus pusa telah menjadi perekat dalam menelusuri
kehidupan awal yang dijalani oleh keturunan Manusia Awal Alifuru
atau Alifuru Ina di Seram-Maluku. Untuk itu Pulau Seram dinamakan
sebagai Gunung Manusia. Orang Bati atau Suku Bati adalah Orang
Gunung. Bersumber pada falsafah Seram Gunung Manusia berdasarkan
kosmologi Orang Seram, khususnya Orang Bati atau Suku Bati yang
awalnya terdiri dari kelompok Patasiwa dan Patalima menyatu menjadi
Siwa-Lima di Tana (Tanah) Bati telah berlangsung di tempat kediaman
awal di Samos yang berada sekitar Gunung Bati yaitu masing-masing
kelompok sosial Siwa (Patasiwa) dan kelompok sosial Lima (Patalima) 15
mendiami tempat sendiri-sendiri. Esuriun Orang Bati kemudian
menyatukan (mengintegrasikan) kelompok Patasiwa (Sembilan Bagian)
dan kelompok Patalima (Lima Bagian) menjadi Siwa-Lima dengan

15)Lebih
mendalam tentang kedua hal ini dapat dilihat pada bab V tentang Bumi Seram
dan Manusia Batti, Halaman 125-168.

102
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

identitas Orang Bati adalah Suku Bati yang memiliki eksistensi sebagai
manusia maupun sukubangsa, dan bukan orang ilang-ilang (hilang-
hilang) adalah stigma (anggapan negatif) orang luar yang mencampur-
adukan konsep Bati dan Batti ketika melakukan interaksi sosial.
Dampaknya yaitu Orang Bati menjadi korban karena terjadi kesalahan
interpretasi terhadap konsep Bati dan Batti yang selama ini tidak
dimengerti maupun tidak dipahami oleh orang luar (Orang Maluku)
sehingga penamaan Orang Bati menjadi suatu konsep yang dianggap
misteri.
Proses integrasi sosial yang dicapai Orang Bati atau Suku Bati
dapat dikatakan final, karena secara kultural hal itu dilakukan secara
adat, dan seluruh anggota terlibat di dalam sehingga dinamakan adat
Esuriun. Adat Esuriun sangat mengikat kedua kelompok sosial (Siwa-
Lima) yang awalnya berbeda menjadi satu melalui Esuriun Orang Bati.
Model integrasi seperti dicapai Orang Bati atau Suku Bati adalah
integrasi kultural, karena kelompok sosial (Patasiwa dan Patalima)
tersebut pada awalnya berbeda dalam tradisi, adat-istiadat, budaya, dan
lainnya. Tipe integrasi kultural yang dicapai Orang Bati seperti ini
tidak dijumpai pada lingkungan masyarakat manapun di wilayah
Kepulauan Maluku.
Dasar dari integrasi kultural yang dicapai Orang Bati bersumber
dari faham roina kakal yang kuat, atau orang-orang yang memiliki
pertalian darah atau hubungan darah (genealogis) dalam perspektif
integrasi kultural dimaksudkan untuk mewujudkan integrasi
eksistensial sebagai tujuan akhir dari Orang Bati sebagai manusia
maupun sukubangsa sehingga Esuriun Orang Bati yang telah me-
nyatukan kelompok Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati
sebagai satu identitas memberikan penguatan pada ide peneliti untuk
mengemukakan bahwa Patasiwa dan Patalima adalah sistem
pengelompok asli dan khas dari Alifuru Seram.
Realitas yang dijumpai di Tana (Tanah) Bati ini cukup beralasan
karena sejak Orang Bati melaksanakan Esuriun Orang Bati pada masa
lampau ternyata kelompok Patasiwa dan Patalima sudah ada di Samos
maupun Soabareta. Peristiwa Esuriun Orang Bati dilakukan setelah

103
Esuriun Orang Bati

evolusi daratan Seram atau setelah daratan Seram mulai mengering.


Apabila peristiwa Esuriun Orang Bati yang telah menyatukan
kelompok Patasiwa dan Patalima menjadi Siwa-Lima yang terintegrasi
secara kultural maupun eksistensial dengan identitas Bati dibandingkan
dengan munculnya sistem pengelompokan yang memiliki makna sama
dengan Patasiwa dan Patalima, maka dapat dikatakan bahwa Patasiwa
dan Patalima adalah sistem pengelompokan khas dari Suku Alifuru
yang mendiami Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu), kemudian
sistem ini di bawa ke luar dari Pulau Seram ke tempat-tempat lainnya
di Kepulauan Maluku oleh keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dengan
dua alasan yaitu; (1) Proses penyebaran generasi para kapitan yang ke
luar dari Pulau Seram dengan misi untuk menjaga dan melindungi
Pulau Seran atau Nusa Ina (Pulau Ibu) dari serbuan orang luar; (2)
Proses migrasi penduduk keturunan Alifuru atau Alifuru Ina karena
terjadi pergolakan, atau pertikaian antar kelompok pata di Pulau Seram
pada masa lampau. Berdasarkan data lapangan yang dikemukakan
Orang Bati, dalam sejarah lisan (oral story) di Tana (Tanah) Bati terjadi
proses penyebaran Alifuru sampai dengan 7 generasi, proses ini me-
miliki kaitan dengan kisah Esuriun Orang Bati.
Kisah Esiriun Orang Bati adalah peristiwa nyata yang benar-
benar terjadi sehingga anak cucu yang menganut tradisi dan
kebudayaan Bati terus melestarikannya dalam kehidupan mereka
sampai dengan penelitian ini dilakukan, kemudian Orang Bati
menjelaskannya secara detail karena berkaitan dengan kosmologi,
maupun sejarah lisan (oral story) yang terpelihara secara baik dari satu
generasi ke generasi berikutnya agar Orang Bati senantiasa mengenang
perjalanan para leluhur mereka sejak evolusi daratan Seram sampai saat
ini. Tempat berkumpul Orang Patasiwa dan Patalima di Tana (Bati)
yang telah menyatu dalam identitas Orang Bati merupakan baileu
sebagai tempat yang terdapat dalam hutan (esu) di Bati kilusi (Bati
Awal). Kawasan hutan (esu) yang digunakan sebagai tempat
bermusyawarah bagi Orang Bati dapat dilihat pada gambar 4 a dan 4 b
berikut ini:

104
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Gambar 4 a
Alam Terbuka yang Terdapat Dalam Kawasan Hutan (Esu)
Adalah Tempat Bermusyawarah bagi Orang Bati

Gambar 4 b
Bermusyawarah Diawali dengan Ritual Adat

105
Esuriun Orang Bati

Untuk mebicarakan persoalan penting yang berkaitan dengan


adat, sosial kemasyarakatan, dan sebagainya dari Orang Bati yang
terdiri dari kelompok Siwa-Lima yang telah menyatu di Tana (Tanah)
Bati. Wilayah hutan di mana terdapat pohon pakis hutan tersebut
merupakan tempat yang sakral karena itu tidak boleh di datangi secara
sembarangan. Pada tempat ini semua keperluan yang berkaitan dengan
aktivitas warga maupun dengan leluhur dibicarakan secara bersama,
dan keputusan diambil pada tempat tersebut. Dalam kehidupan Orang
Bati, konsep Baileu tidak berwujud suatu bangunan, tetapi alam ter-
buka yang berada di tengah hutan (esu) dalam wilayah kekuasaan Bati
Awal yang terdapat di Tana (Tanah) Bati.
Untuk itu kosmos hutan (esu) di mana baileu sebagai tempat
sakral berada senantiasa digunakan untuk menbicarakan hal-hal yang
penting bagi Orang Bati sampai saat ini. Sebab persepsi Orang Bati
bahwa pengambilan keputusan dengan sesama warga harus diketahui
dan disaksikan oleh leluhur. Untuk itu dalam pandangan kosmologi
Orang Bati bahwa wilayah hutan adalah bernyawa atau hidup se-
panjang masa. Begitu dekatnya kehidupan Orang Bati dengan hutan
(esu) menjadi mata-rantai yang mengikat mereka berdasarkan kosmo-
logi hutan, tanah, dan manusia (identitas) Orang Bati yang di-
pahaminya sebagai rute perjalanan Manusia Batti atau Tata Nusu Si
(leluhur) yang bersifat kesemestaan.

Sejarah Asal-Usul Leluhur Orang Bati


Berdasarkan sejarah lisan (oral story) yang dikemukakan Orang
Bati yaitu pada awalnya leluhur mereka memiliki tempat asal yang
berbeda. Untuk itu mengenai sejarah lisan (oral story) tentang asal-usul
leluhur Orang Bati dapat dijelaskan sebagai berikut:

106
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Sejarah Orang Bati di Samos


Berdasarkan informasi yang dituturkan oleh tokoh adat di Negeri
Kian Darat, kemudian ditelusuri secara mendalam pada informan yang
mendiami Tana (Tanah) Bati dapat dikemukakan sebagai berikut:
Orang Bati mengemukakan bahwa leluhur mereka yang pertama
adalah Ken Min Len (Ken = Laki-Laki, Min = Perempuan, dan
Len = Besar). Jadi arti dari Ken Min Len artinya laki-laki dan
perempuan besar. 16) Leluhur Orang Bati ke Seram Timur men-
diami tempat bernama Samos (tempat kering pertama) sampai
orang lain datang ke daerah ini. Samos terletak sekitar Gunung
Bati. Mereka datang dengan kapal menyerupai burung Garuda
atau Rajawali yang dinamakan (Lusi). Pada tempat ini mereka
mulai membangun kehidupan yang pertama. Untuk itu nama dari
tempat awal ketika Orang Bati melakukan Esuriun dinamakan
Kilusi, dan sampai saat ini menjadi kesepakan bahwa nama
kampung/dusun yang menggunakan Bati hanya Kampung/Dusun
Bati Kilusi atau Bati Awal, sedangkan kampung/dusun lainnya
tidak menggunakan nama Bati 17).

Pada saat itu di Samos (tanah kering pertama yang dijumpai)


sama sekali belum ada kehidupan. Leluhur Orang Bati memulai ke-
hidupan mereka yang pertama di tempat ini sampai kedatangan orang
lain. Pendatang berikut ke Samos adalah moyang Boiratan, atau nama
lengkapnya yaitu Boiratan Timbang Tanah. Putri Kerajaan Lomine di
Gunung Murkele ini datang dan tidak menetap karena itu ia terus
melakukan perjalanan menuju Kepulauan Kei. Kehidupan awal dari
leluhur Orang Bati di Samos terus berlangsung sampai kedatangan
orang lain di tempat ini, dan mereka mulai menjalan kehidupan awal
di Samos. Keadaan mereka terus bertambah banyak karena kelahiran,

16)Wawancara
dengan bapak Samaun Rumadaul (83 Tahun), anggota masyarakat
Negeri Kian Darat, pada tanggal 25 November 2009. Ia juga mengatakan bahwa ber-
dasarkan sejarah lisan (oral story) yang dituturkan oleh pendahulu mereka bahwa ada
juga leluhur Orang Bati yang datang dari Timur Tengah, dan bergabung di Samos.
Mereka datang pertama kali dengan menggunakan Kapal Kodrat tetapi tidak berhasil,
kemudian mereka kembali ke tempat asal. Setelah itu mereka datang lagi dengan Kapal
Safina Tun Najal, dan berhasil menemukan Samos di Pulau Seram Bagian Timur dan
bergabung dengan leluhur Orang Bati yang sudah ada di Samos.

Wawancara dengan bapak AKil (68 Tahun), Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal),
17)

Negeri Kian Darat, pada tanggal 23 Desember 2009.

107
Esuriun Orang Bati

dan ada juga penduduk keturunan Alifuru yang datang dari Tanjung
Sial di Pulau Seram Bagian Barat kemudian mendiami lokasi kediaman
di Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai).
Perkembangan yang terjadi kemudian yaitu Orang Bati me-
nyatukan diri dan sepakat (mafakat sinabi) melalui Esuriun Orang Bati
yaitu Alifuru Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae
ukara). Sejarah asal usul penduduk dari Gunung Bati menempatkan
posisi dari Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) di Tana (Tanah
Bati) sangat penting bagi perkembangan kampung atau dusun lainnya
di Tana (Tanah) Bati. Leluhur Orang Bati dikenal sebagai manusia yang
baik hati, bersih, jujur, suci, dan lainnya yang identik dengan itu
adalah Oyang Kilusi yang menjadi Kapitan Esuriun Orang Bati pada
saat itu.
Sebutan terhadap manusia berhati bersih (batin yang bersih) ini
kemudian melahirkan nama Bati, sebagai salah satu suku-bangsa di
Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) 18) adalah identitas setelah
kelompok sosial Patasiwa dan Patalima menyatu untuk melakukan
Esuriun Orang Bati pada masa lampau. Kisah Esuriun Orang Bati
menegaskan eksistensi dari keturunan kelompok Alifuru Seram yang
menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati sebagai suku-
bangsa. Kelompok sosial Patasiwa dan Patalima merupakan struktur
dasar pembentukan identitas Orang Bati yang dikukuhkan melalui adat
Esuriun Orang Bati baru mereka melakukan aktivitas turun dari hutan
dan gunung (madudu atame ukara) untuk menjaga, melindungi seluruh
hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, adat, budaya identitas
dan lainnya. Dalam pergaulan hidup sehari-hari, Orang Bati menyebut
Pulau Seram dengan nama Tanah Besar. Maknanya yaitu Pulau Seram
adalah pulau terbesar di Kepulauan Maluku dan merupakan tempat asal
dari keturunan Suku Alifuru atau Alifuru Ina.
Penegasan tentang nama Tanah Besar karena Pulau Seram me-
rupakan pulau terbesar di Kepulauan Maluku apabila dibandingkan

Lihat bahasan yang telah dikemukakan tentang Mitologi Seram yang membahas
18)

tentang Mitologi Penciptaan Alam Semesta dan Penciptaan Manusia Awal yang
terdapat pada bagian awal penulisan ini.

108
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

dengan pulau-pulau lain di Kepulauan Maluku. Pulau Seram dengan


daratan (lembah, bukit, dan pegunungan) yang terbentang dari daratan
Hunimua di Sebelah Timur sampai dengan daratan Hunipopu di Seram
Barat terdiri dari wilayah pegunungan yang silih berganti. Kawasan ini
dalam kepercayaan Orang Seram ibarat manusia yang sedang tidur ter-
lentang dan sedang memandang alam semesta. Seram dipercaya olah
keturunan Alifuru sebagai Gunung Manusia berdasarkan mitologi yaitu
wilayah ini masih menyimpan berbagai misteri, baik yang terkait
dengan lingkungan alam maupun manusia. Orang Bati yang mendiami
Gunung Bati adalah salah satu kelompok sukubangsa penghuni
Gunung Manusia sehingga dalam interaksi sosial penamaan Orang Bati
sebagai Orang Gunung (Mancia Atayesu) untuk mempertegas eksis-
tensi kesukubangsaan Bati sebagai Manusia Gunung, dimaksudkan
untuk memberikan perbedan dengan Orang Pantai (Mancia Layena)
yang bukan termasuk (roina kakal) atau saudara Orang Bati.
Lokasi sekitar Gunung Bati terdapat dua gunung yang saling
berhadapan yang dipercaya sebagai Gunung Laki-Laki dan Gunung
Perempuan. Dalam mitologi Bati, posisi Gunung Laki-Laki dan Gunung
Perempuan menjadi dasar dari kosmologi Orang Bati dalam memahami
manusia, tanah, dan alam semestanya. Sampai saat ini Orang Bati
sangat yakin bahwa leluhur mereka yang mendiami Gunung laki-laki
dan Gunung Perempuan ini tidak pernah mati (meninggal dunia).
Leluhur Orang Bati memiliki kehidupan yang abadi sepanjang masa.
Sampai sekarang Orang Bati tetap yakin bahwa leluhur mereka yaitu
Manusia Bati yang mendiami Gunung Bati ini senantiasa berada
dengan mereka. Sebagai anak cucu keturunan Manusia Bati, mereka
sangat percaya bahwa tempat kediaman dari leluhur mereka di Gunung
Bati adalah sakral atau keramat. Berdasarkan kepercayaan pada leluhur
(Tata Nusu Si) sebagai sistem religi bahwa roh para leluhur mereka
yang mendiami Gunung Bati dinamakan Tata Nusu Si senantiasa
menyertai anak cucunya. Informasi yang disampai-kan oleh Raja Kian
Darat bahwa :
Sampai saat ini Orang Bati percaya bahwa nama Bati dan Manusia Batti
atau manusia berhati bersih, jujur, suci ini lahir dengan evolusi daratan

109
Esuriun Orang Bati

Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) atau saat ini dinamakan Pulau Seram
atau Tanah Besar 19).

Sejarah Kedatangan Leluhur Orang Bati dari Tanjung Sial ke Soabareta


Sejarah lisan (oral story) yang mengisahkan tentang kedatangan
leluhur Orang Bati dari Tanjung Sial, pertama-tama mereka mengakui
bahwa asal-usul mereka dari keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau
keturunan Suku Alifuru atau Alifuru Ina yang menamakan diri sebagai
Orang Bati memiliki sejarah asal-usul dari kerurunan Alifuru yang
datang dari Tanjung Sial di sebelah barat Pulau Seram. Mereka datang
dari Tanjung Sial dengan kora-kora, dan menempati lokasi kediaman
awal di Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai). Waktu ke-
datangan mereka dari Tanjung Sial dipimpin oleh Latu atau Ratu
Wawina atau Raja Tongkat Emas dan suaminya Kapitan Pattinama.
Dalam perjalanan mereka mengumpulkan seluruh keturunan
Alifuru yang jumpai. Ketika sampai di Soabareta jumlah Alifuru yang
di-himpun makin banyak. Kelompok ini kemudian mendiami
Soabareta dan terintegrasi dengan Alifuru yang sudah berada di Samos.
Setelah menyatu, baru mereka melakukan Esuriun Orang Bati sehingga
kelompok Patasiwa dan Patalima menjadi terintegrasi. Proses integrasi
yang dicapai Orang Bati adalah final karena dilakukan melalui adat
Esuriun, dan termasuk integrasi kultural.
Dalam lingkungan Orang Bati, nilai dasar untuk mem-
pertahankan kelangsungan hidup (survival strategy) pada tingkat in-
dividu, kerabat, kelompok, maupun komunitas agar mereka tidak
punah yaitu mereka harus saling menjaga, melindungi karena ber-
dasarkan adat esuriun. Untuk itu melalui sejarah di mana Orang Bati
terintegrasi dari dua kelompok besar yaitu kelompok Patasiwa dan ke-
lompok Patalima menjadi satu yaitu Siwa-Lima kemudian dikukuhkan
dengan adat Esuriun Orang Bati.

19)Wawancara
dengan bapak AWe (56 Tahun), Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian
Darat di Geser, pada tanggal 5 November 2010.

110
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Tampak jelas bahwa lingkungan sosial telah membentuk mata-


rantai yang sangat penting dalam siklus kehidupan mereka sebagai
orang satu asal yang menyatu untuk saling menjaga, melindungi yang
satu terhadap lainnya, dan telah berlangsung ratusan tahun. Studi
untuk memahami tentang sejarah Orang Bati untuk menjaga, me-
lindungi satu terhadap yang lain apabila dibandingkan dengan studi
mengenai daur kehidupan dalam sistem kekerabatan Orang Bati di
mana setiap orang sejak berada dalam kandungan ibu, masa bayi, anak-
anak, remaja, dewasa, masa tua, meninggal dan kembali ke tanah, ber-
arti nyawa manusia senantiasa menyatu dengan tanah kelahirannya
sebagai suatu siklus hidup.
Makna tanah dalam sejarah Orang Bati adalah tempat asal-usul,
tanah kelahiran, tampa putus pusa, atau Gunung Tanah yang me-
miliki makna filosofis untuk menjelaskan tentang Tana (Tanah) Bati
sebagai wilayah bernyawa, dan Dunia Orang Bati adalah dunia
Esuriun. Jadi berbicara mengenai wilayah Orang Bati berarti berbicara
me-ngenai wilayah bernyawa. Dunia Orang Bati merupakan arena ke-
hidupan manusia yang terkait dengan nyawa. Hakikatnya terletak pada
niat, di mana manusia yang memiliki niat baik, bersih, dan benar
menunjukkan hakikat Bati.
Konsep ini yang menghubungkan Dunia Orang Bati dengan
lingkungan di mana fungsinya untuk menghubungkan mereka dengan
berbagai peristiwa sosial, adat, dan sebagainya yang telah dilalui pada
masa lampau, agar mereka siap untuk menghadapi masa sekarang, dan
menjemput masa depan. Muaranya ada pada hati (nurani) manusia
yang bersih, sebagaimana yang dikehendaki oleh leluhur mereka yaitu
manusia Bati. Orang Bati menempati wilayah terisolasi, tetapi kondisi
mereka bukan masyarakat terasing. Mereka telah menjalani hidup se-
bagai pemukim menetap sejak leluhur mereka mendiami wilayah ini.
Orang Bati tidak termasuk kategori masyarakat nomaden karena sejak
dilakukan Esuriun Orang Bati, masing-masing marga yang telah me-
nempati etar (wilayah kekuasaan milik marga) tidak pernah berpindah-
pindah tempat sampai saat ini.

111
Esuriun Orang Bati

Sejarah Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur menunjukkan


bahwa, mereka sudah melakukan interaksi dengan orang lain di luar
komunitas mereka cukup lama. Masyarakat Bati telah menjalani ke-
hidupan menetap sejak berabad-abad yang silam. Kondisi yang di-
jalani seperti ini dapat dikatakan bahwa mereka tidak termasuk se-
bagai masyarakat terasing. Akibat pengaruh kondisi lingkungan geo-
grafi yang selama ini tidak dibangun, maka keterbatasan infra struktur
darat maupun laut sehingga Orang Bati atau masyarakat Bati me-
ngalami keterlambatan dalam perkembangan akibat isolasi geografi.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup secara individu maupun sosial
mereka memiliki akses yang terbatas untuk mencapai pusat kegiatan di
bidang sosial, politik, ekonomi, pemerintahan, dan lainnya dalam
jangka waktu cukup lama. Masyarakat Bati mengemukakan bahwa :
Apabila tiba musim ombak besar, wilayah kami tidak dapat dilayari
secara baik, dan pantai disekitar wilayah Pulau Seram Bagian Timur
sulit untuk di singgahi oleh kapal, motor tempel, dan sarana angkutan
lainnya. Kondisi ini yang membuat Orang Bati tidak pernah muncul
kalau sudah tiba musim ombak besar antara bulan Desember sampai
dengan bulan Agustus setiap tahun 20).

Pendapat yang dikemukakan Orang Bati bahwa setiap tahunnya


mereka hanya memiliki waktu selama tiga bulan yaitu dari bulan
September sampai dengan bulan November merupakan musim tenang
sehingga mereka bisa memiliki akses ke luar Pulau Seram Bagian
Timur. Kondisi yang dialami oleh Orang Bati seperti ini membuat
interaksi mereka dengan orang lain yang berada di luar komunitas
mereka menjadi terbatas, bahkan ada diantara mereka yang sama sekali
tidak berinteraksi dengan orang lain apabila tenggang waktu selama
tiga bulan ini tidak ada kesempatan. Mereka menjadi hilang untuk
jangka waktu cukup lama, sehingga kondisi ini menimbulkan persepsi
orang luar mengenai negeri ilang-ilang (hilang-hilang).

20)Wawancara
dengan bapak ASia (73 Tahun) Wakil Kepala Dusun Watu-Watu (Bati
Pantai), Negeri Kian Darat, pada tanggal 18 Juli 2009.

112
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Sejarah Esuriun Orang Bati


Sejarah lisan (oral story) yang disampaikan Orang Bati tentang
Esuriun Orang Bati yaitu peristiwa atau kisah nyata turunnya leluhur
Alifuru Bati atau Orang Bati dari Samos yang terdapat dalam kawasan
hutan hujan sekitar Gunung Bati, di Pulau Seram Bagian Timur.
Esuriun Orang Bati adalah dunia kehidupan Orang Bati yang se-
sungguhnya di mana seluruh aktivitas hidup berlangsung sehari-hari.
Esuriun Orang Bati sangat penting bagi anak cucu keturunan Alifuru
Bati atau Orang Bati atau Suku Bati sehingga aktivitas hidup senantiasa
berkaitan dengan ritual adat maupun upacara adat yang berbasis
Esuriun Orang Bati.
Barisan upacara adat Esuriun Orang Bati yang terdiri dari ribuan
orang atau manusia yang menggunakan simbol ikat kepala merah
(berang) 21), parang dan tombak, serta panah dan parang. Keturunan
Alifuru Bati turun dari Gunung Bati secara bersama-sama, dan mereka
dipimpin oleh Oyang Kilusi sebagai Kapitan Esuriun Orang Bati meng-
gunakan parang dan salawaku (perisai). Sejarah turunnya Alifuru Bati
dari Samos untuk menjaga dan melindungi (mabangatnai tua
malindong) seluruh hak milik yang berharga (bernilai) seperti manusia,
tanah, hutan, identitas, adat, kebudayaan, lingkungan, dan sebagainya
dapat dimaknai juga sebagai survival strategy.
Strategi menguasai tanah dan wilayah yang menjadi hak milik
(property) dari masing-masing mata rumah (it etar) di Pulau Seram
Bagian Timur memperoleh pembagian sesuai adat yang telah di-
sepakati bersama. Kisah turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati turun
dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) kemudian

21)Wawancara dengan bapak AKil (68 Tahun) Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal),
Negeri Kian Darat, pada tanggal 10 Juli 2009 yaitu ikat kepala berwarna merah
(berang) merupakan tradisi asli Alifuru Seram. Cara mengikat kepala yang benar ada
pada Orang Bati di mana simpulnya berada pada bagian depan. Makna simpul berada di
depan karena ia selalu ingat daerah asalnya. Namun pada saat ini banyak suku-suku di
Pulau Seram ketika mengikat berang, simpulnya berada di belakang. Itu berarti mereka
tidak ingat pada daerah asalnya. Untuk itu dalam upacara adat Esuriun Orang Bati,
maka ikat kepala (berang) yang digunakan harus menempatkan simpulnya di bagian
depan.

113
Esuriun Orang Bati

dilembagakan dalam adat, dan sampai saat ini terus dilestarikan.


Mengapa Esuriun Orang Bati masih terpelihara secara baik dalam ke-
hidupan Orang Bati atau Suku Bati, karena mereka berusaha menjaga
dan melindungi (mabangatnai tua malindung) tradisi Esuriun agar anak
cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati atau Suku Bati dapat
bertahan hidup (survive) dan tidak punah.
Pertanyaan mendasar untuk menjelaskan Esuriun sebagai sejarah
Alifuru Bati atau Orang Bati atau Suku Bati ketika turun dari hutan dan
gunung yaitu mengapa seluruh tanah yang terdiri dari hutan belantara
di Pulau Seram ada pemiliknya. Informasi lapangan yang diperoleh
peneliti yaitu pada masa lampau seluruh bidang tanah yang terdapat di
Pulau Seram telah ada pembagian (tabagu) untuk masing-masing
sukubangsa. Tanah yang berada di Pulau Seram bukan tanah yang tidak
bertuan. Tanah yang terdapat di Pulau Seram ada pemiliknya atau ada
yang mememilikinya. Hutan belantara yang berada di atas tanah ada
pemiliknya. Persoalan ini apabila tidak dipahami secara baik oleh
berbagai pihak pada saat ini, dipercaya pada masa depan tanah bisa
menimbulkan masalah yang jauh lebih krusial dalam kehidupan
bermasyarakat. Berdasarkan tradisi Alifuru Seram, tanah adalah bagian
dari kehidupan yang sangat penting pada masa itu, saat ini, dan masa
depan. Anak cucu keturunan Alifuru memiliki hak dan kewajiban
untuk menjaga, melindungi, serta mengelola tanah secara baik untuk
kesejahteraan hidup. Tanah sebagai hak milik yang berharga sehingga
Esuriun Orang Bati dilakukan untuk menjaga, melindungi tanah milik
mereka. Peristiwa turun gunung yang dilakukan oleh keturunan
Alifuru Ina atau leluhur Orang Bati atau Suku Bati pada masa lampau
dipimpin oleh Kapitan 22) Esuriun Orang Bati pada gambar 5 maupun
profil orang laki-laki dan perempuan Bati pada gambar 6 berikut ini:

22)Wawancara dengan bapak AKil (68 Tahun) Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal),
Negeri Kian Darat, pada tanggal 10 Juli 2009, ia mengatakan bahwa istilah Kapitan
(pemimpin perang) adalah istilah khas yang digunakan Alifuru Bati atau Orang Bati
sejak leluhur mereka melakukan Esuriun Orang Bati, jauh sebelum kedatangan orang
luar ke Maluku. Jadi tidak mungkin penggunaan istilah Kapitan Esuriun Orang Bati
diadopsi dari orang luar.

114
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Gambar : 5. Profil Kapitan Esuriun Orang Bati

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian.

115
Esuriun Orang Bati

Orang Bati Atau Suku Bati di Seram-Maluku


Gambar : 6. Profil Laki-Laki dan Perempuan Orang Bati

Sumber : Data Primer Hasil Penelitian.

116
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Eksistensi Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku


Pada saat ini suku-suku yang mendiami kawasan Pulau Seram
Bagian Timur yang menyebut diri sebagai Orang Seram Timur cukup
banyak. Baik itu suku asli seperti Orang Geser, Gorom, Werinama, dan
lainnya maupun para pendatang dari suku Tobelo, Jailolo, Bacan, Obi,
Kei (Kai), Banda, Jawa, Bugis, Makasar, Buton, Arab, Cina, dan lainnya
yang mendiami wilayah pesisir pantai cukup banyak. Mereka juga
sering menyebut diri sebagai Orang Seram Timur. Namun istilah khas
pada Orang Seram Timur hanya ditujukan pada penduduk asli. Orang
Bati atau Suku Bati juga sering menyebut diri sebagai Orang Seram
Timur, Orang Geser, sehingga dalam interaksi sosial orang luar sulit
membedakan mana Orang Bati atau Suku Bati, dan mana Orang Seram
Timur atau Orang Geser.
Peneliti bisa mengetahui seseorang itu apakah Orang Seram
Timur atau Orang Bati atau Suku Bati dari cara berbicara (dialek) yang
digunakan, bahasa, ciri-ciri fisik, dan nama marga. Suku Bati atau
Orang Bati adalah suku asli yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur
dan sering menyebut diri sebagai Orang Nusa Ina (Pulau Ibu). Mereka
mendiami wilayah Pulau Seram Bagian Timur pada wilayah pe-
gunungan. Di kalangan Orang Bati atau Suku bati terdapat sebutan
Orang Gunung (Mancia Atayesu) untuk membedakan mereka dengan
Orang Pantai (Mancia Layena). Melalui Esuriun Orang Bati baru
mereka tersebar untuk menempati wilayah kekuasaan (etar) masing-
masing yang terdapat dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang
Bati. Pada saat ini ada sebagian dari Orang Bati atau Suku Bati yang
telah mendiami perkampungan daerah pantai atau menjadi Orang Patai
(Mancia Layena) karena pembagian hak milik (tanah) yang dilakukan
pada saat Esuriun Orang Bati.
Suku Bati atau Orang Bati adalah potret nyata dari kehidupan
Manusia Gunung atau Orang Gunung (Mancia Atayesu) yang
mendiami Pulau Seram termasuk kategori pulau kecil di Kepulauan
Maluku. Sebagai Manusia Gunung (Mancia Atayesu), Orang Bati
kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman di laut, apabila di-
bandingkan dengan suku-suku lainnya yang mendiami wilayah pesisir

117
Esuriun Orang Bati

pantai di Pulau Seram Bagian Timur. Fenomena yang dialami oleh


Suku Bati atau Orang Bati selama ini yaitu terjadi hambatan interaksi
sosial dengan lingkungan luar dari mereka secara intensif karena
lingkungan tempat kediaman mereka dikelilingi oleh laut dengan
kondisi yang kurang bersahabat. Persoalan utama sebagai Manusia
Gunung (Mancia Atayesu) yaitu Orang Bati memiliki mobilitas yang
terbatas antar pulau yang satu dengan lainnya karena keterbatasan
sarana angkutan laut maupun darat. Kondisi lain yang sangat ber-
pengaruh terhadap mobilitas Orang Bati yaitu keterbatasan dan ke-
tidaklayakan infrastruktur perhubungan laut dan darat.

Makna Persepsi Orang Luar Tentang Ilang-Ilang


Ketika menghadapi perubahan iklim dan cuaca yang sering
menimbulkan gelombang besar, maka posisi pulau kecil seperti Pulau
Seram di mana yang dikelilingi laut yang luas, sering menghadapi ge-
lombang besar akibat hembusan angin yang kuat sehingga menyebab-
kan keadaan laut di wilayah bergelombang besar. Hamparan ombak
laut yang besar sampai di pesisir pantai menyebabkan kabut tebal
sering menutupi seluruh kawasan Pulau Seram Bagian Timur. Kondisi
seperti ini dapat berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama
sehingga wilayah Pulau Seram Bagian Timur tidak kelihatan secara
jelas oleh pandangan mata orang lain. Fenomena alam tersebut
menyebabkan aktivitas maupun mobilitas penduduk di wilayah ini
menjadi terbatas. Orang Bati yang mendiami kawasan Pulau Seram
Bagian Timur tidak dapat melakukan aktivitas karena keadaan laut di
sekitar mereka yang mengalami gelombang besar serta arus laut yang
cukup kuat di Selat Keving maupun Tanjung Masiwang. Fenomena
yang seringkali terjadi seperti ini oleh Orang luar ketika memandang
kawasan tersebut dari jauh yaitu tidak kelihatan (tersamar) sehingga
wilayah ini dipersepsi-kan sebagai wilayah yang ilang-ilang (hilang-
hilang) atau tidak ke-lihatan secara jelas. Orang Bati atau Suku Bati
mengemukakan bahwa:
Karena mamu tinanai tua mamu sinobala terbatas, oi yang be kamu
kafatanak boit dait tifua. Artinya, terbatas sarana trans-portasi darat

118
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

maupun laut sehingga biaya pemasaran juga besar. Mamu kesempatan


untuk kawei mamu pasaran/tompat fatanak, oi yang de kamu kafatanak
daite. Artinya, kesempatan kami sama sekali tidak ada untuk mencapai
pasar. Kami sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk itu 23).

Makna dari pendapat tersebut di atas yaitu, selama mereka


(Orang Bati atau Suku Bati) memiliki mobilitas yang sangat terbatas
untuk ke luar dari wilayah Pulau Seram Bagian Timur karena wilayah
kediaman mereka berada pada lingkungan alam yang tidak ramah se-
hingga persoalan isolasi geografis menjadi penyebab sehingga ke-
hidupan mereka menjadi terasing karena waktu cuku lama Orang Bati
tidak berinteraksi. Akses mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup
menjadi terbatas, bahkan sulit pada musim tertentu (seperti musim
penghujan dan musim pancaroba) yang berlangsung setiap tahun.

Orang Bati yang Terabaikan Dalam Proses Pembangunan


Sampai saat kehidupan suku-suku di Pulau Seram termasuk
Orang Bati atau Suku Bati mengalami hambatan pembangunan. Untuk
itu fenomena yang menyebabkan hambatan yang dialami Orang Bati
dalam proses pembangunan karena mereka dipersepsikan sebagai orang
ilang-ilang (hilang-hilang). Dalam kehidupan bermasyarakat, ternyata
Orang Bati atau Suku Bati menghadapi tekanan hidup yang luar biasa.
Tekanan hidup tersebut bersumber dari lingkungan internal atau dari
dalam seperti isolasi, keterasingan, alam yang tidak ramah, dan lainnya
maupun lingkungan eksternal atau dari luar seperti stigma (anggapan
negatif) dari orang luar, tidak ada bantuan negara, dan sebagainya.
Fenomena yang nyata dalam kehidupan Orang Bati akibat
isolasi geografi, menguatnya stigma, dan sebagainya menyebabkan ke-
hidupan Orang Bati sampai saat ini terpinggirkan. Kondisi lingkungan
yang disebab karena laut di sekitar kawasan Seram Timur sering ber-
gelombang besar, terbatasnya infra struktur perhubungan darat mau-
pun laut yang sama sekali tidak layak, dan tidak tersedianya

23)Wawancara dengan bapak SeSia (74 Tahun), Kepala Adat Dusun Rumbou (Bati
Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 15 Juli 2009.

119
Esuriun Orang Bati

infrastruktur transportasi, komunikasi, informasi, dan lainnya


menyebabkan manusia yang mendiami wilayah ini mengalami
persoalan ke-manusiaan yang sangat krusial. Melalui studi ini
diketahui bahwa, tenggang waktu di mana keadaan laut di Seram
Timur bergelombang besar yang berlangsung cukup lama yaitu
sembilan bulan dalam satu tahun menjadi kendala bagi Orang Bati
untuk berakses secara baik. Berdasarkan pengalaman yang disampaikan
Orang Bati maupun yang dialami sendiri oleh peneliti yaitu selama
sembilan bulan terhitung mulai dari bulan Desember sampai dengan
bulan Agustus setiap tahun, kawasan Pulau Seram Bagian Timur di
mana Orang Bati berada me-ngalami musim paceklik atau musim susah
(pinakuta danggu).
Hal ini menunjukkan bahwa setiap tahun Orang Bati terisolasi
selama sembilan bulan akibat kondisi wilayah geografis mereka
mengalami ombak besar, angin yang kencang dan arus laut yang kuat
dapat terjadi setiap saat. Persoalan utama yang dihadapi oleh Orang
Bati yang mendiami kawasan tersebut ketika dilanda oleh gelombang
laut yang besar di mana jarak antara pesisir pantai menuju ke laut
dalam terdapat batu di sepanjang wilayah tersebut. Ketika musim
gelombang laut yang besar, biasanya ombak pecah pada bibir pantai
yang berjarak 150 sampai 200 m menuju ke laut.
Kondisi tersebut menyebabkan air laut disekitar kawasan ini
terlihat putih, dan diselunuti oleh kabut tebal sehingga tidak kelihatan
secara jelas (tersamar) sehingga orang luar mempersepsikannya sebagai
ilang-ilang. Kondisi tersebut sangat berpengaruh langsung terhadap
aktivitas pelayaran di sekitar kawasan ini karena kapal, maupun jenis
sarana angkuan laut tradisional yaitu perahu (wona) dengan
menggunakan mesin atau motor tempel yang digunakan untuk
mengangkut manusia dan barang. Apabila tiba musim gelombang,
kondisi perahu (wona) tersebut sangat membahayakan keselamatan
pelayaran.
Musim laut tenang hanya berlangsung selama tiga bulan ter-
hitung mulai dari bulan September, Oktober, dan November setiap
tahun. Sebagai Manusia Gunung atau Orang Gunung (Mancia Ata-

120
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

yesu), ternyata Orang Bati mengalami kesulitan melakukan adaptasi


dengan keadaan laut yang sedang bergelora. Kondisi ini yang me-
nyebabkan Orang Bati tidak dapat ke luar dari kawasan tersebut se-
lama laut bergelombang besar karena di wilayah ini tidak tersedianya
sarana perhubungan laut seperti pelabuhan dan transportasi laut seperti
kapal, atau motor laut secara memadai, dan memiliki daya tahan
terhadap ombak laut yang besar, dan arus laut yang cukup kuat di se-
kitar wilayah Pulau Seram Bagian Timur pada Selat Keving dan Selat
Geser.
Persoalan hidup yang dialami Orang Bati di wilayah yang
alamnya tidak ramah menyebabkan akses Orang Bati maupun pen-
duduk lain yang mendiami kawasan tersebut pada musim-musim ter-
tentu di mana keadaan laut mengalami obak besar. Terutama persoalan
yang berkaitan dengan usaha untuk mencapai wilayah tertentu seperti
Pulau Geser, Bula, maupun Ambon untuk mencari barang-barang ke-
perluan hidup, terutama bahan kebutuhan pokok. Selain itu juga tidak
terdapat sarana angkutan darat untuk mencapai pusat pelayanan, mau-
pun tempat-tempat untuk melakukan aktivitas guna memenuhi ke-
butuhan hidup secara individu, keluarga, maupun masyarakat. Per-
soalan keterasingan yang dialami Orang Bati atau Suku Bati dengan
lingkngan karena tekanan dari lingkungan fisik, sosial, dan lainnya
perlu diawali dengan pernyataan ilmiah bahwa Orang Bati atau Suku
Bati itu adalah manusia maupun sukubangsa. Sebab fakta empirik
bahwa, Orang Bati atau Suku Bati bukan manusia atau orang ilang-
ilang (hilang-hilang) sebagaimana distigmatisasi oleh orang luar (Orang
Maluku) pada Orang Bati selama ini.
Penelusuran terhadap sejarah lisan (oral story) tentang asal-
usul leluhur Orang Bati atau Suku Bati yang mengakui diri bahwa
mereka memiliki asal-usul yang sama dengan Orang Maluku yaitu dari
anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau Alifuru Ina. Orang
Bati atau Suku Bati mengakui bahwa mereka memiliki asal-usul dari
keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau Suku Alifuru di Pulau Seram
atau Nusa Ina (Pulau Ibu) untuk menegaskan eksistensi Orang Bati atau
Suku Bati dalam pembangunan menjadi penting karena melalui

121
Esuriun Orang Bati

hubungan sosial atau secara genealogis Orang Bati memiliki asal-usul


yang sama dengan suku-suku lainnya atau suku-suku asli di Pulau
Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) karena menyebut diri sebagai Orang
Seram yang berasal dari keturunan Suku Alifuru.
Berdasarkan sejarah lisan (oral story) diketahui bahwa Orang
Bati memiliki eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa di Pulau
Seram Bagian Timur-Maluku-Indonesia. Orang Bati atau Suku Bati
mengakui diri (identitas) adalah anak cucu keturunan Alifuru atau
Alifuru Ina atau keturunan Manusia Awal di Pulau Seram dan
menempati wilayah kekuasaan (watas nakuasa) mereka di Pulau Seram
Bagian Timur. Akibat menguatnya stigma menyebabkan Orang Bati
mengalami hambatan dalam proses pembangunan. Kehidupan Orang
Bati sampai saat ini terabaikan sama sekalai oleh pemerintah (negara)
dan masyarakat karena menguatnya stigma (anggapan negatif) yang
ditujukan pada Orang Bati atau Suku Bati. Tekanan (presure) yang ber-
sumber dari dalam lingkungan mereka sendiri seperti isolasi geografis
akibat kondisi alam yang tidak ramah, keterasingan, dan lainnya.
Tekanan (presure) yang berasal dari luar lingkungan yaitu tidak ada
bantuan, menguatnya stigma dan lainnya sehingga kehidupan mereka
sampai saat ini terabaikan dari pelayanan pemerintah, swasta, maupun
masyarakat.
Dalam menghadapi tekanan hidup, Orang Bati terus berusaha
dengan kekuatan sendiri agar dapat bertahan hidup (survival strategy)
sehingga ratusan tahun Orang Bati mendiami kawasan hutan hujan di
Pulau Seram Bagian Timur tidak mengalami kepunahan. Esuriun
Orang Bati benar-benar berfungsi dan berperan menyelenggarakan
kehidupan secara individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas
sehingga tekanan yang berasal dari dalam maupun yang datang dari
luar lingkungan dapat diatasi sendiri oleh mereka sesuai dengan ke-
arifan lokal (local wisdom) yang dimiliki. Cara mengatasi tekanan (pre-
sure) dengan cara menyembunyikan identitas Bati agar tidak diketahui
oleh orang luar dimaknai sebagai kearifan hidup agar keberadaan
Orang Bati pada suatu lingkungan masyarakat tertentu tidak me-
nimbulkan kepanikan pada orang lain.

122
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Sebab nama Bati yang digunakan oleh orang luar (Orang


Maluku) dapat dimaknai sebagai wacana untuk meredam konflik
maupun pertikaian yang dapat saja terjadi antar kelompok dalam
masyarakat apabila terjadi kasus orang hilang, diculik dan sebagainya.
Dalam realitasnya, apabila terjadi kasus orang hilang atau ada orang
yang diculik (anak kecil maupun orang perempuan), apabila anggota
maupun kelompok masyarakat menyebutkan bahwa itu adalah per-
lakuan Orang Bati, maka persoalan serius seperti di atas secara diam-
diam menjadi reda dan hilang tanpa bekas. Hal ini dapat mengandung
makna bahwa simbol Bati telah berperan untuk menciptakan per-
damaian dalam kehidupan bermasyarakat di Maluku. Fenomena Orang
Bati seperti dikemukakan di atas apabila dikaitkan dengan kasus-kasus
tertentu yang dihadapi oleh masyarakat, berarti isu Orang Bati yang
selama ini berkembang dalam kehidupan Orang Maluku dapat di-
katakan memiliki makna posisitf untuk mencegah konflik, meredam
bibit permusuhan di kalangan kelompok sosial agar tidak muncul se-
bagai pertikaian. Walaupun ada kenyataan bahwa kasus yang sama
sering dialami sendiri Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur, tetapi
Orang Bati memahami dan memaknainya sebagai suatu takdir karena
leluhur Orang Bati yaitu Manusia Batti atau Tata Nusu Si mengingin-
kan orang yang bersangkutan untuk diambil atau diculik secara diam-
diam dan tidak dikembalikan. Itulah fenomena sosial yang sering
dihadapi oleh masyarakat di daerah Maluku, dan dimaknainya sebagai
misteri Orang Bati, yang sesungguhnya bukan perlakuan Orang Bati
secara langsung, tetapi hal ini dipercaya oleh Orang Bati berkaitan
dengan kehidupan Manusia Batti. Selama ini Orang Bati sebagai
Orang Maluku telah menjadi korban karena senantiasa dituduh oleh
orang luar (Orang Maluku) sebagai orang jahat karena menyusahkan
orang lain.
Fenomena seperti dikemukakan dalam pandangan Orang Bati
yaitu merupakan kebiasaan dan hal ini terdapat dalam adat-istiadat
yang dipercaya kebenarannya oleh Orang Bati karena arwah para
leluhur yang tidak kelihatan tetapi senantiasa menyertai mereka se-
bagai anak cucu telah mengambil orang yang bersangkutan. Dalam
perspektif yang berbeda untuk memaknai fenomena seperti ini oleh

123
Esuriun Orang Bati

Colley (1961 : 110) karena arwah para leluhur adalah pengamat yang
tidak kelihatan yang menjamin adat dilaksanakan. Fenomena seperti
ini dapat dimaknai sebagai pengetahuan lokal (local knowledge) yang
diperoleh dari leluhur Orang Bati untuk bertahan hidup (survive).
Semua pengetahuan yang diperoleh didasarkan pada adat-istiadat yang
berlaku di Tana (Tanah) Bati. Secara individu, kelompok, maupun
komunitas, Orang Bati senantiasa menjalani hidup berdasarkan adat-
istiadat yang telah dicanangkan oleh leluhur.
Bagi orang luar yang berkeinginan untuk datang di Tana
(Tanah) Bati harus mengetahui hal ini secara benar sehingga harus
tunduk, taat, dan menghormati adat-istiadat yang berlaku di Tana
(Tanah) Bati. Jika tidak taat dan menghormati adat Orang Bati jangan
heran kalau bencana seperti dikemukakan di atas dapat menimpa siapa
saja. Tana (Tanah) Bati itu sakral karena menurut kepercayaan Orang
Bati bahwa Tana (Tanah) Bati merupakan rute perjalanan Manusia
Batti yang selama ini dijaga dan dilindungi oleh generasi penerus
tradisi dan kebudayaan Bati untuk menganalisis data empirik yang
berkaitan dengan pemahaman Orang Bati tentang Bumi Seram dan
Manusia Batti.

124

Anda mungkin juga menyukai