Anda di halaman 1dari 10

UTS Etnografi Indonesia

Nyale dan Pasola pada Masyarakat Sumba

Dibuat oleh:
Clarisa Irene / 1406575746
Antropologi Sosial
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Indonesia

Pendahuluan
Bukan merupakan sebuah wacana asing bahwa Indonesia adalah negara
multikultural. Keberagaman budaya di Indonesia itu seperti mozaik, masing-

masing memiliki warnanya sendiri. Setiap suku bangsa dengan sub-subsukunya


memiliki kebudayaan tersendiri, baik itu kebudayaan yang tidak kelihatan
(intangible culture) maupun kebudayaan yang terlihat secara fisik (tangible
culture). Hal ini tercermin dari adanya perbedaan sistem kekerabatan, sistem
perkawinan, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan sebagainya. Segala
macam sistem itu membentuk satu sistem kehidupan suatu masyarakat adat atau
komunitas adat, yakni mereka yang berdiam di suatu wilayah tetentu dan saling
berinteraksi secara intensif sehingga mereka memiliki ciri kebudayaan yang sama
(Limbeng & Maria 2007:1).
Salah satu suku bangsa di Indonesia yang akan dibahas pada tulisan ini
ialah Suku Bangsa Sumba yang terdapat di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Pulau Sumba sendiri disebut Tana Humba oleh orang Sumba yang artinya tanah
sumba (Melalatoa 1995:789). Secara administratif, sekarang pulau ini terbagi
menjadi empat kabupaten, yakni Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya
(SBD), Sumba Tengah, dan Sumba Timur1. Namun, hanya masyarakat di Sumba
Barat dan Sumba Barat Daya yang masih cukup kental mengikuti adat istiadat
leluhur karena agama Katolik masih memperbolehkan penganutnya untuk
melaksanakan tradisi lokal. Berbeda dengan masyarakat di Sumba Barat dan SBD,
masyarakat di Sumbat Timur tidak lagi melaksanakan tradisi lokal semenjak
Kekristenan masuk (Ama 2011).
Sesuai dengan sejumlah artikel yang dilampirkan, tulisan ini akan berfokus
pada tradisi Nyale dan Pasola yang masih dilakukan sampai sekarang oleh orangorang Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Pertama, akan dibahas mengenai
ritual adat Nyale dan Pasola. Kemudian, akan dilanjutkan dengan analisis
sejumlah artikel yang terlampir, dikaitkan dengan konsep pluralisme dan
multikulturalisme.
Suku Bangsa Sumba
Sekilas mengenai Suku Bangsa Sumba, orang Sumba menyebut diri mereka
sendiri tua humba (orang Sumba). Mereka bermata pencaharian beternak dan
bercocok tanam. Orang Sumba, terutama yang di bagian barat, terkenal dengan
nuansa desa dan kehidupan yang masih erat dengan sistem religinya, yakni
1 Lihat Profil Provinsi Nusa Tenggara Timur di website resmi BKPM: http://bkpmnttprov.web.id/data-wilayah/profil-provinsi-nusa-tenggara-timur/

Marapu. Secara singkat, Marapu adalah kepercayaan terhadap Merapu atau


leluhur, roh-roh nenek moyang yang didewakan dan dipercaya sebagai perantara
antara manusia dengan yang al Khalik (Melalatoa 1995:793, Limbeng & Maria
2007:128). Dari kepercayaan inilah, lahir dan berkembang adat istiadat orangorang Sumba yang mengatur seluruh tatanan hidup mereka, misalnya berkaitan
dengan kematian. Terdapat sejumlah upacara sebagai bagian dari ritus
kepercayaan mereka, salah satunya adalah ritual adat Nyale yang diikuti dengan
Pasola.
Ritual Adat Nyale dan Pasola
Sebelum memasuki musim bercocok tanam, orang Sumba mengenal bulan
suci yang disebut bulan Nyale atau Wula Nyale. Bulan suci ini biasanya jatuh pada
bulan Febuari atau Maret sesuai dengan perhitungan dan penetapan dari Rato
Nyale, tetua adat yang paling tinggi. Pada bulan suci ini terdapat pantanganpantangan yang berlaku, seperti membuat onar, menangisi mayat, berpakaian
secara berlebihan, membakar ilalang-ilalang, dan lain-lain. Pada bulan ini, mereka
meramalkan baik dan buruknya hasil panen pada waktu yang akan datang
berdasarkan gejala alam yang mereka alami. Gejala alam itu ialah cacing (nyale)
yang keluar dari pantai laut dangkal berbatu dan penuh lumut di kala fajar
menyingsing hingga pagi sekitar pukul 08.00. Rato akan memulai pengambilan
nyale atau cacing-cacing laut itu yang kemudian diikuti oleh masyarakat untuk
dikumpulkan. Setelah terkumpul, nyale dibawa ke Rato Nyale untuk ditafsirkan.
Jikalau nyale yang terkumpul banyak dan gendut-gendut, itu pertanda bahwa
panen akan berlimpah. Jikalau nyale yang didapatkan hanya sedikit, itu pertanda
bahwa kelak hasil panen akan rusak, misalnya karena serangan hama. Jikalau
nyale itu menggigit ketika ditangkap, itu pertanda bahwa tanaman akan dirusak
oleh hama tikus (Melalatoa 1995:791-792).
Setelah pengambilan nyale selesai, mereka akan meneruskan hari itu
dengan Pasola, permainan tradisional orang Sumba. Pasola berasal dari kata
sola atau hola yang berarti sejenis lembing kayu yang digunakan untuk saling
melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang
berlawanan. Imbuhan pa menjadikan artinya sebagai permainan (Limbeng &
Maria 2007:38). Suasana permainan ini penuh dengan rasa persaudaraan dan

sukacita menyambut datangnya tahun baru menurut kepercayaan Marapu dan


mensyukuri anugerah datangnya musim panen.
Pemain dalam Pasola adalah para pendekar yang gagah berani mewakili
kampung-kampung di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Para pendekar itu
mengenakan pakaian adat, sarung (hinggi) yang berwarna-warni dan ikat kepala
yang khas. Kuda tunggangannya juga dihiasi pita, bulu ayam, dan digiring-giring
(Melalatoa 1995:792). Masing-masing pendekar memegang tongkat tombak kayu
yang sebenarnya tumpul, tetapi dapat melukai orang ketika dilempar dengan
sangat kencang. Apabila sampai ada yang terluka karena permainan lempar
lembing ini, dipercaya bahwa itu pertanda panen akan produktif (Melalatoa
1995:792, Limbeng & Maria 2007:42). Tidak akan ada konflik yang muncul
karena pertumpahan darah yang terjadi karena mereka pun percaya orang yang
terluka pasti memang karena ia berbuat salah, misalnya melanggar pantangan
yang telah diadatkan dalam bulan Nyale tadi.
Analisis Artikel
Kelima artikel yang terlampir berisi mengenai tradisi Nyale dan Pasola
dengan detail informasi yang berbeda-beda. Berikut adalah berbagai informasi
seputar Nyale dan Pasola yang dapat diraup dari kelima artikel tersebut.
Nyale atau cacing laut, melambangkan kesejahteraan, rezeki hidup, dan
keselamatan bagi orang Sumba. Mereka percaya bahwa nyale adalah simbol
anugerah leluhur dan siapapun yang menyantapnya akan memperoleh berkatberkat tersebut. Banyaknya nyale yang muncul dan terkumpul juga dipercaya
berpengaruh terhadap keberhasilan panen orang-orang Sumba kelak (Ama 2015).
Nyale yang sudah dikumpulkan juga akan dimasak menjadi santapan yang lezat,
dimakan bersama makanan-makanan khas Sumba lainnya. Misalnya seperti di
Sumba Barat, nyale diolah menjadi sambal dan dihidangkan dengan berbagai
makanan khas Sumba Barat, seperti nasi jagung kacang merah, bubur sayuran,
dan lain-lain (Pertiwi 2012).
Rato Nyale adalah tetua adat yang tertinggi di antara para rato dari
sejumlah kampung di Sumba Barat dan SBD. Rato Nyale berada di wilayah Kodi,
tepatnya Kampung Mbukabani karena sejak dahulu, di sanalah satu-satunya
tempat keberadaan uma (rumah) nyale yang juga dianggap sebagai jantung
kehidupan orang Sumba. Nuansa kampung ini terkesan lebih magis dibandingkan

kampung-kampung lainnya (Ama 2011). Rato Nyale pun adalah tetua adat yang
paling sakti dan berperan sebagai penentu kapan Nyale dan Pasola akan
dilaksanakan, dihitung dari hari munculnya bulan purnama (Kusuma 2014).
Kehadiran nyale dipadukan dengan mimpi sang rato dan posisi bulan, tepat tegak
di atas rumah adat rato itu. Rato Nyale (penguasa cacing laut) juga dipercaya
sebagai orang yang mempunyai kemampuan memanggil cacing laut datang.
Biasanya, ritual ini dilakukan seminggu sebelum Pasola dilaksanakan (Ama &
Dharmasaputra 2010).
Pasola yang dilaksanakan setelah menyantap nyale, merupakan permainan
ketangkasan antarkelompok adu melempar lembing dari kuda yang berpacu
kencang. Pelaksanaan Pasola selalu mendapat petunjuk leluhur, yakni diawali
dengan kehadiran nyale. Pasola dimaknai sebagai institusi dan sarana reuni,
bergotong royong, dan rekonsiliasi karena menekankan rasa persaudaraan.
Menurut Rato Ranggamete, upacara ritual Nyale menggambarkan upacara
meminta (kamuru) dan membangun persatuan (pahwungo), sedangkan Pasola
berarti membuang yang tidak baik (letin jandaha) (Ama & Dharmasaputra 2010).
Kedua ritus ini sebenarnya bermakna sebagai ucapan syukur masyarakat Sumba
atas anugerah leluhur dalam menyambut musim panen.
Ritual adat Nyale dan Pasola ini merupakan salah satu keunikan khas
orang Sumba yang menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik dan mancanegara
untuk berkunjung. Karena hal inilah, Pemerintah Daerah menetapkan Pasola
sebagai objek pariwisata karena banyak sekali wisatawan yang datang untuk
menyaksikan permainan tradisional adu lempar lembing ini setiap tahunnya.
Meskipun begitu, hal ini sempat berdampak negatif.
Menurut artikel yang berjudul Jantung Kehidupan Orang Sumba (Ama
2011), pemerintah sudah mengambil alih jadwal pelaksanaan Pasola dengan
alasan demi kepentingan pariwisata. Selain itu, sejumlah nilai budaya dan tradisi
lokal diabaikan, seperti pemerintah yang dengan sendirinya menentukan hari dan
tanggal

pelaksanaan

Pasola.

Misalnya,

Pasola

di

Wanokaka

biasanya

diselenggarakan pada bulan Maret, tetapi pemerintah menggantinya, sehingga


diselenggarakan pada bulan Febuari. Namun, pada tahun 2014 berdasarkan artikel
yang berjudul Menonton Pasola di Sumba (Kusuma 2014), Pemerintah Daerah
telah menetapkan waktu penyelenggaraan Pasola setelah pertimbangan dan

penentuan dari Rato Nyale terlebih dahulu karena penanggalannya bisa berubahubah setiap tahunnya.
Penulis melihat adanya hal yang menarik dari perihal penetapan tanggal
oleh pemerintah pada tahun 2011 dan tidak lagi pada tahun 2014. Kedua hal itu
adalah detail kecil dari serangkaian informasi dari kelima artikel yang terlampir,
tetapi

menurut

penulis,

hal

tersebut

dapat

disorot

dengan

kacamata

multikulturalisme.
Menurut Kottak (2011:143) multikulturalisme adalah suatu paham yang
memandang keberagaman budaya adalah sesuatu yang baik, berharga, dan patut
dipertahankan. Namun, sejatinya multikulturalisme tidak hanya berhenti di situ.
Parsudi Suparlan, dalam jurnalnya yang berjudul Menuju Masyarakat Indonesia
yang Multikultural (2002:98) mendefinisikan multikulturalisme sebagai sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik
secara individual maupun secara kebudayaan.
Pada konsep multikulturalisme menurut Parsudi Suparlan, terdapat
penekanan pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Hal ini
berlaku di dalam kehidupan politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan
hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan
golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas (Suparlan 2002:99). Dalam memahami konsep multikulturalisme
tersebut agar aplikatif di berbagai segi kehidupan bernegara yang telah
disebutkan, dibutuhkan pengertian dari akar kata multikulturalisme sendiri, yaitu
kebudayaan. Konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi
kehidupan manusia.
Tradisi Nyale dan Pasola ini sangat penting bagi masyarakat Sumba Barat
dan Sumba Barat Daya. Nyale lebih dari sekadar mengambil cacing laut untuk
disantap dan dinikmati. Dapat dikatakan, Nyale ini menentukan bagaimana nasib
panen mereka kelak selama musim itu. Pada nyale, terdapat harapan orang-orang
Sumba dengan keyakinan mereka akan mendapatkan berkat berupa kesejahteraan,
keselamatan, dan rezeki hidup. Selain itu, nyale juga berfungsi sebagai langkah
awal memulai Pasola. Keduanya adalah tradisi leluhur yang turun-temurun
mereka percayai dan laksanakan demi kembali menyadarkan manusia adanya
kekuatan alam dan membina tali persaudaraan antarkelompok orang Sumba.

Mungkin, bagi kita atau orang-orang non-Sumba, nyale bukan merupakan


hal yang penting. Melihat cacing laut yang keluar dari pasir ketika fajar
menyingsing tidak akan membuat kita mengucapkan rasa syukur. Melihat cacing
laut yang meliuk-liuk tidak akan membuat kita berharap akan hasil panen yang
baik. Tidak akan ada juga kelanjutan perayaan apapun setelah melihat cacing laut
keluar dari tempat persembunyiannya. Ini semua karena konteks sosio-kultural
kita tidak sama dengan orang-orang Sumba. Nyale tidak akan memberikan
signifikansi bagi apa-apa bagi kita atau orang-orang non-Sumba.
Jelas bahwa hal itu yang diabaikan oleh pemerintah pada tahun 2011,
sehingga berani mengambil alih penetapan jadwal penyelenggaraan Pasola. Di
sini penulis melihat adanya kepentingan politis, yakni mengedepankan Pasola
sebagai objek wisata. Namun sayangnya, pemerintah tidak memperhatikan atau
mempertimbangkan tradisi Nyale yang mempengaruhi penetapan tanggal
pelaksanaan Pasola. Hal ini sama dengan mengabaikan keyakinan agama lokal
dan kebudayaan suku bangsa yang telah turun-temurun dilakukan, atau dengan
kata lain tidak sesuai dengan paham multikulturalisme. Hal tersebut
mencerminkan keputusan pemerintah yang tidak bersandar pada cultural
relativism, yakni melihat perilaku suatu masyarakat sesuai dengan konteks
kulturalnya agar dapat menyadari sudut pandang dan visi mereka akan dunianya
(Malinowski 1961:25 dalam Borofsky 1994:13). Pemerintah seperti tidak melihat
betapa pentingnya nyale bagi orang-orang Sumba, sehingga orang Sumba sendiri
pun merasa kebudayaan dan tradisi lokal mereka diabaikan atau tidak dianggap
sederajat (Ama 2011).
Keputusan Pemerintah Daerah yang telah diubah pada tahun 2014 dalam
menetapkan hari Pasola diselenggarakan mencerminkan dilibatkannya paham
multikulturalisme. Permerintah Daerah menunjukkan adanya sikap menghargai
kebudayaan Sumba dengan menunggu penetapan hari pelaksanaan Pasola
berdasarkan keputusan Rato Nyale. Hal ini dapat menjadi salah satu contoh ketika
pemerintah ingin membuat kebijakan atas masyarakat lokal dengan kepentingan
politis bahwa kebijakan yang dibuat seyogyanya tidak merugikan atau
bertentangan dengan tradisi masyarakat lokal. Jika ditarik lebih jauh, konsep emic
dapat diterapkan, yakni melihat dengan menggunakan sudut pandang masyarakat
lokal. Dengan kata lain, kita tidak akan mengerti makna dari tradisi Nyale dan

Pasola untuk orang Sumba Barat dan SBD tanpa melihat kedua peristiwa tersebut
dengan kacamata mereka.
Kemudian, hal yang juga menarik untuk disorot adalah informasi
mengenai orang Sumba yang masih menganut Marapu dan melaksanakan tradisi
lokal di Sumba Barat dan SBD, tetap hidup damai berdampingan dengan orang
Sumba yang telah beragama Kristen dan meninggalkan tradisi lokal di Sumba
Timur (Ama 2011). Penulis melihat adanya pluralisme di sini. Menurut Furnivall
(Sunarto 2004:150), pluralisme atau masyarakat majemuk merupakan suatu
masyarakat yang di dalamnya kelompok berbeda tercampur, tetapi tidak berbaur.
Meskipun telah terjadi perubahan yang sebenarnya berpengaruh pada
identitas orang Sumba sebagai penganut Marapu, di antara Sumba Kristen dan
Sumba Marapu tidak pernah terjadi konflik. Menurut Soeriadireja (2013:70), ada
bata bokulu yang menjaga keutuhan orang-orang Sumba. Bata bokulu
merupakan sebuah musyawarah di mana para kabihu (ketua klan) bertemu untuk
mengeluarkan pendapat masing-masing. Musyawarah ini menjadi titik temu
antara Sumba Kristen dan Sumba Marapu.
Kehidupan masyarakat Sumba tidak terlepas dari nilai toleransi terhadap
sesamanya. Nilai norma dan sikap hidup ini mengikat seluruh masyarakat Sumba
di tengah dinamika sosial budaya yang ada. Di dalam masyarakat Sumba sendiri,
ada dua prinsip hidup yang dianut. Pertama, yaitu Naluri hakahungu yang berarti
kesadaraan akan rasa kebersamaan dan rasa persaudaraan dalam satu kerukunan.
Kedua ialah Toku uma nduangu yang berarti tanduk rumah yang sejajar. Sepasang
tongkat rumah menjadi analogi untuk tidak merendahkan satu sama lain karena
tujuannya tetap sama, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Soeriadireja
2013:71).
Penutup
Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beragamnya suku
bangsa di tanah air. Bahkan, dalam satu suku bangsa, ada kelompok-kelompok
yang berbeda. Maka, tidak perlu ditanya dua kali akan betapa pentingnya
membangun rasa toleransi antarkelompok. Namun, pluralisme bukan hanya
sebatas pada rasa toleransi agar dapat hidup berdampingan, melainkan bagaimana
kelompok-kelompok yang berbeda itu tetap dapat menunjukan identitas masing-

masing. Prinsip hidup dan bata bokulu pada orang Sumba menjadi salah satu
contoh jawaban untuk hal tersebut.
Multikulutralisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan
keanekaragaman budaya dalam kesederajatan. Sebagai masyarakat Indonesia,
kacamata seperti itulah yang harus dipakai untuk melihat berbagai kebudayaan
suku bangsa di seantero tanah air karena seharusnya tidak ada kebudayaan yang
diabaikan atau dipandang sebelah mata. Setiap kebudayaan suku bangsa di
Indonesia memiliki coraknya tersendiri dalam mengisi keberagaman di negeri ini.
Nyale dan Pasola pada kebudayaan Suku Bangsa Sumba merupakan sejentik dari
kekayaan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia yang patut dihargai dan
dilihat sederajat antara satu dengan yang lainnya.

Daftar Pusataka
Buku
Borofsky, R.
1994. Assesing Cultural Anthropology. New York, dkk.: McGraw-Hill,
Inc.
Kottak, Phillip Conrad
2011 Cultural Anthropology: Appreciating Cultural Diversity, 14th
Edition. New York: McGraw-Hill.
Limbeng, Julianus & Maria, Siti
2007 Pengungkapan Nilai-nilai Kepercayaan Komunitas Adat: Marapu
di Pulau Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta:
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Melalatoa, M. Junus
1995 Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: CV. Eka Putra
Sunarto, Kamanto
2004 Pengantar Sosiologi. Depok: Universitas Indonesia

Jurnal
Soeriadiredja, P.
2014 Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT,
Jurnal Antropologi Indonesia, 34 (1).
Suparlan, P.
2002

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, Jurnal


Antropologi Indonesia 69 :98-105.

Koran
Ama, Kornelis Kewa. Nyale Hadirkan Kesejahteraan Sumba. Kompas, 18 April
2015, 24. http://travel.kompas.com/read/2015/04/20/153400627/Nyale.
Hadirkan.Kesejahteraan.Sumba. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2015.
Ama, Kornelis Kewa. Jantung Kehidupan Orang Sumba. Kompas, 30 Mei
2011. http://travel.kompas.com/read/2011/05/30/14211323/.Jantung.
Kehidupan. Orang.Sumba. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2015.
Ama, Kornelis Kewa & Dharmasaputra, S. Pasola, Mensyukuri Berkah di Pulau
Arwah. Kompas, 20 Mar 2010. http://nasional.kompas.com/read/2010/
03/20/03452252/pasola.mensyukuri.berkah.di.pulau.arwah. Diakses pada
tanggal 17 Oktober 2015.
Kusuma, Berry. Menonton Pasola Di Sumba. Kompas, 27 Mar 2014.
http://travel.kompas.com/read/2014/03/27/1509068/Menonton.Pasola.di.
Sumba. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2015.
Pertiwi, Ni Luh Made F. Enaknya Sambal Cacing Laut Khas Sumba. Kompas,
18 April 2012. http://travel.kompas.com/read/2012/04/18/12430755/
Enaknya. Sambal.Cacing.Laut.Khas.Sumba. Diakses pada tanggal 17
Oktober 2015.

Anda mungkin juga menyukai