Dibuat oleh:
Clarisa Irene / 1406575746
Antropologi Sosial
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Pendahuluan
Bukan merupakan sebuah wacana asing bahwa Indonesia adalah negara
multikultural. Keberagaman budaya di Indonesia itu seperti mozaik, masing-
kampung-kampung lainnya (Ama 2011). Rato Nyale pun adalah tetua adat yang
paling sakti dan berperan sebagai penentu kapan Nyale dan Pasola akan
dilaksanakan, dihitung dari hari munculnya bulan purnama (Kusuma 2014).
Kehadiran nyale dipadukan dengan mimpi sang rato dan posisi bulan, tepat tegak
di atas rumah adat rato itu. Rato Nyale (penguasa cacing laut) juga dipercaya
sebagai orang yang mempunyai kemampuan memanggil cacing laut datang.
Biasanya, ritual ini dilakukan seminggu sebelum Pasola dilaksanakan (Ama &
Dharmasaputra 2010).
Pasola yang dilaksanakan setelah menyantap nyale, merupakan permainan
ketangkasan antarkelompok adu melempar lembing dari kuda yang berpacu
kencang. Pelaksanaan Pasola selalu mendapat petunjuk leluhur, yakni diawali
dengan kehadiran nyale. Pasola dimaknai sebagai institusi dan sarana reuni,
bergotong royong, dan rekonsiliasi karena menekankan rasa persaudaraan.
Menurut Rato Ranggamete, upacara ritual Nyale menggambarkan upacara
meminta (kamuru) dan membangun persatuan (pahwungo), sedangkan Pasola
berarti membuang yang tidak baik (letin jandaha) (Ama & Dharmasaputra 2010).
Kedua ritus ini sebenarnya bermakna sebagai ucapan syukur masyarakat Sumba
atas anugerah leluhur dalam menyambut musim panen.
Ritual adat Nyale dan Pasola ini merupakan salah satu keunikan khas
orang Sumba yang menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik dan mancanegara
untuk berkunjung. Karena hal inilah, Pemerintah Daerah menetapkan Pasola
sebagai objek pariwisata karena banyak sekali wisatawan yang datang untuk
menyaksikan permainan tradisional adu lempar lembing ini setiap tahunnya.
Meskipun begitu, hal ini sempat berdampak negatif.
Menurut artikel yang berjudul Jantung Kehidupan Orang Sumba (Ama
2011), pemerintah sudah mengambil alih jadwal pelaksanaan Pasola dengan
alasan demi kepentingan pariwisata. Selain itu, sejumlah nilai budaya dan tradisi
lokal diabaikan, seperti pemerintah yang dengan sendirinya menentukan hari dan
tanggal
pelaksanaan
Pasola.
Misalnya,
Pasola
di
Wanokaka
biasanya
penentuan dari Rato Nyale terlebih dahulu karena penanggalannya bisa berubahubah setiap tahunnya.
Penulis melihat adanya hal yang menarik dari perihal penetapan tanggal
oleh pemerintah pada tahun 2011 dan tidak lagi pada tahun 2014. Kedua hal itu
adalah detail kecil dari serangkaian informasi dari kelima artikel yang terlampir,
tetapi
menurut
penulis,
hal
tersebut
dapat
disorot
dengan
kacamata
multikulturalisme.
Menurut Kottak (2011:143) multikulturalisme adalah suatu paham yang
memandang keberagaman budaya adalah sesuatu yang baik, berharga, dan patut
dipertahankan. Namun, sejatinya multikulturalisme tidak hanya berhenti di situ.
Parsudi Suparlan, dalam jurnalnya yang berjudul Menuju Masyarakat Indonesia
yang Multikultural (2002:98) mendefinisikan multikulturalisme sebagai sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik
secara individual maupun secara kebudayaan.
Pada konsep multikulturalisme menurut Parsudi Suparlan, terdapat
penekanan pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Hal ini
berlaku di dalam kehidupan politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan
hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan
golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas (Suparlan 2002:99). Dalam memahami konsep multikulturalisme
tersebut agar aplikatif di berbagai segi kehidupan bernegara yang telah
disebutkan, dibutuhkan pengertian dari akar kata multikulturalisme sendiri, yaitu
kebudayaan. Konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi
kehidupan manusia.
Tradisi Nyale dan Pasola ini sangat penting bagi masyarakat Sumba Barat
dan Sumba Barat Daya. Nyale lebih dari sekadar mengambil cacing laut untuk
disantap dan dinikmati. Dapat dikatakan, Nyale ini menentukan bagaimana nasib
panen mereka kelak selama musim itu. Pada nyale, terdapat harapan orang-orang
Sumba dengan keyakinan mereka akan mendapatkan berkat berupa kesejahteraan,
keselamatan, dan rezeki hidup. Selain itu, nyale juga berfungsi sebagai langkah
awal memulai Pasola. Keduanya adalah tradisi leluhur yang turun-temurun
mereka percayai dan laksanakan demi kembali menyadarkan manusia adanya
kekuatan alam dan membina tali persaudaraan antarkelompok orang Sumba.
Pasola untuk orang Sumba Barat dan SBD tanpa melihat kedua peristiwa tersebut
dengan kacamata mereka.
Kemudian, hal yang juga menarik untuk disorot adalah informasi
mengenai orang Sumba yang masih menganut Marapu dan melaksanakan tradisi
lokal di Sumba Barat dan SBD, tetap hidup damai berdampingan dengan orang
Sumba yang telah beragama Kristen dan meninggalkan tradisi lokal di Sumba
Timur (Ama 2011). Penulis melihat adanya pluralisme di sini. Menurut Furnivall
(Sunarto 2004:150), pluralisme atau masyarakat majemuk merupakan suatu
masyarakat yang di dalamnya kelompok berbeda tercampur, tetapi tidak berbaur.
Meskipun telah terjadi perubahan yang sebenarnya berpengaruh pada
identitas orang Sumba sebagai penganut Marapu, di antara Sumba Kristen dan
Sumba Marapu tidak pernah terjadi konflik. Menurut Soeriadireja (2013:70), ada
bata bokulu yang menjaga keutuhan orang-orang Sumba. Bata bokulu
merupakan sebuah musyawarah di mana para kabihu (ketua klan) bertemu untuk
mengeluarkan pendapat masing-masing. Musyawarah ini menjadi titik temu
antara Sumba Kristen dan Sumba Marapu.
Kehidupan masyarakat Sumba tidak terlepas dari nilai toleransi terhadap
sesamanya. Nilai norma dan sikap hidup ini mengikat seluruh masyarakat Sumba
di tengah dinamika sosial budaya yang ada. Di dalam masyarakat Sumba sendiri,
ada dua prinsip hidup yang dianut. Pertama, yaitu Naluri hakahungu yang berarti
kesadaraan akan rasa kebersamaan dan rasa persaudaraan dalam satu kerukunan.
Kedua ialah Toku uma nduangu yang berarti tanduk rumah yang sejajar. Sepasang
tongkat rumah menjadi analogi untuk tidak merendahkan satu sama lain karena
tujuannya tetap sama, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Soeriadireja
2013:71).
Penutup
Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beragamnya suku
bangsa di tanah air. Bahkan, dalam satu suku bangsa, ada kelompok-kelompok
yang berbeda. Maka, tidak perlu ditanya dua kali akan betapa pentingnya
membangun rasa toleransi antarkelompok. Namun, pluralisme bukan hanya
sebatas pada rasa toleransi agar dapat hidup berdampingan, melainkan bagaimana
kelompok-kelompok yang berbeda itu tetap dapat menunjukan identitas masing-
masing. Prinsip hidup dan bata bokulu pada orang Sumba menjadi salah satu
contoh jawaban untuk hal tersebut.
Multikulutralisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan
keanekaragaman budaya dalam kesederajatan. Sebagai masyarakat Indonesia,
kacamata seperti itulah yang harus dipakai untuk melihat berbagai kebudayaan
suku bangsa di seantero tanah air karena seharusnya tidak ada kebudayaan yang
diabaikan atau dipandang sebelah mata. Setiap kebudayaan suku bangsa di
Indonesia memiliki coraknya tersendiri dalam mengisi keberagaman di negeri ini.
Nyale dan Pasola pada kebudayaan Suku Bangsa Sumba merupakan sejentik dari
kekayaan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia yang patut dihargai dan
dilihat sederajat antara satu dengan yang lainnya.
Daftar Pusataka
Buku
Borofsky, R.
1994. Assesing Cultural Anthropology. New York, dkk.: McGraw-Hill,
Inc.
Kottak, Phillip Conrad
2011 Cultural Anthropology: Appreciating Cultural Diversity, 14th
Edition. New York: McGraw-Hill.
Limbeng, Julianus & Maria, Siti
2007 Pengungkapan Nilai-nilai Kepercayaan Komunitas Adat: Marapu
di Pulau Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta:
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Melalatoa, M. Junus
1995 Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: CV. Eka Putra
Sunarto, Kamanto
2004 Pengantar Sosiologi. Depok: Universitas Indonesia
Jurnal
Soeriadiredja, P.
2014 Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT,
Jurnal Antropologi Indonesia, 34 (1).
Suparlan, P.
2002
Koran
Ama, Kornelis Kewa. Nyale Hadirkan Kesejahteraan Sumba. Kompas, 18 April
2015, 24. http://travel.kompas.com/read/2015/04/20/153400627/Nyale.
Hadirkan.Kesejahteraan.Sumba. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2015.
Ama, Kornelis Kewa. Jantung Kehidupan Orang Sumba. Kompas, 30 Mei
2011. http://travel.kompas.com/read/2011/05/30/14211323/.Jantung.
Kehidupan. Orang.Sumba. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2015.
Ama, Kornelis Kewa & Dharmasaputra, S. Pasola, Mensyukuri Berkah di Pulau
Arwah. Kompas, 20 Mar 2010. http://nasional.kompas.com/read/2010/
03/20/03452252/pasola.mensyukuri.berkah.di.pulau.arwah. Diakses pada
tanggal 17 Oktober 2015.
Kusuma, Berry. Menonton Pasola Di Sumba. Kompas, 27 Mar 2014.
http://travel.kompas.com/read/2014/03/27/1509068/Menonton.Pasola.di.
Sumba. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2015.
Pertiwi, Ni Luh Made F. Enaknya Sambal Cacing Laut Khas Sumba. Kompas,
18 April 2012. http://travel.kompas.com/read/2012/04/18/12430755/
Enaknya. Sambal.Cacing.Laut.Khas.Sumba. Diakses pada tanggal 17
Oktober 2015.