Anda di halaman 1dari 6

BUDAYA SUMBA TRADISI BELIS

DALAM UPACARA PERKAWINAN

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tradisi belis sangat lekat dengan masyarakat di Indonesia Timur, khususnya di


masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dalam konteks Indonesia sebenarnya merupakan tradisi yang relatif umum,


yankni pemberian mass kawin dari pihak calon pengantin laki-laki kepada pikak
calon pengantin perempuan.

Masing-masing mempunyai ciri khas, istila, bentuk, serta warna sendiri-sendiri.


Di masyarakat wilaya NTT, tradisi belis juga berbeda-beda sarana utamanya.
Masyarakat Flores Timur (lamaholot), misalnya, mengunakan gading gaja,
masyarakat Alor dan pantar mengunakan moko, masyarakat Sumba Dn
masyarakat lainnya mengunakan hewan.

Pulau sumba merupakan salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang
terbagi menjadi empat kabupaten yakni Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba
Tengah, dan Sumba Timur. Masyarakat pulau sumba pada umumnya memiliki
beragam tradisi yang secara turun-temurun telah diwariskan kepada generasi
penerusnya. Beragam tradisi-tradisi masyarakat sumba inilah yang kemudian
menjadi daya tarik sehingga banyak wisatawan baik dari lokal maupun manca
negara yang datang untuk berkunjung ke pulau Sumba.

Adat merupakan wujut dari kebudayaan yang biasanya berfungsi sebagai tata
kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada sikap dan
perbuatan manusia dalam masyarakat, koentjaraninggrat, setiap unsur kebudayaan
mengandung simbol yang sarat dengan makna, yang saling menghubungkan satu
dengan yang lainnya dan dipraktekan oleh unit sosial masyarakat dalam dimensi
ruang dan waktu tertentu. Demikian halnya kebudayaan suku sumba bersifat
kompleks. Kompleksitasnya itu di tandai dengan berbagai unsur seperti upacara-
upacara adat yang sarat dengan makna, sistem pengetahuan, organisasi sosial, dan
sebagai koentjaraninggrat.

Dalam kebudayaan suatu masyarakat didlamnya terdapat sistem nilai budaya yang
di anggap bersifat positif dan negative. Kebudayaan sebagai identitas, akan selalu
ada upaya-upaya tertentu dari manusia yang di gunakan sebagai upaya
menggerakan identitas dalam proses mensosialisasi nilai-nilai budaya sala satu
contonya adalah adat perkawinan.

Perkawinan yang dianut oleh masyarakata suamba merupakan suatu usaha untuk
mempertahankan keturunan yang berlangsung menurut sistem kekerabatan.
Perkawinan adat di sumba mengenal perkawianan adat dengan tradisi belis yaitu
pemberian mass kawin belis dari pihak keluarga pria kepada pihak keluarga
mempelai wanita sebagai pemberi gadis.

Belis merupakan hal yang sangat sakral bagi masyarakat sumba. Belis berasal dari
kata beli yang artinya membeli atau suatu kewajiban meberi dan juga menerima
atau membayar berupa ternak seperti kerbau, kuda, dan sapi serta berupa benda
seperti emas, perak dan kain tenun kepada keluarga pihak wanita sebelum di
langsungkan perkawinan adat dalam masyarakat budaya sumba. Dan sebagai
penghargaan kepada keluarga perempuan yang di lamar.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan gambaran latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah di
dalam penelitian ini adalah
 Bagaimana tradisi belis dalam upacara perkawinan masyarakat Sumba?
 Bagaimana proses negosiasi belis dalam adat sumba?
 Apakah tradisi belis berpengaruh pada perekonomian masyarakat?

C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masala di atas, yang menjadi tujuan dalam penelitian
penelitian ini adalah : untuk mendeskripsikan peran belis dan proses negosiasi
dalam adat sumba serta pengaruh terhadap perekonomian masyarakat sumba. Yang
bertujuan agar memberikan pandangan yang baru bagi masyarakata yang belum
mengetahui.
D. ISI
Tradisi belis sangat lekat dengan masyarakat di Indonesia Timur, khususnya
masyarakat di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada umumnya, tradisi belis
adalah bentuk pemberian atau pertukaran timbal-balik (resiprositas) walaupun
dalam praktiknya bentuk/sarana pemberian tersebut cenderung dilihat hanya dari
pemberian pihak calon pengantin lakilaki. Belis dalam masyarakat Sumba
merupakan salah satu tradisi yang mempunyai pertautan erat dengan tradisi-tradisi
lain terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupa
manusia, serta kondisi lingkungan alam setempat. Banyak tradisi di Sumba
mengacu pada tradisi lisan yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Sumba
pertama kali tinggal di Kampung Wunga (Kecamatan Haharu), Sumba Timur,
sesudah menempuh perjalanan dengan perahu dari Semenanjung Malaka. Setelah
mengadakan kesepakatan-kesepakatan adat, terkait tata cara kehidupan dan
pembagian kabihu/kabizu (semacam marga), mereka kemudian menyebar ke
seluruh penjuru Sumba. Tradisi ini sangat terkait erat dengan tradisi-tradisi lain di
Sumba untuk menata dan mengelola kehidupan mereka dengan wilayah yang
sebagian besar relatif tandus karena curah hujan relatif minim.
Ada tiga tahapan dalam tradisi belis, yaitu perkenalan dari keluarga calon
pengantin laki-laki, masuk-minta, dan pergi-ambil. Dalam tradisi ini dilakukan
negosiasi antara pihak calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki
melalui utusan atau wunang masing-masing. Negosiasi sering kali berjalan alot
dalam mencapai kesepakatan berapa jumlah dan jenis hewan yang harus diberikan
(beserta mamuli) oleh pihak calon pengantin laki-laki dan berapa jumlah dan
jenis/motif kain yang harus diberikan (beserta ata perempuan sesuai strata
sosialnya) oleh pihak calon pengantin perempuan. Ketika telah terjadi kesepakatan
adat, pihak tuan rumah pasti akan memotong babi sebagai tanda kesepakatan yang
‘dimateraikan’ dengan darah babi dan dagingnya untuk jamuan para tamunya.
Jumlah hewan yang diminta oleh pihak calon pengantin perempuan biasanya
menyesuaikan strata sosialnya, bisa 30 ekor, 50 ekor, atau bahkan ada juga yang
mencapai ratusan ekor. Sekarang ini, jumlah hewan yang diminta juga
menyesuaikan status pendidikan atau jabatan calon pengantin perempuan. Besar-
kecilnya babi atau kerbau (bisa juga diukur dari panjang taring atau tanduknya)
tergantung strata sosial pihak tuan rumah dan tamunya. Apabila belum terjadi
kesepakatan, para tamu tidak diberi jamuan (makanan) apa-apa. Hewan lain yang
digunakan untuk adat di Sumba ialah kerbau dan kuda oleh pihak calon pengantin
laki-laki serta babi oleh pihak calon pengantin perempuan. Namun, dalam
perkembangannya saat ini, sapi juga terkadang digunakan untuk adat.
Sapi masih jarang digunakan sebagai hewan adat karena sapi dianggap hewan
yang relatif ‘baru’ dalam konteks Sumba. Tradisi belis sebenarnya merupakan
simbol penghargaan yang relatif tinggi terhadap perempuan. Karena itu, kurang
dikenal istilah perceraian di Sumba. Selain itu, perempuan hanya bisa diberi belis
satu kali selama hidupnya. Ketika masyarakat Sumba hanya mengenal belis satu
kali pada seorang perempuan, maka perempuan dari golongan ata yang telah di
belis (istilah setempat saat ini ‘dibeli’) untuk masuk/membantu dalam keluarga
bangsawan tertentu tidak bisa dibelis lagi. Biasanya yang akan memperistri ata
tersebut ialah ata laki-laki dari tuan laki-laki, dan bukan/jarang dari orang luar,
terlebih-lebih keluarga bangsawan. Orang di luar Sumba mungkin melihat tradisi
belis dan kaitannya dengan tradisitradisi yang lain maupun prasyarat-prasyarat
yang melingkupinya sangat rumit.
Namun, apabila dilihat dari konteks Sumba dengan kondisi geografis yang
relatif gersang, tradisi belis menjadi salah satu bagian yang terkait erat dengan
tradisi-tradisi lain untuk menata dan mengelola kehidupan setempat. Afiliasi dua
kabihu/kabizu pihak calon pengantin perempuan dan pihak calon pengantin laki-
laki nantinya menjadi kabihu/kabizu pemberi perempuan dan pengambil
perempuan. Relasi ini akan terus berlanjut karena tidak mungkin lagi terjadi pihak
pemberi perempuan akan mengambil perempuan pada pihak pengambil
perempuan. Artinya, hewan sebagai properti akan terus berputar yang nantinya
kembali lagi ke arah semula. Di samping itu, berafiliasinya antar-kabihu/kabizu
melalui tradisi belis juga memperkuat kerja sama dalam melakukan aktivitas-
aktivitas seperti penyelenggaraan upacara adat, penggembalaan hewan, tenaga
kerja, ekonomi, dan sebagainya.
Belis merupakan tradisi yang ada dalam pernikahan adat masyarakat Sumba.
Belis erat kaitannya dengan harta kawin sehingga dalam masyarakat Sumba ini
menjadi hal yang penting. Seorang laki-laki yang hendak mempersunting seorang
perempuan untuk menjadi istrinya haruslah mempersiapkan belis. Wonga (2017)
menyebutkan bahwa belis yang diberikan laki-laki adalah benda-benda yang
bersifat maskulin seperti kerbau, kuda, parang, tombak dan perhiasan. Sedangkan
balasan belis dari pihak perempuan berupa benda-benda yang dekat dengan
perempuan seperti kain tenun dan babi. Pada dasarnya urusan belis bukan semata-
mata menjadi urusan laki-laki saja melainkan juga pihak perempuan pun harus
memberikan balasan untuk belis tersebut. Pemberian belis dan pemberian balasan
belis haruslah seimbang. Pemberian banda wili (belis) berupa emas dan hewan
belis harus diimbangi dengan pemberian kamba wei (bola ngandi) berupa kain,
sarung, hiasan dan babi (Woha, 2008). Hal ini ingin menunjukkan bahwa belis
yang diberikan akan berpengaruh terhadap penghargaan dari keluarga
Seorang perempuan yang dilepaskan oleh pihak keluarganya tanpa adanya
proses belis atau proses adat dianggap merendahkan harga dirinya sendiri serta
masyarakat akan menilai rendah harkat dan martabatnya (Woha, 2008). Kondisi
tersebut menggambarkan bahwa harga diri seorang perempuan Sumba yang akan
menikah dapat dilihat dari pelaksanaan proses adat serta pembelisan yang
dilakukan. Senada dengan laporan Wonga (2017) yang mengatakan bahwa dalam
pernikahan masyarakat di NTT, pemberian belis dianggap sebagai bentuk
penghargaan dan penghormatan kepada perempuan yang akan dinikahinya. Hal ini
berarti proses pemberian belis bagi seorang perempuan Sumba akan berdampak
pada harga diri yang akan melekat padanya.
Harga diri merupakan evaluasi diri secara menyeluruh yang dilakukan
individu dengan cara membandingkan antara konsep diri ideal (ideal self) dengan
konsep diri (real self) sebenarnya (Santrock, dalam Hidayat dan Bashori, 2016).
Lebih lanjut Darajat (dalam Hidayat dan Bashori 2016) menyatakan proses
pembentukan harga diri seseorang ditentukan oleh perlakuan yang diterima dari
lingkungannya. Proses pembelisan yang dilakukan dalam pernikahan adat Sumba
akan menentukan tingkat harga diri yang dimiliki oleh individu dan keluarga
berdasarkan jumlah besaran belis. Penentuan besaran belis pada masyarakat NTT
ditentukan oleh pendidikan dan status sosial (Wonga, 2017). Semakin tinggi status
sosial seorang perempuan, maka semakin tinggi pula tuntutan belis yang harus
dipersiapkan. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial yang dimiliki keluarga
pihak perempuan akan menentukan jumlah besaran belis pada pihak laki-laki.
Golongan atau status sosial yang dimiliki keluarga perempuan menunjukkan bahwa
pihak laki-laki.
Golongan atau status sosial yang dimiliki keluarga perempuan menunjukkan
bahwa pihak laki-laki yang ingin meminangnya harus berasal dari status sosial
yang sama sehingga tidak berdampak pada rendahnya harga diri yang dimiliki
pihak perempuan ketika ia dilamar. Salah satu faktor yang mempengaruhi harga
diri adalah keberhasilan seseorang. Keberhasilan dan kegagalan yang dirasakan
seseorang akan berkaitan erat dengan harga dirinya. Seseorang yang sering berhasil
cenderung memiliki harga diri yang tinggi demikian pun sebaliknya, seseorang
yang sering gagal cenderung akan memiliki harga diri yang rendah (Coopersmith,
dalam Candra, Harini dan Sumirta, 2017). Pada saat proses pembelisan, pihak laki-
laki dituntut untuk melunasi sejumlah belis yang telah diminta oleh pihak
perempuan. Pelunasan belis ini akan menentukan kehidupan pihak laki-laki dalam
meminang seorang perempuan seperti keadaan ekonomi atau materi (harta benda)
akan mempengaruhi keyakinan diri laki-laki untuk melamar perempuan Sumba.
Pengaruh dari orang terdekat, seperti om atau paman, dan sahabat juga akan
menjadi sumber untuk memperkuat keyakinan diri bagi laki-laki dalam keluarga
untuk melamar perempuan Sumba. Hal ini berarti bahwa ketika seorang laki-laki
hendak ingin melamar seorang perempuan Sumba akan menunjukkan efikasi diri
yang tinggi berdasarkan sumber-sumber yang ada.
E. KESIMPULAN

Belis merupakan suatu kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki
Sumba, dimana dalam penentuan jumlah besaran belis harus menitikberatkan pada
pendidikan dan status sosial, serta pernikahan ibu si gadis. Proses pembelisan ini
tidak hanya melibatkan pihak laki-laki semata, pihak perempuan pun memiliki
andil untuk memberikan balasan belis sehingga terjalin hubungan yang harmonis
tanpa merasa ada pihak yang direndahkan. Proses pemberian belis akan
memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat Sumba, dimana dampak tersebut
akan berkaitan dengan keberlangsungan hidup individunya seperti harga diri dalam
keluarga serta keyakinan diri untuk melunasi belis tersebut.
Daftar pustaka
Sumber: https://mediaindonesia.com/weekend/333335/belis-tradisi-mas-kawin-di-
sumba
https://www.google.com/search?client=firefox-b-
d&q=3.%09Apakah+tradisi+belis+berpengaruh+pada+perekonomian+masyarakat
%3F

Anda mungkin juga menyukai