Anda di halaman 1dari 10

SUKU BANGSA DI INDONESIA, STUDI KASUS SUKU PEDALAMAN

GORONTALO POLAHI

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi

Dosen Pengampuh:
Sunandar Macpal, MA

Oleh :

Nabila Salsabila Robot 203042003


Sri Susanti Kaharu 203042020

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI GORONTALO

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari ribuan pulau. Dalam
Undang-Undang no 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, jumlah pulau di
Indonesia adalah 17.508 Pulau.1 Banyaknya pulau di Indonesia membuat bangsa ini
memilki keberagaman suku, budaya maupun bahasa. Keberagaman itulah yang
membuat Indonesia bersatu dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selain suku-
suku yang sudah dikenal, Indonesia masih memiliki banyak suku asli yang tinggal di
pedalaman dan tertinggal oleh peradaban. Suku-suku ini merupakan sekelompok
orang yang tinggal jauh dari masyarakat dan terikat dengan adat-istiadat yang telah
mereka yakini sejak zaman dahulu.
Dalam sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik, terdata sekitar 10.030
orang suku pedalaman di Indonesia. Suku pedalaman yang dimaksud di sini adalah
kelompok orang yang kehidupannya bersifat terisolasi atau tertinggal dibanding
kehidupan masyarakat pada umumnya. Kelompok masyarakat ini teridentifikasi
berbeda-beda antar satu dan lainnya serta memilki batas wilayah yang sifatnya
sendiri-sendiri. Salah satu suku pedalaman yang paling disorot adalah suku yang
berada di Gorontalo yakni suku Polahi. Suku ini menarik perhatian seiring dengan
berkembangnya zaman dan peradaban pada masyarakat Indonesia. Karena mereka
hidup di pedalaman hutan yang ada di Gorontalo dan hidup secara berkelompok
serta terikat dengan adat istiadat yang unik dan khas.2
Kehidupan serta budaya suku ini jauh tertinggal dengan peradaban dan
mereka hidup serta menyatu dengan alam. Jauhnya tempat tinggal mereka,
membuat suku ini sulit untuk manjangkau pendidikan dan pelayanan kesehatan yang
layak. Dengan kondisi tersebut, suku ini menjadi lebih tertinggal, bukan hanya
karena keterpencilan dan tak memilki pendidikan formal, bahkan mereka juga tidak
mengenal perhitungan maupun hari. Dalam sebuah wawancara, diketahui bahwa
perkembangan paling maju dari suku ini adalah mereka bsia menghitung sampai
dengan 4, selebihnya mereka sebut dengan “banyak”. Suku ini bertahan hidup
dengan memanfaatkan berbagai sumber daya alam yang ada di lingkungan mereka.
Suku Polahi juga terkenal sering menutup diri dari masyarakat luar dan hidup di
hutan dengan cara berpindah. Keberadaan suku ini identik dengan hal mistis di
mata masyarakat Gorontalo. Karena meskipun suku ini berada di Gorontalo, tidak
semua masyarakatnya mengetahui keberadaan serta kehidupan suku Polahi.
Berangkat dari beberapa fakta di atas, terdapat berbagai hal yang belum
diketahui mengenai Polahi oleh masyarakat umum. Terpencilnya suku Polahi juga
membuat masyarakat umum penasaran bagaimana pandangan pemerintah sekitar
mengenai keberadaan suku Polahi atau apa usaha yang dilakukan pemerintah untuk
memajukan kehidupan suku Polahi ini. Hal itu membuat penulis mencoba
mengkajinya pada pembahasan di bawah ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas sesuai dengan latar belakang
pada makalah ini adalah :
1. Bagaimana sejarah asal mula suku pedalaman Polahi di Gorontalo?
2. Bagaimana budaya keseharian yang melekat pada suku Polahi?
3. Apa usaha pemerintah untuk moderisasi suku Polahi?

C. Tujuan Penulisan
1
Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, Jumlah Pulau, diakses pada
https://kkp.go.id/djprl/p4k/page/4270-jumlah-pulau, pada tanggal 6 Oktober 2021, pukul 10.0
2
Siti Mardiani, Suku Polahi, Universitas Negeri Jakarta, fakultas Ilmu Sosial, Program Studi Pendidikan
IPS, 2015.

1
1. Untuk mengetahui sejarah asal mula suku Polahi
2. Untuk mengetahui budaya kesehatrian yang melekat pada suku Polahi
3. Untuk mengetahui usaha pemerintah untuk moderisasi suku Polahi

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Asal Mula Suku Polahi


Dalam sejarah, Indonesia merdeka pada tahun 1945. Akan tetapi jauh
sebelum itu, beberapa wilayah telah lebih dulu merdeka dibanding wilayah-wilayah
lainnya di Indonesia. Salah satu wilayah itu adalah Gorontalo, yang telah
diproklamirkan kemerdekaannya oleh Nani Wartabone pada 23 Januari 1942, hari
bersejarah itu kini dikenal dengan Hari Patriot. Meskipun telah jauh lebih dulu
merdeka, ada sekumpulan masyarakat yang memilih mengasingkan diri dan belum
merasakan kemerdekaan hingga saat ini.
Di hutan pedalaman Gorontalo, terdapat sebuah suku yang mengelompokkan
dirinya pada kelompok-kelompok kecil dan disebut oleh masyarakat Gorontalo
sebagai suku Polahi. Sebutan Polahi sendiri berasal dari bahasa Gorontalo yang
berarti “Pelarian”, meskipun fakta ini belum dikaji dengan tuntas, serta belum ada
keterangan pasti yang menyatakan kapan kelompok ini melarikan diri ke hutan
kemudian menjadi terasingkan. Suku ini merupakan suku asli Gorontalo yang hingga
kini masih hidup dan tinggal di pedalaman hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman dan
Suwawa, Provinsi Gorontalo.3
Dalam beberapa usaha yang dilakukan untuk mendapatkan info tentang suku
Polahi, ditemukan bahwa suku ini melarikan diri ke hutan untuk menyembunyikan
diri dari para penjajah Belanda. Bahkan penelitian lainnya mengatakan bahwa
mereka melarikan diri karena menghindari ‘Kerja Paksa’ yang Belanda terapkan saat
menjajah Indonesia, tak terkecuali Gorontalo.
Dalam makalah pendek Siti Mardiani dikatakan bahwa Belanda menjajah
daerah Gorontalo sejak masa kerajaan yang dipimpin oleh Raja Eyato, yakni sekitar
tahun 1670an, dan benar-benar berakhir pada masa kemerdekaan Republik
Indonesia tahun 1945. Kemungkinan perpindahan yang dilakukan masyarakat
Gorontalo terjadi pada awal penjajahan Belanda, sekitar tahun 1679 dan dapat
dimaknai bahwa sejak masa itu sekelompok masyarakat yang tak ingin dijajah serta
menolak ketetapan Belanda memilih untuk melarikan diri serta bersembunyi, dan
sekelompok masyarakat inilah yang menjadi awal mula adanya suku Polahi.4
Sumber lainnya mengatakan suku Polahi merupakan sekelompok orang yang
melarikan diri ke hutan pada masa seratus tahun Belanda menjajah Indonesia,
dimana mereka lari untuk menghindari pembayaran pajak yang diterapkan Belanda
saat itu. Suku Polahi yang lari berjumlah sekitar 500 orang dan mereka terbagi dua,
yakni yang lari ke hutan Boliyohuto sekitar 200 orang dan sekitar 300 orang lari ke
daerah Suwawa. Mereka bertahan hidup di tengah hutan dengan kelompok-
kelompok kecil dan berpencar antar satu kelompok dengan kelompok lainnya.5
Sekumpulan orang yang merupakan orang Gorontalo asli ini memilih
mengasingkan diri jauh ke dalam hutan. Mereka pun menutup diri dari masyarakat
atas dasar ketakutan kepada para penjajah Belanda. Dulu, keberadaan suku Polahi
sangat ditakuti oleh masyarakat desa karena biasanya para suku Polahi akan
mengusir bahkan membunuh masyarakat yang mereka temui di dalam hutan.
Mereka tidak menginginkan keberadaan orang di luar kelompok mereka dan masih
menganggap bahwa masyarakat itu bagian dari para penjajah Belanda. Salah satu
kepercayaan yang tersebar antar suku Polahi adalah mereka harus takut kepada
masyarakat karena jika bertemu dengan masyarakat luar maka suku Polahi akan
dibunuh dan mati, ini yang membuat mereka tetap bersembunyi di pedalaman hutan
dan mengusir masyarakat yang mereka temui. Menurut Babuta, penerus pimpinan
3
Citra Dano Putri dan Rahmat Djunaid, “Perilaku Komunikasi Suku Pedalaman Polahi Dalam
Berinteraksi dengan Masyarakat Luar Suku”, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 4 No 1 (Februari 2021), 1.
4
Siti Mardiani, Suku Polahi, Universitas Negeri Jakarta, fakultas Ilmu Sosial, Program Studi Pendidikan
IPS, 2015.
5
Unversitas Krisnadwipayana, Suku Polahi, diakses pada http://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-
2962/Suku-Polahi_116898_unusa_unkris.html, pada tanggal 7 Oktober 2021, pukul 06.00.

3
suku Polahi di Hutan Humuhulo, bahwa hutan merupakan rumah mereka sekaligus
tempat mencari makan. Kata Babuta, “Leluhur kami berpesan, jangan pernah sama
sekali meninggalkan hutan”.
Ciri khas dari suku ini adalah memilki badan yang tegap dan kekar, berjalan
dengan cepat, menggunakan bahasa Gorontalo asli, jari-jari kaki terbuka serta
memilki tangan yang kekar. Budaya suku Polahi sangatlah sederhana dibanding
suku-suku tertingal di Indonesia lainnya. Suku ini hidup tanpa mengenal agama dan
pendidikan, dan memilih untuk tetap berada di pedalaman hutan yang sulit dijangkau
oleh masyarakat desa sekitar. Salah satu kebiasaan suku ini adalah berpindah
tempat jika salah satu dari anggota keluarg a dalam kelompok mereka meninggal
dunia. Jumlah dari suku Polahi bisa dikirakan hanya tersisa sedikit, karena beberapa
dari mereka berupa para leluhur telah meninggal. Mereka juga hidup di tempat yang
berbeda-beda.
Namun, seiring berkembangnya zaman, suku Polahi mulai membuka diri
dengan masyarakat sekitar dan menciptakan interaksi secara perlahan. Mereka
mulai mengenal peradaban modern dan mengikuti beberapa budaya masyarakat
desa. Beberapa dari mereka pun mulai diambil oleh masyarakat sekitar atau orang
kampung dan mulai dikenalkan dengan pendidikan. Hingga kini, sebagian besar
mereka tetap memilih hutan sebagai tempat tinggal mereka, karena dari sanalah
mereka berasal dan hal itu sudah terjadi secara turun temurun sejak zaman dulu.
Ratusan tahun suku ini telah menempati hutan, membuat mereka sulit untuk tinggal
di lingkungan baru dengan iklim yang berbeda dari hutan. Pemerintah desa setempat
juga telah mengupayakan tempat tinggal yang layak huni untuk mereka, tetapi para
suku Polahi memilih meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke hutan dengan
alasan cuaca di desa sangat panas dan tidak memilki lahan yang luas untuk mereka
bercocok tanam.
B. Kebudayaan Suku Polahi
Menurut Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan komplek yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, serta kemampan
dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota suatu
masyarakat tertentu. Dari pengertian ini dapat dikataan bahwa budaya yang dimiliki
setiap masyarakat berbeda tergantung bagaimana manusia di dalamnya itu
membentuk kebudayaan mereka. Begitupun dengan Suku Polahi yang merupakan
suku tertinggal dan sama sekali belum disentuh oleh peradaban, hal itu membuat
mereka masih kental dengan kebiasaan dan budaya yang berbeda dengan
masyarakat lainnya yang sudah mengenal peradaban. Beberapa budaya yang
mengikat suku Polahi yakni:
1. Perkawinan antar saudara
Salah satu budaya yang sangat terkenal pada suku Polahi adalah
perkawinan sesuku maupun sedarah. Budaya ini sangat melekat pada kehidupan
suku Polahi dan berlaku untuk semua kalangan di antara mereka. Perkawinan
dalam suku Polahi terjadi antar suku maupun antar saudara kandung. Jika sebuah
keluarga dalam suku Polahi memiliki anak laki-laki dan perempuan, maka
keduanya akan dinikahkan oleh ayah dan ibu mereka. Tradisi lainnya adalah
bahwa dalam keluarga, ayah bisa menikahi anak perempuannya begitupun sang
ibu bisa menikah dengan anak laki-lakinya. Tradisi ini sudah menjadi hal biasa
dalam suku Polahi dan telah ada sejak zaman dahulu juga tetap berlaku hingga
saat ini.Tradisi perkawinan dalam suku Polahi dilaksanakan dengan sangat
mudah dan unik. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu suku Polahi yang
telah berinteraksi dengan masyarakat sekitar, bahwa adat suku Polahi akan
menikahkan dua orang yang saling mencintai dengan membawa mereka ke

4
sungai lalu kepala suku akan membacakan mantra sesuai kepercayaan Polahi,
dan kedua orang itu telah dianggap sah menjadi pasangan suami istri.6
Selain pernikahan terjadi antar saudara kandung, dalam budaya suku
Polahi, dua saudara perempuan juga bisa menikah dengan suami yang sama. Hal
unik lainnya adalah, pernikahan dalam suku Polahi terjadi hanya dengan saling
menyukai satu sama lain kemudian meminta izin pada keluarganya. Setelah
mendapat izin, mereka langsung tidur bersama dan melaksanakan hal yang
dilakukan pasangan suami istri pada umumnya.
Kebiasaan suku Polahi yang mengelompokkan diri mereka dalam
kelompok-kelompok kecil membuat budaya kawin sedarah ini menjadi hal yang
biasa. Hal itu disebabkan jumlah mereka dalam setiap kelompok hanyalah sedikit,
dan hanya terdiri dari satu kepala keluarga. Maka dengan alasan itu membuat
kawin sedarah di antara mereka bisa saja terjadi karena tidak ada orang lain
selain saudara mereka yang akan mereka kawini. Perkawinan sedarah ini juga
dilakukan agar suku Polahi tetap berketurunan dan tidak punah seiring
berkembangnya zaman. Penyebab lainnya budaya ini melekat dengan suku
Polahi adalah tak tersentuhnya suku ini dengan pendidikan. Oleh karenanya,
suku Polahi tetap hidup dengan kebiasaan yang mereka yakini tanpa memahami
boleh atau tidaknya hal yang mereka lakukan.
2. Bahasa komunikasi antar suku Polahi
Suku Polahi tidak menggunakan dan memahami bahasa Melayu atau
Indonesia. Jauhnya tempat tinggal suku Polahi dari masyarakat desa, membuat
mereka lahir dan besar dalam lingkungan yang menggunakan bahasa Gorontalo
yang tidak tercampur aduk sedikit pun dengan bahasa lainnya. Bahasa yang
biasa mereka gunakan pada zaman dulu disebut sebagai bahasa Gorontalo asli
dan berbeda dengan bahasa yang saat ini digunakan oleh masyarakat Gorontalo,
Polahi berbicara menggunakan dialek campuran antara Suwawa dan logat
Boalemo, yakni memberikan tekanan lambat pada setiap kata dan nada yang
panjang. Kata-kata yang diucapkan suku Polahi pun tak mengandung huruf “R”.
Namun, seiring berkembangnya zaman dan beberapa dari suku Polahi
mulai mengenal dunia luar, bahasa yang mereka gunakan mulai mengalami
pergeseran. Kini, mereka mulai memahami dan menggunakan bahasa Gorontalo
sebagaimana masyarakat Gorontalo gunakan pada umumnya. Hal itu terjadi
karena suku Polahi mulai memahami kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari-
hari dan mulai melakukan interaksi jual-beli dengan masyarakat sekitar, yang
otomatis membuat suku Polahi harus memahami bahasa masyarakat desa.7
Dalam sebuah video pun, seseorang yang mewancarai salah satu anak
dari suku Polahi yang mulai tinggal dekat dengan permukiman warga sekitar,
anaknya mulai memahami dan menggunakan bahasa Melayu dan tidak
menggunakan bahasa daerah Gorontalo sepenuhnya. Pergesaran struktur
bahasa ini membuktikan bahwa suku Polahi mulai membuka diri dengan
masyarakat luar sehingga mulai mengenal berbagai budaya yang ada di luar pula.
3. Cara bertahan hidup
Suku Polahi bertahan hidup di dalam hutan hanya dengan mengandalkan
gubuk kecil yang beratapan dedaunan tanpa dinding dan menjadi tempat
peristirahatan sementara mereka. Kebiasaan mereka yang selalu berpindah
tempat membuat suku Polahi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Untuk
penerangan sehari-hari pada malam hari, suku Polahi menggunakan damahu
sebagai pengganti lampu. Damahu terbuat dari getah kayu pohon Damar yang
dihancurkan lalu dibungkus dengan dedaunan dari pohon enau yang diikat

6
Apris Ara Tilome dan Ramlah Alkatiri, “Makna Perkawinan Sedarah bagi Warga Suku Polahi di
Indonesia”, Jurnal IDEAS, Vol. 6 No 2 (Mei 2021), 129.
7
Citra Dano Putri dan Rahmat Djunaid, “Perilaku Komunikasi Suku Pedalaman Polahi Dalam
Berinteraksi dengan Masyarakat Luar Suku”, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 4 No 1 (Februari 2021), 6.

5
dengan rotan. Penerangan ini bisa digunakan dengan jangka waktu yang lama.
Suku Polahi tidur tanpa menggunakan bantal dan hanya sepotong kayu yang
agak panjang digunakan untuk dipeluk pada malam hari.
Suku ini juga berburu hewan liar yang ada di hutan untuk memenuhi
kebutuhan hidup berupa babi hutan, rusa, ular serta hewan lainnya yang berada
di sekitar tempat tinggal para suku Polahi. Mereka juga mengonsumsi berbagai
dedaunan, umbi-umbian dan akar rotan sebagai makanan sehari-hari. Biasanya,
suku ini juga menangkap ikan di sungai menggunakan eputo atau keranjang yang
nantinya hasil tangkapan itu akan dimasak. Sebagian besar suku Polahi belum
mengenal beras dan memakan sagu sebagai makanan pokok mereka. Kebiasaan
sederhana lain dari suku Polahi adalah memasak tanpa menggunakan bumbu
apapun, ini disebabkan suku Polahi belum mengenal bumbu-bumbuan. Suku ini
memasak dengan menggunakan bambu lalu memasukan semua bahan makanan
kedalam lubangnya dan dibakar di atas perapian. Masaknya masakan ditandai
dengan retak atau pecahnya batang bambu. Untuk api yang digunakan saat
memasak, suku Polahi menggunakan bebatuan untuk menghidupkan api dengan
menggesek-gesekkan batu.
Suku Polahi menggunakan ladang di tengah hutan untuk bercocok tanam
dan juga mencari emas lalu menjualnya di pasar pedesaan sebagai pendapatan
sehari-hari. Pendapatan lainnya mereka dapatkan ketika mereka mulai membuka
diri dengan masyarakat luar. Beberapa masyarakat luar yang bekerja sebagai
penambang biasanya menggunakan jasa para Polahi yang memiliki tubuh yang
lebih kuat untuk mengantarkan barang ke lokasi penambangan. Interaksi antar
masyarakat luar dengan Polahi ini biasanya disebut dengan “Kijang”, dan waktu
yang biasanya ditempuh ke tempat penambangan biasanya sampai 7 jam dengan
berjalan kaki.
4. Agama dan kepercayaan
Dalam sebuah wawancara yang terjadi dengan salah satu anggota suku
Polahi yang mulai mengenal kehidupan masyarakat desa, dia mengakui bahwa
mereka tidak mengenal agama apapun. Dalam literarur lainnya mengatakan
bahwa suku ini memiliki kepercayaan kepada dewa, tetapi belum ada hasli yang
jelas mengenai hal tersebut. Keterbelakangnya suku ini membuat mereka tidak
mengenal Tuhan dan hal itu menandakan bahwa suku Polahi hidup secara alami
tanpa memedulikan agama maupun keyakinan apapun untuk dianut.
Beberapa suku Polahi yang mulai membuka diri dengan masyarakat luar,
mulai dikenalkan dengan agama secara perlahan. Pengenalan itu berupa
larangan atau anjuran untuk tidak lagi memakan binatang liar yang diharamkan
dalam Islam, seperti anjing dan babi hutan yang biasanya dikonsumsi oleh
masyarakat Polahi.
5. Pakaian
Pada zaman dahulu, suku Polahi tidak mengenakan pakain baik kaus
maupun celana. Mereka hanya menggunakan sejenis cawat yang terbuat dari kulit
kayu atau daun moka yang disebut sebagai Pedito untuk menutupi kemaluan
mereka. Dan pakaian itu berlaku untuk semua kalangan, baik laki-laki maupun
perempuan atau anak-anak ataupun orang dewasa. Bahkan, perempuan Polahi
hanya menutup area kemaluan saja tanpa menutup bagian dada dan daerah
tubuh lainnya.
Akan tetapi, pakaian itu mereka gunakan sebelum mereka membuka diri
dengan masyarakat luar. Saat ini, mereka mulai mengenal kaus dan celana dan
digunakan untuk menutupi tubuh mereka dengan pakaian tersebut. Para suku
Polahi yang mulai hidup dekat dengan masyarakat desa pun mulai memiliki rasa
malu ketika tidak menutupi area kemaluan dan dadanya.
Dilansir dari sebuah video di Youtube, dimana seseorang berkunjung dan
mewancarai salah seorang keturunan suku Polahi yang tinggal di bawah
pegunungan Boliyohuto, dia berkata bahwa jauh di dalam hutan sana, masih

6
terdapat beberapa anggota Polahi yang belum mengenakan pakaian dan tetap
menggunakan Pedito untuk menutupi area kemaluan saja. Mereka pun enggan
untuk turun dari hutan ataupun berinteraksi dengan masyarakat sekitar karena
masih menutup diri, berbeda dengan beberapa suku Polahi lainnya yang mulai
berinteraksi dengan masyarakat bahkan mulai mengenal mata peradaban.

Dilihat dari berbagai budaya serta kebiasaan suku Polahi yang semakin
berkembangnya zaman juga mulai mengalami pergeseran, maka bisa disimpulkan
bahwa suku ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, suku Polahi yang primitif
dan benar-benar belum tersentuh dengan peradaban. Dibuktikan dengan adanya
sekelompok Polahi yang belum berapakaian dan enggan berinteraksi dengan
masyarakat luar serta lebih memilih hidup di pedalaman hutan. Kedua, suku Polahi
yang mulai mengenal peradaban. Keberadaan kelompok ini dibuktikan adanya
sekelompok orang Polahi yang mulai hidup dekat dengan masyarakat dan mulai
berinteraksi dengan dunia luar. Kelompok Polahi ini pun mulai mengikuti
perkembangan zaman secara perlahan, mulai dari berpakaian, mengenal bumbu
makanan, bahkan mulai dikenalkan dengan pendidikan serta teknologi zaman
sekarang.

C. Usaha Pemerintah untuk Modernisasi Suku Polahi

Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, bahwa Pemerintah setempat yakni


khususnya Pemerintah Kabupaten Gorontalo telah mengupayakan tempat tinggal
yang layak huni untuk mereka. Tempat tinggal layak huni ini dikenal dengan
Mahayani, tetapi para suku Polahi memilih untuk meninggalkan tempat tersebut dan
kembali ke hutan dengan alasan panas dan tidak memilki lahan yang luas untuk
mereka bercocok tanam. Usaha pemerintah dalam membuat permukiman layak huni
itu hanya diterima sebagian masyarakat Polahi karena selebihnya menolak dan tidak
ingin diatur oleh pemerintah. Sebuah wawancara pernah dilakukan terhadap salah
satu anggota Polahi yang mulai mengenal peradaban, dikatakan bahwa telah ada
kepala dusun yang mendatangi mereka untuk pendataan berupa pembuatan KTP,
tapi hal itu belum ditindaklanjuti karena kepala dusun tersebut belum mendatangi
mereka kembali.
Salah satu staf dari PKAT atau Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
yang selalu mengunjungi masyarakat Polahi harus membawa penerjemah untuk bisa
berbicara dengan baik saat berintraksi dengan para Polahi. PKAT sendiri merupakan
salah satu seksi dari Dinas Sosial yang awal mulanya bernama PKMT
(Pemberdayaan Komunitas Masyarakat Terpencil) saat Gorontalo masih menjadi
bagian dari Sulawesi Utara. Seksi ini diubah menjadi PKAT sejak tahun 2003 dengan
alasan penggunaan kata terpencil terkesan merendahkan masyarakat yang tinggal di
pedalaman. Sasaran utama dari PKAT salah satunya adalah pemberdayaan suku
Polahi yang telah mereka usahakan kurang lebih 10 tahun terakhir.8
Jauhnya jarak dan terpencilnya daerah yang suku Polahi tempati membuat
akses perjalanan kesana membutuh waktu yang lama dan jalannya sulit untuk dilalui,
hal itu menurut penulis menjadi salah satu alasan sulitnya pendataan dilakukan
kepada masyarakat Polahi ini, terkhusus bagi Polahi yang memilih tinggal jauh dalam
hutan. Kendala lainnya adalah komunikasi antar masyarakat Polahi yang
menggunakan bahasa Gorontalo asli yang tidak sepenuhnya dimengerti oleh
masyarakat luar. Hal ini bisa menyebabkan asanya kesalahpahaman dengan
masyarakat Polahi.

8
Muzammil D. Massa, Pemerintah Pakai Suku “Gorontalo” Bukan “Polahi”, diakses dari
https://amp.kompas.com/regional/read/2013/09/03/1515009/pemerintah-pakai-suku-gorontalo -bukan-
polahi, pada tanggal 7 Oktober 2021, pukul 12.10.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku dan
budaya dan menjadi keunikan tersendiri yang dimiliki Indonesia. Suku yang paling
menarik perhatian adalah suku-suku pedalaman yang terisolir dari masyarakat luas,
salah satunya suku Polahi yang berada di Gorontalo. Berbagai penelitian
menemukan bahwa awal mula suku ini menjadi terisolir adalah karena mereka
melarikan diri ke hutan pedalaman untuk menghindari pada penjajah Belanda. ‘Kerja
Paksa’ serta pembayaran pajak yang diterapkan Belanda saat menjajah Indonesia
membuat mereka ketakutan dan menjauh dari para penjajah. Pelarian mereka itulah
yang disebut oleh warga Gorontalo sebagai Polahi hingga saat ini.
Budaya yang dilakukan masyarakat Polahi yang kini menetap di pedalaman
hutan Boliyohuto ini sangatlah unik dan berbeda dengan budaya masyarakat pada
umumnya. Beberapa budaya antar masyarakat Polahi yakni menikah sedarah, tidak
berpakaian, menggunakan bahasa Gorontalo asli, tidak memiliki kepercayaan pada
Tuhan, bahkan cara bertahan hidup mereka pun sangat berbeda.
Ketertinggalan suku Polahi ini sangatlah menarik perhatian berbagai oknum,
tak terkecuali pemerintah setempat, yakni Pemerintah Kabupaten Gorontalo. Salah
satu usaha yang dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk modernisasi masyarakat
Polahi adalah dengan membangun sebuah kawasan layak mukim untuk masyarakat
Polahi. Beberapa kepala dusun setempat juga mulai mendatangi masyarakat Polahi
untuk dikenalkan dengan peradaban luar dan mulai diajak untuk pembuatan Kartu
Tanda Penduduk Indonesia.
Berkembangnya zaman saat ini, semakin membuat perubahan besar pada
masyarakat Polahi dari segi budaya kehidupan mereka. Sebagian masyarakat Polahi
kini mulai mengenal peradaban dan menetap di kawasan yang berdekatan dengan
masyarakat desa, berbeda dengan sebelumnya yang selalu menutup diri dari
masyarakat. Mereka pun mulai mengenal beberapa budaya yang biasa dilakukan
masyarakat pada umumnya, bahkan ada yang mulai mengenal pendidikan dan
teknologi. Akan tetapi, hal itu hanya terjadi pada sebagian masyarakat Polahi saja,
sedangkan sebagian lainnya masih menetap jauh di pedalaman hutan dan bertahan
hidup sesuai keb iasaan mereka, baik itu dalam berpakaian, pernikahan, dan bahasa
komunikasi dalam keseharian.
B. Saran
Sebagai masyarakat Indonesia, kita harus mengenal dan mempelajari
berbagai suku bangsa serta budayanya, terutama terhadap suku pedalaman yang
kurang mendapat perhatian. Karena dengan mengenal budaya, kita akan semakin
mencintai Indonesia serta mampu membantu pemerintah untuk mengembangkan
pengetahuan dari para masyarakat terisolir tersebut. Semoga dengan makalah ini
mampu membuka sedikit wawasan kita mengenai luasnya suku, bangsa, bahasa,
dan budaya Indonesia.

8
DAFTAR PUSTAKA
Dano Putri, Citra, dan Rahmat Djunaid. 2021. Perilaku Komunikasi Suku Pedalaman Polahi
Dalam Berinteraksi dengan Masyarakat Luar Suku. Ilmu Komunikasi, 4(1), 1 - 9.
Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2021. Jumlah Pulau.
https://kkp.go.id/djprl/p4k/page/4270-jumlah-pulau (diakses pada 6 Oktober 2021).

Massa, Muzammil D. 2013. Pemerintah Pakai Suku “Gorontalo” Bukan “Polahi”.


https://amp.kompas.com/regional/read/2013/09/03/1515009/pemerintah-pakai-suku-
gorontalo -bukan-polahi (diakses pada 7 Oktober 2021).
Siri Mardiani. 2015. Suku Polahi. Makalah.
Tilome, Apris Ara, dan Ramlah Alkatiri. Makna Perkawinan Sedarah bagi Suku Polahi di
Indonesia. IDEAS, 6(2), 129.
Universitas Krisdwipayana. Suku Polahi. http://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Suku-
Polahi_116898_unusa_unkris.html diakses pada 7 Oktober 2021).

Anda mungkin juga menyukai