Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN FIQH TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Dosen Pengampu:
Basri, S.Th.I., M.Hum

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok


Mata Kuliah: Fiqh Kontemporer

Oleh:

Sri Susanti Kaharu : 203042017


Aditya Saputra Ahmad : 203042004

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
2021
KATA PENGANTAR
Al-hamdulillahi rabbi al’alamin, segala puji hanya milik Allah SWT.,
yang telah menganugrahkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh manusia.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., utusan
dan manusia yang paling sempurna.
Makalah ini, dibuat dan disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh
Kontemporer dengan pembahasan “Kajian Fiqhi Kontemporer tentang Pernikahan
Beda Agama”. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik, lancar, dan tepat waktu,
Penulisan makalah ini telah diselesaikan dengan semaksimal mungkin
Namun, sekiranya mungkin masih terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam
segi tulisan maupun kata-kata, kami memohon kritik dan sarannya demi
kesempurnaan makalah ini.

Gorontalo 5 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2
A. Pengertian Pernikahan............................................................................2
B. Hukum Pernikahan Beda Agama............................................................2
C. Jenis-Jenis Nikah Beda Agama...............................................................3
D. Pendapat Para Ulama tentang Pernikahan Beda Agama.........................5
BAB III PENUTUP.........................................................................................8
A. Kesimpulan.............................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................9

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia diciptakan sebagai laki-laki dan
perempuan yang berpasang-pasangan. Dalam Islam, menikah merupakan
salah satu bentuk ibadah yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan
perempuan dan perihal rukun dan syarat pernikahan telah diatur oleh Islam
maupun negara. Pengertian perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974
adalah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian
perkawinan yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 maka dapat
dijabarkan bahwa perkawinan tidak hanya terdapat ikatan lahir dan bathin
antara suami dan istri tetapi juga ada ikatan rohani untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perjanjian dalam perkawinan ini merupakan perjanjian suci untuk
membentuk keluarga antar seorang laki-laki dan seorang perempuan.1
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang
pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama. Kerohanian, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur
batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pernikahan
2. Apa Hukum Pernikahan Beda Agama
3. Apa saja Jenis-jenis Pernikahan Beda Agama
4. Bagaimana Pendapat Ulama tentang Pernikahan Beda Agama

1 Soemiyati. Hukum Perkawinan dalam Islam dan UU Perkawinan. Yogyakarta : Liberty. hlm 8

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Secara bahasa, kata an-nikah cukup unik, karena punya dua makna
sekaligus
1. Jimak : yaitu hubungan seksual atau hubungan badan dan disebut
juga al-wath’u
2. Akad: atau al-‘aqdu, maksudnya sebuah akad, atau bisa juga
bermakna ikatan atau kesepakatan.

Sedangkan secara istilah fiqih, para ulama dari masing-masing


mazhab empat yang muktamad memberikan definisi yang berbeda di
antara mereka.
1. Mazhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa definisi nikah adalah “
akad yang berarti mendapatkan hak milik untuk melakukan
hubungan seksual dengan seorang wanita yang tidak ada halangan
untuk dinikahi secara syari.2
2. Mazhab Al-Malikiyah mendefinisikan nikah dengan redaksi
“sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual dengan wanita
yang bukan mahram, bukan majusi, bukan budak ahli kitab dangan
shighah.”3
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah punya definisi yang berbeda tentang nikah
dengan definisi-definisi sebelumnya. “Akad yang mencakup
pembolehan melakukan hubungan seksual dengan lafaz nikah,
tazwij atau lafaz yang maknanya sepadan.”4
4. Mazhab Al-Hanabilah definisi yang di sebutkan dalam mazhab Al-
Hanabilah agak sedikit mirip dengan definisi mazhab Asy-
Syafi’iyah: “Akad perkawinan atau akad yang diakui di dalamnya
lafaz nikah, tazwij dan lafaz yang punya makna sepadan.”5

B. Hukum Pernikahan Beda Agama


Pembicaraan al-Qur’an tentang perkawinan beda agama
terdapat tiga surat: pertama, QS. al-Baqarah (2): 221 yang berbicara
tentang larangan pria muslim menikah dengan wanita musyrik dan
wanita muslimah dinikahkan dengan pria musyrik. Kedua, QS. Al-
Maidah (5): 5 yang membolehkan pria muslim menikahi wanita Ahli
2 Ad-dur Al-Mukhtar wa Rad Al-Muhtar jilid 2 hal.258
3 Asy-Syarhus-Shaghir wa Hasyiyatu As-Shawi jilid 2 hal.332
4 Mughni Al-Muntaj jilid 3 hal. 123
5 Kasysyaf Al-Qinna’ ala Matnil Iqna’ jilid 5 hal. 5

2
Kitab. Ketiga, QS. Al-Mumtahanah, (60): 10 yang menegaskan
ketidakhalalan wanita muslimah bagi pria kafir dan sebaliknya. Dalam
penafsiran QS. al-Baqarah, (2): 221 di kalangan ortodoksi Islam
berkembang pandangan bahwa wanita musyrik yang tidak boleh
dinikahi pria muslim meliputi; wanita penganut paganisme Arab yang
menyembah berhala; wanita penganut agama-agama non-samawi yang
menyembah bintang, api dan binatang; dan wanita pengikut ateisme
dan materialisme.6
Dalam KHI, beda agama dalam perkawinan dapat terjadi
sebelum dilaksanakan perkawinan dan setelah terjadi perkawinan
selama membina dan menjalankan rumah tangga. Perbedaan agama
sebelum perkawinan dan terus berjalan saat perkawinan dilangsungkan
akan menghasilkan analisis sah tidaknya perkawinan yang terjadi.
Sementara perbedaan agama yang muncul setelah akan selama
membina dan menjalankan rumah tangga, menghasilkan analisis yang
terkait dengan pembatalan perkawinan.

C. Jenis – Jenis Pernikahan Beda Agama


Yang dimaksud dengan perkawinan beda agama di sini ialah
perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim dan
sebaliknya laki-laki muslim dengan orang kafir. Pernikahan ini
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu, pertama: pernikahan laki-
laki muslim dengan perempuan musyrik (musyrikah), kedua:
pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab (kitabiyah)
dan, ketiga: pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki non
muslim, baik musyrik ataupun Ahli Kitab.7
1. Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Wanita Non-Muslim
(Musyrikah)
Orang yang tidak beragama Islam dalam pandangan Islam
dikelompokan pada kafir kitabi yang disebut juga dengan Ahli Kitab,
dan kafir bukan kitabi atau disebut juga musyrik. Perempuan
musyrikah, yaitu yang percaya pada banyak tuhan atau tidak percaya
sama sekali kepada Allah, kelompok ini haram melangsungkan
pernikahan dengan muslim. Begitu juga sebaliknya laki-laki musyrik
haram kawin dengan perempuan muslimah kecuali bila ia telah masuk
Islam.8 Keharaman laki-laki muslim kawin dengan perempuan

6 Nina Mariani Noor dan Ferry Muhammadsyah Siregar (ed), Etika Sosial dalam Interaksi Lintas
Agama, (Yogyakarta: Globethics.net., 2014), hal 45
7 Zainul Mu’ien Husni, “Pernikahan Beda Agama Prespektif Al-Qur’an dan Sunnah Serta
Problematikanya”, Jurnal At-Turat, Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2015, hlm.92.
8 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan ... hlm. 134

3
musyrikah atau perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik
dinyarakan Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221 :
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebihbaik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu
menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.”

2. Laki-laki Muslim Menikah dengan Wanita Ahli Kitab


Agama Islam telah membolehkan laki-laki muslim menikah
dengan wanita Ahli Kitab. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menghilangkan perintang-perintang hubungan Ahli Kitab dengan
kaum muslimin. Sebab dengan pernikahan terjadilah percampuran dan
pendekatan keluarga satu sama lain. Bentuk hubungan seperti ini
merupakan salah satu pendekatan antara golongan Islam dan Ahli
Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan sekaligus merupakan dakwah Islam
terhadap mereka.9
Adapun mayoritas ulama yang membolehkan pernikahan jenis
ini dasar mereka adalah QS. Al-Maidah ayat 5 :
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan bagimu
menikahi) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mahar mereka dengan maksud menikahinya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-
hukum Islam) Maka terhapuslah amalnya dan di hari kiamat dia
termasuk orang-orang rugi.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang dihalalkannya menikahi
wanita yang terjaga baik (muhsonat) dan beriman serta yang berpegang
pada kitab (Ahli Kitab).

3. Perkawinan Laki-laki Non-Muslim dengan Wanita Muslim


Untuk pernikahan antara laki-laki non-Muslim dengan wanita
Muslim, ulama sepakat mengharamkan pernikahan yang terjadi pada
keadaan seperti itu, seorang wanita Muslim haram hukumnya dan
pernikahannya pun tidak sah bila menikah dengan laki-laki non

9 LM. Syarific, Membina Cinta Menuju Perkawinan (Gersik: Putera Pelajar, 1999), hlm.114

4
Muslim.10 Jika mayoritas ulama membolehkan pria Muslim menikahi
wanita Ahli Kitab, maka dalam kasus wanita Muslimah dinikahi oleh
para pria Ahli Kitab dan umumnya non Muslim, mereka sepakat
mengharamkannya.
Larangan tersebut berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang
beragama Islam, atau dengan kata lain mereka (muslim) tidak boleh
menikah dengan musyrik (non-muslim). Akan tetapi bagi laki-laki
Islam masih diberikan pengecualian yaitu dibolehkan kawin dengan
wanita Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi). Akan tetapi hukum Islam
tidak membolehkan wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan
laki-laki yang bukan beragama Islam.11
Dilarangnya wanita muslim mengawini laki-laki musyrik,
karena perbedaan akidah antara kedua belah pihak ini sangat jauh.
Pihak wanita mempercayai satu agama, sementara pihak laki-lakinya
mempercayai agama lain yang jauh perbedaan aqidahnya. Perbedaan
aqidah yang amat jauh ini nantinya akan sangat mempengaruhi
kehidupan keluarganya nanti.
Sedangkan dibolehkannya laki-laki muslim kawin dengan
wanita Ahli Kitab, karena perbedaannya diasumsikan tidak terlalu
besar. Mereka pada dasarnya masih percaya kepada Tuhan meskipun
kemudian Tuhannya menjadi konsep Trinitas percaya pada nabi-nabi,
kehidupan akhirat, pembatasan atas perbuatan baik dan buruk. Oleh
karena itu diharapkan dengan perbedaan yang tidak terlalu jauh ini,
pihak laki-laki muslim dapat meluruskan aqidah istrinya, sehingga
benar-benar segaris dengan ajaran-ajaran Islam.12

D. Pendapat Ulama tentang Pernikahan Beda Agama


1. Mazhab Hanafi
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan pria muslim
dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tatapi
membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani),
sekalipun Ahli Kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut
mereka terpenting adalah Ahli Kitab tersebut memiliki kitab samawi.
Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah siapa
saja yang mempercayai seorang Nabi dan Kitab yang pernah
diturunkan Allah termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi
Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada Nabi Musa
10 Salma Zuhriyah, Hukum Perkawinan Islam, cct. 1, (Bandung: Mizan, 2002). hlm.34
11 O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Cet.2, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada), 2001, hlm. 117-118.
12 LM. Syarific, Membina Cinta Menuju ... hlm.115.

5
As dan kitab Zaburnya, maka wanita tersebut boleh dikawini. Bahkan
menurut mazhab ini mengawini wanita Ahli Kitab zimmi atau wanita
kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja perkawinan
dengan wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi hukumnya makruh
tahrim, karena akan membuka pintu fitnah dan mengandung mafasid
yang besar. Sedangkan perkawinan dengan wanita Ahli Kitab zimmi
hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita Ahli
Kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan babi.

2. Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki tentang hukum perkawinan beda
agama ini mempunyai dua pendapat yaitu: pertama, nikah dengan
kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah (wanita-wanita
non muslim yang berada di negeri yang tunduk pada hukum Islam)
maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih
besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si istri yang kitabiyah ini
akan mempengaruhi anak-anak dan meninggalkan agama ayahnya,
maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat
tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab
Maliki ini menggunakan pendekatan Sad al-Zariah (menutup jalan
yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan
kemafsadatan yang akan muncul, maka diharamkan.13

3. Mazhab Syafi’i
Demikian halnya dengan mazhab Syafi’i juga berpendapat
bahwa boleh menikahi wanita Ahli Kitab, dan yang termasuk golongan
wanita Ahli Kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita
Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak
termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan
Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
1) Karana Nabi Musa As dan Nabi Isa As hanya diutus untuk bangsa
Israel, dan bukan bangsa lainnya.
2) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. al-Maidah ayat
5 menunjukkan kepada dua golongan Yahudi dan Nasrani adalah
wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi
Muhammad SAW sebelum diutus menjadi Rasul, tegasnya orang-
orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an
diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahli Kitab,
karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.

13 Abdurrahaman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh Ala Al-Madzâhib al-Arba ah 76-77.

6
4. Mazhab Hambali
Pada mazhab Hambali mengenai perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan
boleh menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Mazhab ini dalam
menanggapi masalah perkawinan beda agama, banyak mendukung
pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Dan tidak membatasi bahwa
yang termasuk Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa
Israel. Tetapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut
Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi
Rasul.14

14 Ibid

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara bahasa, kata an-nikah mempunyai dua makna sekaligus
1. Jimak : yaitu hubungan seksual atau hubungan badan dan disebut juga
al-wath’u
2. Akad: atau al-‘aqdu, maksudnya sebuah akad, atau bisa juga bermakna
ikatan atau kesepakatan.
Hukum perkawinan beda agama terdapat tiga surat: pertama, QS.
al-Baqarah (2): 221 yang berbicara tentang larangan pria muslim menikah
dengan wanita musyrik dan wanita muslimah dinikahkan dengan pria
musyrik. Kedua, QS. Al-Maidah (5): 5 yang membolehkan pria muslim
menikahi wanita Ahli Kitab. Ketiga, QS. Al-Mumtahanah, (60): 10 yang
menegaskan ketidakhalalan wanita muslimah bagi pria kafir dan
sebaliknya.
Pernikahan ini diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu,
pertama: pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik
(musyrikah), kedua: pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli
Kitab (kitabiyah) dan, ketiga: pernikahan perempuan muslimah dengan
laki-laki non muslim, baik musyrik ataupun Ahli Kitab.

8
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzil
Minhaj
Ash-Shakafi, Ad-Dur Al-Mukhtar
Ash-Shawi, Bulghatussalik
LM, Syarific, Membina Cinta Menuju Perkawinan, Gresik: Putera
Pelajar. 1999
Noor, Nina Mariani dan Ferry Muhammadsyah Siregar (ed). Etika
Sosial dalam Interaksi Lintas Agama. Yogyakarta: Globethics.net.
2014
Syarifudin, Amir. 2006 Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Jakarta: Preneda Media.

Anda mungkin juga menyukai