Anda di halaman 1dari 22

Berikut ini adalah penjelasan mengenai 7 unsur budaya :

1. Bahasa

Bahasa merupakan suatu pengucapan yang indah dalam elemen kebudayaan dan sekaligus sebagai
alat perantara yang paling utama bagi manusia untuk meneruskan atau mengadaptasikan
kebudayaan.

Bentuk bahasa ada dua, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan.

2. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan berkisar pada pengetahuan tentang kondisi alam sekelilingnya dan sifat-sifat
peralatan yang digunakannya. Sistem pengetahuan meliputi flora dan fauna, ruang pengetahuan
tentang alam sekitar, waktu, ruang dan bilangan, sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia serta
tubuh manusia.

3. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial

Organisasi sosial merupakan sekelompok masyarakat yang anggotanya merasa satu dengan
sesamanya. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial meliputi kekerabatan, asosiasi, sistem
kenegaraan, sistem kesatuan hidup, dan perkumpulan.

4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Yang dimaksud dengan teknologi adalah jumlah dari semua teknik yang dimiliki oleh para anggota
dalam suatu masyarakat yang meliputi cara bertindak dan berbuat dalam mengelola dan
mengumpulkan bahan-bahan mentah.

Kemudian bahan tersebut dijadikan sebagai alat kerja, penyimpanan, pakaian, perumahan, alat
transportasi, dan kebutuhan hidup lainnya yang berupa material.

Unsur teknologi yang sangat menonjol adalah kebudayaan fisik yang meliputi alat produksi, senjata,
wadah, makanan dan minuman, pakaian, perhiasan, tempat tinggal, perumahan, dan alat-alat
transportasi.

5. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Sistem mata pencaharian hidup adalah segala usaha atau upaya manusia untuk medapatkan barang
atau jasa yang dibutuhkan.

Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi meliputi berburu, mengumpulkan makanan,
bercocok tanam, perikanan, peternakan, dan perdagangan.

6. Sistem Religi

Sistem religi bisa diartikan sebagai sebuah sistem yang terpadu antara keyakinan dan praktek
keagamaan yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan
pikiran.
Sistem religi meliputi sistem kepercayaan, sistem nilai, pandangan hidup, komunikasi keagamaan,
dan upacara keagamaan.

7. Kesenian

Secara sederhana kesenian dapat diartikan sebagai segala hasrat manusia terhadap keindahan atau
estetika. Bentuk keindahan yang beraneka ragam itu muncul dari sebuah permainan imajinatif dan
kreatif.

Hal itu dapat memberikan kepuasan batin bagi manusia. Secara garis besar, kita dapat memetakan
bentuk kesenian dalam tiga garis besar, yaitu seni rupa, seni suara dan seni tari.

Tentang wilayah Tana Ai


Sebelum terbentuknya wilayah pemerintahan kabupaten seperti sekarang ini,wilayah Tana Ai di
perintah oleh tiga kapitan dalam tiga wilayah kekuasaan yang disebut: Hamente, Hamente
Waigete di bagian barat, Hamente Kringa di bagian timur dan Hamente Werang di bagian tengah
antara Hamente Kringa dan Hamente Waigete. Dalam perkembangan Hamente Waigete
berubah menjadi kecamatan Waigete, sedangkan Hamente Werang dan Kringa menjadi
kecamtan Talibura.

Kerajaan-kerajaan di Flores abad ke-17/18

Tentang kerajaan Tana Ai


Pemukiman orang Tana ‘Ai yang terisolasi menyebabkan mereka tidak mendapat banyak
pengaruh dari luar sampai saat ini. Orang Tana ‘Ai sejak dulu tinggal di beberapa domain
terorganisir secara longgar disebut Tana. Domain ini adalah entitas kurang teritorial, tetapi lebih
ditentukan oleh batas-batas agama dan seremonial. Setiap tana dipimpin oleh kepala marga
pendiri domain itu, dan juga memiliki Mahe sendiri, sebuah situs seremonial pusat yang
ditemukan baik di pusat desa atau tempat di sekitar hutan. Dalam sejarah orang Tana ‘Ai,
pernah memiliki kerajaan mereka sendiri.
Pemimpin masyarakat Tana ‘Ai’, disebut Litin Pitu Lera Walu, yang mendapat izin dari nenek
moyang mereka (Du’a Mo’an Watu Pitu) untuk memimpin desa melalui keputusan penting
tentang organisasi dan pelaksanaan Gren Mahe. Kegiatan ritual Gen Mahe bisa berlangsung
sampai 7 hari 7 malam. Pusat ritual desa memiliki 2 rumah panggung tradisional sementara,
yaitu Woga dan Lepo.
Warga dari Tanah Ai. Sumber foto: Tropenmuseum, Netherlands
Peta kuno pulau Flores
Klik di sini untuk peta kuno pulau Flores, 1493, 1653, abad ke-17, 1725, 1756, 1700-an.
Flores, tahun 1653

Sumber
– Suku Tana Ai: http://protomalayans.blogspot.co.id/2013/08/suku-tana-ai-nusa-tenggara-
timur.html
– Tentang Tana Ai: https://itozz.wordpress.com/2010/02/16/mengenal-tana-ai-dari-dekat/
– Tentang Tana Ai: Indonesia Timur  tempo dulu, FB
– Budaya Tana Ai: http://tanaai.blogspot.co.id/
– Ritual Segang masyarakat Tana Ai sebagai pendingingan di kebon
baru: http://www.floreskita.com/ritual-segang-masyarakat-adat-tana-ai-sebagai-pendinginan-di-
kebun-baru/

Tana Ai. Sumber foto: Coll. Tropenmuseum, Netherlands.


——————————
Warga dari wilayah Tanah Ai. Sumber foto: Tropenmuseum, Netherlands

—————————–
Warga Tana Ai. Sumber foto: Coll. Tropenmuseum, Netherlands
Pati Ea, Jalan Menuju Pemurnian Jiwa Orang Tana Ai.
(Olh;Oktavianus Leonardus)
Maret 14, 2019
Pati Ea, Jalan Menuju Pemurnian Jiwa Orang Tana Ai.

Wilayah Tana Ai merupakan wilayah yang dimana masyarakat setempat (ata Tana Ai)
sampai saat ini masih melakukan ritus-ritus budaya yang berhubungan dengan
kehidupan sehari mulai dari kelahiran hingga kematian, 
Salah satunya adalah upacara permohonan berkah untuk pengelolaan dan hasil kebun
(Ritus Pati Ea, Neni Ihin Dolo), sukuran hasil kebun,upacara penggabungan bibit ( Boer
wini) dan beberapa Ritus lainya. 

Acara ini di selenggarakan oleh masing-masing suku dan tidak di lakukan secara
pribadi, ritual ini melibatkan semua anggota suku laki dan perempuan. Dalam
menjalankan ritus ini juga melibatkan semua pemangku adat dalam suku tersebut.
Sementara dari suku lain yang terlibat aktif dalam Ritus adalah "Ina ama",  selebihnya
undangan dari suku lain adalah sifatnya kerabat,kenalan, keluarga yang datang untuk
mengikuti upacara tersebut. 

Dalam pelaksanaan Ritus tersebut sebelum mencapai pada puncak kegiatan (leron pati)
semua anggota dalam suku wajib melakukan sebuah tahapan konsolidasi perdamaian
(wua bura). 
Wua bura merupakan tahapan perdamaian dimana setiap anggota suku akan
melakukan tukar siri pinang sebagai tanda perdamaian dan tidak ada dendam ataupun
unek-unek di antara anggota suku tersebut, jika ada anggota suku tersebut masih
menyimpan dendam atau pun amarah maka dia akan menanggung bala pribadinya
sendiri. 

Masyarakat Tana Ai, sangat mempercayai hanya dengan  kedamaian dan kerendahan
hati adalah proses pemurnian menuju kehidupan sejati sebagai manusia yang bertakwa
kepada sang penguasa tertinggi langit dan bumi (Ina nian tana wawa, ama lero wulan
reta).

Menelusuri Pesta adat Orang Tana Ai


Maumere Flores
UNKNOWN 07.37  BUDAYA , KEARIFAN_LOKAL , MAUMERE , PARIWISATA

Maumere Berbudaya

PESTA ADAT GAWI DJAGO/NAMANG_TANA AI


Tarian Blassi Allo.

Ini merupakan salah satu dari beberapa tradisi Pesta Adat Tana Ai,yang terdapat di desa Ojang
dengan desa Timu Tawa,kec.Talibura,kab.Sikka.

Tradisi pesta adat Tana Ai merupakan pesta adat tradisional,yang belum di kenal oleh
masyarakat luas,krn letaknya paling timur dari kota Maumere.Pesta adatnya pun terdapat
beberapa tingkatan2 yakni:

1.pesta adat Gle' Mahe :

merupakan pesta adat dengan kurun waktu 2-10 tahun,tergantung dari kesepakatan pemuka-
pemuka adat,dan merupakan pesta adat yang paling meriah,bulan-bulan yang biasa di adakan
yaitu sekitar bulan September sampai dengan bulan Nnovenber.

2.pesta adat Gle' Etta'an:

ini merupakan pesta adat syukuran tahunan level 1.Pesta ini biasa di buat oleh sekelompok
ladang,di adakan secara serempak dlm 1 hr.Pesta yg ini biasa terdpt tarian Wadong
Djago(namang) dan Blassi Allo yg ini bisa di lakukan apabila pesta adat level 2 telah rampung di
adakan.Waktu pestanya bln oktober-november setiap tahunnya.Wadong Djago(namang)untuk pria
dan Blassi Allo untk wanita.
3.Pesta adat Bello Tekkan:

ini merupakan pesta adat syukuran level 2,dan di adakan setiap tahun trgantung dari
kesepakatan antara tua2 adat dgn pemilik ladang,bisa diadakn bisa juga trgantung dr kondisi
ekonomi,begitu pula dgn tarian Wadong Djago(namang) dan tarian Blassi Allo.

Tarian Namang Wadong Djago.

Belis dan Tradisi Pernikahan ala


Maumere
  Bella Zoditama

  03 Juni 2016 10.40 WIB

  3 menit
Belis dan Tradisi Pernikahan ala Maumere

Pernikahan memang menjadi sebuah momen yang penting dan begitu sakral dalam
kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali dengan adanya pemberian mahar atau mas
kawin yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
pada saat melangsungkan pernikahan.

Bagi masyarakat Sikka-Krowe, salah satu etnis terbesar yang mendiami daerah
Maumere, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu sebelum
pernikahan dilangsungkan.

Salah satunya adalah pembelian belis atau mas kawin.

Maumere sendiri adalah sebuah kecamatan serta ibukota Kabupaten Sikka yang
terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sementara Sikka adalah nama yang menunjukkan sebuah kampung tradisional di


pantai selatan Kabupaten Sikka yang dikenal dengan Sikka Natar atau Kampung
Sikka, sedangkan Krowe adalah orang pedalaman yang tinggal dari Desa Nele di
Kabupaten Sikka.

Tahapan Persiapan Pernikahan Sikka-Krowe


Tahap pertama disebut panu aho yang berarti merintis jalan. Di sana, keluarga pihak
laki-laki yang disebut tanta/tente atau na’a/a’a dalam bahasa Sikka berhak mencari
informasi lebih jauh tentang si perempuan.

Nantinya, tanta akan datang ke rumah orang tua si calon mempelai dan
menyampaikan maksud kedatangannya.

Jika pano ahu ini berhasil, maka proses pertunangan dapat dilanjutkan. Pada


tahapan ini seorang perempuan yang akan dilamar dan menjadi calon mempelai
paling tidak harus melewati upacara dong werung, yakni upacara perkenalan kepada
kedua pihak terutama pihak laki-laki jika perempuan tersebut telah dewasa dan telah
siap menjadi seorang istri.

Tahap berikutnya adalah tung urut linong, yaitu upacara pemberian sisir, cermin,
buah-buahan, serta kain kepada pihak perempuan. Pemberian ini menjadi tanda
kalau perempuan ini sudah dipinang oleh seorang laki-laki.

Selanjutnya ketika pemberian pihak laki-laki diterima, maka pihak perempuan juga
akan memberi lipa, yaitu sarung laki-laki hasil tenunan sendiri dan lensu nujing, yaitu
sapu tangan jahitan sendiri dengan sulaman khusus di bagian pinggirnya.

Pembatalan Pertunangan

Di awal pertunangan ini, ikatan pun belum dianggap kuat secara adat, karena bisa
saja di tengah-tengah pertunangan, ada salah satu pihak yang membatalkannya.
Jika pembatalan dilakukan oleh pihak laki-laki, maka dia harus memberikan
sejumlah bayaran berupa uang dan kuda kepada pihak perempuan.

Sebaliknya jika pembatalan dilakukan oleh pihak perempuan, maka sebagai sanksi
adat, pihak laki-laki akan diberikan baju dan lipa oleh pihak perempuan. Pemberian
semacam ini disebut hok waeng atau pemberian penghapus rasa malu.

Pemberian Belis
Setelah tahapan-tahapan tersebut berhasil dilewati, maka tibalah untuk pemberian
belis atau mas kawin ini. Belis atau mas kawin merupakan proses penting dalam
pernikahan adat Sikka-Krowe terutama dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak
keluarga perempuan.
Pada dasarnya, belis menjadi sebuah simbol untuk menjaga kehormatan seorang
wanita sebelum menikah. Nah, seperti sebelumnya proses persiapan pembelisan
atau pemberian belis juga terdiri dari beberapa tahapan.

Salah satu tahapannya adalah plage wae ara matang, yaitu duduk bersila dan saling
berhadapan. Di mana, kedua pihak akan duduk bersama untuk membicarakan
besarnya belis pernikahan, termasuk menentukan jenis serta jumlah belis yang
diminta atau disebut taser.

Besarnya belis bisa ditentukan oleh beberapa faktor, seperti jenjang pendidikan,
kedudukannya dalam keluarga, latar belakang keluarga, dan lain-lain.

Namun, belis yang diajukan oleh pihak perempuan, bisa ditawar oleh perwakilan
pihak laki-laki yang disebut sebagai delegasi adat hingga mendapatkan
kesepakatan.

Tanda kesepakatan pun nantinya diakhiri dengan pemotongan babi yang ditikam
atau ditusuk.

Peresmian Pernikahan

Setelah penentuan waktu serta tanggal pernikahan telah disepakati pada


waktu taser, maka kedua pihak akan melakukan persiapan-persiapan menjelang
pernikahan.

Peresmian pernikahan atau yang disebut lerong kawit diadakan di rumah keluarga


perempuan. Nantinya ketika pada peresmian pernikahan, kedua pengantin
didandani dengan pakaian adat.

Selanjutnya, kedua pengantin berdiri di depan pemimpin upacara atau ata


pu’an yang akan mengambil sedikit nasi, hati babi dan satu luli moke dan
memberikannya kepada pengantin sambil memberikan wejangan dalam bahasa
Sikka.

Selesai prosesi itu, maka secara adat, keduanya telah resmi menjadi sepasang
suami-istri. Hubungan pernikahan yang menyatu ini terlukis dalam ungkapan adat:

Ea daa ribang nopok, tinu daa koli tokar


Pertalian kekerabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus-menerus
dengan saling memberi dan menerima sampai turun-temurun.

ADAT PERKAWINAN DI SIKKA


10.20  adat-istiadat, NTT, sikka  1 comment
    Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang
menyatu itu terlukis dalam ungkapan  

"Ea Daa Ribang,Nopok, Tinu daa koli tokar"

"Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus 
dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun"

Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dlam bahasa hukum adat yang disebut Naruk dua - moang dan
kleteng latar yang tinggi nilai budayanya.
Unkapannya antara lain :
"Dua naha nora ling, nora weling
Loning dua utang ling labu weling
Dadi ata lai naha letto -wotter"
Artinya :
"Setiap wanita mempunayi nilai, punyai harga, 
sedangkan sarung dan bajunya juga mempunyai nilai dan harga, 
sehingga setiap lelaki harus membayar."

"Ine io me tondo
Ame io paga saga
Ine io kando naggo
Ame io pake pawe"
Artinya :
"Ibulah yang memelihara dan membesarkannya
Ayah yang menjaga dan mendewasakannya
Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan
Ayah memberikannya sandang."
      Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh karena itu maka pihak klen
penerima wanita Ata lai harus membayar sejumlah belis kepada klen pemberi wanita ata dua sesudah itu baru
dinyatakan perkawinan seluruh prosesnya syah. Di Sikka /Krowe umumnya bentuk perkawinan adalah patrilinial,
sedangkan yang matrilinial hanya terjadi di wilayah suku Tanah Ai di kecamatan Talibura.

Tahap-tahap perkawinan dapat dilakukan seraya memperhatikan incest dan perkawinan yang tidak dilarang itu
maka ditempulah beberapa tahapan:

(1) Masa pertunangan, semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka
selalu disebut dengan ungkapan waang tota jarang atau rumput cari kuda atau tea winet (menjual
anak/saudari)
Seorang gadis dibelis dalam 6 bagian: Kila, belis cicin kawin; Djarang sakang, (pemberian kuda); wua taa
wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk
nenek; ngororemang (mereka yang menyiapkan pesta).

(2) Perkawinan, sebelum abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya diresmikan di Balai oleh raja
atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah semuanya sudah siap maka acara perkawinan ditandai
dengan mendengar kata-kata pelantikan dari raja, wawi api - ara pranggang, kata-kata yang diucapkan adalah:

Ena tei au wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan


wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak
miu ruang dadi baa nora lai, jadikanlah kamu istri dan suami 

lihang baa nora lading, dan terikatan seluruh keluarga


gae weu (eung) miu ara, makanlah kamu nasi ini
pranggang, agar menjadikan istri dan
dadi baa wai nora lali, suami minulah saus daging
minu eung wawi api, ini agar eratlah
genang lihang nora ladang, seluruh keluarga.
Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh tuan tanah/raja kepada kedua mempelai .

Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-ungkpan di atas tetap dipakai namun proses penikahan
sesuai dengan aturan agama Katolik dan diberkati oleh Pastor.

Ada beberapa tahap dari acara perkawinan secara adat Sikka/Krowe:

(1) Kela narang, pendaftaran nama calon pengantin di kantor Paroki yang dihantar oleh orang tua masing-
masing bersama dengan keluarga

(2) A Wija/A Pleba, keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin secara bersama-sama
dengan keluarga

(3) Dipihak ata dua terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue tradisional yaitu bolo
pagar dan mendirikan tenda pesta.

(4) Sebelum ke gereja keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga penerima wanita atau ata lai
bertugas menjaga kamar pengatin.

(5) Tung /tama ola uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam diiringi kedua ipar masing-
masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age gete dengan nasehat kalau sudah ada di kamar
bicara perlahan-lahan

(6) Weha bunga sekitar jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari Keluarga ata
lai menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum semerbak bagi kedua pengantin.

Belis, Simbol Penghargaan pada


Perempuan Maumere, Flores, NTT
19 Desember 2011   14:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:03  1  0 0

Belis atau lebih dikenal dengan istilah “mas kawin” dalam pernikahan suku-suku di Flores
merupakan suatu budaya turun temurun yang sudah diwariskan nenek moyang sejak jaman
dahulu. Ketika seorang wanita Flores khususnya Maumere, memasuki gerbang pernikahan,
dia harus melewati tahap yang dinamakan pertunangan yang ditandai dengan pertukaran
cincin. Setelah itu, pihak wanita mulai menentukan belis apa yang akan menjadi tanggung
jawab keluarga laki-laki.

Belis wajib biasanya berupa, gading gajah, kuda, emas, hasil alam dan sejumlah uang.
Setelah itu, keluarga dari pihak wanita akan membalas belis tersebut dengan kain tenun
(sarung), babi, beras, dan makanan-makanan. Dalam budaya Maumere (salah satu kabupaten
di Flores), seorang wanita dihargai dari belis yang diberikan dari sang lelaki. Besarnya belis
biasanya ditentukan dari jenjang pendidikan sang wanita, kedudukan wanita dalam keluarga,
latar belakang keluarga wanita dan lain-lain. Sebagai contoh, seorang wanita asli Maumere
yang berpendidikan tinggi, dari keluarga terpandang, biasanya belis yang diminta lebih tinggi
dari wanita yang hanya lulusan SMA. Belis yang diajukan oleh pihak wanita, kemudian akan
ditawar oleh perwakilan dari pihak lelaki yang biasa disebut delegasi adat.

Pada saat rombongan pembicara belis tiba di depan rumah pihak perempuan, mereka akan
mengetuk pintu sebanyak tiga kali sambil bertanya: Ina ama re' ta une, ami lema ko lohor -
mama-bapak dalam rumah kami naik atau turun? Pihak perempuan akan menjawab: Uhe die
dang hading (pintu terbuka, tangga terpasang).

Itu berarti keluarga membuka hati agar gadis mereka dipinang oleh pihak laki-laki. Sebelum
memulai pembicaraan, para pembicara belis disuguhkan arak (moke) dan lawar bura. Lawar
bura adalah sejenis kuah yang terdiri dari kelapa yang sudah dikukur dicampur dengan sedikit
air panas dan ikan bakar yang sudah dirajang atau diiris kecil-kecil.

Selama proses bincang-bincang itu berlangsung, kedua pihak tidak akan dihidangkan
makanan untuk makan bersama. Acara makan bersama hanya akan terjadi kalau sudah ada
kesepakatan bersama antara pihak laki-laki dan perempuan tentang besarnya belis. Tanda
bahwa kata sepakat sudah dicapai dapat dikenal melalui teriakkan seekor babi; babi itu akan
ditikam/ ditusuk dan ketika berteriak semua orang dalam rombongan pembicaraan belis itu
akan tahu bahwa sudah dicapai kata sepakat soal belis.

Selanjutnya seluruh barang bawaan dari rumah perempuan saat taser wajib dibagikan ke
semua keluarga dari pihak laki-laki. Hal ini menjadi pemberitahuan awal bahwa pertunangan
sudah sah dan semua keluarga bersiap-siap untuk membantu dalam proses-proses
selanjutnya.

Sumber : www.inimaumere.com
Mengenal Moke, Minuman Tradisional dan Simbol Adat di Sikka Flores Kompas.com -
17/05/2019, 15:12 WIB BAGIKAN: Komentar Moke yang sudah disuling ulang di IKM Lontar,
Desa Watu Gong, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Rabu
(15/5/2019).(KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS) Penulis Kontributor Maumere, Nansianus Taris
| Editor I Made Asdhiana MAUMERE, KOMPAS.com - Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT)
sangat terkenal dengan pesona alamnya yang indah, masyarakat yang ramah, tradisi dan budaya
yang unik, dan berbagai hasil kebun seperti kopi, cengkih dan vanili. Selain itu, ternyata
masyarakat Flores khususnya di Kabupaten Sikka, memiliki kemampuan khusus yakni membuat
minuman tradisional yang disebut moke. Moke adalah minuman tradisional yang bersumber dari
hasil iris buah pohon lontar. Proses penyulingan tradisional itu merupakan warisan nenek
moyang dan dibuat terus menerus. Baca juga: Huler Wair, Tradisi Menyambut Tamu di Sikka
Flores Bagi masyarakat Sikka, moke itu simbol adat dan persaudaraan dalam kehidupan sosial.
Dengan kadar alkohol yang cukup tinggi, moke tetap dikonsumsi sebagai sarana pemersatu
masyarakat di Kabupaten Sikka. Rabu (15/5/2019), saya berkesempatan mengunjungi seorang
perajin moke di desa Watu Gong, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka. Baca juga: Berburu
Aneka Motif Tenun Ikat Sikka di Kota Maumere Dari kota Maumere menuju desa itu, saya
menempuh perjalanan sekitar 15 menit. Jaraknya memang sangat dekat dari ibu kota Kabupaten
Sikka. Seorang turis mancanegara sedang menuangkan mokel lokal kepada warga yang
mengikuti pesta Reba Ngada di Kampung Langa, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores,
NTT, Selasa (15/1/2019). (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Tiba di desa itu, saya langsung
menyambangi rumah seorang perajin moke bernama Stevanus. Moke milik Stevanus ini sudah
berlabel dan memang sudah cukup terkenal di kalangan masyarakat kota Maumere. Inilah alasan
saya bertemu langsung Stevanus di kediamannya. Baca juga: Mengenal Leworok, Kopi Khas
Flores Timur yang Kaya Aneka Rasa Tiba di rumahnya, ia tampak lagi sibuk menyuling moke
yang akan dijual. Meski sedang sibuk, Stevanus menyambut saya dengan sapaan ramah. Tanpa
muluk-muluk, saya pun menyalaminya sambil perkenalkan diri dan menyampaikan apa maksud
dan tujuan berkunjung. Stevanus pun menyambut dengan gembira ketika mendengar tujuan saya
berkunjung. Baca juga: Sejarah Logu Senhor, Tradisi Portugis yang Bersemayam di Sikka Flores
Ia langsung saya menuju tempat penyulingan moke, tepatnya di belakang dapur. Ia mengarahkan
saya melihat proses penyulingan moke secara sederhana. Kemudian, ia mengambil 3 botol moke
yang sudah jadi dan meletakkan di atas meja. "Ini moke yang sudah disuling ulang dan sudah
bisa dijual untuk dikonsumsi," ungkap Stevanus kepada Kompas.com, Rabu (15/5/2019). Moke
yang sudah disuling ulang di IKM Lontar, Desa Watu Gong, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten
Sikka, Nusa Tenggara Timur, Rabu (15/5/2019).(KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS) Ia
mengatakan, dirinya memulai menyuling moke  itu sejak tahun 2017. "Saya beli moke yang sudah
disuling dari dari petani. Sampai di sini, mokenya disuling ulang menggunakan destilator. Setelah
disuling ulang rasa dan aromanya sudah agak berbeda dengan aslinya. Yang ini rasa dan
aromanya sudah lembut. Tidak menyengat lagi di hidung dan tenggorokan," tutur Stevanus. Ia
melanjutkan, moke hasil penyulingan ulang itu dijual seharga Rp 60.000 per botol. Dan untuk 1
jeriken 5 liter dijual Rp 500.000. "Yang sudah disuling ulang ini, kadar alkoholnya 30-36 persen.
Sudah diukur menggunakan alat alkohol meter. Jadi, tujuan kita suling ulang adalah menurunkan
kadar alkoholnya," tambah Stevanus. Motivasi Awal Bekerja Menyuling Moke Stevanus
mengungkapkan, ada banyak alasan yang mendorongya bekerja menyuling moke. Pertama,
moke adalah minuman tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Karena itu, moke tidak
boleh hilang. "Itulah motivasi awal saya bekerja menyuling kembali moke di Desa Watu Gong ini,"
terangnya. Seorang tua adat Kampung Langa sedang minum tuak atau mokel lokal pengganti
minuman air setelah makan uwi (ubi) saat ritual Reba Ngada dilangsungkan di Kampung Langa,
Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores, NTT, Selasa (15/1/2019).
(KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Ia menyampaikan, saat ini tugasnya sebagai generasi penerus
adalah menaikkan status moke dari minuman tradisional ke minuman bernilai ekonomis. Ia
mengaku, usaha menaikkan status moke agar menjadi produk yang dilegalkan memang selalu
mengalami kendala di regulasi. "Kita sudah coba tahun 2017, tetapi lagi-lagi pemerintah tidak
membuat regulasinya. Padahal upaya ini untuk melindungi seluruh petani moke di Kabupaten
Sikka. Tetapi, kita tidak boleh berhenti. Kita harus terus berinovasi," ungkap Stevanus. Kedua,
Sikka adalah daerah pariwisata dan juga pintu gerbang bagi wisatawan yang hendak datang ke
Flores dengan memiliki bandara dan pelabuhan yang sangat memadai. Seharusnya di Maumere
ini ada ada oleh-oleh khas yaitu moke. "Seperti di Bali itu ada arak Bali. Minuman khas di daerah
lain bisa dilegalkan. Mengapa di Sikka tidak?" katanya. Menurut Stevanus, hotel dan kafe di
Maumere menjadikan moke sebagai minuman "welcome drink" bagi tamu yang datang.
"Sementara waktu memang kita terus berupaya untuk melegalkan moke sambil memperbaiki
mutunya," tutur Stevanus. Moke yang sudah disuling ulang di IKM Lontar, Desa Watu Gong,
Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Rabu (15/5/2019).
(KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS) Ia mengatakan, berdasarkan motivasi-motivasi tersebut, di
desa Watu Gong Stevanus merintis industri kecil menengah (IKM) moke dan dinamakan IKM
Lontar. Diberi nama IKM Lontar karena bahan dasar moke berasal dari pohon Lontar. Melalui
IKM itu, Stevanus memulai memperbaiki mutu moke mulai dari kemasan dan aromanya. Moke
yang ada di IKM Lontar sudah berlabel. Label itu sudah menyesuaikan dengan BPOM tentang
standar keamanan minuman beralkohol. "Kadar alkhol kita sudah ukur. Larangan-larangan
semua sudah lengkap. Saya di sini alat untuk mengukur kadar alkohol sudah ada, meskipun
belum memiliki laboratorium," kata Stevanus. Ia mengungkapkan, tagline IKM Lontar itu adalah
'Legend of Maumere'. Tentu tagline itu memiliki alasannya. "Moke itu kan sarana untuk
mempersatukan. Kalau ada persoalan dalam masyarakat, pasti selalu menggunakan moke untuk
mempersatukan kembali. Moke juga adalah minuman tradisional yang diminum dalam berbagai
kesempatan. Sejak dari nenek moyang sampai sekarang, moke tetap ada. Moke memang
minuman berlegenda di Maumere of Flores," tutur Stevanus. Ia berharap kepada Pemerintah
Kabupaten Sikka agar menjamin produksi moke dengan menerbitkan regulasi, mengatur tata
niaganya, dan memberikan dukungan kepada pelaku industri kecil menengah khususnya
penyuling moke. Kaum laki-laki Ngada ditugaskan untuk menyuguhkan tuak atau moke lokal
untuk menggantikan minuman air setelah makan uwi (ubi) saat ritual Reba Ngada dilaksanakan
di Kampung Langa, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores, NTT, Selasa (15/1/2019).
(KOMPAS.com/MARKUS MAKUR) Bagi anda yang iingin merasakan enaknya moke khas Sikka
itu, silahkan menghubungi Stevanus melalui nomor telepon sekaligus whattsapp 081337768477.
Untuk melihat proses dan ingin mencoba rasa moke tradisional Sikka itu, Anda bisa datang
langsung ke Desa Watu Gong Kecamatan Alok Timur. Dari kota Maumere, jaraknya sekitar 5
kilometer.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Moke, Minuman Tradisional dan
Simbol Adat di Sikka
Flores", https://travel.kompas.com/read/2019/05/17/151200927/mengenal-moke-minuman-
tradisional-dan-simbol-adat-di-sikka-flores?page=all. 
Penulis : Kontributor Maumere, Nansianus Taris
Editor : I Made Asdhiana

Huler Wair, Tradisi Menyambut Tamu di Sikka Flores Kompas.com - 06/05/2019,


15:09 WIB BAGIKAN: Komentar Wagub NTT, Yosef Nai Soi disambut dengan tradisi Huler Wair di
kantor Kopdit Pintu Air, di Desa Ladogahar, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Jumat (3/5/2019).
(KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS) Penulis Kontributor Maumere, Nansianus Taris | Editor I
Made Asdhiana MAUMERE, KOMPAS.com - Indonesia sangat kaya akan aneka tradisi dan
budaya yang diwariskan para leluhur. Tidak terkecuali, masyarakat Kabupaten Sikka, Flores,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat Kabupaten Sikka terkenal sangat kental dengan adat
dan budayanya. Salah satu tradisi masyarakat Sikka yang terus hidup hingga kini adalah Huler
Wair. Huler Wair ini merupakan tradisi menerima tamu siapa pun yang datang berkunjung ke
Sikka. Jumat (3/5/2019) Kompas.com menyaksikan tradisi Huler Wair di halaman kantor Kredit
Pintu Air, di Desa Ladogahar, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka. Baca juga: Pesona Kain Tenun
Ikat Tradisonal Sikka Menghipnotis Wisatawan Tradisi ini dibuat untuk menyambut Wakil
Gubernur NTT, Yosef Nai Soi dalam acara peresmian gedung Kopdit Pintu Air yang baru selesai
dibangun. Sebelum memasuki gedung, Wagub NTT bersama rombongan terlebih dahulu
disambut dengan tradisi ini. Satu orang tua yang berpakaian adat lengkap membacakan syair-
syair yang dalam bahasa Sikka disebut Kleteng Latar. Baca juga: Sejarah di Balik Angkernya
Danau Koliheret di Sikka Flores Setelah syair dibacakan, tua adat ini menyirami tamu dengan air
kelapa yang dipegang oleh satu orang perempuan. Air kelapa ini disiram menggunakan 2 helai
daun Huler yang masih muda. Yosef Gervasius, salah satu tokoh adat yang hadir dalam acara ini
menjelaskan Huler Wair merupakan tradisi menyambut tamu siapa pun yang datang berkunjung
ke Kabupaten Sikka. Ritual Huler Wair ini dilakukan dalam acara apa pun di Kabupaten Sikka.
Wagub NTT, Yosef Nai Soi disambut dengan tradisi Huler Wair di kantor Kopdit Pintu Air, di Desa
Ladogahar, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Jumat (3/5/2019). (KOMPAS.com/NANSIANUS
TARIS) Ia menuturkan, tujuan dari ritual itu adalah agar tamu yang datang terbebas dari bahaya.
"Sebelum tamu dan kita semua memulai kegiatan terlebih dahulu membuat ritual Huler Wair. Kita
meminta restu kepada ibu bumi dan bapa langit, bahwa hari ini ada kegiatan seperti ini. Ibu bumi
dan bapa langit memberi kesejukan. Air dan daun tadi memberikan kesejukan, kesegaran, dan
kedamaian bagi tamu-tamu yang hadir di tempat ini. Tanpa ada bumi, tanpa ada ibu kita tidak
bisa hidup. Tanpa bapa langit, bulan dan matahari kita tidak bisa hidup. Itulah makanya kita
membuat ritual ini sebelum memulai kegiatan," jelas Yosef Gervasius kepada Kompas.com. "Ini
juga dibuat untuk meminta kepada para leluhur agar tamu yang datang terhindar dari segala
macam bahaya selama berada di tempat ini," sambung Yosef. Ia menerangkan, dalam ritual ini,
daun yang digunakan untuk memercik air kelapa kepada tamu diambil dari satu pohon yaitu
pohon Huler. Pohon ini ini dipilih karena selalu tumbuh subur, baik pada musim hujan maupun
musim panas. Sementara air kelapa merupakan lambang kesejukan dan kesucian. Karena air
kelapa itu belum dijamah oleh apa pun. "Air kelapa itu betul-betul suci. Belum dijamah oleh siapa-
siapa. Air itu berada di atas. Untuk mendapatkan air kelapa itu kita mesti berjuang, setelah itu
ada kupas kulit luar, ada lagi saputnya, kemudian ada tempurung, baru ada airnya," terang Yosef.
Sementara itu, Ketua Kopdit Pintu Air, Yakobus Jano mengungkapkan Indonesia kaya akan
tradisi dan budaya yang diwariskan para leluhur. Ia mengatakan, tradisi dan budaya merupakan
identitas bangsa yang perlu dijaga dan dilestarikan agar tidak mati dan hilang. "Sejak berdirinya
Koperasi Pintu Air sampai sebesar ini tidak terlepas campur tangan para leluhur. Karena itu,
untuk menghargai leluhur, kita melestarikan tradisi ini pada setiap acara apa pun, termasuk
dalam peresmian gedung ini. Sebagai makhluk berbudaya, kita harus melakukan ritual adat
dalam kegiatan ini," ungkap Yakobus. Dalam peresmian gedung Kopdit Pintu Air di Kabupaten
Sikka, NTT, Jumat (3/5/2019), semua anggota koperasi dari 47 cabang di Indonesia wajib
mengenakan kain tenun ikat masing-masing daerah.(KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS) Ia
menjelaskan, selain ritual adat, dalam kegiatan peresmian gedung Kopdit Pintu Air, semua
anggota koperasi dari 47 cabang di Indonesia wajib mengenakan kain tenun ikat masing-masing
daerah. "Pesannya adalah Indonesia ini berbeda tetapi satu. Bhinneka Tunggal Ika itu harus
berada dalam kebersamaan secara konkret. Tidak bisa hanya kata-kata. Kata-kata boleh bersatu,
tetapi faktanya tetap berseberangan. Bagi saya, koperasi ini bukan hanya sebagai wadah
ekonomi, tetapi juga sebagai corong pemersatu bangsa. Jadi, ini adalah Indonesia. Kita memakai
busana kain tenun ikat masing-masing daerah sebagai wujud nyata dari Bhinneka Tunggal Ika,"
kata Yakobus.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Huler Wair, Tradisi Menyambut Tamu di
Sikka Flores", https://travel.kompas.com/read/2019/05/06/150900427/huler-wair-tradisi-
menyambut-tamu-di-sikka-flores?page=all. 
Penulis : Kontributor Maumere, Nansianus Taris
Editor : I Made Asdhiana

Posts tagged ‘makna pakaian


adat sikka’
Gadis Sikka Dalam Balutan Kimang

Dalam status social, adat dan budaya pada hampir sebagian besar suku di dunia, termasuk suku-
suku di Indonesia meletakkan perempuan pada tempat yang bermartabat. Terlepas dari faktor
cultural-kosmic masing-masing suku yang beranggapan bahwa perempuan adalah bunda dari
segenap kehidupan, tak pelak pula disimpulkan bahwa (jika dirunut dalam sejarah masing-masing
suku dan bangsa) semuanya diawali dari perjuangan yang panjang dalam usaha melawan
diskriminasi, kesenang-wenangan dan pengabaian terhadap perempuan.
Salah satu suku di Indonesia, secara khusus di Flores Nusa Tenggara Timur yang meletakkan
perempuan pada posisi yang bermartabat lantaran hasil dari perjuangan yang panjang melawan
diskriminasi terhadap kaum perempuan di masa silam adalah suku Sikka di Maumere.
Simbol-simbol yang selanjutnya menjadi ukuran martabat perempuan Sikka tidak hanya dapat
dilihat dari belis yang dimintakan kepada pihak keluarga laki-laki ketika proses pertunanganan
dimulai. Tetapi juga dari pakaian yang dikenakan perempuan Sikka ketika proses penikahan adat
dilangsungkan.
Perihal itu di Sikka ada adagium yang berbunyi “Du’a utan(g)ling labu welin(g)” yang arti dan
atau maknanya kurang lebih “kain sarung dan baju setiap wanita haruslah bernilai, berharga”.
Adagium ini sebenarnya memendar banyak makna. Salah satunya seperti terpatri dalam setelan
baju Kimang. Sepasang baju yang dikenakan pengantin pada ketika acara pernikahan adat
dilangsungkan.
Dalam perjumpaan saya secara pribadi dengan orang-orang Sikka ketika bercerita dan memintai
pendapat tentang setelan baju Kimang, saya menemukan tiga hal menarik yang dalam dan
melalui baju Kimang seorang perempuan atau gadis Sikka tampak begitu bermartabat.
Pertama, dalam bentuk uang jika diadakan atau dibeli. Coba dibayangkan dan selanjutnya
diuangkan dari catatan informatif berikut ini: setelan Kimang terdiri dari bawahan berupa sarung
tenun ikat bermotif dan atasan berupa baju sulam yang dipadu dengan sejenis selendang yang
disebut “dong”. Perhiasan yang mewarnainya terdiri atas kalar gelang dari gading yang harganya
jutaan rupiah, kalung leher, anting yang terbuat dari emas, dan “ala gadeja” (perhiasan penutup
wajah dan hanya dikenakan oleh oleh perempuan yang masih perawan) yang terdiri dari kain dan
benang¬benang yang dihiasi dengan emas yang juga mencapai jutaan rupiah.
Selanjutnya, tataan rambut disanggul ke atas, diikat dengan gelang atau benang emas, dan pada
rambut yang disanggul terdapat tiga tusuk konde emas (soking telu). Tiga tusuk konde ini
melambangkan tiga tahap perkawinan yang dimulai dari  persiapan, penentuan belis dan (sampai
pada) upacara perkawinan itu sendiri.
Kedua, harga rasa jika dilihat secara estetis. Ada pesona yang ditawar-pendarkan jika
mengenakan Kimang, apalagi jika pasangan pengantin perempuannya masih perawan. “Kalau
nikah suci, atau nikah mulia perempuan yang mengenakan Kimang tampak lebih anggun, cantik
dan menawan” demikian kesaksian orang-orang Sikka. Kesaksian yang lain “Sekalipun dipoles
dengan kosmetik jenis apa pun, tetapi jika yang mengenakan Kimang adalah perempuan yang
sudah tidak perawan, akan tampak berbeda, kelihatan tidak segar”. Boleh percaya atau tidak, tapi
kesan umum di Sikka demikian.
Ketiga, secara moral dan cultural Kimang menunjukkan tentang tingkat kejujuran. Sebab
sesungguhnya, tidak semua pasangan pengantin, secara khusus pengantin perempuan dapat
mengenakan Kimang begitu saja. Kata orang-orang Sikka, ketika sang pengantin perempuan
mengenakan Kimang mata akan dengan tanggap melihat “oh ini anak perawan atau tidak”. Kasat
mata, hal itu dapat dilihat dari apakah pengantin perempuan mengenakan “ala gadeja” (perhiasan
penutup wajah) atau tidak ketika pernikahan adat dilangsungkan. Jika “ala gadeja” dikenakan
pengantin perempuan pada ketika upacara pernikahan dilangsungkan maka hal itu menunjukkan
pengantin perempuan masih perawan, namun jika tidak, jelas mau apa dikata.
Namun, poin terakhir ini (sekali lagi) hanya dapat diukur dengan niat baik dan kejujuran sang
pengantin. Namun pula, percaya atau tidak, mata ibu-ibu, mama-mama Sikka dapat melihat
dengan amat jelas nilai tersebut. Sampai saya berkesimpulan bahwa mata keyakinan moral dan
cultural tidak dapat dibohong.
Demikianlah tiga harga Kimang yang dapat ditakar. Dalam dan melaluinya martabat perempuan
ditampil-kedepankan. Tidak dapat dielak bahwa melampaui dari segala jumlah harta benda yang
diuangkan, harta terbesar dalam kehidupan berbudaya adalah ketulusan dan kejujuran itu sendiri.
Dan perihal itu, menjadi norma universal yang dapat ditemukan pada segala tempat dan suku.
Dan di Sikka, nilai itu, salah satunya, ditunjukkan dalam dan melalui Kimang.
Lekun... Lekun bagi warga Tana Ai bukan sekedar makanan biasa. Lekun hanya dijumpai saat digelar
ritual adat kebun dan ritual mengantar belis (emas kawin). Pembuat lekun wajib bersih diri dan mengunci
mulut dari ucapan kata-kata bernada umpatan dan makian. Pantangan dilanggar, dalam sekejap lekun akan
basi dan tak bisa dikonsumsi. Kenapa hal ini bisa terjadi?
PAGI itu mendung menggelayut di atas langit kota Maumere, gugusan awan menghitam sepanjang mata
memandang hingga jauh ke wilayah timur. Jam dinding menunjukan pukul 05.30 wita, saya bersiap
‘meluncur’ ke arah Timur sejauh 52 kilometer. Sepeda motor saya pacu cepat berburu dengan waktu
menghindari gerimis yang seakan mengejar dari arah belakang. Jarum jam menunjukan pukul 07.10 wita
saat saya tiba di Desa Nebe, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Motor saya titipkan di rumah mantan
Ketua BPD (Badan Perwakilan Desa) Nebe, Albert Parera.
Perjalanan kembali saya lanjutkan dengan berjalan kaki ke arah utara membelah persawahan sejauh 300
meter hingga bersua Kali Nangagete. Celana jeans saya gulung selutut, kaki melangkah pelan menapaki
bebatuan menyusuri kali yang sedang dilanda banjir. Ketinggian air kali setinggi lutut orang dewasa
berwarna kecoklatan. Saat tiba di pondok bambu di tengah kebun, pemilik kebun Maria Dua Lodan (25)
bersama kerabat sedang bersantai menyeruput kopi.
Sisa Ritual
Beberapa perempuan bersama lelaki secara bergantian menumbuk beras di dalam lesung (nuhun). Tiga
buah alu dipergunakan guna mempercepat proses penumbukan. Beras yang dipakai harus berasal dari padi
sisa tanam saat ritual pahe uma weru dan uma ramut yang sudah digelar bulan Desember 2014 silam. Beras
tumbuk ditapis dan diayak (sisi) memakai nyiru (lida) guna memisahkan bagian halus dari butiran kasar.
Maria Severanda sedang mengaduk campuran bahan saat membuat lekun. (Foto: FBC/ Ebed de Rosary )
“Beras yang dipakai harus dari padi sisa tanam saat ritual awal pahe uma weru. Kami masih ada satu
karung padi sisa, jadi itu yang kami tumbuk untuk membuat lekun “ ujar Dua Lodan.
Di sebelahnya, seorang lelaki dewasa dan remaja sedang mengupas kelapa. Buah kelapa dibelah dua.
Kelapa ini diparut memakai kukuran–alat memarut kelapa dengan kayu bergerigi paku–. Seraya duduk di
atas landasannya, tangan kedua lelaki ini lincah menggerakan batok kelapa di ujung kukuran. Tak sampai
sejam, 10 buah kelapa selesai diparut.
Di bale bambu, Maria Severanda (58) sibuk mengaduk dan meremas beras tumbuk, kelapa, dan gula merah
yang dihaluskan. Dua buah nyiruberas tumbuk dan beberapa baskom ditempatkan di atas bale bambu.
Dalam adat Tana Ai, lekunharus dibuat oleh perempuan. Kerabat yang lainnya hanya membantu
menyiapkan bahan dan tempat meletakan lekun.
“Semua bahan diaduk sampai merata. Gula merah dipakai selain sebagai pemanis juga berfungsi membuat
warna coklat. Gula pasir juga ditambahkan sedikit untuk memberi rasa manis,”jelas Severanda.
Harus Bersih
Saat membuat lekun, orang yang membuatnya harus membersihkan diri terlebih dahulu. Dirinya tidak
boleh bermusuhan dengan orang lain, tidak boleh ada dendam, dan selama proses pembuatan dilarang
mengeluarkan kata-kata kasar, membentak, atau memaki. Jika pantangan ini dilanggar maka lekun yang
dibuat langsung basi.
“Saat buat lekun semua arwah leluhur yang sudah meninggal hadir dan ikut menyaksikan. Jadi kalau hati
tidak bersih lekun yang dibuat seketika akan basi,”tutur Agnes Genu (70) isteri Sope, pembuat ritual adat.
Selain dimakan saat proses ritual adat, lekunmenurut Agnes, bagi masyarakat Tana Ai selalu diberikan
kepada keluarga laki-laki saat mengantar belis. Lekun dipergunakan sebagai pembalasan adat dari
perempuan kepada laki-laki. Lekun juga diberikan kepada kerabat yang dimintai bantuan mengurus proses
pernikahan.
“Lekun dibawa saudara perempuan sebagai bentuk penghargaan bagi kerabatnya. Misalnya anak saya mau
urus nikah, saya undang saudari atau ipar perempuan saya. Maka saya datang ke rumahnya dengan
membawa lekun,“paparnya.
Saat ritual antar belis, kata Agnes, lekun sebagai balasan dari pihak perempuan kepada lelaki dimasukan ke
dalam sope, wadah bulat dari anyaman daun lontar yang diberi motif. Sopetersebut, sambungnya,
dimasukkan lagi ke dalam teli, wadah sejenis dengan ukuran lebih besar. Biasanya dalam antaran
pembalasan disiapkan 50 sope yang dibawa oleh 50 orang gadis.
Dibakar
Lekun merupakan makanan tradisional masyarakat Kabupaten Sikka. Selain etnis Tana Ai yang mendiami
wilayah Timur Kabupaten Sikka, lekun juga jadi makanan khusus etnis Iwan atau Krowe yang mendiami
wilayah Tengah Kabupaten Sikka yang tersebar di Kecamatan Kewapante, Hewokloang, Kangae, dan
Bola. Kalau etnis Tana Ai memakai beras putih, etnis Iwan membuatnya dari tepung beras ketan hitam
(lekun saung). Kelapa parut, tepung beras ketan hitam dicampur gula pasir dan gula merah diaduk merata
dan dimasukan ke dalam batang- batang bambu lalu dibakar.
Markus Moro dan Erik (baju biru) sedang mengkukur kelapa yang akan dicampur beras untuk membuat
Lekun. ( Foto: FBC/ Ebed de Rosary)
Selain menjadi makanan pokok, lekun juga disajikan pula pada upacara-upacara adat, acara penerimaan
tamu, dan diberikan kepada keluarga lelaki untuk dibawa pulang saat ritual antaran belis. Saat disuguhkan,
lekun diiris berbentuk bulat dan disajikan bersama kopi dan teh.
Meski lekun yang dibuat etnis Tana Ai tidak dibakar, namun bisa bertahan sampai dua hari. Lekun bikinan
orang Tana Ai sebelum ditumbuk, beras direndam memakai air. Sementara orang Iwan menambahkannya
dengan sedikit air sebelum dibakar. Bagi masyarakat Tana Ai, beber Agnes, setelah selesai dibuat saat
ritual adat, lekun tersebut disimpan di bale-bale pondok dan tidak boleh dicicipi dahulu sebelum
sope(pembuat ritual adat ) memakannya.
“Lekun bisa diartikan sebagai makanan perdamaian dan disuguhkan saat-saat khusus saja seperti ada ritual
adat. Lekun tidak dibuat setiap saat dan jadi makanan keseharian. Lekun juga bisa diidentikan dengan
makanan adat, “ pungkas Agnes. (*)
Penulis : Ebed de Rosary
Editor: EC. Pudjiachirusanto

2828
6 Komentar3 Kali diba

Anda mungkin juga menyukai