Anda di halaman 1dari 8

A.

Pelestarian Budaya Dan Pengembangan Budaya

Kebudayaan adalah hasil manusia baik yang bersifat materi, maupun yang nonmateri.
Seperti detailnya bahwa kebudayaan itu mempunyai tujuh unsur, yakni sistem mata
pencaharian hidup (ekonomi), peralatan hidup (tehnologi), ilmu pengetahuan, sistem social,
bahasa, kesenian,dan sistem religi. Jika dihubungkan dengan sejarah, maka kebudayaan
sangat erat kaitannya karena sejarah adalah suatu ilmu yang selalu membahas ketujuh unsur
kebudayaan dilihat dari segi waktunya. Jadi detailnya jika kita melihat kebudayaan dari kaca
mata sejarah, berarti dalam pembahasannya kita akan mencoba membahas sejumlah
peninggalan-peninggalan kebudayaan Kabupaten Jeneponto. Penetapan Hari Jadi Jeneponto
sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan waktu yang cukup
panjang dan melibatkan banyak tokoh di daerah ini. Kajian dan berbagai peristiwa penting
melahirkan beberapa versi mengenai waktu yang paling tepat untuk dijadikan sebagai Hari
Jadi Jeneponto.

Kelahiran adalah suatu proses yang panjang, yang merupakan momentum awal dan
tercatatnya sebuah sejarah Bangsa, Negara, dan Daerah. Oleh karena itu, kelahiran tersebut
memiliki makna yang sangat dalam bagi peradaban manusia.Jeneponto merupakan salah satu
kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di bagian selatan, tumbuh dengan
budaya dan peradaban tersendiri seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Menyadari perlunya kepastian akan Hari Jadi Jeneponto, maka dilakukan beberapa upaya
dengan melibatkan berbagai elemen di daerah ini melalui seminar –seminar yang
dilaksanakan secara terpadu.

Dari pemikiran yang berkembang dalam pelaksanaan seminar tersebut, diharapkan


bahwa kriteria yang paling tepat untuk menetapkan Hari Jadi Jeneponto adalah berdasarkan
pertimbangan historia, sosio-kultural, dan struktur pemerintahan, baik pada masa pra dan
pasca kemerdekaan Republik Indonesia, maupun pertimbangan eksistensi dan norma-norma
serta simbol-simbol adat istiadat yang dipegang teguh, dan dilestarikan oleh masyarakat
dalam meneruskan pembangunan. Selanjutnya, penelusuran tersebut menggunakan dua
pendekatan yaitu tanggal, bulan, dan tahun menurut teks dan tanggal kejadiannya, serta
pendekatan dengan mengambil tanggal-tanggal, bulan-bulan maupun tahun-tahun yang
mempunyai makna-makna penting yang bertalian dengan lahirnya suatu daerah, yang
dianggap merupakan puncak kulminasi peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.
Adapun alternatif yang digunakan terhadap kedua pendekatan tersebut di atas yaitu:
Pertama:
a. November 1863, adalah tahun berpisahnya antara Bangkala dan Binamu dengan Laikang.
Ini membuktikan jiwa patriotisme Turatea melakukan perlawanan yang sangat gigih terhadap
pemerintah Kolonial Belanda.

b. Tanggal 29 Mei 1929 adalah pengangkatan Raja Binamu. Tahun itu mulai diangkat
“Todo” sebagai lembaga adat yang refresentatif mewakili masyarakat.
c. Tanggal 1 Mei 1959, adalah berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 menetapkan
terbentuknya Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan, dan terpisahnya Takalar dari Jeneponto.
Kedua:
a. Tanggal 1 Mei 1863, adalah bulan dimana Jeneponto menjalani masa-masa yang sangat
penting yaitu dilantiknya Karaeng Binamu, yang diangkat secara demokratis oleh “Toddo
Appaka” sebagai lembaga representatif masyarakat Turatea.

b. Mundurnya Karaeng Binamu dari tahta sebagi wujud perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda.

c.  Lahirnya Undang Undang No. 29 Tahun 1959.

d. Diangkatnya kembali raja Binamu setelah berhasil melawan penjajah Belanda. Kemudian
tahun 1863, adalah tahun yang bersejarah yaitu lahirnya Afdeling Negeri-negeri Turatea
setelah diturunkan oleh pemerintah Belanda dan keluarnya Laikang sebagai konfederasi
Binamu.
e. Tanggal 20 Mei 1946, adalah simbol patriotisme Raja Binamu (Mattewakkang Dg Raja)
yang meletakkan jabatan sebagai raja yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah
Belanda. Dengan Demikian penetapan Hari Jadi Jeneponto yang disepakati oleh pakar
pemerhati sejarah, peneliti, sesepuh dan tokoh masyarakat Jeneponto, dari seminar Hari jadi
Jeneponto yang berlangsung pada hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2002 di Gedung
Sipitangarri, dianggap sangat tepat, dan merupakan keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
            Sistem kebudayaan daerah kabupaten jeneponto adalah suatu daerah yang memiki ciri
khas tersendiri. Kabupaten jeneponto memiliki dua sistem kebudayaan yang dikenal dengan
adat istiadat yaitu karaeng dengan ata.

Dalam sistem kebudayaan karaeng di kabupaten jeneponto mulai dari nenek moyang
sampai sekarang masih berlaku adat istiadatnya. Karaeng adalah sebuah nama yang diberikan
kepada seseorang yang dianggap kuat dan terpercaya dalam masyarakat Kabupaten
Jeneponto.
Adat istiadat yang dimiliki oleh seorang karaeng sangat berbeda dengan orang-orang yang
bukan termasuk dalam kategori karaeng. Dari segi derajat kemanusiaan yang dipahami,
seorang karaeng adalah orang yang sangat dihargai dan dihormati oleh masyarakat karena
menganggap dirinya adalah orang yang paling tinggi derajatnya khususnya di daerah
jeneponto.

Pada zaman dahulu terbentuknya sistem karaeng di Jeneponto sangat berbeda dengan
sistem karaeng yang sekarang karena nilai-nilai karaeng yang sesungguhnya sudah mulai
luntur pada kalangan karaeng itu sendiri, bahkan sistem pemahaman karaeng yang sekarang
menjadi kesombongan oleh setiap karaeng. pada jaman dahulu seorang karaeng tidak
membiarkan anakanya menikah yang bukan keturunan karaeng atau sederajatnya.
Budaya yang lahir di Jeneponto ini adalah merupakan kekayaan budaya yang dimiliki oleh
masyarakat Jeneponto. Tetapi perbandingan sekarang sudah terlihat dan terbukti bahwa
kebanyakan dari golongan karaeng sudah tidak mengenal sistem karaeng yang sesungguhnya.

Ata adalah sekelompok masyarakat yang derajatnya sangat rendah dibandingkan


dengan karaeng yang tidak memiliki sifat khusus yang dimilki oleh seorang karaeng pada
khususnya. Dari segi adat istiadat yang dianut oleh seorang Ata sangat berbeda dengan
seorang karaeng, seperti halnya pada sistem perkawinan, kematian, dan acara-acara adat
lainnya. Dalam sistem pernikahan seorang Ata tidak pernah melakukan pernikahan kepada
seorang karaeng karena karaeng telah menganggap dirinya lebih tinggi derajatnya
dibandingkan dengan seorang Ata.

Namun pada perspektif sekarang ini yang nilai-nilai karaeng sudah mulai menurun maka bisa
saja terjadi proses pernikahan dengan seorang karaeng dengan Ata. Seorang Ata sering
dicacimaki oleh seorang karaeng kalau bermasalah dengan karaeng karena seorang karaeng
menganggap dirinya paling terhormat di daerah kabupaten jeneponto. Ata dengan Karaeng
sekarang ini sudah nampak dan terlihat dihati masyarakat dari segi perkawinanya dan bahkan
derajat seorang karaeng akan sejajar dengan karaeng yang dimiliki pada hakekatnya. Oleh
karena itu, Ata merupakan bagian dari seorang karaeng. Akhirnya Jeneponto dinamakan kota
daeng dan tanah kelahiran para karaeng. Dari sisi lain, meninggalnya baik seorang karaeng
maupu Ata primitif masyarakat jeneponto membawa sarung, uang dan lain-lain sebainya
karena sistem kepercayaan yang sudah berlaku sejak lahirnya nenek moyang kita jadi sifatnya
berlaku sampe sekarang. Kalau ada orang meninggal, hari pertama sampai hari ketiga
masyarakat  mengaji dan lanjut hari ketujunya sampai malam ta’ziahnya, pada saat satu
tahunya mereka mendoakannya lagi sambil membaca lagi Alqur’an dan kuburannya
ditembok atau diberikan suatu tanda dan dikenal lebih baik. Pada dasarnya masyarakat
Kabupaten Janepont, inilah tradisi-tradisi yang dimilikinya sampai sekarang masih berlaku
mulai dari segi kebudayaan, perkawinan, adat istiadat dan kematian.

Perkembangan arus globalisasi yang begitu pesat di Indonesia belakangan ini, banyak
memberi pengaruh terhadap aspek kehidupan bangsa, tidak terkecuali terhadap kehidupan
aspek kebudayaan. Banyak contoh kasus yang menunjukkan terjadinya pergeseran sikap dan
pola tingkah laku bangsa kita saat ini sebagai akibat dari arus globalisasi tersebut. Bagi
bangsa Indonesia, aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki
kekayaan nilai yang beragam, termasuk di dalamnya upacara adat dan kesenian. Oleh karena
itu perlu ditumbuhkan adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan
melestarikan keaslian kebudayaan tradisional bangsa kita, agar tidak terpengaruh oleh
kebudayaan yang berasal dari luar sebagai akibat dari globalisasi tersebut.

Seperti halnya upacara adat yang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia,
pun yang juga dapat terpengaruh dengan masuknya kebudayaan asing di negara kita. Upacara
adat je’ne- je’ne sappara merupakan upacara tradisional yang hingga kini “masih berfungsi
dan didukung oleh masyarakat, banyak mengandung hal-hal positif yang menunjukkan nilai
hidup dan makna kesusilaan” (Soeryawan, 1984: 1). Adapun nilai-nilai hidup dan makna
kesusilaan dari upacara adat ini terintegrasi dalam serangkaian ritual upacara adat tersebut
seperti ritual ammuntuli, appasempa, aklili, dan sebagainya. Upacara adat je’ne je’ne sappara
ini, adalah tradisi yang telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Upacara adat ini
awalnya dilaksanakan sesuai dengan keyakinan masyarakat yang menganutnya secara turun
temurun. Kegitan upacara adat je’ne je’ne sappara adalah sebagai ungkapan rasa syukur
masyarakat Desa Balangloe Tarowang atas segela limpahan rezqi dari Tuhan Yang Maha
Esa.

Upacara adat je’ne-je’ne sappara yang dilaksanakan di Desa Balangloe Tarowang,


dalam perkembangannya sekarang ini ternyata telah mengalami perubahan dan pergeseran .
Baik dari segi tampilan maupun tata cara pelaksanaan ritual-ritual yang dilaksanakan.
Sebagai contoh dari ritual –ritual yang mengalami perubahan ataupun pergeseran sejak
memesuki era tahun 1990-an hingga era tahun 2000-an, yaitu tradisi ammuntuli,
ammanyukang kanreangang dengkapada, palanja, attoeng hingga akbendi-bendi.

Terkait dengan upacara adat je’neje’ne sappara tersebut ada beberapa alasan penulis
memilih judul “Upacara Adat Je’ne Je’ne Sappara di Desa Balangloe Tarowang Kabupaten
Jeneponto “ (Studi Kajian Historis )” sebagai berikut : Pertama, upacara adat je’ne-je’ne
sappara yang saat ini menjadi salah satu ikon Kabupaten Jeneponto, perlu dijaga dan
dipertahankan keasliannya sesuai dengan awal mula terbentuknya budaya tersebut. Namun
tidak dapat dipungkiri realita saat ini, dimana adanya kecenderungan generasi muda lebih
tertarik dan memilih budaya barat ketimbang budaya asli bangsa mereka sendiri. Hal ini
tentunya menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan budaya asli bangsa kita, termasuk
keberadaan upacara adat je’ne-je’ne sappara yang ada di Desa Balanglor Tarowang. Kedua,
hingga saat ini sumber tertulis tentang upacara adat je’ne je’ne sappara di Desa Balangloe
Tarowang, Kecamatan Tarowang, Kabupaten Jeneponto masih sangat minim. Oleh karena itu
penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dan penulisan tentang upacara adat je’ne-
je’ne sappara tersebut. Ketiga jika melihat realita perkembangan pelaksanaan dari upacara
adat je’ne-je’ne sappara pada saat ini yang ditandai dengan terjadinya suatu perubahan
ataupun pergeseran dari pelaksanaan upacara adat je’ne-je’ne sappara ditambah dengan mulai
munculnya nilai-nilai materialistis yang mewarnai pelaksanaan upacara adat tersebut.

Pelaksanaan upacara adat je’ne-je’ne sappara dilaksanakan selama satu pekan,


ditambah dengan persiapan-persiapan upacara adat tersebut dan puncaknya dilaksanakan
pada tanggal 14 Safar tahun Hijriah. Upacara ini diikuti hampir seluruh warga masyarakat
Desa Balangloe Tarowang, bahkan warga desa yang telah hijrah ke daerah lain pun
senantiasa menyempatkan diri untuk hadir dalam upacara adat tersebut.

Upacara adat je’ne’-je’ne’ sappara, adalah merupakan sebuah upacara adat yang telah
berumur ratusan tahun dan telah diselenggarakan secara turun temurun oleh masyarakat Desa
Balngloe Tarowang. Upacara adat ini diselenggarakan setiap tanggal 14 Safar tahun Hijriah.
Dari hasil informasi yang didapatkan penulis di lapangan diperoleh keterangan bahwa
pelaksanan upacara adat je’ne-je’ne sappara ini dilatari oleh keinginan untuk mengenang
kejayaan Kerajaan Tarowang dan keinginan untuk mengenang jasa dari tabib yang dulu
pernah dimiliki Desa Balangloe Tarowang. Namun dari hasil penelitian mendalam yang
dilakukan penulis terhadap bukti-bukti sejarah yang menguak kisah tersebut, tidak ditemukan
adanya fakta-fakta yang valid dan akurat mengenai kebenaran latar belakang upacara adat
tersebut.

Upacara adat je’ne-je’ne sappara sebagai satu upacara adat sarat makna- makna
simbolik yang terdapat pada serangkaian ritual-ritual dari upacara adat ini. Seperti
ammuntuli, appasempa, a’lili, a’rururung kalompoang, dengkapada, parabbana, pangambusu,
pa’pui’, paolle, appabatte jangang, akraga, akje’ne-je’ne, dan ammanyukang kanrangang.
Makna- makna simbolik yang terdapat dalam rangkaian ritual dari upacara adat tersebut
adalah merupakan penggambaran dari kehidupan sosial masyarakat Desa Balangloe
Tarowang itu sendiri pada masa itu.

Upacara adat je’ne-je’ne sappara yang dilakukan oleh masyarakat Desa Balangloe
Tarowang, memiliki fungsi bagi masyarakatnya. Beberapa fungsi upacara adat je’ne-je’ne
sappara bagi masyarakat Desa Balangloe Tarowang, yakni berfungsi sebagai komunikasi
budaya, solidaritas sosial, religius, dan juga memiliki fungsi ekonomi bagi masyarakat
Balangloe Tarowang.

Keberadaan upacara adat je’ne-jene sappara sebagai salah satu ikon kebanggaan
masyarakat Desa Balangloe Tarowang pada perkembangannya di era globalisa yang begitu
pesatnya dewasa ini, mengalami pergeseran ataupun transformasi nilai-nilai budaya sebagai
akibat dari perkembangan IPTEK. Pergeseran ini ditandai dengan terjadinya transformasi
bentuk tampilan dari upacara adat tersebut, dan juga hilangnya atau berubahnya sejumlah
rangkaian ritual dari upacara adat je’ne-je’ne sappara tersebut.

B. Pengubahan Sikap Lingkungan Terhadap Lingkungan

Petani memiliki karakteristik yang beragam, karakteristik tersebut dapat berupa karakter
demografis, karakter sosial serta karakter kondisi ekonomi petani itu sendiri.Karakter-karakter
tersebut yang membedakan tipe perilaku petani pada situasi tertentu.Karakteristik yang diamati
dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, luas lahan garapan, pengalaman usahatani dan jumlah
tanggungan keluarga. Kabupaten Jeneponto termasuk salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan
yang termasuk daerah penghasil padi. Tidak hanya padi yang menjadi hasil dari sektor pertanian
tetapi juga jagung, ubi kayu, mangga, kelapa dan lain-lainnya.Selain sektor pertanian, Kabupaten
Jeneponto memiliki potensi lainnya, di antaranya adalah industri kecil atau rumahan (gula merah,
lammang, ballo’/tuak, ballo’ alling). Dari sebelas Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Jeneponto
terdapat empat kecamatan penghasil garam, antara lain Kecamatan Bangkala Barat, Kecamatan
Bangkala, Kecamatan Tamalatea, dan Kecamatan Arungkeke. Sebagian penduduk di desa Arungkeke
bekerja atau menggantungkan kehidupannya sebagai penambak garam. Garam merupakan salah
satu kebutuhan yang merupakan pelengkap dari kebutuhan pangan dan merupakan sumber
elektrolit bagi tubuh manusia.

Walaupun Indonesia termasuk negara kepulauan, usaha meningkatkan produksi garam belum
diminati, termasuk dalam usaha meningkatkan kualitas garam tersebut. Di lain pihak untuk
kebutuhan garam dengan kualitas baik (kandungan kalsium dan magnesium kurang) banyak diimpor
dari luar negeri, terutama dalam hal ini garam beryodium serta garam industri . Pada masyarakat
Arungkeke garam merupakan salah satu kemoditi yang cukup di perhitungkan.

Kesadaran lingkungan hidup para Paccelayya masih kurang memahami pentingnya lingkungan
disekitarnya salah satunya dapat dijadikan contoh kasus adalah terdapatnya limbah atau sampah
seperti pembuangan limbah garam , pembungkus plastik dibeberapa tambak garam, sampah dari
tempat penyimpanan hasil panen garam dari sudut pandang penulis bahwa masyarakat kurang
peduli terhadap lingkungannya yang dapat menyebabkan hasil garam kurang baik. Masalah yang
dihadapi petani adalah kualitas lahan dan fasilitas pendukung yang semakin menurun. Termasuk
kualitas lingkungan sekitar yang semakin buruk akibat pendangkalan di saluran-saluran air.

Kesadaran Lingkungan Hidup Kesadaran yaitu memberi dorongan setiap individu untuk memperoleh
kesadaran atau kepekaan terhadap ligkungan dan masalahnya. Lingkungan hidup adalah segala
sesuatu yang ada disekitar manusia atau makhluk hidup yang memiliki antara satu komponen
dengan komponen lainnya Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Kesadaran lingkungan hidup dalam menunjang kualitas hidup sangat diperlukan demi terciptanya
lingkungan hidup yang harmonis dan lestari lewat kesadaran adalah keadaan tergugahnya jiwa
terhadap sesuatu, dalam hal ini terhadap lingkungan lingkungan hidup dan terlihat pada perilaku
dan tindakan masing-masing individu ( 1996:32) Mengemukakan bahwa : “Kesadaran lingkungan
hidup merupakan syarat mutlak bagi pengembangan lingkungan secara efektif. Artinya tanpa adanya
kesadaran tentang lingkungan hidup bagi manusia maka tentu pengembangan lingkungan kearah
yang bermanfaat tidak akan tercapai.

Tingkat kesadaran para paccelayya dalam hal memahami lingkungan hidup masih rendah hal
tersebut dapat dikemukakan bahwa masih terdapat beberapa sampah plastik dan limbah garam, hal
tersebut kurangnya kerja sama antara masyarakat setempat dan beberapa paccelayya.
Upaya kelompok/individu untuk mengatasi limbah sampah untuk meningkatkan kualitas garam dan
pengawasan paccelayya. Kelompok pada dasarnya adalah upaya mengendalikan kinerja yang kurang
efektif baik dalam pengelolaanya maupun prosesnya, hal tersebut dapat meningkatkan kualitas
garam dengan pengawan yang cukup maksimal. Adapun upaya kelompok dalam menanggulangi
limbah dan sampah dalam meningkatkan kualitas garam dan pengawasan paccelayya dilingkungan
pallengu Kec. Bangkala Kab. Jeneponto. Yaitu: a. Memberikan peralatan dari segi mesin pompa air
sebanyak 2 buah. b. Mendata luas lahan tambak garan di lingkungan pallengu. c. Mendata hasil
garan tiap bulan. d. Disiplin dalam bekerja.

Dan bupati jeneponto juga sekarang menerepakan program gammara terhadap lingkungan Dan
Bupat i Jeneponto Iksan  Iskandar meminta juga agar guru di daerahnya menerapkan Program
Gammara di sekolah. Menurutnya, pendidikan pada hakekatnya untuk mendorong terjadinya
perubahan sikap dan prilaku individu.

Dalam hal ini anak didik, agar dapat menggapai cita cita dan tujuan hidupnya yang lebih baik dimasa
mendatang. Sebab dengan adanya perubahan sikap dan prilaku seseorang akan menuju kearah yang
lebih baik.

Inilah target pemerintah daerah saat ini yang tertuang dalam substansi Program Gammara sebagai
gerakan menuju masyarakat  Jeneponto  yang lebih ramah, baik terhadap lingkungan sosial maupun
lingkungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai