PS
NPM : 1302191665
Kelas : 1-13
Sejarah
Pertama November 1863 , adalah tahun berpisahnya antara Bangkala dan Binamu dengan
Laikang. Ini membuktikan jiwa patriotisme Turatea melakukan perlawanan yang sangat gigih
terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Tanggal 29 Mei 1929 adalah pengangkatan Raja
Binamu . Tahun itu mulai diangkat “Todo ” sebagai lembaga adat yang refresentatif
mewakili masyarakat. Tanggal 1 Mei 1959, adalah berdasarkan Undang -undang No . 29
Tahun 1959 menetapkan terbentuknya Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan, dan
terpisahnya Takalar dari Jeneponto. Sulawesi Selatan, dan terpisahnya Takalar dari
Jeneponto.
Kedua Tanggal 1 Mei 1863, adalah bulan dimana Jeneponto menjalani masa-masa yang
sangat penting yaitu dilantiknya Karaeng Binamu , yang diangkat secara demokratis oleh
“Toddo Appaka ” sebagai lembaga representatif masyarakat Turatea. Mundurnya Karaeng
Binamu dari tahta sebagi wujud perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda
Lahirnya Undang Undang No. 29 Tahun 1959 Diangkatnya kembali raja Binamu setelah
berhasil melawan penjajah Belanda. Kemudian tahun 1863, adalah tahun yang bersejarah
yaitu lahirnya Afdeling Negeri- negeri Turatea setelah diturunkan oleh pemerintah Belanda
dan keluarnya Laikang sebagai konfederasi Binamu. Tanggal 20 Mei 1946, adalah simbol
patriotisme Raja Binamu (Mattewakkang Dg Raja) yang meletakkan jabatan sebagai raja
yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda . Dengan Demikian penetapan
Hari Jadi Jeneponto yang disepakati oleh pakar pemerhati sejarah, peneliti, sesepuh dan
tokoh masyarakat Jeneponto, dari seminar Hari jadi Jeneponto yang berlangsung pada hari
Rabu, tanggal 21 Agustus 2002 di Gedung Sipitangarri , dianggap sangat tepat, dan
merupakan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan
Kebudayaan
Sistem kebudayaan daerah kabupaten jeneponto adalah suatu daerah yang memiki
ciri khas tersendiri. Kabupaten jeneponto memiliki dua sistem kebudayaan yang dikenal
dengan adat istiadat yaitu karaeng dengan ata.
Dalam sistem kebudayaan karaeng di kabupaten jeneponto mulai dari nenek moyang
sampai sekarang masih berlaku adat istiadatnya. Karaeng adalah sebuah nama yang
diberikan kepada seseorang yang dianggap kuat dan terpercaya dalam masyarakat
Kabupaten Jeneponto. Adat istiadat yang dimiliki oleh seorang karaeng sangat berbeda
dengan orang-orang yang bukan termasuk dalam kategori karaeng. Dari segi derajat
kemanusiaan yang dipahami, seorang karaeng adalah orang yang sangat dihargai dan
dihormati oleh masyarakat karena menganggap dirinya adalah orang yang paling tinggi
derajatnya khususnya di daerah jeneponto.
Namun pada perspektif sekarang ini yang nilai-nilai karaeng sudah mulai menurun
maka bisa saja terjadi proses pernikahan dengan seorang karaeng dengan Ata. Seorang Ata
sering dicacimaki oleh seorang karaeng kalau bermasalah dengan karaeng karena seorang
karaeng menganggap dirinya paling terhormat di daerah kabupaten jeneponto. Ata dengan
Karaeng sekarang ini sudah nampak dan terlihat dihati masyarakat dari segi perkawinanya
dan bahkan derajat seorang karaeng akan sejajar dengan karaeng yang dimiliki pada
hakekatnya. Oleh karena itu, Ata merupakan bagian dari seorang karaeng. Akhirnya
Jeneponto dinamakan kota daeng dan tanah kelahiran para karaeng. Dari sisi lain,
meninggalnya baik seorang karaeng maupu Ata primitif masyarakat jeneponto membawa
sarung, uang dan lain-lain sebainya karena sistem kepercayaan yang sudah berlaku sejak
lahirnya nenek moyang kita jadi sifatnya berlaku sampe sekarang. Kalau ada orang
meninggal, hari pertama sampai hari ketiga masyarakat mengaji dan lanjut hari ketujunya
sampai malam ta’ziahnya, pada saat satu tahunya mereka mendoakannya lagi sambil
membaca lagi Alqur’an dan kuburannya ditembok atau diberikan suatu tanda dan dikenal
lebih baik. Pada dasarnya masyarakat Kabupaten Janeponto, inilah tradisi-tradisi yang
dimilikinya sampai sekarang masih berlaku mulai dari segi kebudayaan, perkawinan, adat
istiadat dan kematian,
Salah satu ikon Kabupaten Jeneponto yang paling popular dan menjadi ciri khasnya
adalah Kuda, karena Sejak jaman dulu dan hingga saat ini, kuda dari Jeneponto memang
terkenal dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Hal ini dipastikan dengan adanya ikon
patung kuda berukuran besar yang menjadi simbol, berdiri tepat di pusat kabupaten
Jeneponto, yakni di Bontosunggu. Sejak dari gerbang masuk hingga batas akhir wilayahnya,
hanya ternak kuda yang terlihat disepanjang perjalanan.
Hidangan coto dan sop konro daging kuda digolongkan sebagai hidangan yang
memiliki latarbelakang seni ketatabogaan yang sangat tinggi, kendati tergolong sebagai
makanan rakyat pada umumnya. Terdapat mitos yang diyakini masyarakat jeneponto bahwa
mengkonsumsi daging kuda akan menguatkan stamina tubuh dan diyakini pula bahwa
daging kuda banyak mengandung zat anti tetanus meski hal itu belum terbukti secara medis.
Salah satu masakan khas tradisional daging kuda jeneponto adalah Gantala’ Jarang.
Ini kuliner andalan masyarakat Jeneponto sejak dulu. Makanan khas ini terdiri dari potongan
daging dan tulang kuda yang direbus dalam waktu yang lama dengan campuran garam kasar
kemudian diberi bumbu dari akar kayu khusus. Meski tidak diolah dengan campuran bumbu
yang komplit, Gantala’ Jarang punya rasa dan aroma khas.
Gantala Jarang inilah salah satu menu wajib dalam berbagai hajatan, misalnya pesta
perkawinan. Bagi masyarakat jeneponto, suatu kehormatan menyuguhkan hidangan
Gantala Jarang bagi para tamu. Generasi tua di Jeneponto selalu mencari hidangan ini pada
setiap hajatan, sebab kuahnya yang khas tidak terlalu kental dan mudah menikmati
dagingnya karena direbus dalam waktu yang lama.
Masakan khas berbahan daging kuda lainnya yaitu Kawatu. Masakan ini berupa
potongan-potongan daging kuda yang diolah berupa semur. Kuahnya yang coklat kehitaman
dan sudah meresap ke daging menjadikan daging empuk dan terasa manis.
Populasi Kuda di Jeneponto pada tahun 2013 saja diperkirakan 25.227 ekor yang
menjadikan daerah ini menjadi penghasil daging kuda terbesar di Propinsi Sulawesi Selatan.
Produksi daging kuda mencapai 46,4 ton. Kuda di Jeneponto kini sudah mencapai harga
dengan kisaran 2,5-5 juta per ekor, itu pun tergantung postur tubuh dan kondisi fisiknya.
Selain dari Jeneponto sendiri, kuda-kuda yang dipelihara warga saat ini banyak didatangkan
dari Flores, dan daerah lainnya di Sulawesi, seperti dari Pinrang, Gorontalo, dan Sulawesi
Utara.