Anda di halaman 1dari 7

HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Masyarakat Angkola Menyembelih Kerbau Pada


Upacara Kematian
Pada dasarnya, masalah adat dan budaya tidak bisa lepas dari
kehidupan manusia di dunia ini. Begitu juga dengan bangsa Indonesia,
masyarakatnya sangat dikenal dengan adat dan budayanya. Jika kita
perhatikan adat dan budaya yang berlaku pada masyarakat Indonesia, kita
akan mengetahui bahwa jenisnya sangat beragam. Akan tetapi, tidak semua
budaya tersebut dikenal oleh masyarakat Indonesia, hanya beberapa budaya
saja yang populer di kalangan mayoritas penduduk Indonesia.
Suku Angkola atau batak Angkola adalah salah satu suku yang
terbesar di wilayah Angkola Tapanuli Selatan. Suku ini berdiam dan tersebar
di seluruh wilayah kabupaten Tapanuli Selatan dan daerah kota
Padangsidimpuan, provinsi Sumatera Utara. Angkola adalah suatu kelompok
masyarakat dari etnis Batak yang menduduki wilayah Angkola sejak berabad-
abad yang lalu. Nama Angkola diyakini berasal dari nama sebuah sungai
“Batang Angkola” yang berada di daerah Angkola Tapanuli Selatan. Dari
cerita rakyat Angkola, bahwa sungai ini diberi nama oleh Rajendra Kola
(Chola) II penguasa kerajaan Chola (1014-1044 33M) yang berasal dari India
Selatan yang memasuki Angkola melalui daerah Padang Lawas. Setiap suku
memiliki adat dan kebudayaan masing-masing, tidak terkecuali pada
masyarakat suku Angkola. Masyarakat suku Angkola memiliki adat dan
kebudayaan tersendiri. Ch. Sutan (2012) mengatakan bahwa masyarakat
Angkola memiliki berbagai macam seni budaya yang diwariskan oleh Nenek
Moyang terdahulu, sebagai mana dikemukakannya bahwa : “ Berbagai
macam seni yang dapat kita warisi sampai sekarang ini :
a. Seni suara yang disebut ende
b. Seni tari yang disebut tortor
c. Seni musik yang disebut gondang
d. Seni ukir, lukis, pahat yang disebut gorga (seni rupa)
e. Seni Sastra Bahasa yang disebut hata hapantunon
f. Seni Olahraga yang disebut uti-utian
g. Seni Bela diri yang disebut partahanan”.
Selain beberapa macam seni budaya diatas, suku Angkola juga dikenal
memiliki banyak upacara adat. Salah satu upacara adat suku Angkola adalah
Upacara Godang mangkoyok Horbo di siluluton yang artinya upacara dalam
rangka acara duka cita.
Berdasarkan hasil wawancara dengan H. Sutan Malim Naposo
Harahap (Raja Luata Angkola Julu) pada Rabu 9 Juni 2021 Pukul 19.00-
21.00 yang melatar belakangi masyarakat Angkola menyembelih kerbau di
zaman dahulu, pertama, cerita dari nenek moyang kita saat itu agama belum
ada, ketika orang meninggal, jasadnya tidak dikuburkan, melainkan
dagingnya dimakan bersama orang satu kampung, tiba masanya keluarga
“pembesar kampung” di istilahkan dengan raja, salah satu anggota keluarga
raja meninggal, kemudian masyarakat menuntut mayat yang meninggal
tersebut untuk dimakan dagingnya, kemudian sang raja tidak mengizinkan
anggota keluarganya untuk dikonsumsi/ dimakan oleh masyarakat. Tetapi
sang raja mengganti dengan daging lembu, namun di saat lembu mau
disembelih, lembunya kabur melarikan diri. Kemudian di dapati lah kerbau,
sehingga dari sinilah kerbau dijadikan dalam upacara kematian oleh
masyarakat. Kedua, yaitu mengingat sejarah yang telah lalu dikenal dengan
istilah “mabang kalihi tinggal tukko” yang artinya ketika seorang ayah
meninggal dunia, nama ayah yang meninggal dunia tersebut akan melekat
kepada cucu pertama dari anaknya (cucu laki-laki). Istilah ini bila upacara
adat tersebut dilaksanakan ketika seorang ayah dalam sebuah keluarga
meninggal dunia. Demikian juga sebaliknya, bila upacara tersebut tidak
dilaksankan, maka yang akan terjadi yaitu, nama orang tuanya tidak akan
melekat kepada anak pertamanya, demikian pula jika suatu hari anaknya
(cucu dari yang meninggal) bila ingin mengadakan pesta adat siriyaon yang
maknanya pesta pernikahan, maka dia tidak bisa melaksanakan upacara
tersebut, tetapi dengan syarat harus menyediakan dua kerbau untuk
disembelih sebagai persembahan adat kepada Raja-Raja yang ada di suatu
daerah tersebut, yang mana kerbau pertama, untuk balik nama (atas telah
meninggalnya neneknya) beberapa tahun silam, dan yang kedua yaitu untuk
persembahan atas pesta pernikahan yang digelar, demikian juga seterusnya
turun-temurun.
Disamping faktor sejarah dan pemberian nama kepada cucu pertama
bagi orang tua yang telah meninggal, hai ini juga sejalan dengan hasil
wawancara dengan Raja Hutaimbaru pada Minggu 13 Juni 2021 pada pukul
18. 30- 21. 00 Raja Luat Hutaimbaru mengatakan konon pada zaman dahulu
di daerah adat Tapanuli Selatan, Khususnya Angkola, sebelum agama Islam
datang ke daerah Tapanuli Selatan bila pembesar kampung “Raja” meninggal,
maka masyarakatnya akan menyembelih Raja yang telah mati tersebut
kemudian memakan dagingnya lalu kepala si Raja tersebut di buat di suatu
tempat terkhusus karena kepercayaan masyarakat Angkola pada zaman
dahulu memakan daging Raja adalah suatu kemuliaan dan membawa rezeki.
Kemudian setelah Islam datang, maka daging manusia diganti menjadi daging
kerbau.
Demikian juga hasil wawancara dengan Raja Luat Bintuju (Raja
Pamususuk Harahap) Pada Jum’at 11 Juni 2021 Pukul 14.00-14.30, faktor
utama masyarakat Angkola menyembelih kerbau dalam upacara siluluton
yaitu “sipoukkouta” yang artinya orang yang pertama tinggal di sebuah desa
atau diistilahkan dengan Raja. Karena keluarga Raja lah yang pertama kali
membuat acara penyembelihan kerbau pada upacara kematian atau siluluton.
Sehingga sampai sekarang masyarakat tetap mengikuti upacara
penyembelihan kerbau sampai sekarang.
Demikian juga halnya dengan hasil wawancara dengan Tongku Raja
Parlaungan pada Sabtu 12 Juni 2021 pukul 06.30- 08.00, kenapa kerbau yang
dipilih dan apa yang melatarbelakanginya, karena kerbau merupakan adat
nagodang yang berarti adat yang besar, Karena menurut beliau adat ada 3
macam, adat kecil di istilahkan dengan ayam, adat menengah diistilahkan
dengan kambing, kemudian adat yang besar maka ia diditilahkan dengan
kerbau. Menurut beliau, adat nagodang berartui termasuk di dalamnya adat
penyembelihan kerbau dalam acara siluluton atau kematian, dimana makna
yang terkandung di dalamnya yaitu paroban goarna, yang mana orang tua
yang meninggal tadi bila dilaksanakan upacara nya bermakna meninggalkan
namanya untuk cucunya kelak, sampai turun-temurun.

Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, yang ,elatar


belakangi upacara penyembelihan kerbau pada acara kematian yaitu, secara
sejarah, kemudian mengembalikan nama supaya turun-temurun ke anak cucu.

B. Ritual Penyembelihan Kerbau di Masyarakat Angkola Pada Upacara


Kematian
Pada masa abad ini, selain dari pelaksanaan fardu kifayah terhadap
jasad yang telah meninggal. Masyarakat Angkola juga melaksanakan upacara
penyembelihan kerbau, masyarakat Angkola mempercayai pada upacara ini
merupakan penghormatanyang terakhir kepada sang ayah yang telah
meninggal dunia.
Pada ritual penyembelihan kerbau ini kita bagi menjadi beberapa
tahapan. Yaitu:
1. Tahapan Mufakat
Setelah sang ayah kepala keluarga meninggal, maka hal yang
pertama diumumkan kepada masyarakat. Kemudian anggota keluarga juga
merundingkan apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan, apakah mayat
yang meninggal tersebut di buat upacara adat / upacara menyembelih
kerbau atau tidak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Pamusuk Harahap,
misalkan anggota keluarga (ayah) meninggal di sore hari, akan
dimakamkan keesokan harinya. maka hal yang pertama setelah diumumkan
kepada masyarakat. Kemudian sehabis shalat isya biasanya diadakan
arpokat dalam artian musyawarah antara kerabat, raja pamusuk (raja yang
ada di sebuah desa tersebut), hatobangon (orang yang dituakan/disegani di
kampung tersebut), alim ulama, serta pemerintahan.
Setelah dimufakatkan bersama dan telah didapati keputusan bahwa
upacara memotong kerbau tersebut disanggupi oleh ahli bait dan kerabat
ahli bait, maka keesokan harinya juga akan disembelih lah kerbau yang
dimaksud. Kemudian kisaran harga kerbaunya juga beragam, mulai dari
sepuluh juta, hingga mencapai dua puluh juta, tergantung besarnya kerbau
yang akan di sembelih.
Demikian juga sebaliknya, apabila di dalam mufakat tersebut ahli
bait tidak sanggup untuk melaksanakan pemotongan kerbau, semisal masih
banyak anak yatim yang akan ditanggung oleh ahli bait atau berasal dari
kalangan menengah ke bawah, maka Raja Pamusuk berhak untuk
memutuskan sebaiknya penyembelihan tersebut jangan dilakukan jika
memberatkan si ahli baitnya.
Kemudian juga hasil wawancara dengan Tongku Raja Parlaungan,
beluau mengatakan apabila memang si ahli bait tidak bisa menyanggupi
pada sat itu, maka itu juga bisa dilakukan setelah pemakaman selesai,
semisal dia memiliki rezeki setahun ke depannya, 5 tahun kedepan nya,
bahkan 10 tahun ke depannya juga bisa dilaksanakan.
Hal tersebut juga di dukung oleh pendapat dari Raja Luat
Pijorkoling yang menyatakan, bila disaat itu ahli bait belum bisa
menyanggupi untuk penye,belihan kerhau tersebut, maka bisa dilakukan di
hari ke 40, ke-100, bahkan 2 tahun stelahnya. Sesuai dengan kemampuan
ekonomi si ahli bait juga.

2. Tahapan acara adat/ Persidangan


Setelah didapati keputusan, bahwasanya ahli bait menyanggupi
nya, maka kerbau tersebut dibeli ke tempat yang biasanya menjual kerbau
untuk adat. Kemudian sembari fardu kifayah dilaksankan, maka
dipotonglah kerbau atas nama orang tua yang meninggal tersebut dengan
dihadiri oleh, Raja-Raja Luat (daerah sekitar), misal kejadiannya di
sekitaran Padangsidimpuan, maka yang wajib diundang Raja Luatnya ada 7
yakni Raja Luat Pijorkoling, Luat Mompang, Luat Batu Nadua, Luat
Losung Batu, Luat Hutaimbaru, Luat Sabungan Julu, serta Luat Siharang
Karang. 1
Kemudian, diundang juga alim ulama, orang kaya, serta
pemerintahan di daerah setempat. Yang mana pada acara tersebut, kerbau
yang telah disembelih sebagian dimasak gunanya untuk dimakan bersama
beserta tamu yang sudah datang berziarah dari jauh, kemudian sebagiannya
lagi dibagi menjadi 7 bagian yang mana 1kg perbagian yang akan
didapatkan oleh Raja tersebut untuk dibawa ke rumah masing-masing.
Setelah daging tersebut dimasak, maka sampailah ke acara yang
dimaksud dimana acara upacara, dimana kepala kerbau yang telah
disembelih disidangkan oleh raja- raja tersebut dengan posisi kepala kerbau
tersebut lebih tinggi (diletakkan di atas bamboo ataupun meja). Tujuan dari
persidangan tersebut yaitu dengan mengembalikan nama atau dengan
istilah yang tadi disebutkan mabang kalihi tinggal tukko-tukko yang
artinya, meskipun almarhum telah meninggal namnya akan tetap melekat
pada cucunya, demikian juga ke genarsi selanjutnya.
Kemudian apabila misalnya Luat Pijorkoling yang mengadadak
upacara tersebut, maka Raja Luat Pijorkoling tidak bisa memimpin
persidangan akan tetapi Raja tersebut harus memilih raja luat yang lain
untuk memimpin acara persidangan, karena di darehnya yang mengalami
duka.

C. Tujuan Masyarakat Angkola Menyembelih Kerbau Pada Upacara


kematian
Diantara tujuan masyarakat angkola menyembelih kerbau pada upaca
kematian yaitu:

1
Raja Pamusuk Harahap
1. Mengembalikan nama, yang dinamakan dengan istilah mabang kalihi
tinggal tukko-tukko yang mana artinya, biarpun almarhum telah
meninggal, tetapi nama nya aka tetap melekat ke pada cucunya, demikian
selanjutnya turun-temurun bila adat tersebut selama masih dilanjutkan
2. Sebagai penghormatan kepada orang tua, karena orang tua telah bersusah
payah membesarkan dan merawat anaknya. Di sinilah penghargaan
terakhir mereka kepada orang tua mereka atas apa yang telah dilakukan
oleh orang tua mereka. .2
3. Bersedekah kepada masyarakat setempat dan tamu yang telah datang
untuk berziarah dan mendo’akan almarhum.
4. Mempertahankan adat budaya, karena tradisi ini telah dilakukan oleh
nenek moyang terdahulu, maka harus dipertahankan.3

2
Raja Pamusuk Harahap
3
Bapak Rudi Ritonga

Anda mungkin juga menyukai