Anda di halaman 1dari 2

Asal Mula Upacara Kematian Gaja Lumpat

Upacara Kematian

Acara penguburan dengan penghormatan terakhir yang setinggi-tingginya


dalam adat Angkola harus menyembelih kerbau. Ada persyaratan yang harus
dipenuhi dalam upacara kematian tersebut, yaitu :

1. Orang tua yang sudah memiliki cucu dan cicit.


2. Semua anaknya sudah menikah.
3. Rajin bermasyarakat, baik pada acara sukacita maupun dukacita.

Pertanyaannya, apabila ada persyaratan yang tidak terpenuhi, bolehkah


seseorang itu dikuburkan menggunakan adat yang besar dalam adat Angkola?
Boleh saja, setidaknya ada satu unsur yang terpenuhi. Inilah yang dimaksud
dengan ujaran “adat itu kasih, hukum itu adil”.

Dalam pelaksanaan, adat ini harus dimusyawarahkan dengan saudara-


saudaranya, tua-tua kampung, dan penghulu.

Keinginan dari pihak yang kemalangan akan diterima warga kampung


beserta tua-tua dan penghulu apabila syarat-syarat di atas terpenuhi berdasarkan
adat dan hukum yang berlaku. Namun, meskipun semua syarat terpenuhi, jika
pendahulunya—ayah atau kakek—belum dikuburkan dengan adat yang besar,
maka upacara adat tersebut tidak bisa dilaksanakan kepada mendiang. Adat
tersebut bisa terlaksana ketika segala hutang pendahulunya tersebut dilunasi
dengan cara membayar adat.

Terdapat tiga tingkatan cara penguburan di dalam adat Angkola, yakni :

1. Kendaraannya roto gobak, diikuti dengan peti hombung manolon.


2. Kendaraannya roto payung, diikuti dengan peti hombung rapotan.
3. Kendaraannya roto gaja lumpat diikuti dengan peti hombung rapotan.

Adapun sejarah horja siluluton gaja lumpat dimulai di lembah Sibual-buali di


daerah keturunan Ompung Paltiraja Siregar, yang sering disebut serumah, tiga
atap.

Atap yang pertama yaitu keturunan dari anak yang pertama, Ompu Sayur
Matua, yang menguasai daerah Parau Sorat. Atap yang kedua adalah keturunan
dari Ompu Parlindungan yang menguasai wilayah Baringin. Atap yang ketiga,
keturunan Ompu Hatunggal yang menguasai wilayah Sipirok Godang.
Kehidupan masyarakat di lembah Sibual-buali sangat makmur, karena
masyarakat rajin bekerja dan taat beragama. Pada zaman itu, agar tanaman dan
segala ternak yang diusahaka masyarakat menjadi subur dan baik, maka harus
ada persembahan kepada dewa Mula Jadi Nabolon, yaitu seorang pemuda yang
kuat dan tangkas. Persembahan tersebut dipersembahkan di bukit persembahan
—Kantor Camat Sipirok saat ini.

Setelah ditentukan oleh para pemimpin spiritual, pemuda yang


dipersembahkan untuk dibunuh dan dijadikan persembahan setelah beliau wafat
dan dinaikkanlah ke atas gajah.

Setelah itu, gajah diarak mengelilingi lembah Sibual-buali. Mulai dari Sipirok
Godang, Baringin, Parau Sorat, Saba Tolang, Hasang, Bungabondar, menyeberang
I sungai Aek Sagala menuju Lobu Hasona di Paran Julu, dan kembali lagi ke Sipirok
Godang.

Ramai manusia yang mengarak gajah tersebut. Acara tersebut diiringi


gendang, gong, serta suling. Ada beberapa orang yang mengganggu jalannya
gajah tersebut dengan menggunakan tombak agar jalannya gajah tersebut
menjadi oleng dan melompat-lompat. Orang-orang pada masa itu percaya, bahwa
saat gajah sudah melompat-lompat, maka roh dari pemuda yang mereka
persembahkan akan kebingungan, sehingga tidak akan dapat kembali lagi ke
tubuhnya. Setelah rombongan tiba kembali di Sipirok Godang, di sanalah
diadakan pesta besar.

Pada masa kini, ketika masyarakat di lembah Sibual-buali telah mengenal


agama Samawi, tidak lagi diadakan mempersembahkan manusia kepada dewa.
Tetapi, hal tersebut menjadi peringatan untuk upacara kematian dengan
penghormatan yang setinggi-tingginya dalam masyarakat adat Angkola-Sipirok.
Pada masa kini dibuatlah menyerupai gajah dari bahan kayu dan bambu, serta
rodanya dibuat dari batang kelapa dengan tujuan agar jalan dari roto gaja lumpat
tersebut oleng dan melompat-lompat.

Demikianlah legenda yang diceritakan pada kami, yalni asal mula upacara
kematian gaja lumpat.

Anda mungkin juga menyukai