Anda di halaman 1dari 6

1.

Rambu Solo, Tana Toraja


Natasya Dwiyustiani 1710711053
TANA Toraja merupakan salah satu daya tarik wisata paling populer di Provinsi
Sulawesi Selatan. Di sini Anda menikmati kebudayaan khas Suku Toraja yang mendiami
daerah pegunungan dengan budaya khas Austronesia asli. Cicipilah nuansa lain kebudayaan
yang unik dan berbeda, mulai dari rumah adat Tongkonan, upacara pemakaman Rambu Solo,
Pekuburan Gua Londa, Pekuburan Batu Lemo, atau Pekuburan Bayi Kambira.
Menurut mitos yang diceritakan dari generasi ke generasi, nenek moyang asli orang
Toraja turun langsung dari surga dengan cara menggunakan tangga, di mana tangga ini
berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (satu-satunya Tuhan).
Nama Toraja pertama kali diberikan oleh Suku Bugis Sidenreng yang menyebut
penduduk yang tinggal di daerah ini sebagai "Riaja" (orang yang mendiami daerah
pegunungan). Sementara rakyat Luwu menyebut mereka, "Riajang" (orang-orang yang
mendiami daerah barat).
Masyarakat Toraja menganut "aluk" atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan,
dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya. Meskipun saat ini
mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi
tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dipraktikkan.
Masyarakat Toraja membuat pemisahan yang jelas antara upacara dan ritual yang
terkait dengan kehidupan dan kematian. Hal ini karena ritual-ritual tersebut terkait dengan
musim tanam dan panen.
Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer yaitu Rambu Solo dan
Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah
upacara atas rumah adat yang baru direnovasi.Khusus Rambu Solo, masyarakat Toraja
percaya tanpa upacara penguburan ini maka arwah orang yang meninggal tersebut akan
memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Orang yang meninggal
hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti
masih hidup dengan menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian
lainnya.
a. Pengertian Rambu Solo
Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk
menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia kembali kepada keabadian bersama para
leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan. Ritual ini memakan biaya yang tidak sedikit.
Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Karena orang yang
meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi.
Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau
lemah. Sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di
tempat tidur dan diberi makanan dan minuman bahkan selalu diajak berbicara.
Dalam upacara pemakaman ini terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan.
Seperti adu kerbau, penyembelihan kerbau, dan beberapa tarian khas Toraja.
Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat
serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan.
Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan
disimpan di rumah leluhur atau tongkonan.
Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Saat
itu orang Toraja yang merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta
dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan
wisatawan mancanegara.
Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip semakin
tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.
Bagi kalangan bangsawan yang meninggal maka mereka memotong kerbau yang
jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro Tedong). Satu di antaranya
bahkan kerbau belang yang terkenal mahal harganya. Upacara pemotongan ini merupakan
salah satu atraksi yang khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau tersebut menggunakan
sebilah parang dalam sekali ayunan. Kerbau pun langsung terkapar beberapa saat kemudian.
b. Rambu Simbol-Simbol dalam Solo

Pelaksanaan Rambu Solo juga identik dengan penyembelihan kerbau dan babi. Tetapi
yang paling ditonjolkan dalam upacara tersebut adalah penyembelihan kerbau. Kerbau
merupakan hal utama yang harus ada dalam upacara ini. Masyarakat Toraja beranggapan
bahwa kerbau adalah kendaraan yang ditunggangi arwah si mati untuk mengantarnya ke
surga. Kerbau yang disembelih berkisar puluhan ekor bahkan jumlah itu bisa mencapai
ratusan berdasarkan strata sosialnya. Jenis kerbau yang disembelih adalah kerbau
biasa/kerbau hitam, kerbau balian (kerbau aduan), dan kerbau belang (kerbau Bonga).
c. Prosesi Upacara Rambu Solo

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya
mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’ maka
orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’, maka
orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih
hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal
yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

Jika keluarga si mati itu belum mampu melaksanakan upacara Rambu Solo, jenazah
itu akan disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja) sampai pihak keluarga mampu
menyediakan hewan kurban untuk melaksanakan upacara tersebut. Penyimpanan jenazah itu
bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Setelah pihak keluarga mampu menyediakan hewan kurban tersebut, barulah Rambu
Solo dilaksanakan. Jenazah dipindahkan dari rumah duka ke tongkonan tammuon (tongkonan
pertama tempat dia berasal). Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban
atau dalam bahasa Torajanya Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang
Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan
disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu,
kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.
Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu
keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi,
yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang
pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-
orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.

Setelah disimpan satu hari, jenazah dipindahkan ke tongkonan yang lebih tinggi, yaitu
tongkonan barebatu. Prosesinya juga sama saat jenazah itu dipindahkan ke tongkonan
tammuon., yaitu penyembelihan kerbau dan pembagian dagingnya kepada orang-orang yang
berada di sekitar tongkonan tersebut.

Seluruh prosesi acara Rambu Solo’ selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar
pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan barebatu, karena
hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan
tempat acara berlangsung).

Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba


terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah,
dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).

Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah
kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut.
Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-
lamba.

Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama
kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu
(atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada
barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.

Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi


berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan
kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para
sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak
kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh
keluarga yang sedang berduka.

Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di


lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu
merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien
sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di
atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan
ditebas.

Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu
sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan
tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang
datang, dengan mempertontonkan ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya
para penonton, karena selama upacara Rambu Solo’, adu hewan pemamah biak ini
merupakan acara yang ditunggu-tunggu.

Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda
acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di
tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan
adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga
sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane’
(kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).

d. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Rambu Solo

Upacara Rambu Solo memiliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat, di


antaranya adalah gotong royong dan tolong-menolong. Meskipun terlihat sebagai
pemborosan karena mencari harta untuk dihabiskan dalam suatu kematian, unsur gotong
royong yang terlihat sangatlah jelas, contohnya dalam hal penyediaan kerbau. Suatu keluarga
yang dirundung duka (yang ditinggal mati) mendapat sumbangan kerbau, babi, atau uang dari
sanak keluarganya untuk melangsungkan Rambu Solo.
Unsur tolong-menolong pun juga berperan dalam pelaksanaan Rambu Solo. Upacara
ini dilakukan oleh siapa pun yang mampu. Biasanya, ada juga pembagian daging kerbau
kepada orang-orang yang tidak mampu. Hal ini menyebabkan adanya pengurangan
kesenjangan sosial.
Selain dua nilai di atas, nilai religi juga tampak dari upacara Rambu Solo. Masyarakat
Toraja memaknai kematian sebagai suatu hal tak ditakuti karena mereka percaya bahwa ada
kehidupan setelah kematian. Bagi mereka, kematian adalah bagian dari ritme kehidupan yang
wajib dijalani. Walau boleh ditangisi, kematian juga menjadi kegembiraan yang membawa
manusia kembali menuju surga, asal-muasal leluhur. Dengan kata lain, mereka percaya
adanya kehidupan setelah kematian

Dalam upacara kematian Rambu Solo, kesedihan tidak terlau tergambar di wajah-
wajah keluarga yang berduka, sebab mereka punya waktu yang cukup untuk mengucapkan
selamat jalan kepada si mati, sebab jenazah yang telah mati biasanya disimpan dalam rumah
adat ( tongkonan ), disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud dari jenazah disimpan
ada beberapa alasan, pertama adalah menunggu sampai keluarga bisa atau mampu untuk
melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, kedua adalah menunggu sampai anak-anak
dari si mati datang semua untuk siap menghadiri pesta kematian ini. Karena mereka
menganggap bahwa orang yang telah mati namun belum diupacarakan tradisi Rambu Solo ini
dianggap belum mati dan dikatakan hanya sakit, karena statusnya masih “ sakit “. Orang yang
sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup.

Anda mungkin juga menyukai