Anda di halaman 1dari 11

BERBAGAI ADAT ISTIADAT DI NUSANTARA

Adat RAMBU SOLO TANA TORAJA (Sulawesi Selatan)


Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya
mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin
mahal. Upacara kematian ini disebut Rambu Solo.
Rambu Solo merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu
berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari
mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua
minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian
bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu,
sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat
jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana (Gambar 1.)

Gambar
1.

Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang
besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung
selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan
pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai
tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka
cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak,
orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang
ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja
percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah
proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu,
jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan (Gambar 2.)

Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu
arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Gambar
2.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau (Gambar 3). Semakin berkuasa
seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan
perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan
kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para
pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut
diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga
almarhum.

Gambar
3.

Sumber :
https://corlena.wordpress.com/village-kampong/londa-tana-toraja/
http://diasporaiqbal.blogspot.com/2013/01/tana-toraja-bagian-2-rambu-solo-yang.html

http://bintangyangpalingterang.blogspot.com/2014/02/upacara-adat-rambu-solo.html
http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/07/di-balik-upacara-rambu-solo%E2%80%99tana-toraja-338387.html

Adat PASOLA (Nusa Tenggara Barat)


Tradisi perang-perangan dengan menunggang kuda sambil menyerang lawan dengan
lembing ini bisa kita saksikan dengan mengunjungi Pulau Sumba di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tradisi ini disebut dengan nama Pasola (Gambar 1). Nama Pasola berasal dari kata "sola" atau
"hola", yang berarti lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar. Acara melempar lembing
kayu ini dilakukan para pemuda desa di Sumba dari atas kuda yang sedang dipacu kencang yang
berlawanan arah. Permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda
ini merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional, yang dilakukan oleh orang Sumba yang
masih menganut agama asli yang mereka sebut Marapu yaitu agama lokal masyarakat Sumba.
Kegiatan Pasola ini biasanya diadakan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumba Barat dan Sumba
Barat Daya melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat.
Untuk ritual Pasola sendiri biasanya dilaksanakan setiap awal bulan Februari, akan tetapi
perhitungan penentuan tanggal Pasola dihitung mulai dari munculnya bulan purnama dan setelah itu
acara pelaksanaan Pasola akan ditentukan oleh Rato Nyale yang merupakan orang penting dalam
hal penentuan tanggal pelaksanaan pasola Pasola. Budaya yang kental dan pertimbangan Rato.
Nyale inilah yang membuat jadwal Pasola terkadang bisa berubah. Tetapi jika mereka sudah
menentukan kapan tanggal yang pas mereka melaksanakan Pasola baru setelah itu. Saat yang tepat
untuk melihat Pasola sebenarnya datang 1 sampai dengan 2 hari dari hari H diadakan Pasola, karena
sebelum hari H ada tradisi yang diadakan. Salah satunya adalah tradisi nyale yang merupakan
puncak dari segala kegiatan untuk memulai pasola. Sebelum Pasola dimulai biasanya diawali
dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara yang memanjatkan rasa
syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing
laut yang melimpah di pinggir pantai. Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan
cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai. Para Rato (pemuka
suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang. Nyale kemudian
dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya. Bila
nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan
kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan
malapetaka. Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat. Tanpa
mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan.
Pasola sendiri dilaksanakan di padang yang luas, disaksikan oleh warga dari kedua
kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal. Setiap
kelompok warga terdiri lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu
berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Walaupun berujung tumpul, permainan ini dapat
memakan korban jiwa. Kalau ada korban dalam Pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban
tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran atau
kesalahan. Dalam permainan Pasola, penonton dapat melihat secara langsung dua kelompok ksatria
Sumba yang sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil melemparkan
lembing ke arah lawan

Gambar
1.

Sumber :
http://travel.kompas.com/read/2014/03/27/1509068/Menonton.Pasola.di.Sumba

Adat TABUIK (Sumatera Barat)


Festival Tabuik adalah perayaan memperingati Hari Asyura (10 Muharam) yaitu
mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad Saw yaitu Saidina Hassan
bin Ali yang wafat diracun serta Saidina Husein bin Ali yang gugur dalam peperangan dengan
pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq tanggal 10 Muharam 61 Hijrah (681 Masehi).
Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, tubuh Imam Husain yang sudah wafat dirusak dengan
tidak wajar. Kepala Imam Husein dipenggal oleh tentara Muawiyah. Kematian Imam Husein
diratapi oleh kaum Muslim terutama Muslim Syiah di Timur Tengah dengan cara menyakiti tubuh
mereka sendiri. Tradisi mengenang kematian cucu Rasulullah tersebut menyebar ke sejumlah
negara dengan cara yang berbeda-beda. Di Indonesia, selain di Pariaman, ritual mengenang
peristiwa tersebut juga diadakan di Bengkulu. Dalam perayaan memperingati wafatnya Husein bin
Ali, tabuik melambangkan janji Muawiyah untuk menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada umat
Islam setelah Imam Husain meninggal. Namun, janji itu ternyata dilanggar dan malah mengangkat
Jazid yaitu anaknya sebagai putera mahkota. Sebagian Muslim percaya jenazah Husain diusung ke
langit menggunakan Bouraq dengan peti jenazah yang disebut Tabot. Kendaraan Bouraq yang
disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik menjadi bagian utama bangunan
Tabuik.
Awalnya Tabuik sebagai simbol ritual bagi pengikut Syiah untuk mengumpulkan potonganpotongan tubuh Imam Husein dan selama ritual itu para peserta berteriak Hayya Husein, hayya
Husein atau yang berarti Hidup Husein, hidup Husein. Akan tetapi, di Pariaman teriakan
tersebut telah berganti dimana para pengusung dan peserta Tabuik akan berteriak Hoyak Hussein,
hoyak Hussein sambil menggoyang-goyangkan menara Tabuik yang berbentuk menara dan
bersayap serta sebuah kepala manusia. Festival Tabuik masuk kalender acara wisata Sumatra Barat

dan kalender acara wisata nasional. Puluhan ribu orang dari pelosok Sumatra Barat dan perantau
datang ke Pariaman hanya ingin melihat Festival Tabuik selama 14 hari. Upacara tabuik dapat
dihadiri hingga sekitar 6.000 orang per hari dan 90.000 orang saat puncak acara.
Acara Tabuik di Pariaman dan Taziyeh di Iran memiliki kesamaan ritual yaitu untuk
memperingati kematian Imam Hussein. Dalam perayaan ini masyarakat menyaksikan dua buah
tabuik atau keranda setinggi 13 hingga 15 meter yang masing-masing diangkat oleh 20 lelaki.
Mereka menggoyang-goyang, memutar-mutar, dan mengarak tabuik dari pusat kota menuju pantai.
Lalu, pemain gendang tasa menepuk irama, mengiringi setiap liukan tabuik, dentamnya
membangkitkan semangat. Di antara irama gendang terselip teriakan keras Hoyak Hussein. Kata
tabuik yang berasal dari bahasa Arab dapat mempunyai beberapa pengertian. Pertama, tabuik
diartikan sebagai keranda atau peti mati. Pengertian yang lain mengatakan bahwa tabuik artinya
adalah peti pusaka peninggalan Nabi Musa yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian
Bani Israel dengan Allah. Tabut pada mulanya sebuah peti kayu yang dilapisi dengan emas sebagai
tempat penyimpanan manuskrip Taurat yang ditulis di atas lempengan batu. Akan tetapi, Tabuik
kali ini tidak lagi sebuah kotak peti kayu yang dilapisi oleh emas. Namun, yang diarak oleh warga
Pariaman adalah sebuah replika menara tinggi yang terbuat dari bambu, kayu, rotan, dan berbagai
macam hiasan. Puncak menara adalah sebuah hiasan yang berbentuk payung besar, dan bukan
hanya di puncak, di beberapa sisi menara hiasan berbentuk payung-payung kecil juga terpasang
berjuntai. Tidak seperti menara lazimnya, bagian sisi-sisi bawah Tabuik terkembang dua buah
sayap. Di antara sisi-sisi sayap itu, terpasang pula ornamen ekor dan sebuah kepala manusia
sepertinya wajah wanita lengkap dengan kerudung. Bambu-bambu besar menjadi pondasi sekaligus
tempat pegangan untuk mengusung Tabuik yang terlihat kokoh dan sangat berat. Butuh banyak pria
untuk mengangkatnya dan butuh banyak kucuran keringat untuk mengoyaknya. Tradisi Tabuik telah
terpelihara sejak 1829 oleh warga Pariaman. Perayaan Tabuik diselenggarakan setiap 1 hingga 10
Muharam. Ada beberapa versi mengenai asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Versi pertama
mengatakan bahwa tabuik dibawa oleh orang-orang Arab (Muslim Syiah) yang datang ke Pulau
Sumatera untuk berdagang. Sedangkan, versi lain berdasarkan catatan Snouck Hurgronje
mengatakan bahwa tradisi Tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama
sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui
buku itulah ritual tabuik dipelajari Anak Nagari. Sedangkan, gelombang kedua tabuik dibawa oleh
tentara Cipei/Sepoy dari India penganut Islam Syiah yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Pasukan
itu berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasai Bengkulu dari tangan
Belanda sesuai Traktat London, 1824.
Dalam sejarah Pariaman, Tabuik pertama kali diperkenalkan serdadu Tamil yang menjadi
bagian pasukan Inggris pimpinan Thomas Stamfort Raffles. Saat itu Inggris menguasai Bengkulu
tahun 1826. Pasukan Tamil yang kebayakan Muslim setiap tahun menggelar pesta Tabuik dimana di
Bengkulu bernama "Tabot". Kegiatan ini kemudian diikuti pula oleh masyarakat yang ada di
Bengkulu dan meluas hingga ke Panian, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidi, Banda Aceh,
Meulauboh dan Singkil. Dalam perkembangan berikutnya, ritual itu satu-persatu hilang dari daerahdaerah tersebut dan akhirnya hanya tinggal di dua tempat yaitu Bengkulu dengan sebutan Tabot dan
Pariaman dengan sebutan Tabuik. Setelah perjanjian London 17 Maret 1829, Inggris harus
meninggalkan Bengkulu dan menerima daerah jajahan Belanda di Singapura. Sebaliknya Belanda
berhak atas daerah-daerah jajahan Inggris di Indonesia termasuk Bengkulu dan wilayah Sumatera
lainnya. Serdadu Inggris harus meninggalkan Bengkulu, namun pasukan Tamil yang mayoritas
Muslim memilih bertahan dan melarikan diri ke Pariaman, Sumatera Barat yang saat itu terkenal
sebagai daerah pelabuhan yang ramai di pesisir barat pulau Sumatera. Karena pasukan Tamil
mayoritas Muslim, mereka diterima masyarakat Pariaman yang memeluk Islam. Terjadilah
pembauran sosial-budaya. Salah satu pembauran budaya ditunjukkan oleh Pesta Tabuik. Bahkan
Tabuik akhirnya menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan warga Pariaman. Di

Pariaman, kemudian tabuik diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam bentuk Tabuik Adat. Namun,
seiring dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk menyaksikannya, tahun 1974 pengelolaan
tabuik diambil alih oleh pemerintah daerah setempat dan dijadikan Tabuik Wisata.
Pembuatan Tabuik
Tabuik dibuat oleh dua kelompok masyarakat Pariaman, yakni kelompok Pasar dan
kelompok Subarang. Kedua tempat tersebut dipisahkan oleh aliran sungai yang membelah Kota
Pariaman. Kelompok Tabuik Pasar terdiri dari gabungan 12 desa yang ada di kota Pariaman,
sementara kelompok Tabuik Subarang terdari dari gabungan 14 desa lainnya. Dahulu, selama
berlangsungnya pesta tabuik selalu diikuti dengan perkelahian antara warga dari daerah Pasar dan
Subarang. Bahkan, ada beberapa pasangan suami-isteri yang berpisah dan masing-masing kembali
ke daerah asalnya di Subarang dan Pasar. Setelah upacara tabuik berakhir, suami-istri tersebut
kembali berkumpul dalam satu rumah. Walaupun korban terluka parah dalam perkelahian, namun
ketika acara berakhir mereka bersatu kembali, sehingga suasana kembali tenang dan damai seperti
semula. Tabuik dibuat secara bersama-sama dan melibatkan ahli budaya dan sejarah, serta tokoh
masyarakat. Masyarakat berkelompok dan saling bahu-membahu untuk membuat Tabuik dan
mengaraknya (Gambar 1.). Pembuatan tabuik ini memakan biaya puluhan juta rupiah. Tabuik dibuat
oleh kedua tempat ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas dan bawah yang tingginya dapat
mencapai 15 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan
kain beludru berwarna-warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor
dan berkepala manusia berambut panjang. Kuda itu dibuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi
kain beludru halus warna hitam dan pada empat kakinya terdapat gambar kalajengking menghadap
ke atas. Kuda tersebut adalah simbol Bouraq, kendaraan yang memiliki kemampuan terbang secepat
kilat dan digunakan saat Isra' Miraj Nabi Muhammad Saw. Buraq dipercaya membawa Imam
Hussein ke langit. Bagian tengah Tabuik berbentuk gapura petak yang ukurannya makin ke atas
makin besar. Pada gapura itu ditempelkan motif ukiran khas Minangkabau. Di bagian bawah dan
atas gapura ditancapkan bungo salapan atau delapan bunga berbentuk payung dengan dasar kertas
warna bermotif ukiran atau batik. Puncak Tabuik dihiasi payung besar yang dibalut kain beludru
dan kertas hias yang juga bermotif ukiran. Di atas payung ditancapkan patung burung merpati putih.
Kaki Tabuik terdiri dari empat kayu balok bersilang dengan panjang sekitar 20 meter. Balok-balok
itu digunakan untuk menggotong dan menghoyak Tabuik yang dilakukan sekitar 100 orang dewasa.

Gambar
1.

Sumber :
http://www.alambudaya.com/2007/11/tabuik-sumatera-barat.html

Adat NGABEN (Bali)

Ngaben adalah suatu upacara pembakaran mayat yang dilakukan umat Hindu di Bali,
upacara ini dilakukan untuk menyucian roh leluhur orang sudah wafat menuju ketempat
peristirahatan terakhir dengan cara melakukan pembakaran jenazah. Dalam diri manusia
mempunyai beberapa unsur, dan semua ini digerakan oleh nyawa/roh yang diberikan Sang Pencipta.
Saat manusia meninggal, yang ditinggalkan hanya jasad kasarnya saja, sedangkan roh masih ada
dan terus kekal sampai akhir jaman. Di saat itu upacara Ngaben ini terjadi sebagai proses penyucian
roh saat meninggalkan badan kasar. Kata Ngaben sendiri mempunyai pengertian bekal atau abu
yang semua tujuannya mengarah tentang adanya pelepasan terakhir kehidupan manusia. Dalam
ajaran Hindu Dewa Brahma mempunyai beberapa ujud selain sebagai Dewa Pencipta Dewa Brahma
dipercaya juga mempunyai ujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses
penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke sang pencipta, api
penjelmaan dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh
orang yang telah meningggal.
Upacara Ngaben ini dianggap sangat penting bagi umat Hindu di Bali, karena upacara
Ngaben merupakan perujudan dari rasa hormat dan sayang dari orang yang ditinggalkan, juga
menyangkut status sosial dari keluarga dan orang yang meninggal. Dengan Ngaben, keluarga yang
ditinggalkan dapat membebaskan roh/arwah dari perbuatan perbuatan yang pernah dilakukan dunia
dan menghantarkannya menuju surga abadi dan kembali berenkarnasi lagi dalam wujud yang
berbeda. Ngaben dilakukan dengan beberapa rangkaian upacara, terdiri dari berbagai rupa sesajen
dengan tidak lupa dibubuhi simbol-simbol layaknya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu di
Bali. Upacara Ngaben biasa nya dilalukan secara besar besaran, ini semua memerlukan waktu yang
lama, tenaga yang banyak dan juga biaya yang tidak sedikit dan bisa mengakibatkan Ngaben sering
dilakukan dalam waktu yang lama setelah kematian.
Pada masa sekarang ini masyarakat Hindu di Bali sering melakukan Ngaben secara massal /
bersama, untuk meghemat biaya yang ada, dimana Jasad orang yang meninggal untuk sementara
dikebumikan terlebih dahulu sampai biaya mencukupi baru di laksanakan, namun bagi orang dan
keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya, untuk sementara waktu jasad
disemayamkan di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Ada anggapan kurang baik bila
penyimpanan jasad terlalu lama di rumah, karena roh orang yang meninggal tersebut menjadi
bingung dan tidak tenang, dia merasa berada hidup diantara 2 alam dan selalu ingin cepat
dibebaskan. Pelaksanaan Ngaben itu sendiri harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan pendeta
untuk menetapkankan kapan hari baik untuk dilakukannya upacara. Sambil menunggu hari baik
yang akan ditetapkan, biasanya pihak keluarga dan dibantu masyarakat beramai ramai melakukan
Persiapan tempat mayat ( bade/keranda ) dan replica berbentuk lembu yang terbuat dari bambu,
kayu, kertas warna-warni, yang nantinya untuk tempat pembakaran mayat tersebut.
Dipagi harinya saat upacara ini dilaksanakan, seluruh keluargadanmasyarakat akan
berkumpul mempersiapkan upacara. Sebelum upacara dilaksanakan Jasad terlebih dahulu
dibersihkan/dimandikan, Proses pelaksaaan pemandian di pimpin oleh seorang Pendeta atau orang
dari golongan kasta Bramana. Setelah proses pemandian selesai , mayat dirias dengan mengenakan
pakaian baju adat Bali, lalu semua anggota keluarga berkumpul untuk memberikan penghormatan

terakhir dan diiringi doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh kedamaian dan berada di
tempat yang lebih baik. Mayat yang sudah dimandikan dan mengenakan pakaian tersebut diletakan
di dalamBade/keranda lalu di usung secara beramai-ramai, seluruh anggota keluarga dan
masyarakat berbarisdidepan Bade/keranda. Selama dalam perjalanan menuju tempat upacara
Ngaben tersebut, bila terdapat persimpangan atau pertigaan, Bade/keranda akan diputar putar
sebanyak tiga kali, ini dipercaya agar si arwah bingung dan tidak kembali lagi ,dalam pelepasan
jenazah tidak ada isak tangis, tidak baik untuk jenazah tersebut, seakan tidak rela atas
kepergiannya.Arak arakan yang menghantar kepergian jenazah diiringi bunyi gamelan,kidung
suci.Pada sisi depan dan belakang Bade/keranda yang di usung terdapat kain putih yang mempunyai
makna sebagai jembatan penghubung bagi sang arwah untuk dapat sampai ketempat asalnya.
Setelah sampai dilokasi kuburan atau tempat pembakaran yang sudah disiapkan, mayat di
masukan/diletakan diatas/didalam Replica berbentuk Lembu yang sudah disiapkan dengan
terlebih dahulu pendeta atau seorang dari kasta Brahmana membacakan mantra dan doa, lalu
upacara Ngaben dilaksanakan, kemudian Lembu dibakar sampai menjadi abu. Sisa abu dari
pembakaran mayat tersebut dimasukan kedalam buah kelapa gading lalu kemudian di
larungkan/dihayutkan ke laut atau sungai yang dianggap suci.
Dari pemamaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Ngaben adalah upacara pembakaran
mayat di Bali yang saat disakralkan dan diagungkan, upacara ini adalah ungkapan rasa hormat yang
ditujukan untuk orang yang sudah meninggal (Gambar 1). Upacara ini selalu dilakukan secara besar
besar dan meriah, tidak semua umat Hindu di Bali dapat melaksanakannya karena memerlukan
biaya yang tidak sedikit. Semua yang berasal dari sang pencipta pada masanya akan kembali lagi
dan semua itu harus diyakini dan ihklaskan. Manusia di lahirkan dan kemudian meninggal itu
semua erat berhubungan dengan amal perbuatannya selama di dunia.

Gambar
1.
Sumber :
http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/upacara-ngaben
http://www.cuinbali.com/mengenal-upacara-ngaben/

Adat KENDUREN (Jawa Tengah)


Kenduren, sering disebut juga kenduri, upacara adat yang satu ini adalah salah satu acara
adat yang diadakan sebagai perwujudan dari rasa syukur kepada tuhan, atas terkabulnya doa dan
harapan. Meski Kenduren sebenarnya sangat banyak macamnya, namun secara garis besar kenduren
adalah adat istiadat untuk bersyukur. Misal pada acara Kenduren Weton, seperti namannya weton
yang berarti keluar, itu digunakan untuk acara bersyukur hari kelahiran atau weton kelahiran, ada
juga yang hampir satu set atau satu paket, disebut dengan Kenduri Saban dan kenduri Badan.
Kenduri saban yang juga disebut kenduri munggahan itu digunakan untuk menaikan para leluhur
dengan cara membuatkan acara untuk menghormatinnya memberikan sesajen dan segala macam
lainnya, dan kenduri badan, yang dalam bahasa jawa berarti lebaran, maka tentu diadakannya
setelah hari lebaran, dan yang paling sering diadakan adalah Kenduren Ujar, ini adalah kenduren
yang sengaja diadakan dengan tujuan tertentu, sengaja diadakan untuk mensyukuri suatu hal
tertentu, semisal untuk mensyukuri lulus sekolah, mensyukuri selesainya pembangunan suatu
rumah, mensyukuri tercapainnya impian, dan masih banyak lagi, dalam acara Kenduri Ujar ini ada
sebuah menu hidangan wajib dan selalu ada pada setiap pelaksanaan acara ini, yaitu adalah ingkung
ayam, inilah menu khas yang ditunggu-tunggu oleh para hadirin yang datang pada acara kenduri
tersebut, biasanya para hadirin akan mendapatkan kerdusan yang berisi nasi beserta lauk pauk sayur
dan kerupuk, serta tak ketinggalan potongan ayam dari ingkung ayam tersebut.
Dalam masalah teknis, kenduren ini disetiap daerah belum tentu sama, memang hampir
sama, tapi pasti ada satu atau dua bagian dalam acara tersebut yang berbeda, tapi secara garis besar
tetap sama, yaitu dengan dipimpin oleh seseorang yang dituakan atau yang paling dihormati
didaerah itu, untuk memberi pencerahan dan memanjatkan doa dan puji syukur atas bisa terlaksana
acara tersebut dan telah terwujudnya impian dari maksud diadakannya acara kenduren Ujar
tersebut, sering juga diisi dengan pengajian dan nyanyian-nyanyian lagu-lagu adat dan lagu-lagu
Rohani untuk memeriahkan acara tersebut. Ada juga Kenduri Muludan (Gambar 1), kenduri yang
diadakan pada bulan Mulud, yang diadakan untuk memperingati suatu tanggal dibulan Mulud, acara
ini diadakan dengan membawa masakan dari rumah masing-masing yang kemudian nanti akan
dibawa berkumpul pada suatu tempat, seringya mereka akan berkumpul di rumah sesepuh di daerah
itu, dan pada acara Kenduri Muludan ini masakan gulai kambinglah yang akan diadakan, biasanya
para warga akan menyembelih seekor kambing jantan, entah itu dilakukan bersama-sama maupun
hanya satu keluarga. Memang sangat banyak macam acara kendurian itu, namun secara garis besar
mereka semua sama, yaitu diadakan untuk bersyukur (Gambar 2.)
Kenduren diadakan hanya dengan mengundang para tetangga sebelah, untuk berdoa
bersama dan bersyukur, Kenduren biasanya dihadiri oleh para lelaki dewasa khususnya yang telah
berumah tangga, biasanya bila pemilik acara beragama muslim, maka kenduren akan berisi dengan
pengajian, dan dihidangkan pula makanan-makanan khas yang biasanya ada dalam acara Kenduren,
meliputi, nasi kuning yang sering dibuat menjadi tumpeng, telur, abon, ayam, sayur dan buah
pisang. Tentunya yang sangat khas dalam acara Kenduren yakni adalah hidanganya. Meski
hidanganya tak semewah seperti acara-acara adat lainya, namun inilah perwujudan rasa syukur yang
dimaksudkan oleh Kenduren itu sendiri.
Acara kenduren kini mulai jarang dilakukan oleh orang jawa sendiri, hanya orang tertentu
yang mau untuk mengadakanya, karena seiringya berjalan pergantian zaman, semakin jarang orang
yang peduli terhadap adat istiadat yang ada dan dilakukan oleh para nenek moyang dahulu. Bagi

orang jawa sendiri acara seperti ini sangat lumrah dilakoni apa seseorang telah mendapatkan apa
yang dia inginkan, apalagi keinginan yang sangat besar, dan sangat sulit untuk didapatkan.

Gambar
1.

Gambar
2.

Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/18/kenduren-apa-tuh-502651.html
https://budayaindonesiablog.wordpress.com/category/tradisi/

TUGAS :
ADAT DAN BUDAYA NUSANTARA INDONESIA

NAMA

: MUH. AYDIN NAUFAL OHORELLA

KELAS

: 4 AL KHOFIDS

Anda mungkin juga menyukai