Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA ISLAM

ADAT DAN TRADISI DI DAERAH SULAWESI SELATAN

“RAMBU SOLO "

Disusun oleh:

Nama: Trie Mahesa Puteri Sakuta

Kelas: D/RS/IV

NIM:17003013

Dosen: H.Burhanuddin Hartono.,S.Pd.,Mpd.i

AKADEMI MANAJEMEN ADMINISTRASI YOGYAKARTA

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang
"Rambu Solo".
Dalam pembuatan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami
harapkan untuk menyempurnakan makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca terutama diri
kami pribadi dan dapat menambah wawasan tentang suku dan budaya yang ada di Indonesia,
khususnya tanah Toraja.

Yogyakarta 03 Mei 2019


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia banyak suku bangsa dari barat hingga timur,namun dari sekian banyak suku
bangsa di Indonesia ada suku bangsa yang memiliki pola kehidupan yang unik.Yaitu pola
kehidupan yang terdapat pada masyarakat Tanah Toraja. Suku Tanah Toraja adalah suku yang
menetap dipegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya di perkirakan
sekitar 650.000 jiwa,dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tanah Toraja.

Salah satu adat budaya yang mencerminkan hubungan manusia dan alam semesta dan
sesamanya adalah Rambu solo.’Rambu solo’merupakan salah satu bukti warisan budaya yang
masih dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat Tanah Toraja.Rambu solo’atau yang
dikenal sebagai pesta adat kematian, bertujuan untuk menghormati para leluhur mereka dan
untuk menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh.

Upacara adat ini,berbeda dengan upacara-upacara kematian biasanya.Upacara adat


Rambu solo’ini diadakan dengan sangat meriah dan mewah layaknya sebuah pesta.Upacara ini
tidak sedikitpun melambangkan upacara kematian tetapi lebih berupa pesta perayaan. Mereka
meyakini bahwa dengan mengadakan upacara adat ini rohnya dapat diiringi sampai mencapai
Nirwana keabadian.

Pada upacara kematian ini penggunaan simbol-simbol sangat penting,salah satunya


adalah penggunaan simbol kerbau sebagai syarat utama dalam upacara kematian Rambu Solo.
Sama seperti adat-adat lainnya yang menggunakan simbol adat Rambu Solo juga menggunakan
simbol yaitu kerbau. Masyarakat Tanah Toraja meyakini bahwa kerbau inilah yang nantinya
akan membawa (roh orang mati menunggangi kerbau).Kerbau di kehidupan masyarakat Tanah
Toraja merupakan hewan yang sangat tinggi maknanya dan dianggap suci juga, melambangkan
tingkat kemakmuran seseorang jika memilikinya karena harga satu ekor kerbau jutaan sampai
ratusan juta rupiah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Upacara Adat Toraja Rambu Solo

Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan
untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh,
yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat
peristirahatan. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian karena
orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara
ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang
“sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu
dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman bahkan selalu diajak
berbicara.

B.Rangkaian Proses Rambu solo

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting
dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang
berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat
prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang
luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai
perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling,
nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan
oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin,
dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar
keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya
pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-
tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Puncak dari upacara Rambu solo ini dilaksanakan disebuah lapangan khusus. Dalam
upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual, seperti proses pembungkusan jenazah,
pembubuhan ornament dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah ke
lumbung untuk disemayamkan, dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan
terakhir.
Selain itu, dalam upacara adat ini terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan,
diantaranya adu kerbau, kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di adu terlebih dahulu sebelum
disembelih, dan adu kaki. Ada juga pementasan beberapa musik dan beberapa tarian Toraja.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa
seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai
di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan
puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah
yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu
dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Pemotongan Kerbau pada acara Rambu Solo
Kerbau yang disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan, ini
merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja. Kerbau yang akan disembelih bukan hanya
sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau bule “Tedong Bonga” yang harganya berkisar antara 10 –
50 juta per ekornya.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir,
atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam
tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah,
gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang
disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-
anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun
sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

C.Jenis-jenis Upacara Rambu Solo

Berdasarkan status sosial orang atau tingkat ekonomi keluarga yang diupacarakan, aluk rambu
solo’ dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:

1. Silli’, yakni upacara pemakaman untuk kasta paling rendah, yaitu kasta kua-kua atau
budak. Upacara jenis ini tidak ada pemotongan hewan sebagai persembahan dan dibagi
dalam beberapa bentuk, seperti dedekan (upacara pemakaman dengan memukulkan wadah
tempat makan babi) dan pasilamun tallo manuk (pemakaman bersama telur ayam).
2. Pasangbongi, yakni upacara yang hanya berlangsung satu malam. Yang termasuk jenis ini
antara lain bai a’pa’ (persembahan empat ekor babi), si tedong tungga (persembahan satu
ekor babi), di isi(pemakaman untuk anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi dengan
persembahan seekor babi), dan ma’ tangke patomali (persembahan dua ekor babi).
3. Di batang atau di doya tedong, yakni upacara untuk kasta tana’ basi (bangsawan
menengah) dan tana’ bulan (bangsawan tinggi). Selain kerbau, upacara jenis ini juga
mempersembahkan babi dan ayam. Upacara biasanya digelar selama 3-7 hari berturut-
turut. Pada akhir acara, dibuatkan sebuah simbuang(menhir) sebagai monumen untuk
menghormati orang yang wafat.
4. Rapasan, yakni upacara khusus bagi golongan tana’ bulan (bangsawan tinggi) yang
digelar selama 3 hari 3 malam. Termasuk upacara jenis ini, antara lain rapasan
diongan (rapasan tingkat rendah hanya memenuhi syarat minimal persembahan 9-12
kerbau), rapasan sundun (rapasan lengkap persembahan 24 ekor kerbau dan babi tak
terbatas), dan rapasan sapu randanan (rapasan simbolik dengan persembahan yang
diandaikan 30 ekor kerbau).

C.Identifikasi tradisi Rambu Solo


Menurut saya adat upacra Rambu Solo merupakan tradisi yang sudah cukup baik di
kalangan masyarakat Toraja yang sudah menjadi turun temurun yang sudah di lakukan nenek
moyang mereka.Tradisi Rambu solo (upacara kematian) lebih meria di banding tradisi
Pernikahan di masyarakat Toraja,menurut mereka tradisi ini di adakan untuk menghormati
arwah para leluhur.
Walaupun dalam agama islam tradisi ini masih di anggap kurang baik di karenakan
jasad yang telah terkubur harus di bongkar lagi dan ada beberapa acara yang di anggap
bertentangan dengan hokum Islam karena ada prosesi penghiasan peti jenazah dengan benang
emas dan kemudian di arak keliling komplek pemakaman.Sedangkan dalam agama islam
ketika seseorang meninggal harus segerah di makamkan dan hanya menggunakan kain kafan
dan peti kayu.
Masyarakat Toraja masih mempercayai bahwa dunia adalah tempat keabadian dimana
arwah para leluhur berkumpul,sedangkan dalam agama islam,tempat yang kekal adalah
akhirat.Hal lainnya ketika seseorang meninggal keluarga harus menyelenggaran tradisi
Rambu Solo yang memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga membutuhkan waktu untuk
mengumpulkan dana dalam acara tersebut,itulah penyebab di tanah Toraja orang yang
meninggal baru akan di makamkan berbulan-bulan setelah kepergiannya yang sangat
bertentangan dengan agama islam.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba
tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan
di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya. Bagian lain dari
pemakaman adalah penyembelihan kerbau, Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya.
Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya
mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’ maka
orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ’sakit’, maka
orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih
hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal
yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

B.Saran

Kebudayaan Indonesia yang beragam seharusnya tidak kita sia-siakan begitu saja,
sebagai bangsa yang mencintai tanah air, kita harus mampu melestarikan kebudayaan-
kebudayaan bangsa. Jika kita tidak mampu melestarikannya, kebudayaan yang kita miliki
semakin lama akan semakin punah. Oleh sebab itu, kita harus dapat mempelajari sedikit
banyaknya tentang kebudayaan-kebudayaan daerah, biarpun kebudayaan tersebut bukan
berasal dari daerah kita.

Anda mungkin juga menyukai