Anda di halaman 1dari 8

ADAT DAN KEBUDAYAAN TORAJA

“Konsep Tana’ Dan Ritus Pelaksanaan Rambu Solo”

OLEH:

NAMA: NITA PARETANAN

KELAS: B MISIOLOGI

NIRM: 2320197119

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI TORAJA

2020
Abstrak: Sebelum Toraja mengenal Kekristenan atau sebelum orang Toraja
memeluk agama Kristen, orang Toraja telah memiliki keparcayaan, yang biasa
kita sebut Aluk Todolo yang artinya agama para leluhur. Kebudayaan dan
pemahaman-pemahaman masyarakat Toraja sampai saat ini boleh dikata masih
dipegang kuat oleh kebanyakan orang Toraja. Mengenai asal mula hamba,
terdapat pemahaman yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa status hamba
memang berasal dari atas, dari langit. Pongpakulando ialah hamba yang turun
dari langit. Rambu Solo’ adalah acara tradisi yang sangat meriah. Upacara
dimulai saat matahari mulai condong ke Barat dan biasanya membutuhkan
waktu sekitar 2 atau 3 hari, diatas tebing di ketinggian, bukit batu, karena
menurut kepercayaan Aluk todolo, semakin tinggi tempat jenasah di letakkan,
maka semakin cepat pula rohnya sampai di puya. Masyarakat Tana Toraja telah
menganut agama lain tetap turun dan ikut serta dalam melaksanakan upacara-
upacara tradisi Aluk Todolo, seperti upacara rambu solo’, rambu tuka’, Mangrara
Banua. Dalam tradisi ini kurban seperti kerbau dan babi harus ada untuk di
potong.

Rambu Solo’, dalam hal ini masih ada kaitannya pada status sosial yang ada pada
masyarakat Toraja. Secara sederhana upacara pemakan di kalangan suku orang
Toraja dapat di bagi dalam empat kelompok yang besar, yaitu; aluk pia (upacara
anak-anak), tingkat sederhana, tingkat menengah, dan upacara tingkat tinggi.

Kata Kunci: Aluk Todolo, Kebudayaan, Rambu Solo’, Rambu Tuka’, Mangrara
Banua dan Upacara Adat,
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Toraja dikenal sebagai daerah yang begitu “kuat” dalam persekutuan dan
“kuat” dalam memegang ada dan kebudayaan yang diwarisi oleh nenek moyang
mereka. Sebelum toraja mengenal Kekristenan atau sebelum orang Toraja
memeluk agama Kristen, orang Torajatealh memiliki keparcayaan, yang biasa
kita sebut Aluk Todolo yang artinya agama para leluhur. Kepercayaan ini masih
dianut oleh sebagian orang Toraja saat ini, termasuk orang Toraja yang
beragama Kristen namun masih mengikatkan dirinya dengan paham-paham
tradisional suku Toraja.
Menurut kepercayaan Aluk Todolo, aluk dimulai dari langit (alam atas)
dikalangan dewa-dewa lalu turun kedalam kehidupan orang Toraja. Kebudayaan
dan pemahaman-pemahaman masyarakat Toraja sampai saat ini boleh dikata
masih dipegang kuat oleh kebanyakan orang Toraja. Dari beberapa kebudayaan
dan pemahaman-pemahaman itu, ada beberapa tradisi dan konsep-konsep,
seperti rambu solo’ konsep Tana’ dalam masyarakat Toraja dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa konsep strata sosial (Tana’) dalam kebudayaan Toraja?
2. Apa itu Rambu Solo’ ritus dan pelaksanaanya?
C. Tujuan Penulisan
Penulis ingin memahami Konsep Strata, dan Rambu Solo’ dalam kehidupan
orang Toraja
BAB II

PEMBAHASAN

1. Konsep Strata Sosial (Tana’) Dalam Budaya Toraja


Saat ini kita mengenal istilah Tana’ dalam masyarakat Toraja. Tana’ ialah
suatu patokan atau ketentuan status dalam masyarakat Toraja. Dalam
masyarakat Toraja sekurang-kurangnya ada tiga Tana’ yaitu Tana’ bulaan, Tana
bassi, dan Tana, karurung.

Tana’ bulaan melambangkan golonganbangsawan, Tana’ bassi


melambangkan orang merdeka, Tana’ karurung melambangkan orang hamba.
Bergeser dari pendapat diatas bahwa sekurang-kurangnya ada tiga Tana’,
pendapat ini berbeda dengan jumlah Tana’ yang ada di daerah Rantepao dan
sekitarnya, yang mengenal empat golongan Tana’ yaitu; Tana’ bulaan
(bangsawan), Tana’ bassi (bangsawan menengah), Tana’ karurung (orang
kebanyakan), Tana’ kua-kua (para hamba). Dari pernyataan diatas kita dapat
mengenal beberapa perbedaan golongan/derajat dalam masyarakat Toraja yang
hierarki.
Mengenai asal mula hamba, terdapat pemahaman yang berbeda. Ada yang
mengatakan bahwa status hamba memang berasal dari atas, dari langit.
Pongpakulando ialah hamba yang turun dari langit. Pemahaman yang lain bahwa
hamba nanti kemudian baru terjadi oleh berbagai factor. Karena ada yang jatuh
miskin, tidak dapat membayar utang, karena kelaparan (nalambi’ sumpunna
kurin) maka seseorang dapat memperhamba diri. Dan dikatakan juga bahwa
adanya golongan lapisan adalah buatan manusia sendiri. Ada beberapa golongan
hamba yaitu kaunan biasa (kaunan mana’) kaunan mengkaranduk, kaunan dialli,
kaunan tai manuk dan lain-lain.
2. Rambu Solo’, Ritus dan Pelaksanaanya
Ritual kematian di Tana Toraja disebut Rambu Solo’ (asap) dan solo’
(turun) ialah upacara kematian suku Toraja yang nertujuan untuk menghormati
dan menghantarkan arwah orang yang meninggal menuju alam roh, yaitu
kembali kepada keabadian bersama paraleluhur mereka kesebuah tempat
peristirahatan yang di sebut puya. Rambu Solo’ adalah acara tradisi yang sangat
meriah. Upacara dimulai saat matahari mulai condong ke Barat dan biasanya
membutuhkan waktu sekitar 2 atau 3 hari, diatas tebing di ketinggian, bukit
batu, karena menurut kepercayaan Aluk todolo, semakin tinggi tempat jenasah di
letakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai di puya. Masyarakat Tana
Toraja telah menganut agama lain tetap turun dan ikut serta dalam
melaksanakan upacara-upacara tradisi Aluk Todolo, seperti upacara rambu solo’,
rambu tuka’, Mangrara Banua. Dalam tradisi ini kurban seperti kerbau dan babi
harus ada utuk di potong.
Berikut tahapan proses upacara rambu solo’ di Toraja:
➢ Ma’dio
Merupakan prosesi pembersihan atau memandikan jenazah yang
di maknai bahwa jenazah telah di bersikan dari hal-hal keduniaan.
➢ Ma’pebuni
Proses memasukkan jenazah ke dalam peti penyimpanan
sementara. Dalam proses ini 1 ekor kerbau dan beberapa ekor babi
yang dikorbankan.
➢ Ma’pasulluk
Suatu pertemuan keluarga yang tujuannya adalah untuk
mengivintarisasikan kembali hasil musyawarah keluarga
sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan kesanggupan dalam
memyediakan kurban berupa kerbau dan babi. Pada tahap ini 2
ekor babi di potong dan giginya dibagikan kepada gembala kerbau.
➢ Mangriu Batu Mesimbuang Mebalakan
Tahap ini dilaksakan untuk menarik batu simbuang dari
tempatnya ke area upacara yang di laksanakan oleh banyak orang
secara gotong royong. Dikurbankan 1 ekor kerbau dan 2 ekor babi
dengan tujuan untuk disajikan bagi orang-orang yang datang.
➢ Ma’pasa’ Tedong
Semua kerbau yang disumbangkan dikumpulkan
➢ Ma’papengkalao
Pemindahan mayat dari tongkonan yang selama ini di
semayamkan disalah satu tongkonan
➢ Mengisi Lantang, Ma palao dan Ma’pasonglo, Allo katongkonan,
Allo katorroan, Mataa padang, Ma Aa, Ballikan Pesung

Bila kita mencoaba memahami pengertian “hidup” dalam kepercayaan


tradisional Toraja, maka akan nampak bahwa wawasan hidup dalam kepercayan
tradsional Toraja, maka akan nampak bahwa wawasan hidup dalam kepercayaan
tradisional Toraja tidak berakhir pada putusnya nyawa seseorang. Seseorang
yang di anggap ptuus nyawanya msih dianggap hidup, sampai pada acara
tertentu dalam upacara pemakaman, yakni acara ma’popennulu sau’. Sebelum
smpai pada acara ini, mendiang masih dianggap hidup.

Oleh karena itu, hidup di dunia ini diusahakan supaya “harmonis” dengan
sesame, lingkungan, hubungan dengan dewata, arwah leluhur, dan bahkan
berada dalam hubungan harmonis dengan Puang Matua. Keterikatan inilah yang
menyebabkan orang Toraja selalu mengupayakan apa yang disebut karapan,
demi hidup berdamai dengan dewata, arwah leluhur, bahkan dengan Puang
Matua. Dan juga hal yang penting dalam hidup ini, menurut paham tradisional
Toraja, adala pelaksanaan. Dianggap sangat penting karena keselamatan
seseorang ditentukan oleh sempurna atau tidaknya upacara pemakaman yang
dilaksakan terhadap simati. Kesemarakan yang terjadi pada upacara
pemakaman, hewan-hewan yang dipotong dan sebagainya, semuanya dipercaya
akan mengiring simati dalam memasuki dunia “seberang sana” yang
menentukan kedudukan simati di Puya itu, puya hanyalah tempat sementara
bagi jiwa kemudian keluar dan menuju keasal nenek moyang manusia, yakni
langit.

Rambu Solo’, dalam hal ini masih ada kaitannya pada status sosial yang
ada pada masyarakat Toraja. Secara sederhana upacara pemakan di kalangan
suku orang Toraja dapat di bagi dalam empat kelompok yang besar, yaitu; aluk
pia (upacara anak-anak), tingkat sederhana, tingkat menengah, dan upacara
tingkat tinggi.

Melangkah sedikit jauh dari penjelasan rambu solo’ saya langsung saja
pada konsep keselamatan menurut pemahaman tradisionall toraja. Dalam
kepercayaan Aluk Todolo, keselamatan berkaitan dengan apa yang disebut
mendeata atau membali puang. Setelah jenazah seseorang dimasukkan kedalam
liang kubur, maka jiwa manusia akan beralih kepuya. Puya hanyalah terminal
sementara bagi jiwa; karena jiwa dapat keluar dari puya dan menuju ketempat
para arwah para nenek moyang manusia, yakni dilangit (tempat Puang Matua
dan dewata lain berkediaman).

Hal keluarnya jiwa seseorang dari puya, tidak ditentukan oleh jiwa simati,
melainkan ditentukan oleh keluarga sang mendiang yang masih hidup didunia
nyata ini. Dalam pengertian bahwa peran keluarga yang masih hidup sangat
besar. Jadi dapat dikatan bahwa dalam kepercayaan ini keselamatan si mati,
dalam hal jiwanya menjadi ilahi, sangat ditentukan oleh ritus dan keluarga
mendiang yang masih hidup. Dan lebih apada Tunuan Tomate yang dimaksudkan
sebagai jaminan keselamatan atau kebahagiaan hidup disebrang kematian.
BAB III

PENUTUP

• Kesimpulan

Dalam konsep structural sosial budaya di Toraja, mengenal adanya perbedaaan


strata sosial dalam masyarakat, misalkan saja Tana’ bulaan, Tana’ bassi, Tana’ karurung,
hal ini yang merupakan konsep yang masih ada dalam kehidupan masyarakat Toraja.
Juga dalam tradisi orang Toraja, punya upacara kematian yang mereka sering sebut
rambu solo’

Ritual kematian di Tana Toraja disebut rambu solo’ (asap) dan solo’ (turun), ialah
upacara kematian suku Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan
arwa orang yang meninggal menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama
para leluhur mereka kesebuah tempat peristirahatan yang disebut puya. Rambu solo’
adalah acara tradisi yang sangat meriah. Meliputi ritus Ma’dio, Ma’ pebuni, Ma’ pasulluk,
Mangriu Batu Mesimbuang mebalakaan, Ma’ pasa’ tedong, Ma’ papengkalao, mengisi
lantang, Ma’ palao dan Ma’ pasonglo, Allo katongkonan, Allo katorroan, Mataa padang,
Ma’ Aa, balikan pesung.

Jadi orang Toraja punya tradisi mengenai konsep strata sosial dan tradisi upacara
kematian yang meriah, yakni rambu solo’.
DAFTAR PUSTAKA

Kabanga’ Andarias. Manusia mati seutuhnya, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002

Kobong. Th. ALUK adat dan kebudayaan Toraja, Jakarta: Institut Theologia Indonesia,
1992.

Wahyuni, Agama dan Pembentukan Struktur Sosial: Pertautan Agama, Budaya, dan
Tradisi, (Jakarta: PRENADAMEDIA,2018).

Anda mungkin juga menyukai