Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Toraja memiliki keunikan budaya dan keindahan alam menakjubkan yang menarik untuk

diteliti. Beberapa sarjana mancanegara telah melakukan penelitian tentang keunikan budaya

dan alam Toraja.1 Dibalik keunikan budaya tersebut, terdapat nilai filosofis yang dihidupi

oleh masyarakat Toraja secara turun temurun. Salah satu falsafah yang melekat pada

kehidupan dan pandangan dunia (worldview) masyarakat Toraja yaitu falsafah Tallu Lolona.

Falsafah ini berkaitan erat dengan kepercayaan leluhur orang Toraja (Aluk Todolo) karena

berangkat dari mitologi penciptaan orang Toraja.

Secara etimologi Tallu Lolona memiliki arti yaitu Tallu = tiga, Lolo= pucuk kehidupan,

Na = menunjuk pada kepemilikan2. Jadi Tallu Lolona adalah tiga pucuk kehidupan, tiga

pucuk kehidupan ini adalah analogi dari ciptaan Tuhan sebagaimana dalam konsepsi

penciptaan yang hidup saling bersinergi dan saling membutuhkan dalam satu kesatuan. Tiga

pucuk kehidupan itu, yakni: Manusia (lolo tau), tumbuhan (lolo tananan), dan hewan (lolo

patuoan). Filosofi ini merupakan nilai religi atau kepercayaan (aluk) dalam tradisional Toraja

yang bertujuan untuk menjaga keutuhan ciptaan satu dengan yang lain. Karena itu, Tallu

lolona menjadi spirit masyarakat Toraja dalam membangun relasi yang baik antara manusia

dengan manusia, serta manusia dengan lingkungan, hewan dan tumbuhan.

Dalam mitologi penciptaan orang Toraja, penciptaan dilakukan oleh Puang Matua dari

bahan yang sama yaitu emas murni (Bulawan), di tempat yang sama yaitu di langit dan dari

1
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh sarajana mancanegara di antaranya; Kathleen M.
Adams (Arts As Politics: Re-crafting Identities, Tourism, And Power ini Tana Toraja) America: Hawai, 2006,
Roxana Waterson (Paths and rivers: Sa’dan Toraja Society in transformation) Laiden: KITLV Press, 2009, Edwin
de Jong (Making a Living betwen Crises and Ceremonies in Tana Toraja), Robert J. Holmgren, Anita E. Spertus
(Early Indonesian Textiles from Three Islan Cultures: Sumba Toraja Lampung), Hetty Nooy Palm (The Sa’dan
Toraja: A Study of Their Social Life and Religion) Yorg: Springer, 2014, Douglas W. Hollan, Jane C. Wellenkamp
(The Theard of Life: Toraja Reflections on the Life Cycle), Terance W. Bigalke (Social Hirtory of Tana Toraja)
Yogyakarta: Ombak, 2016.
2
J. Tammu dan Dr. H. Vander Vein, Kamus Toraja-Indonesia (Toraja; PT. Sulo, 2016), 615.

1
alat yang sama yaitu dari sauan sibarrung.3 Dari penciptaan tersebut lahir delapan nenek

moyang asal (selanjutnya disebut dengan NMA) yaitu: 1. Datu lauku’, Nenek moyang asal

manusia, 2. Ungku, nenek moyang asal kapas, 3. Takkebuku (datu lamemme’) nenek moyang

asal padi, 4. Allotiranda, nenek moyang asal ipuh (racun dari getah pohon), 5. Menturiri,

nenek moyang asal ayam, 6. Manturini, nenek moyang asal kerbau, 7. Riako’, nenek moyang

asal besi, 8. Patalabintin nenek moyang asal batu.4

Abu emas dari sisa-sisa penempaan penciptaan dihambur oleh Puang Matua di lembah, di

bukit dan di berbagai tempat di bumi, yang kemudian tumbuh menjadi ciptaan-ciptaan lain

seperti rumput, pohon-pohon, dan sebagainya. Jadilah misalnya NMA sirih bernama Kaise,

NMA pisang bernama Datu marorrong, NMA bambu bernama Kumirrik, NMA cendana

bernama Labengga. Masih beberapa kali penempaan sehingga jadi NMA api namanya

Lamma, NMA air namanya Bataralamma, NMA Siput namanya Sumandauia.5 Berangkat

dari hal tersebut, jelas bahwa seluruh ciptaan dalam konteks orang Toraja memiliki

keterkaitan yang sangat erat.

Setelah ciptaan-ciptaan tersebut turun ke bumi, mereka kemudian melaksanakan fungsi

yang berbeda-beda sebagaimana kesepakatan bersama Puang Matua. Masing-masing nenek

moyang asal mengetahui fungsinya dan mewariskan fungsi itu kepada keturunannya secara

turun temurun sehingga setiap hewan yang disembelih harus menjadi “persembahan”.6

Sebelum penyembelihan atau penebangan pohon dilakukan janji dalam mitologi penciptaan

tersebut harus terlebih dahulu disebutkan.7 Berangkat dari mitologi tersebut, maka falsafah

Tallu Lolona dikenal dan diterima serta diamini oleh masyarakat tradisional Toraja sebagai

panduan dalam membangun harmoni antara sesama ciptaan. Hal tersebut hendaknya

3
Sauan Sibarung merupakan alat seperti pandai besi (puputan kembar) yang bekerja secara harmoni
sebagai alat untuk menempa besi. Y. A. Sarira., Aluk Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen terhadap Rambu
Solo’ ( Toraja:Pusbag Gereja Toraja, 1996), 39.
4
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 40.
5
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 40.
6
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 42.
7
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 43.

2
senantiasa tercermin dalam pola kebudayaan masyarakat Toraja, termasuk dalam pelaksanaan

ritual untuk membangun relasi yang baik dengan sang pencipta.

Tallu Lolona memiliki nilai yang sangat vital dalam kepercayaan tradisioanal masyarakat

Toraja karena mengajarkan tentang kebahagiaan, kekayaan, kedamaian dan harmoni karena

adanya hubungan timbal balik sebagai hubungan persaudaraan sesama ciptaan. Karena itu,

secara sederhana Tallu Lolona bertujuan untuk mencapai harmoni dengan sang pencipta. Jadi

ketika relasi sesama ciptaan tersebut mengalami disharmoni, maka menjadi pelanggaran

terhadap sang pencipta (Puang Matua).

Tallu Lolona dapat ditemukan atau didengarkan dalam syair sakral doa penyucian kerbau

(Passomba Tedong) yang dilaksanakan pada ritual upacara syukur tingkatan paling tinggi

(Aluk Bua’).8 Ritual Aluk Bua’ adalah ritual keselamatan dan ungkapan syukur atas

keberhasilan pada pelaksanaan membangun rumah adat (Tongkonan), keberhasilan panen

dalam wilayah adat, peresmian atau peralihan arwah menjadi dewa, dimana sesajen yang

dulunya ke barat berubah ke timur (pembalikan pesung).9 Adapun syair Passomba Tedong

diucapkan oleh tokoh agama Aluk Todolo (To Mina) yang berisi 1.186 ayat dan diucapkan

dari Pukul 23.00 – fajar menyingsing. Syair tersebut berisi mengenai; 1. Ucapan terima kasih,

2. Menyeruh kepada Puang Matua, dewa dan leluhur, 3. Sukaran aluk (narasi mitologi &

Tallu Lolona), 4. Menyingkirkan hal-hal yang mengganjal, 5. Permohonan izin untuk

memberikan persembahan.10

Seiring dengan berjalannya waktu, Toraja berjumpa dengan budaya lain melalui

kolonialisasi, kristenisasi, globalisasi, modernisasi dan pendidikan. Tahun 1905 pemerintah

8
Stanislaus Sandarupa, “Kambunni’ Kebudayaan Tallu Lolona Toraja” (Makassar: De La Macca, 2016),
65.
9
Pembalikan pesung dilaksanakan karena adanya kepercayaan bahwa adanya peralihan dari arwah
menjadi dewa, sehingga peletakan sesajean yang dulunya di sebelah Barat Tongkonan berubah ke bagian
sebelah Timur karena dipahami bahwa dewa-dewa berada pada bagian sebelah Timur.
10
Sandarupa, “Kambunni’ Kebudayaan Tallu Lolona ”, 96.

3
Belanda berhasil mengkolonialisasi Toraja.11 Dalam konteks kolonialisasi ini kekristenan

juga berhasil diperkenalkan kepada masyarakat Toraja. Pada tahun 1913 Kekristenan dibawa

oleh Zending GZB (Gereformeerde Zendings Bond) dari Belanda.12 Kolonisasi dan

Kristenisasi telah mengubah struktur kehidupan masyarakat Toraja. Secara khusus perubahan

kepercayaan dari Aluk Todolo ke Kekristenan yang dianggap lebih modern. Perubahan

kepercayaan tersebut membawa dampak terhadap cara orang Toraja dalam memahami

kebudayaannya sendiri.

Sejumlah kebudayaan Toraja yang didasarkan pada pemahaman Aluk Todolo secara

perlahan-lahan mengalami pergeseran menjadi kebudayaan yang didasarkan pada

pemahaman Kristen yang berwajah Barat. Bahkan ada kecenderungan pelaksanaan adat tidak

lagi didasarkan pada kepercayaan apapun baik Aluk Todolo, Islam, Hindu, Buddha dan

Kristen. Nilai religius (Aluk) yang lama menjadi nilai kontrol dan senantiasa terepresentasi

pada setiap pelaksanaan ritual tidak lagi dijadikan sebagai acuan utama. Pelaksanaan adat

berjalan tanpa nilai pengontrol sehingga adat menjadi liar tak terkendali. Kekosongan

kepercayaan (Aluk) sebagai nilai kontrol dalam pelaksanaan adat kemudian tergantikan atau

diisi oleh nilai kontrol atau motif dalam bentuk yang baru seperti prestise, ekonomi kapitalis,

kepentingan/ politik, dan modernisasi.13

Kekosongan motif religius yang digantikan oleh motif yang baru dapat disaksikan pada

pelaksanaan upacara kematian (Rambu Solo’). Hewan yang dikorbankan pada upacara

kematian menyangkut tanggung jawab seseorang terhadap orang tua, atau kakek-nenek (siri’

to mate) sehingga mewajibkan seseorang dengan maksimal untuk melaksanakan upacara

kematian demi keselamatan orang tua, kake-nenek di akhirat. Namun ketika unsur-unsur

kepercayaan tersebut telah telah dihapus dan digantikan oleh motif yang baru maka terjadi

11
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (Yogyakarta: Ombak, 2016), 66-84.
12
Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 123.
13
Philips Tangdilintin, John Liku Ada’, Ishak Ngeljaratan, Pieter Batti dan Yohanis Manta.,
Reinterpertasi dan Reaktualisasi Budaya Toraja (Yogyakarta: Gunung Sopai, 2012), 7.

4
perubahan dari tanggung jawab seseorang terhadap yang meninggal (siri’ tomate) menjadi

harga diri/gengsi pribadi dan keluarga (siri’ to tuo).14 Perubahan tersebut melahirkan

pelaksanaan ritual Rambu Solo’ yang begitu mewah karena upacara kematian secara

berangsur-angsur berubah menjadi manifestasi diri. Aditjondro menyebut bahwa bahwa

selama Orde Baru, jumah kerbau yang dikorbankan meningkat sepuluh kali lipat, akibat

motif-motif persaingan serta demi ritual yang hanya memenuhi hasrat kepentingan

pariwisata.15

Perubahan nilai hidup masyarakat Toraja membawa pergeseran pemahaman dalam relasi

sesama ciptaan sebagaimana yang terkandung dalam Tallu Lolona. Falsafah Tallu Lolona

tidak lagi dipahami sebagai substansi perwujudan sikap solider dan harmoni dalam relasi

sesama ciptaan Tuhan, melainkan telah dipahami sebagai tolak ukur kesuksesan orang

Toraja. Pemaknaan Tallu Lolona dalam tolak ukur ekonomi dan gensi sangat sempit karena

seseorang dianggap suskes ketika memiliki keturunan (Lolo Tau), tanaman (lolo Tananan),

hewan (Lolo Patuan).16 Akibatnya, relasi harmoni antarsesama ciptaan mengalami

perubahan yang mengarah kepada disharmoni sosial dan lingkungan. Perubahan tersebut,

secara signifikan dapat disaksikan dalam ritual Rambu Solo’ (upacara kematian) yang tidak

lagi menghidupi warisan Tallu Lolona sebagai nilai kepercayaan.

Cara pandang masyarakat Toraja mengalami perubahan secara internal. Masyarakat

Toraja dalam perkembangannya, telah banyak berjumpa dengan berbagai aspek “perubahan

material” yang turut membentuk struktur perubahan masyarakat. Misalnya, semakin banyak

orang Toraja yang tidak lagi terlalu tertarik untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaan

tradisional seperti beternak dan bertani, tetapi lebih memilih untuk bekerja di perantauan

yang tentunya berjumpa dengan sistem teknologi modern. Adapun ekonomi pasar yang telah

14
Liku Ada’, Reinterpertasi dan Reaktualisasi, 29.
15
George J. Aditjondro, Pragmatisme Menjadi To Sugi dan To Kapua di Toraja (Jogjakarta: Gunung
Sopai, 2010), 43.
16
Hasil observasi dalam beberapa sambutan-sambutan, pembinaan, seminar pada bulan Desember
2019.

5
bertumbuh dan berkembang di Toraja turut membawa perubahan dalam struktur masyarakat

Toraja. Misalnya, bagaimana pemotongan kerbau dalam ritual Rambu Solo’ yang semakin

tidak terkendali dalam jumlah yang amat banyak, hal tersebut dipengaruhi oleh kepentingan

ekonomi yang telah menguasai pasar penjualan kerbau di Toraja.17

Peningkatan pemotongan hewan, dalam hal ini kerbau (tedong), dalam upacara Rambu

Solo’ semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan akan permintaan

tedong yang terus menerus meningkat bukan karena peningkatan jumlah angka kematian,

melainkan karena peningkatan kekayaan orang Toraja, serta adanya daya saing dalam

pemotongan kerbau untuk mengangkat status sosial.18 Jadi, kemampuan ekonomi menjadi

penentu dalam jumlah pemotongan kerbau, bukan lagi berdasarkan nilai kontrol dalam Aluk

Todolo yang hanya memungkinkan maksimal 24 kerbau pada ritual Rambu Solo’ tingkatan

paling tinggi (Sapu Randanan) dan dilaksanakan oleh strata sosial tingkat atas (Tana’

Bulawan dan Tana’ Bassi).19 Dalam situasi seperti itu, untuk memenuhi kebutuhan kerbau

pada Rambu Solo’ maka dilakukan impor kerbau dari beberapa wilayah seperti, Sulawesi

Barat, Sulawesi Tengah, Luwu’, Kalimantan Timur, Sumbawa, Sumatra, Sulawesi

Tenggara.20 Aditjondro dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa, pengiriman kerbau dari

Sumba (Lemba Besoa) membawa beberapa dampak seperti Besoa yang dulunya didiami

ratusan kerbau kini tinggal sedikit, akibatnya terjadi peningkatan pencurian kerbau.21

Meningkatnya permintaan kerbau pada ritual Rambu Solo’ mengakibatkan harga kerbau

menjadi semakin mahal dari tahun ke tahun bahkan kadang dengan harga yang irasional.

Tentu dengan semakin meningkatnya harga kerbau tersebut juga membawa dampak sosial

dalam kehidupan masyarakat Toraja seperti hutang, korupsi, dan penjualan lahan warisan.

17
Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama dan Kapitalisme”,
Universitas Sanatha Darma, Retorik No 5: Agama dan Praktik Hidup Sehari-Hari (2017).
18
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi, 38.
19
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 109.
20
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi, 39.
21
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi, 53.

6
Kebangkitan modernisasi mengakibatkan merosotnya solidaritas antarsesama ciptaan,

baik itu relasi manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, tanaman serta alam semesta

secara keseluruhan. Masalah sosial dan masalah ekologis kian terasa, mulai pada aras global,

nasional, sampai pada aras lokal. Toraja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat

dunia merasakan masalah sosial dan ekologis, secara khusus dalam ritual kematian Rambu

Solo’. Merosotnya nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat Toraja sekarang ini, secara

khusus dalam ritual Rambu Solo’ karena relasi antara sesama manusia hampir seluruhnya

diukur secara ekonomi. Rambu Solo’ pada masyarakat Toraja telah muncul menjadi barang

dagangan atau diperdagangkan dengan suatu jaringan antara elemen-elemen yang

berkepentingan. Pelaksanaan ritual Rambu Solo’ tidak lagi dikerjakan secara gotong royong

(Siangkaran) seperti sebelumnya, tetapi muncul dalam bentuk-bentuk jasa yang

diperdagangkan. Hal seperti ini tentunya menjadi penghambat utama dalam memajukan taraf

kehidupan orang Toraja untuk lebih maju ke depan oleh karena nilai-nilai kemanusiaan tidak

menjadi perioritas utama dalam hidup bersesama.

Hal lain, yaitu dengan hadirnya adu kerbau (Ma’pasilaga Tedong) dalam “kemasan baru”

pada upacara Rambu Solo’. Mulai pada tahun 2015 hal tersebut menjadi sangat fenomenal

dan kontroversial di tengah masyarakat Toraja. Fenomena ini sangat dominan dibaca sebagai

“judi berkedok budaya”, sehingga tak jarang menjadi polemik serta membawa dampak sosial.

Karena terjadi gesekan di tengah masyarakat, pemerintah, keluarga dan agama. Akhirnya

pelaksanaan ritual Rambu Solo’ cendrung tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya

membawa kohesi dan harmoni sosial dalam masyarakat. Namun penulis melihat persolan dari

sisi lain, yaitu bagaimana ekploitasi terjadi terhadap kerbau dalam kegiatan Ma’pasilaga

Tedong karena kerbau diperlakukan dengan tidak sebagiamana mestinya. Tanduk kerbau

yang ditajamkan kemudian diberi obat doping untuk meningkatkan ketahanan dan keganasan.

7
Hal ini menunjukkan kekerasan terhadap sesama ciptaan karena kerbau dieksploitasi

sedemikian rupa hanya untuk memenuhi hasrat manusia.

Sejak tahun 2017 masyarakat Toraja dikagetkan dengan terjadinya bencana alam berupa

ambruknya beberapa lumbung (Alang) yang ditimpa oleh angin pada beberapa tempat di

Toraja. Salah satu penyebabnya adalah keserakahan manusia dalam mengeksploitasi

penebangan bambu di sekitaran wilayah Tongkonan. Dimana bambu memiliki fungsi sebagai

pelindung yang kuat terhadap kekuatan terpaan angin. Namun permintaan bambu yang sangat

tinggi sebagai bahan utama tempat penerimaan tamu (Lantang) pada ritual Rambu Solo’

mengakibatkan penggundulan hutan bambu tanpa adanya reboisasi. Aditjondro juga

menyebut bahwa peningkatan kwalitas upacara Rambu Solo’ berakibat pada permintaan

bambu dalam jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan hutan bambu di lembah

sungai Sa’dan hampir punah. Hal tersebut berdampak secara ekologis terhadap penurunan

debit air yang merupakan sumber utama irigasi sawah di daerah Pindrang dan Sidendreng-

Rappang yang merupakan gudang beras Sulawesi Selatan.22

Beberapa peneliti telah melakukan studi terkait dengan Tallu Lolona dan relasai sesama

ciptaan di antaranya; Sandarupa yang menyimpulkan bahwa pandangan dunia Tallu Lolona

mengandung nilai-nilai universal yang dapat menjadi sebuah modal pembangunan karakter

bangsa yang komprehensif sehingga dapat diklaim sebagai milik dunia.23 Gasong dalam

artikelnya menyimpulkan bahwa budaya Tallu Lolona merupakan suatu daya tarik wisatawan

berkunjung ke Toraja.24 Adapun Elim Trika Sudarsi dalam tulisannya mengkaji Tallu Lolona

yang tertuang dalam sastra hymne Pasomba Tedong. Sebagai bentuk upaya pelestarian

22
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi, 64.
23
Stanislaus Sandarupa, “Kebudayaan Toraja Modal Bangsa Milik Dunia” (Makassar: Sosiohumaniora,
2014), 3-4.
24
Dina Gasong, Selvy R. Tandiseru, Rachel dan Ishak Pasulu’, “Pelestarian Falsafah Tallu Lolona
Keparawisataan Toraja” (Toraja: Prosiding Semkaristek, 2018), 47-48.

8
hymne Passomba Tedong serta memperkenalkannya kepada generasi muda.25 Dalam tulisan

Indratno menemukan bahwa Tongkonan merupakan simbol kebudayaan pada masyarakat

Toraja yang dilandasi filosofi Tallu Lolona.26

Demikian halnya Saras Dewi menjelaskan bahwa pada relasi manusia dengan alam perlu

adanya suatu rekonstruksi ontologis untuk mengetahui dasar dari problem ekologis yang ada

saat ini.27 Tesis yang diajukan bahwa manusia telah memisahkan diri dari alam, keterpisahan

itu membuat ekuilibrium alam terganggu. Demi mengembalikan hal itu, perlu penegasan

kembali bahwasanya manusia ialah entitas yang tak terpisah dari alam. 28 Adapun Ahmad

Fauzi melihat secara fundamental bahwa relasi manusia dengan hewan merupakan hubungan

yang tidak dapat terpisahkan. Relasi tersebut dilihat melalui representasi dalam sinema.29

Dalam tulisan Sovia Wulandari dan Hadiyanto menjelaskan bahwa relasi manusia, hewan dan

tumbuhan dilihat pada relasi penanda dan petanda dalam ungkapan tradisional masyarakat

Kerinci dari perspektif semiotika. Relasi tersebut adalah relasi atau hubungan yang bersifat

simbolik.30

Fokus penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, karena penulis

lebih melihat pada bagiamana relasi sesama ciptaan sebagaimana dalam falsafah Tallu

Lolona direpresentasikan dalam pelaksanaan ritual dalam masyarakat Toraja. Kemudian

bagiamana Tallu Lolona mengalami perubahan dalam tatanan masyarakat Toraja secara

khusus pada ritual Rambu Solo’ sehingga berdampak secara sosio-ekologis. Sekalipun

25
Elim Trika Sudarsi, Nilma Taula’bi’ dan M. D. Girik Allo, “ Filosofi Tallu Lolona dalam Himne
Passomba Tedong” (Makassar: Sawerigading, 2019), 62-63.
26
Imam Indratno, Sudaryono, Bakti Setiawan dan Kawik Sugiana, “Silau’na Tongkonan Sebagai
Sebuah Realitas Tondok” (Makassar: Ethos Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, 2016), 75–84.
27
Saras Dewi, Ekofenomenolog Mengurai disekulibrium Relasi Manusia Dengan Alam (Tangerang:
Gajah Hidup 2018), 50-55.
28
Saras Dewi, Ekofenomenolog Mengurai Disekulibrium Relasi Manusia Dengan Alam, 60.
29
Ahmad Fauzi, “Dinamika Relasi Manusia dan Hewan dalam Sinema Asia Tenggara”, Balairung:
Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia vol 1 No 2 (2018), 219-233.
30
Sovia Wulandari dan Hadiyanto, “Relasi Petanda dan Penanda dalam Ungkapan Tradisional
Masyarakat Kerinci Dari Perspektif Semiotika”, Jurnal Parafrase, Vol 19 (2019), 131.

9
demikian, tulisan-tulisan dari beberapa peneliti sebelumnya tentu akan turut memperkaya

tulisan ini terutama dari segi informatoris.

Penelitian tesis ini menggunakan pemikiran Piotr Sztompka dalam melihat perubahan

sosial yang terjadi di Toraja. Sztompka menyebutkan bahwa perubahan sosial dapat

dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial yang

menimbulkan perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.31

Dalam artian bahwa perubahan yang terjadi berdampak terhadap perubahan sistem dalam

masyarakat. Perubahan pada bidang-bidang kehidupan tidak melulu membawa bentuk

kemajuan tetapi bisa juga kemunduran. Hal tersebut tentunya menyebabkan suatu pola

kehidupan yang fungsinya tidak serasi terhadap keadaannya. sehingga bisa lebih baik atau

lebih buruk dari sebelumnya. Piotr Sztompka menjelaskan bahwa perubahan meliputi,

pertama perubahan sosial. Perubahan sosial didefinisikan sebagai gejala yang akan selalu

terjadi, sifatnya tidak tetap atau senantiasa bergerak melibatkan dimensi ruang, waktu dan

sistem sosial. Apabila satu sistem berubah maka telah terjadi perubahan pada struktur dalam

masyarakat baik ditingkat yang besar (makro), sedang (mezo), dan kecil (mikro). Kedua,

proses sosial didefinisikan sebagai runtunan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang

sifatnya besar maupun kecil. Perubahan sosial ini sebagai wujud variasi atau modifikasi

dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial dan bentuk-bentuk sosial.32 Perubahan sosial

mempengaruhi perubahan fenomena sosial yang tentunya membawa sejumlah dampak dalam

masyarakat.

Pengaruh modernisasi dalam masyarakat Toraja tentu membawa perubahan dalam cara

berfikir untuk memahami relasi dengan sesama ciptaannya. Max Weber secara detail

memaparkan, masyarakat modern merupakan masyarakat yang sudah mengalami proses

perubahan berpikir dari awalnya percaya terhadap hal-hal yang bersifat mistis atau takhayul

31
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2011), 3.
32
Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, 21.

10
kemudian beralih menjadi lebih berpengetahuan dan cenderung lebih rasional. Menurutnya,

ciri khas masyarakat modern adalah tidak terlepas dari adanya sifat rasionalitas yang tinggi.

Masyarakat modern tidak hanya berdasarkan pada kemajuan teknologi tapi berusaha

membongkar nilai, norma, dan pengetahuan yang berkembang.33 Posisi rasionalitas semacam

itu tentu lebih memahami eksistensi manusia sebagai yang superior dibandingkan dengan

yang lain.

Dalam upaya kajian terhadap Tallu Lolona, tulisan ini akan dibantu dengan menggunakan

pendekatan pemikiran filsuf Arne Naess pada 1972 tentang Deep Ecology, yang merupakan

salah satu pendekatan dalam memandang isu lingkungan. Konsep ini dikemukakan oleh

Naess dengan istilah Ecosophy. Ecosophy dapat diartikan sebagai kearifan mengatur hidup

selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas.34 Arne Naess menjelaskan

bahwa ecosophy merupakan sebuah gerakan kearifan merawat bumi sebagai sebuah rumah

tangga untuk menjadikannya tempat yang nyaman bagi semua kehidupan. Dengan

membangun gerakan bersama seperti itu, budaya baru bisa dimulai, dipertahankan, diajarkan

dan diwariskan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu

generasi ke generasi lain.35

Dengan demikian orientasi utama dari pemikiran ini sangat menekankan perubahan gaya

hidup karena dengan pertimbangan krisis ekologi yang terjadi saat ini karena perilaku

manusia yang sangat eksploitatif sehingga cenderung untuk merusak lingkungan baik secara

langsung maupun tidak.36 Deep ecology menganut prinsip biospheric egalitarianism, yaitu

33
Thomas Kutsch, Modernisasi, Kehidupan Sehari-hari dan Peran-Peran Sosial: Keuntungan dan Biaya
Kehidupan dalam Masyarakat Maju, terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), 184-185.
34
Freya Matthews, “Deep Ecology" in Dale Jamieson, ed, A Companion to Environmental Philosophy
(Maiden, MA: Blackwell Publishers Ltd, 200 I), 221.
35
Matthews, Deep Ecology, 222.
36
Arne Naess, "Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements: A Summary", in Sessions,
George, ed, Deep Ecology for the 21" Century (Boston: Random House, 1995), 95.

11
pengakuan bahwa semua organisme dan mahluk hidup adalah anggota yang sama statusnya

dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama.37

Berangkat dari uraian di atas maka jelas bahwa Toraja memiliki sejumlah kearifan lokal

yang telah mengalami banyak perubahan pemahaman, sehingga patut untuk dieksplorasi

secara kritis. Dengan demikian tulisan ini diberi judul: Tallu Lolona: Relasi Sesama

Ciptaan Dalam Ritual Kematian Rambu Solo’ di Tana Toraja.

I. 2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada di atas, maka masalah dalam tulisan ini

dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa falsafah Tallu Lolona menjadi acuan tertinggi dalam kehidupan

masyarakat Toraja?

2. Bagaimana falsah Tallu Lolona mengalami perubahan pemahaman pada

pelaksanaan ritual Rambu Solo’?

I. 3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah seperti yang disebut di atas, maka tujuan penulisan

tulisan ini adalah:

1. Mendeskripsikan mengapa falsafah Tallu Lolona menjadi acuan nilai tertinggi

dalam kehidupan masyarakat Toraja.

2. Mendeskripsikan mengapa falsafah Tallu Lolona mengalami perubahan

pemahaman dalam pelaksanaan ritual Rambu Solo’.

I. 4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dipaparkan di atas maka

dalam penelitian ini menghasilkan dua manfaat, diantaranya: Manfaat Teoritis: Penulisan

tesis ini diharapkan dapat memperkenalkan dan memberikan sumbangsih pemikiran secara

37
Naes, Shallow and The Deep, 95-96.

12
teoritis kepada seluruh masyarakat secara umum terkait penetrasi dalam perjumpaan budaya

yang melahirkan perubahan dalam struktur masyarakat, serta memberikan perspektif tentang

bagaimana relasi sesama ciptaan direpresentasikan dalam pelaksanaan ritual. Manfaat praktis:

Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi masyarakat

Toraja dalam mempertahankan dan melestaraikan kearifan lokal, serta bagaimana falsafah

Tallu Lolona menjadi salah satu rujukan perspektif penetratif yang patut untuk

dipertimbangkan oleh masyarakat Toraja dalam melaksanakan ritual Rambu Solo’.

I. 5. Metode penelitian

Untuk menjawab latar belakang masalah yang ada di atas maka penelitian ini dilakukan

dengan metode kualitatif deskripstif dengan pendekatan entnografi. Dalam arti penelitian

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah.38

Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif dengan uraian mendalam yang bersumber

dari ucapan, tulisan, maupun perilaku yang dapat diamati dari individu maupun kelompok

yang diteliti.39 Metode kualitatif deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang

tepat, dengan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku

dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan-hubungan,

kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang

berlansung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Data-data tersebut diperoleh melalui

kegiatan pengamatan di lapangan, dan wawancara.40

Pada penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan etnografi. Bagi John W.

Creswell penelitian entnografi merupakan sebuah penelitian kualitatif dimana seorang

38
John W. Creswell, Research Gesign : Pendekatan Metode Penelitian Kualitatif, Kuntitatif dan
Campuran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 248.
39
Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2014), 19.
40
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 6.

13
peneliti menguraikan dan menafsirkan pola bersama dan belajar nilai-nilai, prilaku,

keyakinan dan bahasa dari berbagai kelompok.41 Scharen dan Vigen menjelaskan bahwa

etnografi merupakan proses studi yang penuh perhatian terhadap proses belajar dari pribadi

dan komunitas tentang bahasa/kata-kata, praktik, tradisi, pengalaman, ingatan, wawasan pada

waktu dan tempat tertentu, dalam memahami bagaimana membuat makna yang terhubungkan

dengan budaya, agama, etika, dan apa yang dapat diajarkan kepada komunitas sosial lain

tentang realitas, kebenaran, keindahan, tanggung jawab moral, hubungan dengan yang ilahi,

dan lainnya.42 Tujuan penelitian etnografi bukan hanya untuk mengkonfirmasi atau

membuktikan hipotesis atau klaim teoretis seseorang salah atau benar. Melainkan, belajar

dari peristiwa itu sendiri serta membiarkan pertanyaan dan pengetahuan muncul dari

situasinya, untuk mendapatkan bacaan/data-data mendalam tentang apa yang ada di sana

dengan persyaratannya sendiri.43 Dengan metode ini diharapkan agar data yang sudah

terkumpul selanjutnya dapat disusun menjadi sebuah penelitian ilmiah

Penelitian ini, dilakukan di wilayah Tana Toraja. Dimana data akan diperoleh secara

primer dan sekunder melalui metode observasi, wawancara serta dari buku-buku yang

berkaitan dengan topik penelitian.

Wawancara akan dilakukan bagi sejumlah informan yakni tokoh adat, toko masyarakat, to

mina (toko agama Aluk Todolo), tokoh pemerintah, tokoh gereja dan akademisi.

Pengumpulan data merupakan pencatatan peristiwa-peristiwa, hal-hal, keterangan-

keterangan, atau karekteristik-karakteristik sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan

menunjang atau mendukung penelitian. Observasi merupakan suatu aktivitas penelitian dalam

rangka pengumpulan data sesuai dengan masalah penelitian, melalui proses pengamatan di

lapangan.

41
Creswell, Pendekatan Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, 248.
42
Christian Scharen dan Aana Marie Vigen, Ethnography as Christiany Theology and Etics (London,
Maiden Lane: Continuum International Publishing Group, 2011), 6.
43
Scharen dan Vigen., Ethnography as Christiany Theology, 25.

14
Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi partisipasi pasif yang berarti peneliti

datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan

tersebut.44 Observasi dilakukan ditempat yang menjadi obyek penelitian, yaitu di Tana

Toraja, Sulawesi Selatan. Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data

dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi yang dilakukan oleh

dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan pada yang

diwawancarai (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.45 Wawancara

dilakukan dengan cara pewawancara memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada informan,

dengan asumsi bahwa informan adalah sumber data yang paling tahu mengenai topik yang

akan diteliti. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode wawancara tak terstruktur,

terstruktur dan mendalam. Teknik pengumpulan data lain yang dilakukan adalah studi

pustaka. Metode library research atau studi kepustakaan merupakan usaha untuk

memperoleh data dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan mengidentifikasi

pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku referensi atau hasil

penelitian lain).46

Langkah selanjutnya setelah melakukan penelitian adalah menganalisa data. Terdapat tiga

komponen dalam teknik analisa data yaitu pertama data reduction (pengelompokan data),

kedua data display (penyajian) dan ketiga conclusion (kesimpulan). Mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan hal-hal yang penting. Setelah data

direduksi maka data akan disajikan melalui uraian singkat dengan teks yang bersifat naratif.

Kemudian kesimpulan, setelah data dianalisa melalui pengelompokan dan penyajian maka

44
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2013), 62.
45
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian
Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), 100.
46
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003), 45.

15
tiba pada kesimpulan yang memungkinkan dapat menjawab rumusan masalah yang telah

dirumuskan sejak awal.47

I. 6 Sistematika Penulisan

BAB I Pada bab ini penulis akan memaparkan pendahuluan yang meliputi latar belakang

masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data serta sistematika penulisan.

BAB II Pada bab ini penulis akan membahas mengenai teori yang akan digunakan dalam

penulisan. Yakni teori dari Piotr Sztomka mengenai perubahan sosial dan juga teori

Echosophy dari Arne Naess untuk mendekati relasi sesama ciptaan.

BAB III Pada bagian ini, penulis akan medeskripsikan secara utuh dan akurat menyangkut

gambaran umum lokasi penelitian yang terletak di Tana Toraja serta hasil

penelitian yang telah peneliti lakukan mengenai Falsafah Tallu Lolona dalam ritual

kematian Rambu Solo’ di Tana Toraja.

BAB IV Pada Bab ini penulis akan mengurai mengenai analisis dengan teori tentang

bagaimana perubahan pemahaman terjadi terhadap Falsafah Tallu Lolona. Serta

bagaimana Tallu Lolona menjadi representasi dalam pelaksanaan Ritual Rambu

Solo’.

BAB V Pada bab ini berisikan penutup yakni kesimpulan berupa temuan-temuan yang

diperoleh, saran-saran, dan kontribusi bagi penelitian mendatang.

47
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, 66.

16

Anda mungkin juga menyukai