PENDAHULUAN
Toraja memiliki keunikan budaya dan keindahan alam menakjubkan yang menarik untuk
diteliti. Beberapa sarjana mancanegara telah melakukan penelitian tentang keunikan budaya
dan alam Toraja.1 Dibalik keunikan budaya tersebut, terdapat nilai filosofis yang dihidupi
oleh masyarakat Toraja secara turun temurun. Salah satu falsafah yang melekat pada
kehidupan dan pandangan dunia (worldview) masyarakat Toraja yaitu falsafah Tallu Lolona.
Falsafah ini berkaitan erat dengan kepercayaan leluhur orang Toraja (Aluk Todolo) karena
Secara etimologi Tallu Lolona memiliki arti yaitu Tallu = tiga, Lolo= pucuk kehidupan,
Na = menunjuk pada kepemilikan2. Jadi Tallu Lolona adalah tiga pucuk kehidupan, tiga
pucuk kehidupan ini adalah analogi dari ciptaan Tuhan sebagaimana dalam konsepsi
penciptaan yang hidup saling bersinergi dan saling membutuhkan dalam satu kesatuan. Tiga
pucuk kehidupan itu, yakni: Manusia (lolo tau), tumbuhan (lolo tananan), dan hewan (lolo
patuoan). Filosofi ini merupakan nilai religi atau kepercayaan (aluk) dalam tradisional Toraja
yang bertujuan untuk menjaga keutuhan ciptaan satu dengan yang lain. Karena itu, Tallu
lolona menjadi spirit masyarakat Toraja dalam membangun relasi yang baik antara manusia
Dalam mitologi penciptaan orang Toraja, penciptaan dilakukan oleh Puang Matua dari
bahan yang sama yaitu emas murni (Bulawan), di tempat yang sama yaitu di langit dan dari
1
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh sarajana mancanegara di antaranya; Kathleen M.
Adams (Arts As Politics: Re-crafting Identities, Tourism, And Power ini Tana Toraja) America: Hawai, 2006,
Roxana Waterson (Paths and rivers: Sa’dan Toraja Society in transformation) Laiden: KITLV Press, 2009, Edwin
de Jong (Making a Living betwen Crises and Ceremonies in Tana Toraja), Robert J. Holmgren, Anita E. Spertus
(Early Indonesian Textiles from Three Islan Cultures: Sumba Toraja Lampung), Hetty Nooy Palm (The Sa’dan
Toraja: A Study of Their Social Life and Religion) Yorg: Springer, 2014, Douglas W. Hollan, Jane C. Wellenkamp
(The Theard of Life: Toraja Reflections on the Life Cycle), Terance W. Bigalke (Social Hirtory of Tana Toraja)
Yogyakarta: Ombak, 2016.
2
J. Tammu dan Dr. H. Vander Vein, Kamus Toraja-Indonesia (Toraja; PT. Sulo, 2016), 615.
1
alat yang sama yaitu dari sauan sibarrung.3 Dari penciptaan tersebut lahir delapan nenek
moyang asal (selanjutnya disebut dengan NMA) yaitu: 1. Datu lauku’, Nenek moyang asal
manusia, 2. Ungku, nenek moyang asal kapas, 3. Takkebuku (datu lamemme’) nenek moyang
asal padi, 4. Allotiranda, nenek moyang asal ipuh (racun dari getah pohon), 5. Menturiri,
nenek moyang asal ayam, 6. Manturini, nenek moyang asal kerbau, 7. Riako’, nenek moyang
Abu emas dari sisa-sisa penempaan penciptaan dihambur oleh Puang Matua di lembah, di
bukit dan di berbagai tempat di bumi, yang kemudian tumbuh menjadi ciptaan-ciptaan lain
seperti rumput, pohon-pohon, dan sebagainya. Jadilah misalnya NMA sirih bernama Kaise,
NMA pisang bernama Datu marorrong, NMA bambu bernama Kumirrik, NMA cendana
bernama Labengga. Masih beberapa kali penempaan sehingga jadi NMA api namanya
Lamma, NMA air namanya Bataralamma, NMA Siput namanya Sumandauia.5 Berangkat
dari hal tersebut, jelas bahwa seluruh ciptaan dalam konteks orang Toraja memiliki
moyang asal mengetahui fungsinya dan mewariskan fungsi itu kepada keturunannya secara
turun temurun sehingga setiap hewan yang disembelih harus menjadi “persembahan”.6
Sebelum penyembelihan atau penebangan pohon dilakukan janji dalam mitologi penciptaan
tersebut harus terlebih dahulu disebutkan.7 Berangkat dari mitologi tersebut, maka falsafah
Tallu Lolona dikenal dan diterima serta diamini oleh masyarakat tradisional Toraja sebagai
panduan dalam membangun harmoni antara sesama ciptaan. Hal tersebut hendaknya
3
Sauan Sibarung merupakan alat seperti pandai besi (puputan kembar) yang bekerja secara harmoni
sebagai alat untuk menempa besi. Y. A. Sarira., Aluk Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen terhadap Rambu
Solo’ ( Toraja:Pusbag Gereja Toraja, 1996), 39.
4
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 40.
5
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 40.
6
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 42.
7
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 43.
2
senantiasa tercermin dalam pola kebudayaan masyarakat Toraja, termasuk dalam pelaksanaan
Tallu Lolona memiliki nilai yang sangat vital dalam kepercayaan tradisioanal masyarakat
Toraja karena mengajarkan tentang kebahagiaan, kekayaan, kedamaian dan harmoni karena
adanya hubungan timbal balik sebagai hubungan persaudaraan sesama ciptaan. Karena itu,
secara sederhana Tallu Lolona bertujuan untuk mencapai harmoni dengan sang pencipta. Jadi
ketika relasi sesama ciptaan tersebut mengalami disharmoni, maka menjadi pelanggaran
Tallu Lolona dapat ditemukan atau didengarkan dalam syair sakral doa penyucian kerbau
(Passomba Tedong) yang dilaksanakan pada ritual upacara syukur tingkatan paling tinggi
(Aluk Bua’).8 Ritual Aluk Bua’ adalah ritual keselamatan dan ungkapan syukur atas
dalam wilayah adat, peresmian atau peralihan arwah menjadi dewa, dimana sesajen yang
dulunya ke barat berubah ke timur (pembalikan pesung).9 Adapun syair Passomba Tedong
diucapkan oleh tokoh agama Aluk Todolo (To Mina) yang berisi 1.186 ayat dan diucapkan
dari Pukul 23.00 – fajar menyingsing. Syair tersebut berisi mengenai; 1. Ucapan terima kasih,
2. Menyeruh kepada Puang Matua, dewa dan leluhur, 3. Sukaran aluk (narasi mitologi &
memberikan persembahan.10
Seiring dengan berjalannya waktu, Toraja berjumpa dengan budaya lain melalui
8
Stanislaus Sandarupa, “Kambunni’ Kebudayaan Tallu Lolona Toraja” (Makassar: De La Macca, 2016),
65.
9
Pembalikan pesung dilaksanakan karena adanya kepercayaan bahwa adanya peralihan dari arwah
menjadi dewa, sehingga peletakan sesajean yang dulunya di sebelah Barat Tongkonan berubah ke bagian
sebelah Timur karena dipahami bahwa dewa-dewa berada pada bagian sebelah Timur.
10
Sandarupa, “Kambunni’ Kebudayaan Tallu Lolona ”, 96.
3
Belanda berhasil mengkolonialisasi Toraja.11 Dalam konteks kolonialisasi ini kekristenan
juga berhasil diperkenalkan kepada masyarakat Toraja. Pada tahun 1913 Kekristenan dibawa
oleh Zending GZB (Gereformeerde Zendings Bond) dari Belanda.12 Kolonisasi dan
Kristenisasi telah mengubah struktur kehidupan masyarakat Toraja. Secara khusus perubahan
kepercayaan dari Aluk Todolo ke Kekristenan yang dianggap lebih modern. Perubahan
kepercayaan tersebut membawa dampak terhadap cara orang Toraja dalam memahami
kebudayaannya sendiri.
Sejumlah kebudayaan Toraja yang didasarkan pada pemahaman Aluk Todolo secara
pemahaman Kristen yang berwajah Barat. Bahkan ada kecenderungan pelaksanaan adat tidak
lagi didasarkan pada kepercayaan apapun baik Aluk Todolo, Islam, Hindu, Buddha dan
Kristen. Nilai religius (Aluk) yang lama menjadi nilai kontrol dan senantiasa terepresentasi
pada setiap pelaksanaan ritual tidak lagi dijadikan sebagai acuan utama. Pelaksanaan adat
berjalan tanpa nilai pengontrol sehingga adat menjadi liar tak terkendali. Kekosongan
kepercayaan (Aluk) sebagai nilai kontrol dalam pelaksanaan adat kemudian tergantikan atau
diisi oleh nilai kontrol atau motif dalam bentuk yang baru seperti prestise, ekonomi kapitalis,
Kekosongan motif religius yang digantikan oleh motif yang baru dapat disaksikan pada
pelaksanaan upacara kematian (Rambu Solo’). Hewan yang dikorbankan pada upacara
kematian menyangkut tanggung jawab seseorang terhadap orang tua, atau kakek-nenek (siri’
kematian demi keselamatan orang tua, kake-nenek di akhirat. Namun ketika unsur-unsur
kepercayaan tersebut telah telah dihapus dan digantikan oleh motif yang baru maka terjadi
11
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (Yogyakarta: Ombak, 2016), 66-84.
12
Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 123.
13
Philips Tangdilintin, John Liku Ada’, Ishak Ngeljaratan, Pieter Batti dan Yohanis Manta.,
Reinterpertasi dan Reaktualisasi Budaya Toraja (Yogyakarta: Gunung Sopai, 2012), 7.
4
perubahan dari tanggung jawab seseorang terhadap yang meninggal (siri’ tomate) menjadi
harga diri/gengsi pribadi dan keluarga (siri’ to tuo).14 Perubahan tersebut melahirkan
pelaksanaan ritual Rambu Solo’ yang begitu mewah karena upacara kematian secara
selama Orde Baru, jumah kerbau yang dikorbankan meningkat sepuluh kali lipat, akibat
motif-motif persaingan serta demi ritual yang hanya memenuhi hasrat kepentingan
pariwisata.15
Perubahan nilai hidup masyarakat Toraja membawa pergeseran pemahaman dalam relasi
sesama ciptaan sebagaimana yang terkandung dalam Tallu Lolona. Falsafah Tallu Lolona
tidak lagi dipahami sebagai substansi perwujudan sikap solider dan harmoni dalam relasi
sesama ciptaan Tuhan, melainkan telah dipahami sebagai tolak ukur kesuksesan orang
Toraja. Pemaknaan Tallu Lolona dalam tolak ukur ekonomi dan gensi sangat sempit karena
seseorang dianggap suskes ketika memiliki keturunan (Lolo Tau), tanaman (lolo Tananan),
perubahan yang mengarah kepada disharmoni sosial dan lingkungan. Perubahan tersebut,
secara signifikan dapat disaksikan dalam ritual Rambu Solo’ (upacara kematian) yang tidak
Toraja dalam perkembangannya, telah banyak berjumpa dengan berbagai aspek “perubahan
material” yang turut membentuk struktur perubahan masyarakat. Misalnya, semakin banyak
orang Toraja yang tidak lagi terlalu tertarik untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaan
tradisional seperti beternak dan bertani, tetapi lebih memilih untuk bekerja di perantauan
yang tentunya berjumpa dengan sistem teknologi modern. Adapun ekonomi pasar yang telah
14
Liku Ada’, Reinterpertasi dan Reaktualisasi, 29.
15
George J. Aditjondro, Pragmatisme Menjadi To Sugi dan To Kapua di Toraja (Jogjakarta: Gunung
Sopai, 2010), 43.
16
Hasil observasi dalam beberapa sambutan-sambutan, pembinaan, seminar pada bulan Desember
2019.
5
bertumbuh dan berkembang di Toraja turut membawa perubahan dalam struktur masyarakat
Toraja. Misalnya, bagaimana pemotongan kerbau dalam ritual Rambu Solo’ yang semakin
tidak terkendali dalam jumlah yang amat banyak, hal tersebut dipengaruhi oleh kepentingan
Peningkatan pemotongan hewan, dalam hal ini kerbau (tedong), dalam upacara Rambu
Solo’ semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan akan permintaan
tedong yang terus menerus meningkat bukan karena peningkatan jumlah angka kematian,
melainkan karena peningkatan kekayaan orang Toraja, serta adanya daya saing dalam
pemotongan kerbau untuk mengangkat status sosial.18 Jadi, kemampuan ekonomi menjadi
penentu dalam jumlah pemotongan kerbau, bukan lagi berdasarkan nilai kontrol dalam Aluk
Todolo yang hanya memungkinkan maksimal 24 kerbau pada ritual Rambu Solo’ tingkatan
paling tinggi (Sapu Randanan) dan dilaksanakan oleh strata sosial tingkat atas (Tana’
Bulawan dan Tana’ Bassi).19 Dalam situasi seperti itu, untuk memenuhi kebutuhan kerbau
pada Rambu Solo’ maka dilakukan impor kerbau dari beberapa wilayah seperti, Sulawesi
Sumba (Lemba Besoa) membawa beberapa dampak seperti Besoa yang dulunya didiami
ratusan kerbau kini tinggal sedikit, akibatnya terjadi peningkatan pencurian kerbau.21
Meningkatnya permintaan kerbau pada ritual Rambu Solo’ mengakibatkan harga kerbau
menjadi semakin mahal dari tahun ke tahun bahkan kadang dengan harga yang irasional.
Tentu dengan semakin meningkatnya harga kerbau tersebut juga membawa dampak sosial
dalam kehidupan masyarakat Toraja seperti hutang, korupsi, dan penjualan lahan warisan.
17
Frans Pangrante, “Mantunu Tedong Dalam Pusaran Ideologi Adat, Agama dan Kapitalisme”,
Universitas Sanatha Darma, Retorik No 5: Agama dan Praktik Hidup Sehari-Hari (2017).
18
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi, 38.
19
Sarira, Aluk Rambu Solo’, 109.
20
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi, 39.
21
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi, 53.
6
Kebangkitan modernisasi mengakibatkan merosotnya solidaritas antarsesama ciptaan,
baik itu relasi manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, tanaman serta alam semesta
secara keseluruhan. Masalah sosial dan masalah ekologis kian terasa, mulai pada aras global,
nasional, sampai pada aras lokal. Toraja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat
dunia merasakan masalah sosial dan ekologis, secara khusus dalam ritual kematian Rambu
Solo’. Merosotnya nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat Toraja sekarang ini, secara
khusus dalam ritual Rambu Solo’ karena relasi antara sesama manusia hampir seluruhnya
diukur secara ekonomi. Rambu Solo’ pada masyarakat Toraja telah muncul menjadi barang
berkepentingan. Pelaksanaan ritual Rambu Solo’ tidak lagi dikerjakan secara gotong royong
diperdagangkan. Hal seperti ini tentunya menjadi penghambat utama dalam memajukan taraf
kehidupan orang Toraja untuk lebih maju ke depan oleh karena nilai-nilai kemanusiaan tidak
Hal lain, yaitu dengan hadirnya adu kerbau (Ma’pasilaga Tedong) dalam “kemasan baru”
pada upacara Rambu Solo’. Mulai pada tahun 2015 hal tersebut menjadi sangat fenomenal
dan kontroversial di tengah masyarakat Toraja. Fenomena ini sangat dominan dibaca sebagai
“judi berkedok budaya”, sehingga tak jarang menjadi polemik serta membawa dampak sosial.
Karena terjadi gesekan di tengah masyarakat, pemerintah, keluarga dan agama. Akhirnya
pelaksanaan ritual Rambu Solo’ cendrung tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya
membawa kohesi dan harmoni sosial dalam masyarakat. Namun penulis melihat persolan dari
sisi lain, yaitu bagaimana ekploitasi terjadi terhadap kerbau dalam kegiatan Ma’pasilaga
Tedong karena kerbau diperlakukan dengan tidak sebagiamana mestinya. Tanduk kerbau
yang ditajamkan kemudian diberi obat doping untuk meningkatkan ketahanan dan keganasan.
7
Hal ini menunjukkan kekerasan terhadap sesama ciptaan karena kerbau dieksploitasi
Sejak tahun 2017 masyarakat Toraja dikagetkan dengan terjadinya bencana alam berupa
ambruknya beberapa lumbung (Alang) yang ditimpa oleh angin pada beberapa tempat di
penebangan bambu di sekitaran wilayah Tongkonan. Dimana bambu memiliki fungsi sebagai
pelindung yang kuat terhadap kekuatan terpaan angin. Namun permintaan bambu yang sangat
tinggi sebagai bahan utama tempat penerimaan tamu (Lantang) pada ritual Rambu Solo’
menyebut bahwa peningkatan kwalitas upacara Rambu Solo’ berakibat pada permintaan
bambu dalam jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan hutan bambu di lembah
sungai Sa’dan hampir punah. Hal tersebut berdampak secara ekologis terhadap penurunan
debit air yang merupakan sumber utama irigasi sawah di daerah Pindrang dan Sidendreng-
Beberapa peneliti telah melakukan studi terkait dengan Tallu Lolona dan relasai sesama
ciptaan di antaranya; Sandarupa yang menyimpulkan bahwa pandangan dunia Tallu Lolona
mengandung nilai-nilai universal yang dapat menjadi sebuah modal pembangunan karakter
bangsa yang komprehensif sehingga dapat diklaim sebagai milik dunia.23 Gasong dalam
artikelnya menyimpulkan bahwa budaya Tallu Lolona merupakan suatu daya tarik wisatawan
berkunjung ke Toraja.24 Adapun Elim Trika Sudarsi dalam tulisannya mengkaji Tallu Lolona
yang tertuang dalam sastra hymne Pasomba Tedong. Sebagai bentuk upaya pelestarian
22
Aditjondro, Pragmatisme Menjadi, 64.
23
Stanislaus Sandarupa, “Kebudayaan Toraja Modal Bangsa Milik Dunia” (Makassar: Sosiohumaniora,
2014), 3-4.
24
Dina Gasong, Selvy R. Tandiseru, Rachel dan Ishak Pasulu’, “Pelestarian Falsafah Tallu Lolona
Keparawisataan Toraja” (Toraja: Prosiding Semkaristek, 2018), 47-48.
8
hymne Passomba Tedong serta memperkenalkannya kepada generasi muda.25 Dalam tulisan
Demikian halnya Saras Dewi menjelaskan bahwa pada relasi manusia dengan alam perlu
adanya suatu rekonstruksi ontologis untuk mengetahui dasar dari problem ekologis yang ada
saat ini.27 Tesis yang diajukan bahwa manusia telah memisahkan diri dari alam, keterpisahan
itu membuat ekuilibrium alam terganggu. Demi mengembalikan hal itu, perlu penegasan
kembali bahwasanya manusia ialah entitas yang tak terpisah dari alam. 28 Adapun Ahmad
Fauzi melihat secara fundamental bahwa relasi manusia dengan hewan merupakan hubungan
yang tidak dapat terpisahkan. Relasi tersebut dilihat melalui representasi dalam sinema.29
Dalam tulisan Sovia Wulandari dan Hadiyanto menjelaskan bahwa relasi manusia, hewan dan
tumbuhan dilihat pada relasi penanda dan petanda dalam ungkapan tradisional masyarakat
Kerinci dari perspektif semiotika. Relasi tersebut adalah relasi atau hubungan yang bersifat
simbolik.30
lebih melihat pada bagiamana relasi sesama ciptaan sebagaimana dalam falsafah Tallu
bagiamana Tallu Lolona mengalami perubahan dalam tatanan masyarakat Toraja secara
khusus pada ritual Rambu Solo’ sehingga berdampak secara sosio-ekologis. Sekalipun
25
Elim Trika Sudarsi, Nilma Taula’bi’ dan M. D. Girik Allo, “ Filosofi Tallu Lolona dalam Himne
Passomba Tedong” (Makassar: Sawerigading, 2019), 62-63.
26
Imam Indratno, Sudaryono, Bakti Setiawan dan Kawik Sugiana, “Silau’na Tongkonan Sebagai
Sebuah Realitas Tondok” (Makassar: Ethos Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, 2016), 75–84.
27
Saras Dewi, Ekofenomenolog Mengurai disekulibrium Relasi Manusia Dengan Alam (Tangerang:
Gajah Hidup 2018), 50-55.
28
Saras Dewi, Ekofenomenolog Mengurai Disekulibrium Relasi Manusia Dengan Alam, 60.
29
Ahmad Fauzi, “Dinamika Relasi Manusia dan Hewan dalam Sinema Asia Tenggara”, Balairung:
Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia vol 1 No 2 (2018), 219-233.
30
Sovia Wulandari dan Hadiyanto, “Relasi Petanda dan Penanda dalam Ungkapan Tradisional
Masyarakat Kerinci Dari Perspektif Semiotika”, Jurnal Parafrase, Vol 19 (2019), 131.
9
demikian, tulisan-tulisan dari beberapa peneliti sebelumnya tentu akan turut memperkaya
Penelitian tesis ini menggunakan pemikiran Piotr Sztompka dalam melihat perubahan
sosial yang terjadi di Toraja. Sztompka menyebutkan bahwa perubahan sosial dapat
dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial yang
menimbulkan perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.31
Dalam artian bahwa perubahan yang terjadi berdampak terhadap perubahan sistem dalam
kemajuan tetapi bisa juga kemunduran. Hal tersebut tentunya menyebabkan suatu pola
kehidupan yang fungsinya tidak serasi terhadap keadaannya. sehingga bisa lebih baik atau
lebih buruk dari sebelumnya. Piotr Sztompka menjelaskan bahwa perubahan meliputi,
pertama perubahan sosial. Perubahan sosial didefinisikan sebagai gejala yang akan selalu
terjadi, sifatnya tidak tetap atau senantiasa bergerak melibatkan dimensi ruang, waktu dan
sistem sosial. Apabila satu sistem berubah maka telah terjadi perubahan pada struktur dalam
masyarakat baik ditingkat yang besar (makro), sedang (mezo), dan kecil (mikro). Kedua,
proses sosial didefinisikan sebagai runtunan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang
sifatnya besar maupun kecil. Perubahan sosial ini sebagai wujud variasi atau modifikasi
dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial dan bentuk-bentuk sosial.32 Perubahan sosial
mempengaruhi perubahan fenomena sosial yang tentunya membawa sejumlah dampak dalam
masyarakat.
Pengaruh modernisasi dalam masyarakat Toraja tentu membawa perubahan dalam cara
berfikir untuk memahami relasi dengan sesama ciptaannya. Max Weber secara detail
perubahan berpikir dari awalnya percaya terhadap hal-hal yang bersifat mistis atau takhayul
31
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2011), 3.
32
Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, 21.
10
kemudian beralih menjadi lebih berpengetahuan dan cenderung lebih rasional. Menurutnya,
ciri khas masyarakat modern adalah tidak terlepas dari adanya sifat rasionalitas yang tinggi.
Masyarakat modern tidak hanya berdasarkan pada kemajuan teknologi tapi berusaha
membongkar nilai, norma, dan pengetahuan yang berkembang.33 Posisi rasionalitas semacam
itu tentu lebih memahami eksistensi manusia sebagai yang superior dibandingkan dengan
yang lain.
Dalam upaya kajian terhadap Tallu Lolona, tulisan ini akan dibantu dengan menggunakan
pendekatan pemikiran filsuf Arne Naess pada 1972 tentang Deep Ecology, yang merupakan
salah satu pendekatan dalam memandang isu lingkungan. Konsep ini dikemukakan oleh
Naess dengan istilah Ecosophy. Ecosophy dapat diartikan sebagai kearifan mengatur hidup
selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas.34 Arne Naess menjelaskan
bahwa ecosophy merupakan sebuah gerakan kearifan merawat bumi sebagai sebuah rumah
tangga untuk menjadikannya tempat yang nyaman bagi semua kehidupan. Dengan
membangun gerakan bersama seperti itu, budaya baru bisa dimulai, dipertahankan, diajarkan
dan diwariskan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu
Dengan demikian orientasi utama dari pemikiran ini sangat menekankan perubahan gaya
hidup karena dengan pertimbangan krisis ekologi yang terjadi saat ini karena perilaku
manusia yang sangat eksploitatif sehingga cenderung untuk merusak lingkungan baik secara
langsung maupun tidak.36 Deep ecology menganut prinsip biospheric egalitarianism, yaitu
33
Thomas Kutsch, Modernisasi, Kehidupan Sehari-hari dan Peran-Peran Sosial: Keuntungan dan Biaya
Kehidupan dalam Masyarakat Maju, terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), 184-185.
34
Freya Matthews, “Deep Ecology" in Dale Jamieson, ed, A Companion to Environmental Philosophy
(Maiden, MA: Blackwell Publishers Ltd, 200 I), 221.
35
Matthews, Deep Ecology, 222.
36
Arne Naess, "Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements: A Summary", in Sessions,
George, ed, Deep Ecology for the 21" Century (Boston: Random House, 1995), 95.
11
pengakuan bahwa semua organisme dan mahluk hidup adalah anggota yang sama statusnya
dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama.37
Berangkat dari uraian di atas maka jelas bahwa Toraja memiliki sejumlah kearifan lokal
yang telah mengalami banyak perubahan pemahaman, sehingga patut untuk dieksplorasi
secara kritis. Dengan demikian tulisan ini diberi judul: Tallu Lolona: Relasi Sesama
I. 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada di atas, maka masalah dalam tulisan ini
masyarakat Toraja?
I. 3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah seperti yang disebut di atas, maka tujuan penulisan
I. 4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dipaparkan di atas maka
dalam penelitian ini menghasilkan dua manfaat, diantaranya: Manfaat Teoritis: Penulisan
tesis ini diharapkan dapat memperkenalkan dan memberikan sumbangsih pemikiran secara
37
Naes, Shallow and The Deep, 95-96.
12
teoritis kepada seluruh masyarakat secara umum terkait penetrasi dalam perjumpaan budaya
yang melahirkan perubahan dalam struktur masyarakat, serta memberikan perspektif tentang
bagaimana relasi sesama ciptaan direpresentasikan dalam pelaksanaan ritual. Manfaat praktis:
Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi masyarakat
Toraja dalam mempertahankan dan melestaraikan kearifan lokal, serta bagaimana falsafah
Tallu Lolona menjadi salah satu rujukan perspektif penetratif yang patut untuk
I. 5. Metode penelitian
Untuk menjawab latar belakang masalah yang ada di atas maka penelitian ini dilakukan
dengan metode kualitatif deskripstif dengan pendekatan entnografi. Dalam arti penelitian
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah.38
Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif dengan uraian mendalam yang bersumber
dari ucapan, tulisan, maupun perilaku yang dapat diamati dari individu maupun kelompok
yang diteliti.39 Metode kualitatif deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat, dengan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku
berlansung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Data-data tersebut diperoleh melalui
Pada penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan etnografi. Bagi John W.
38
John W. Creswell, Research Gesign : Pendekatan Metode Penelitian Kualitatif, Kuntitatif dan
Campuran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 248.
39
Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2014), 19.
40
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 6.
13
peneliti menguraikan dan menafsirkan pola bersama dan belajar nilai-nilai, prilaku,
keyakinan dan bahasa dari berbagai kelompok.41 Scharen dan Vigen menjelaskan bahwa
etnografi merupakan proses studi yang penuh perhatian terhadap proses belajar dari pribadi
dan komunitas tentang bahasa/kata-kata, praktik, tradisi, pengalaman, ingatan, wawasan pada
waktu dan tempat tertentu, dalam memahami bagaimana membuat makna yang terhubungkan
dengan budaya, agama, etika, dan apa yang dapat diajarkan kepada komunitas sosial lain
tentang realitas, kebenaran, keindahan, tanggung jawab moral, hubungan dengan yang ilahi,
dan lainnya.42 Tujuan penelitian etnografi bukan hanya untuk mengkonfirmasi atau
membuktikan hipotesis atau klaim teoretis seseorang salah atau benar. Melainkan, belajar
dari peristiwa itu sendiri serta membiarkan pertanyaan dan pengetahuan muncul dari
situasinya, untuk mendapatkan bacaan/data-data mendalam tentang apa yang ada di sana
dengan persyaratannya sendiri.43 Dengan metode ini diharapkan agar data yang sudah
Penelitian ini, dilakukan di wilayah Tana Toraja. Dimana data akan diperoleh secara
primer dan sekunder melalui metode observasi, wawancara serta dari buku-buku yang
Wawancara akan dilakukan bagi sejumlah informan yakni tokoh adat, toko masyarakat, to
mina (toko agama Aluk Todolo), tokoh pemerintah, tokoh gereja dan akademisi.
keterangan, atau karekteristik-karakteristik sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan
menunjang atau mendukung penelitian. Observasi merupakan suatu aktivitas penelitian dalam
rangka pengumpulan data sesuai dengan masalah penelitian, melalui proses pengamatan di
lapangan.
41
Creswell, Pendekatan Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, 248.
42
Christian Scharen dan Aana Marie Vigen, Ethnography as Christiany Theology and Etics (London,
Maiden Lane: Continuum International Publishing Group, 2011), 6.
43
Scharen dan Vigen., Ethnography as Christiany Theology, 25.
14
Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi partisipasi pasif yang berarti peneliti
datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan
tersebut.44 Observasi dilakukan ditempat yang menjadi obyek penelitian, yaitu di Tana
Toraja, Sulawesi Selatan. Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data
dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi yang dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan pada yang
dengan asumsi bahwa informan adalah sumber data yang paling tahu mengenai topik yang
akan diteliti. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode wawancara tak terstruktur,
terstruktur dan mendalam. Teknik pengumpulan data lain yang dilakukan adalah studi
pustaka. Metode library research atau studi kepustakaan merupakan usaha untuk
pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku referensi atau hasil
penelitian lain).46
Langkah selanjutnya setelah melakukan penelitian adalah menganalisa data. Terdapat tiga
komponen dalam teknik analisa data yaitu pertama data reduction (pengelompokan data),
kedua data display (penyajian) dan ketiga conclusion (kesimpulan). Mereduksi data berarti
merangkum, memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan hal-hal yang penting. Setelah data
direduksi maka data akan disajikan melalui uraian singkat dengan teks yang bersifat naratif.
Kemudian kesimpulan, setelah data dianalisa melalui pengelompokan dan penyajian maka
44
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2013), 62.
45
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian
Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), 100.
46
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003), 45.
15
tiba pada kesimpulan yang memungkinkan dapat menjawab rumusan masalah yang telah
I. 6 Sistematika Penulisan
BAB I Pada bab ini penulis akan memaparkan pendahuluan yang meliputi latar belakang
BAB II Pada bab ini penulis akan membahas mengenai teori yang akan digunakan dalam
penulisan. Yakni teori dari Piotr Sztomka mengenai perubahan sosial dan juga teori
BAB III Pada bagian ini, penulis akan medeskripsikan secara utuh dan akurat menyangkut
gambaran umum lokasi penelitian yang terletak di Tana Toraja serta hasil
penelitian yang telah peneliti lakukan mengenai Falsafah Tallu Lolona dalam ritual
BAB IV Pada Bab ini penulis akan mengurai mengenai analisis dengan teori tentang
Solo’.
BAB V Pada bab ini berisikan penutup yakni kesimpulan berupa temuan-temuan yang
47
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, 66.
16