Anda di halaman 1dari 101

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang Masalah

Dalam penulisan ini, penulis akan mengkaji tentang perubahan yang

terjadi dalam ritual Ma’bulle Tomate yang awalnya ritual ini diiringi dengan

Ma’badong dan sekarang diganti dengan nyanyian-nyanyian rohani milik

kekristenan. Ritual Ma’bulle Tomate ini merupakan salah satu ritual yang terdapat

dalam Rambu Solo’. Rambu Solo’1 adalah serangkaian peristiwa yang dilakukan

mulai dari meninggalnya salah satu kerabat sampai pada masa penguburannya.

Ma’bulle Tomate’’ dalam bahasa Indonesia artinya memikul mayat. Mengapa

dalam ritual kematian yang berakar pada Aluk Todolo masyarakat menggunakan

nyanyian Kristen ? Ini disebabkan karena pengaruh kekristenan yang sangat kuat

dan semuanya berjalan seiring dengan keadaan di mana masyarakat telah

menganut kepercayaan Kristen.

Kekristenan di Toraja mulai masuk di Toraja sekitar tahun 1906 yang

dibawahi oleh para misionaris Gereformeerde Zendings Bond (GZB) yakni

pasukan Hindia Belanda. Ketika para misionaris GZB memperbaiki pandangan

mereka terhadap desa mereka mulai menekankan penggunaan yang lebih besar

dari guru-guru dan penginjil Toraja. Misi Kristen berhasil dalam membuka soal

adanya perpecahan, melalui apa Kristen bisa masuk ke berbagai masyarakat

1
Rambu Solo’ adalah upacara adat kematian yang ada di Toraja yang dimulai dari
meninggalnya hingga pada penguburan dari si mati. Beberapa daerah di Toraja (secara khusus
Toraja Utara) ada yang menyimpan mayat di atas rumah (Tongkonan : Rumah Adat Toraja) lalu
mencarikan dana untuk melaksanakan upacara ini. Masa penyimpanan ini, si mati masih dianggap
ada dan sedang tertidur sehingga para kerabat tetap mengunjunginya dengan memberikan
makanan, rokok atau sirih. Rambu artinya asap,Solo’ artinya turun yang berarti upacara ini mulai
dilakukan saat matahari sudah mulai hampir terbenam atau sekitar jam 12 ke atas.
Toraja. Van de Loodsdrecht2 dengan berani mengambil sebuah isu keagamaan

tentang aspek-aspek yang kejam dari perpecahan itu. Konstribusi yang paling

penting van de Losdrecht adalah pilihannya untuk memakai nama ‘’Puang

Matua’’3 sebagai tuhannya orang Kristen. Kepercayaan-kepercayaan lama

mungkin melekat dengan nama Puang Matua namun pada waktunya kepercayaan

Kristen akan menggantikan kepercayaan lama yaitu Aluk Todolo.4

Menurut kepercayaan dalam Alukta, Puang Matua (Tuhan Sang Pencipta)

sendirilah yang menciptakan seisi alam ini bersama dengan Aluk (agama). Tugas

dan kewajiban dari semua yang diciptakan yaitu memuliakan dan menyembah dan

menyembah Sang Pencipta (Puang Matua) dan para dewa sebagai pesuruhNya.

Cara-cara memuliakan dan menyembah itu diatur oleh Sang Pencipta sendiri

dalam bentuk Aluk (agama), dengan upacara-upacaranya (lentenan Aluk) dan

larangan-larangan (pemali). Aluk dan Pemali dipelihara serta diwariskan turun

temurun dengan nama Aluk to Dolo.5

Beberapa orang telah meneliti ritual yang ada di Toraja salah satunya yaitu

H. Van Der Veen yang meneliti tentang The Merok Feast of the Sa’dan Toraja.6

Secara khusus mengenai Ma’bulle Tomate juga telah dikembangkan oleh

beberapa penulis dengan kajiannya masing-masing. Selpiande mengkaji ritual

Ma’bulle Tomate dalam perspektif nilai-nilai teologis yang terkandung dalam

ritual Ma’bulle Tomate. Hal yang sama pula telah ditulis oleh Giovanna Samantha
2
Van de Losdercht adalah tokoh yang paling terkenal dari misionaris GZB yang berasal
dari Hindia Belanda, yang pertama-tama datang untuk membawa Injil ke Toraja.
3
Puang Matua merupakan sebutan Tuhan Allah dalam kepercayaan Aluk Todolo.
4
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (Yogyakarta : Ombak,2016),166-169.
5
John Liku Ada’, Aluk To Dolo Menantikan Kristus (Yogyakarta : Gunung
Sopai,2019),14-15.
6
H. Van Deer Veen, The Merok Feast of the Sa’dan Toradja (Springer-Science+Business
Media,1965),3.

2
Lakburlawal dengan menganalisa pemahaman Gereja Toraja terhadap

Ma’badong. Senada dengan itu, Daud Pasila, dengan kajiannya Badong Sebagai

Penghiburan Atas Dukacita Dalam Upacara Rambu Solo’ Masyarakat Kristen

Lameme : Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Tradisi Badong Di Tanah

Toraja.7 Namun, tulisan tentang Memori Budaya Aluk Todolo pada Tradisi

Nyanyian Kristen dalam Ritual Kematian belum ada yang mengkajinya karena itu

penulis tertarik untuk menulis hal tersebut.

Keunikan yang dimiliki oleh masyarakat Gandangbatu yang

membedakannya dengan masyarakat lain di Tana Toraja dan Toraja Utara adalah

pelaksanaan Ritual Ma’bulle Tomate di mana masyarakat saat memikul mayat

diiringi dengan nyanyian-nyanyian rohani Kristen dalam bahasa Toraja.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang penulis lakukan, penulis

mendapatkan bahwa bagi masyarakat Gandangbatu mayat yang diantarkan ke

pemakaman harus dipikul bersama-sama sambil menyanyikan lagu-lagu rohani

dalam bahasa Toraja. Ritual Ma’bulle Tomate ini hanya dilakukan oleh para kaum

laki-laki, dari yang muda hingga dewasa dan tanpa sadar tradisi ini diwariskan

secara turun temurun karena lagu-lagu yang dinyanyikan meskipun dalam bahasa

suka Toraja para kaum muda pun bisa menyanyikannya. Memikul mayat sambil

bernyanyi disertai kaki melangkah maju dan mundur, sehingga meskipun jarak

7
Selpiande,’’Kajian Sosio-Teologis terhadap Nilai-nilai yang terkandung dalam Ritual
Ma’bulle Tomate (Skripsi, Fakultas Teologi Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja,2017),
Giovanna Samantha Lakburlawal, ‘Pemahaman Gereja Toraja terhadap Ma’badong (Skripsi,
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana,2017), Daud Pasila, dengan kajiannya
Badong Sebagai Penghiburan Atas Dukacita Dalam Upacara Rambu Solo’ Masyarakat Kristen
Lameme : Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap Tradisi Badong Di Tanah Toraja,(Skripsi
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana,2017).

3
dari rumah duka ke pemakaman hanya beberapa kilometer saja mayat

membutuhan waktu berjam-jam untuk sampai pada tempat penguburan.

Menyanyi dalam ritual Ma’bulle Tomate belum dikenal dalam agama

Aluk Todolo8, yang mereka lakukan adalah Ma’badong sesuai dengan strata

sosialnya. Sejak kekristenan masuk di Gandangbatu pada tahun 1906 barulah

masyarakat mulai mengenal nyanyian rohani dan menggunakannya dalam setiap

ritual ibadah juga dalam ritual Ma’bulle Tomate. Sesungguhnya sebagian

masyarakat masih sangat merindukan ritual Ma’bulle Tomate diiringi dengan

Badong bukan dengan nyanyian, namun yang terjadi saat ini dalam masyarakat

Ma’bulle Tomate diiringi dengan nyanyian. 9

Badong sudah tidak pernah lagi dipakai untuk mengiri ritual Ma’bulle

Tomate. Badong adalah tarian dan nyanyian kedukaan yang ada di Toraja. Badong

adalah sebuah tari dan nyanyian berisi syair kedukaan yang diadakan di upacara

kematian di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian Badong dilakukan secara

berkelompok oleh pria dan wanita setengah baya atau tua dengan cara membentuk

lingkaran besar dan bergerak. Dalam upacara pemakaman menengah ke atas pada

umumnya salah satu bagian dari pelaksanaannya ialah menggelar upacara Ma’
10
badong. Tradisi Badong dalam Aluk Todolo beralih kepada nyanyian sejak

keristenan masuk di Gandangbatu bahkan Toraja keseluruhan. Persoalan yang

8
Aluk Todolo adalah agama lokal yang ada di Toraja, yang kini hampir punah setelah
masuknya kekristenan pada tahun 1913 berdasarkan data dari hasil wawancara penulis dengan
Bapak Matius Limin. Beliau adalah salah satu tokoh adat yang berdomisili di Desa Gandangbatu.
Agama Aluk Todolo yang hampir punah ini, sampai sekarag ini pemeluknya sebagian besar
berdomisili di Toraja Barat. Daerah-daerah pelosok yang hapir sama sekali tidak mengenal
teknologi.
9
Wawancara dengan Matius Limin, pada tanggal 14 Maret 2019, pukul 06.00 WIB.
10
Dahlia : Analisis Wacana Ma’badong (Salah Satu Upacara Rambu Solok Di Tana
Toraja), Jurnal Perspektif Budaya , Vol.01, Nomor 02,Desember, 2016.

4
muncul adalah Ma’badong tidak dipakai lagi untuk mengiringi ritual Ma’bulle

Tomate, sementara masyarakat masih sangat merindukannya seperti saat

masyarakat masih menganut kepercayaan Aluk Todolo.

Dalam penulisan ini, penulis akan menggunakan beberapa literatur yang

dapat membantu untuk menjelaskan bagaimana Memori Budaya Aluk Todolo pada

Tradisi Nyanyian Kristen dalam Ritual Kematian di Toraja. Adapun dua literatur

utama yang akan penulis gunakan yaitu karya Jeanette Rodriguess dan Ted Fortier

tentang Memori Budaya11 dan teori dari Massimo Rosati mengenai Ritual and

Sacred.12 Penulis memilih ke dua teori ini karena penulis melihat adanya korelasi

antara teori tersebut dengan masalah yang akan dikaji nantinya tentang ritual dan

memori budaya. Rodriguess dan Fortier menjelaskan bahwa tanpa ingatan,

kehidupan tidak akan memiliki koherensi sama sekali. Realisasi tentang

bagaimana masa lalu itu memberi informasi pada saat ini, dan membangun masa

depan yang mungkin tidak terlalu diperhatikan. 13 Dua elemen yang sama dapat

ditemukan dalam memori budaya: itu adalah mengingat dan memiliki memori

ingatan. Satu sisi memori budaya adalah traditio, prosesnya. Melalui budaya,

masyarakat dapat mengingat kembali apa yang pernah dilakukan di masa lalu. 14

Ingatan menjadi penting sebagai mekanisme bertahan hidup ketika menjadi bagian

dari cara artistik, sarat emosi dalam membentuk identitas dan makna kelompok.

Rodriguess menambahkan bahwa perlu ada kesadaran mengenai fakta yang ada

sekarang bahwa itu sebagian dihasilkan melalui pengalaman yang diingat,

11
Jeanette Rodrigues and Ted Fortier, Cultural Memory : Resistance, Faith and Identity
(Amerika : University of Texas Press,2007).
12
Massimo Rosati,Ritual and Sacred (Asghate Publishing Company,2009),7.
13
Rodriguess,Cultural Memory,8
14
Rodriguess,Cultural Memory,10

5
sebagian dari peristiwa yang telah kita dengar yang mungkin menjadi bagian dari

keluarga atau mitologi kelompok, sebagian gambar bahwa kita telah menciptakan

kembali dari serangkaian peristiwa yang diingat keluarga. Sejarawan dan filsuf

sepakat bahwa ingatan pribadi digunakan untuk merumuskan baik individu dan

masa lalu kolektif. Ini adalah upaya untuk mencatat peristiwa manusia yang

diingat oleh manusia karena sejarah dipindahkan oleh serangkaian kekuatan

sosial, termasuk ekonomi, agama, dan lembaga, terutama politik, teknologi,

ideologis, dan militer.15

Massimo Rosati juga mengatakan dalam bukunya bahwa ritual,

khususnya, adalah cara di mana rasa masa lalu tidak hanya dilestarikan, tetapi

juga masa lalu diperankan kembali.16 Ritual dan sakral adalah apa yang kita

gunakan secara teratur dan tanpa disadari, dan atau seharusnya digunakan, untuk

melampaui dan berbagi kehidupan sosial yang bermakna, perlu - meskipun tidak

cukup - kondisi untuk memiliki identitas individu yang 'sehat' dan bermakna; blok

bangunan unsur kehidupan individu dan sosial. Ritual liturgis mewujudkan

keintiman sebagai berada di antara yang lain, di tangan orang lain (atau yang lain),

lebih dari sekadar berada dengan diri sendiri dan dengan keseluruhan tidak jelas.

Seperti yang dikatakan Jack David dalam bukunya mengatakan bahwa ritual

selalu ada dalam setiap kehidupan manusia, karena ia adalah isi dari kehidupan

manusia itu sendiri. Sehingga dalam setiap ritual terdapat apa yang dinamakan

interaksi. Interaksi ini merupakan hakekat dari ritual itu sendiri untuk membangun

15
Rodriguess,Cultural Memory,13
16
Rosati,Ritual and Sacred ,7

6
hubungan dengan orang lain.17 Keintiman dipahami dalam liturgi ritualisme

sebagai hasil dari upaya gerakan luar ( eksternal , material , terlihat ). Tujuan

ritualisme liturgi bukanlah individu, tetapi keaslian kolektif, rasa milik tradisi,

menjadi bagian dari sesuatu yang lebih luas (dan lebih dalam) daripada nurani

introspektif seseorang sendiri. Massimo juga menambahkan bahwa ritual

menghasilkan simbol, pengalaman dalam ritual menanamkan simbol-simbol itu

dalam pikiran dan ingatan individu. Praktik ritual dan memori religius, adalah

cara tradisi dibentuk dan dibentuk kembali, cara individu melampaui diri mereka

dan terhubung diri mereka ke masa lalu yang hidup, membentuk masa depan dan

berorientasi.18

Ritual Ma’bulle Tomate pada saat ini diiringi dengan nyanyian-nyanyian

rohani versi kekristenan. Berdasarkan data yang diperoleh melalui salah satu

narasumber, pada zaman dahulu dalam Aluk Todolo ritual ini diiringi dengan

Badong bukan nyanyian. Badong memliki makna yang sangat penting dalam

kehidupan masyarakat Toraja karena ia sangat dekat dengan kultus orang Toraja.

Mengapa Ma’badong itu sangat penting bagi masyarakat Toraja? Pertama, dengan

Ma’badong orang menyampaikan ratapannya, kepahitan yang dialami saat salah

satu kerabat dipanggil Yang Mahakuasa dari tengah-tengah mereka. Senada

dengan pernytaan Arlene dalam tulisannya bahwa rasa kekeluargaan yang kuat

sesama orang Toraja telah dibuktikan dalam melakukan Ma’badong sebagai bukti

17
Jack David Eller, Introducing Anthropology of Religion - Culture to the Ultimate,
(New York : Routledge, Madison Ave, 2007),210.

18
Rosati,Ritual and Sacred ,9-11.

7
ratapan, penghargaan dan rasa cinta kasih sebagai tanda kehilangan. 19 Yang kedua

solidaritas,dalam Ma’badong orang tidak melakukannya dengan sendirian namun

dilakukan secara bersama-sama dalam sebuah lingkaran besar. Seperti yang telah

dikatakan Massimo Rosati bahwa pengulangan teratur dari pola yang ditetapkan

secara ritual melalui kata dan gerakan ada untuk menandai berlalunya waktu

dengan mengingat peristiwa mendasar yang memungkinkan rantai untuk

membentuk dan atau menegaskan kekuatan untuk bertahan melalui perubahan apa

pun yang telah datang, dan akan tetap datang. 20 Tarian Ma’badong bukan hanya

sekedar tarian kedukaan biasa tetapi dalam ma’badong terkandung nilai bahkan

pesan yang mengartikan suatu kedukaan dalam kebersamaan. 21

Makna Ma’badong yang keempat yaitu kepedulian yang sangat tinggi

terhadap keluarga si mati. Jhon Liku Ada’ dalam bukunya yang berjudul Aluk

Todolo Menantikan Kristus memperlihatkan adanya relasi manusia dengan

manusia yang nampak melalui penyambutan keluarga dan rasa empati kepada

keluarga yang berduka.22 Demikian halnya dalam Ma’badong, orang datang tanpa

diundang, orang merasakan dua dan berempati kepada keluarga yang

ditinggalkan. Dengan bahasa lain melalui Badong ada rasa sipopa’dik dan

siangkaran. Sipopa’dik artinya turut merasakan sakit (pa’dik) yang dirasakan oleh

keluarga sehingga harus ada siangkaran yang artinya saling menguatkan,

19
Arlene Azalia Stephanie Kamma, Komunikasi Antar Budaya Dalam Tarian Ma’badong
Sebagai Media Tradisional Masyarakat Suku Toraja Di Desa Singa Gembara Kecamatan
Sangatta Utara.
20

21
Stephanie Kamma, Komunikasi Antar Budaya Dalam Tarian Ma’badong Sebagai
Media Tradisional Masyarakat Suku Toraja Di Desa Singa Gembara Kecamatan Sangatta Utara
(eJournal Ilmu Komunikasi,2016,10.
22
Ada’, Aluk To Dolo Menantikan Kristus,15.

8
memberi topangan dan penguatan-penguatan bagi keluarga melalui Badong.

Demikian halnya disampaikan Arlene bahwa melalui badong orang Toraja

merasakan rasa kekeluargaan dan kebersamaan bahkan dukacita ketika turutserta

menarikan Ma’badong. Ma’badong bukan hanya sebagai tanda dukacita tetapi

sebagai tanda penghiburan untuk keluarga yang sedang berduka. 23 Kelima,

pemujaan kepada arwah. Melalui Badong orang mengungkapkan betapa

berharganya manusia (betapa berharganya si mati tersebut). Yang terakhir, yakni

Pengharapan dari orang Toraja. Sehingga ada syair yang mengatakan bahwa

‘’latatulak mira langan, anna membali Puang’’ dalam artian syair dalam Badong

merupakan syair pengharapan supaya dia tinggal bersama dengan dewa karena dia

berasal dari dewa. Pengharapan orang Toraja dalam siklus kehidupannya. Selain

itu Ma’badong juga memiliki nilai seni yang tinggi.24

Berdasarkan latarbelakang masalah di atas, sangat jelas bahwa Ma’badong

memilki makna yang begitu penting dalam kehidupan orang Toraja dengan

kerinduan-kerinduan yang ada untuk menggunakannya sebagai tradisi untuk

mengiringi ritual Ma’bulle Tomate dan perlu untuk diteliti lebih dalam dengan

rumusan judul yakni Ma’bulle Tomate : Memori Budaya Aluk Todolo pada

Tradisi Nyanyian Kristen dalam Ritual Kematian di Toraja

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang tersebut di atas maka yang menjadi rumusan

masalah dari penelitian ini yaitu :

23
Stephanie Kamma, Komunikasi Antar Budaya Dalam Tarian Ma’badong Sebagai
Media Tradisional Masyarakat Suku Toraja Di Desa Singa Gembara Kecamatan Sangatta Utara.
24
Wawancara via telepon dengan Pdt. Kornelius Kondong, pada tanggal 18 April 2019,
pukul 10.00 WIB.

9
1. Mengapa Ma’bulle Tomate menempati posisi sentral dalam

ritual kematian di Toraja?

2. Bagaimana memori budaya Aluk Todolo mempengaruhi tradisi

nyanyian Kristen dalam ritual kematian?

1.3 Tujuan Penelitian

Bedasarkan latarbelakang dan rumusan masalah tersebut di atas maka

tujuan penelitian yaitu :

1. Untuk menjelaskan mengapa Ma’bulle Tomate menempati posisi

sentral dalam ritual kematian di Toraja secara khusus di Gandangbatu.

2. Untuk menganalisis bagaimana memori budaya Aluk Todolo

mempengaruhi tradisi nyanyian Kristen dalam ritual kematian di

Toraja secara khusus di Gandangbatu.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dipaparkan

diatas maka dalam penelitian ini menghasilkan dua manfaat, diantaranya:

1.4.1. Manfaat Teoritis

Memberi sumbangsi teroritis kepada masyarakat khususnya

masyarakat Toraja dan mahasiswa mengenai perubahan yang terjadi dalam

ritual Ma’bulle Tomate sehingga Badong yang dulu dipakai untuk

mengiringi proses pengantaran jenazah dapat muncul kembali dalam

ingatan masyarakat dan pada akhirnya Badong ini tidak hilang dari tengah-

tengah masyarakat.

1.4.2. Manfaat Praksis

10
Menghadirkan perspektif atau kajian baru mengenai ritual

Ma’bulle Tomate dalam masyarakat Toraja secara khusus masyarakat

Gandangbatu.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah suatu upaya agar menemukan kebenaran

atau cara untuk lebih membenarkan kebenaran yang ada. 25 Dalam upaya mencari

dan lebih membenarkan kebenaran maka suatu kegiatan penelitian sangat

memerlukan metode penelitian. Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.26

1.5.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif yang terkandung dalam

jenis metode penelitian kualitatif. Sugiyono dalam bukunya menjelaskan bahwa

metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk

meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen)

di mana peneliti adalah instrumen kunci. 27 Sejalan dengan itu, John W. Creswell

dalam bukunya mengatakan bahwa dalam metode ini, peneliti sebagai instrumen

kunci (researcher as key instrument) yang berarti bahwa para peneliti kualitatif

mengumpulkan sendiri data melalui dokumentasi, observasi perilaku, atau

wawancara dengan para partisipan. Mereka bisa saja menggunakan protokol

sejenis instrumen untuk menumpulkan data, tetapi diri merekalah yang

sebenarnya menjadi satu-satunya instrumen dalam mengumpulkan informasi.

25
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013),49.
26
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung :
Alfabeta,2012),2.
27
Sugiyono,Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung : Alfabeta,2012),1.

11
Pada umumnya tidak menggunakan kuesioner atau instrumen yang dibuat peneliti

lain.28 Penelitian ini berupaya mengumpulkan fakta sebanyak mungkin guna

mendapat pengertian mengenai masalah yang sedang diteliti.

1.5.2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. 29 Dalam

rangka mengumpulkan data penelitian khususnya yang menyangkut ritual

Ma’bulle Tomate, guna menjawab permasalahan yang ada, maka dalam penelitian

ini penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data diantaranya, teknik

pengamatan dan pengamatan terlibat,teknik wawancara mendalam atau tak

terstruktur serta dokumentasi dan studi pustaka. Dalam penelitian ini, penulis akan

melakukan studi pustaka guna memperoleh landasan teori melalui buku, literatur

atau catatan terkait dengan penelitian yang dilakukan. Burhan Bungin

menjelaskan dalam bukunya bahwa teknik pendekatan pengamatan dan

pendekatan terlibat merupakan sebuah upaya pengamatan yang dibarengi interaksi

antara peneliti dengan informan.30Dalam upaya mengumpulkan data yang akurat

maka dalam menerapkan metode pengamatan terlibat maka seorang peneliti

dituntut supaya tinggal dan hidup bersama masyarakat yang di teliti.

Pengumpulan data adalah berbagai cara yang digunakan untuk

mengumpulkan data, menghimpun mengambil, atau menjaring data penelitian. 31


28
John W. Creswell, Research Gesign : Pendekatan Metode Penelitian Kualitatif,
Kuntitatif dan Campuran (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014),248.
29
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,224.

30
Burhan Bungin, “Metodologi Penelitian Kualitatif” Aktualisasi Metodologis ke Arah
Ragam Varian Kontempore,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 97.
31
Suwartono, Dasar-dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta : ANDI,2014),41.

12
Data diperoleh melalui beberapa sumber yaitu wawancara, pengamatan dan

dokumentasi. Deddy Mulyana menjelaskan bahwa teknik wawancara mendalam

atau tak terstruktur merupakan sebuah upaya penggalian informasi secara

mendalam yang dilakukan oleh peneliti dengan tidak mengikuti panduan

wawancara secara formal, dengan kata lain metode wawancara mendalam atau tak

terstruktur memiliki sifat yang terbuka dan luwes.32 Suwartono juga menjelaskan

bahwa wawancara adalah cara menjaring informasi atau data melalui interaksi

verbal/lisan. Ia melanjutkan bahwa wawancara memungkinkan kita menyusup ke

dalam ‘’alam’’ pikiran oranglain, tepatnya hal-hal yang berhubungan dengan

perasaan, pikiran, pengalaman, pendapat dan lainnya yang tidak bisa diamati. 33

Pengumpulan data dengan observasi langsung atau pengamatan langsung adalah

pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar

lain untuk keperluan tersebut.34 Menggunakan metode ini berarti menggunakan

mata dan telinga sebagai jendela untuk merekam data. 35 Setelah itu beberapa

kegiatan terkait ritual Ma’bulle Tomate akan diliput melalui kamera untuk

memperkuat data penelitian yang telah diperoleh penulis. Di samping itu, dalam

penelitian ini, penulis juga akan melakukan studi pustaka guna memperoleh

landasan teori melalui buku, literatur atau catatan yang berhubungan dengan

penelitian yang dilakukan.

32
Deddy Mulyana, “Metodologi Penelitian Kualitatif” Paradigma baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 180-181.
33
Suwartono, Dasar-dasar Metodologi Penelitian,48.
34
Moh. Nazir,Metode Penelitian(Bogor : Ghalia Indonesia,2011) ,175.
35
Suwartono, Dasar-dasar Metodologi Penelitian,41.

13
Langkah selanjutnya setelah melakukan penelitian adalah menganalisa

data. Terdapat tiga komponen dalam analisa data yaitu pertama data reduction

(pengelompokan data), kedua data display (penyajian) dan ketiga conclusion

(kesimpulan). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, dan

memfokuskan hal-hal yang penting. Setelah data direduksi maka data akan

disajikan melalui uraian singkat dengan teks yang bersifat naratif. Yang ke tiga,

kesimpulan. Setelah data dianalisa melalui pengelompokan dan penyajian maka

tiba pada kesimpulan yang memungkinkan dapat menjawab rumusan masalah

yang telah dirumuskan sejak awal.36

Lokasi penelitian yang penulis jadikan sebagai tempat penelitian yaitu di

Gandangbatu. Dengan pertimbangan bahwa desa ini merupakan satu-satunya desa

di Toraja yang mengantar mayat ke pemakaman dengan cara Ma’bulle Tomate

yang didalamnya diiringi dengan nyanyian. Gandangbatu itu sendiri adalah

sebuah desa yang berada di Kecamatan Gandangbatu Sillanan, Kabupaten Tana

Toraja.

1.6 Sistematika Penulisan

Secara garis besar, karya tulis ilmiah ini, akan disusun dalam lima bab

pembahasan. Adapun kelima bab pembahasan tersebut ialah sebagai berikut :

Bab I : Dalam bab ini akan akan berisi pendahuluan yang di dalamnya

membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitan serta sistematika

penulisan.

36
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, 247-252.

14
Bab II : Pada bab ini akan membahas seputaran teori yang digunakan untuk

membantu melihat permasalahan yang ada. Teori yang digunakan dalam

penulisan ini yaitu teori memori budaya dari Jeanette Rodrigues dan Ritual

and Sacred dari Massimo Rosati.

Bab III : Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan Ma’bulle Tomate dan

tradisi nyanyian Kristen dalam ritual kematian di Toraja. (ganti)

Bab IV : Bagian ini berisi analisa yang penulis lakukan terhadap data lapangan

dan teori yang telah dipaparkan pada bab 2.

Bab V : Pada bagian ini berisi penutup yang di dalamnya terdapat kesimpulan

pembahasan dari keseluruhan bab sebelumnya dan saran untuk penelitian

selanjutnya.

BAB II

15
TRADISI, RITUAL DAN MEMORI KOLEKTIF DALAM MEMORI

BUDAYA

Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan mengenai permasalahan

yang akan diteliti, yakni memori budaya Aluk Todolo dalam ritual kematian di

Toraja. Pada bab ini, penulis akan memaparkan teori yang akan dipakai untuk

menganalisa hasil penelitian. Penulis akan mulai dengan menguraikan tentang

tradisi, ritual, memori kolektif dan cultural memory.

2.1 Tradisi

Berpaling ke masa lalu merupakan strategi paling umum untuk menafsirkan

masa kini. Hal yang menggerakkan sikap itu bukan hanya ketidaksetujuan

mengenai apa yang terjadi di masa lalu dan seperti apa masa lalu itu, melainkan

ketidakpastian tentang apakah masa lalu itu benar-benar telah lalu, selesai, dan

ditutup, atau apakah ia masih berlanjut, meskipun mungkin dalam bentuk-bentuk

yang berbeda. Konsepsinya mengenai waktu menyinggung perjuangan yang

dengannya individu-individu dan institusi-institusi memutuskan apa yang

dianggap tradisi dan apa yang bukan. Kita perlu menerima dengan sepenuhnya

akan keberlaluan masa lalu karena tidak ada jalan yang adil untuk dapat

mengkarantinakan masa lalu dari masa kini.37

Kaitan antara masa kini dan masa lalu adalah basis tradisi karena tradisi

merupakan suatu cara dalam menyampaikan kenangan bersama. Perubahan tradisi


37
Edward W. Said, Kebudayaan dan Kekuasaan : Membongkar Mitos Hegemoni Barat,
(Bandung
: MIZAN,1995),33-34.

16
disebabkan banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi yang satu dengan

saingannya. Benturan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau antara kultur

yang berbeda di dalam masyarakat tertentu. Benturan tradisi antar masyarakat atau

kultur berbeda telah dikaji secara luas oleh pakar antropologi sosial, terutama

mengacu pada penaklukan kolonial dan juga melalui kontak kultural secara damai

antara masyarakat yang sama sekai berbeda termasuk program modernisasi yang

dipaksakan. Akibat benturan itu, hampir tanpa terkecuali, tradisi masyarakat

pribumi dipengaruhi, dibentuk ulang atau disapuh bersih. Perbedaan tradisi agama

juga dapat menjadi pemecah belah suatu tradisi dalam suatu masyarakat. 38 Masa

lalu dan masa kini saling memberi informasi yang masing-masing menyiratkan

sesuatu dan makna yang ideal sepenuhnya. Cara kita merumuskan atau

melukiskan masa lalu membentuk pemahaman dan pandangan-pandangan kita

tentang masa kini.39

Bila berbicara mengenai tradisi, hal ini membuat hubungan antara masa

lalu dan masa kini menjadi lebih dekat. Tradisi mencakup keberlangsungan masa

lalu di masa kini ketimbang sekedar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal

dari masa lalu. Kelangsungan masa kini di masa kini mempunyai dua bentuk :

material dan gagasan, atau obyektif dan subyektif. Menurut arti yang lebih

lengkap, tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari

masa lalu namun benar-benar masih ada di masa kini, belum dihancurkan,

dirusak, dibuang atau dilupakan. Seperti yang dikatakan Shils bahwa tradisi

berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa

38
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta : Prenada,2007),65-74.
39
Said, Kebudayaan dan Kekuasaan,34.

17
kini. Tradisi tidak tercipta atau berkembang dengan sendirinya secara bebas.

Hanya manusia yang masih hidup, yang mengetahui dan mampu menciptakan,

serta mencipta ulang dan mengubah tradisi. Tradisi lahir di saat tertentu ketika

orang menetapkan fargmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tardisi. Tradisi

dapat mengalami perubahan, namun dapat pula hidup dan muncul kembali setelah

sekian lama terpendam. Tradisi berubah ketika orang memberikan perhatian

khusus pada fragmen tardisi tertentu dan mungkin lenyap bila benda material

dibuang dan gagasan ditolak atau dilupakan.40

Sikap atau orientasi pikiran tentang benda material atau gagasan yang

berasal dari masa lalu yang dilakukan orang di masa kini menjadi hal yang

penting dalam memahami tradisi. Sikap atau orientasi ini menempati bagian

khusus dari keseluruhan warisan historis dan mengangkatnya menjadi tradisi. Arti

penting penghormatan atau penerimaan sesuatu yang secara sosial ditetapkan

sebagai tradisi menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi itu. Tradisi lahir

melalui dua cara : 1) muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara

spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena suatu alasan

individu tertentu menemukan warisan historis yang menarik dan kekaguman

tersebut kemudian disebarkan melalui berbagai cara hingga mempengaruhi rakyat

banyak. 2) Muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap

sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh

individu yang berpengaruh atau berkuasa.41

40
Sztompka, Sosiologi Perubahan,69-71.
41
Sztompka, Sosiologi Perubahan,71-72.

18
Tradisi dalam kehidupan masyarakat merupakan adat kebiasaan yang

turun-temurun dilakukan dan menjadi bagian dari suatu masyarakat. Tradisi yang

diwariskan dari generasi ke generasi tersebut biasa dilakukan melalui lisan

maupun tulisan. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan tradisi di setiap

kelompok masyarakat. Tradisi yang tumbuh dalam masyarakat itu mengandung

ciri-ciri sakral, seperti sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, seni, adat istiadat,

dan berbagai bentuk kebiasaan lain yang dilakukan secara turun-temurun. 42 Dari

generasi ke generasi, dunia tradisi mewariskan makna. Tradisi membawa

pengalaman pribadi maupun komunal dalam suatu masyarakat. Jeanette Rodrigues

dan Ted Fortier mendefinisikan tradisi sebagai salah satu cara menanggapi

kenyataan, termasuk perasaan, ingatan, gambar, ide dan sikap, serta hubungan

interpersonal. Singkatnya, tradisi adalah seluruh kompleks yang membentuk

kehidupan dalam dunia tertentu, dunia yang dibatasi oleh cakrawala yang

menentukan indera realitas tertentu yang melingkupinya.43

Dua bagian dalam tradisi yaitu (1) proses atau traditio, yang berarti

penyerahan aktual, dan (2) produk atau traditium, yang berarti konten. Dengan

demikian, tradisi mengungkapkan berbagai konten seperti doktrin, cerita, mitos,

kredo, simbol, pengalaman, dan keputusan moral sehari-hari. Salah satu sisi dalam

memori budaya adalah traditio, prosesnya. Melalui tradisi, orang atau masyarakat

mengingat suatu peristiwa di masa lalu karena budaya yang membawa ingatan itu.

42
Mei Nurul Hidayah (2018). Tradisi Pemakaman Rambu Solo’ Di Tana Toraja Dalam
Novel
Puya Ke Puya Karya Faisal Oddang (Kajian Interpretatif Simbolik Clifford Geertz), Universitas
Negeri Surabaya : Jurnal Interpretatif simbolik 1: (1). 2-16.
43
Jeanette Rodrigues and Ted Fortier, Cultural Memory : Resistance, Faith and Identity
(Amerika : University of Texas Press,2007),7-12.

19
Hal ini dapat diingat melalui ingatan dalam memori, dibesarkan dalam perayaan,

diteruskan secara lisan, direkam dalam tulisan-tulisan. Sisi lain adalah traditium,

yang berarti produk. Apa yang diingat atau dibangkitkan di dalam memori budaya

yakni perasaan atau afektivitas, cara bertindak, bentuk bahasa, aspirasi, hubungan

interpersonal, gambar, ide, cita-cita, dan sebagainya.44

Memori individu dapat digunakan untuk merumuskan peristiwa masa lalu

baik individu maupun kolektif. Ini adalah upaya untuk mencatat peristiwa masa

lalu manusia yang diingat oleh manusia itu sendiri. Sejarah dipindahkan oleh

serangkaian kekuatan sosial, termasuk ekonomi, agama, dan lembaga, terutama

politik, teknologi, ideologis, dan militer. Jeanette mengatakan sejarah seperti

ingatan tentang hal-hal yang pernah dikatakan dan dilakukan. Seperti memori

sejarah, memori budaya berakar pada peristiwa aktual dan dalam keselarasan

sekitarnya yang mengakibatkan gambar, simbol, dan afektivitas yang berubah

menjadi lebih persuasif daripada fakta-fakta yang ada. Banyak macam kenangan

sejarah yang ditularkan melalui teks, sejarah lisan , tradisi, drama, dan memori.45

Tradisi dengan kata lain, di mana yang penting bukanlah kesinambungan

dalam dirinya sendiri, tetapi fakta bahwa itu adalah ekspresi yang tampak dari

garis keturunan. Tradisi terkadang, mematahkan kontinuitas yang dapat dipahami

sebagai satu-satunya cara untuk melestarikan hubungan penting dengan rantai

kepercayaan dan praktik. Tapi yang penting adalah bahwa garis keturunan

berfungsi sebagai prinsip identifikasi sosial, melalui penggabungan ke dalam

komunitas dan melalui diferensiasi dari mereka yang bukan dari garis keturunan
44
Rodrigues dan Fortier, Cultural Memory,13.
45
Rodrigues dan Fortier, Cultural Memory,12.

20
ini. Tradisi adalah sebuah dunia bersama, diproduksi melalui ritual, yang

karakteristik formal utamanya adalah panjang makna yang ditransmisikan, di satu

sisi, dan di sisi lain ada sifat yang diberikannya.46

Sebaliknya, tidak adanya kritik dan ketidakberubahan tidak merupakan

bagian dari definisi formal tentang apa yang membuat suatu tradisi menjadi

tradisi. Dari sudut pandang formal, tradisi menghubungkan dua makna yang

berbeda tetapi terkait: Pertama, sebagai bagian dari morfologi identitas kolektif

dan kedua, sebagai kondisi pemenuhan identitas diri individu. Dengan kata lain,

kondisi formal kehidupan yang baik dan kemampuan kita berurusan dengan

kehidupan yang terfragmentasi. Menjadi bagian dari tradisi, dan berjuang untuk

berinovasi menjaga ketegangan antara heteronomi dan otonomi juga berarti

berada dalam narasi, dan praktik budidaya yang dibingkai oleh narasi itu. Tradisi

adalah titik awal moral, warisan yang diterima dari masa lalu, yang secara rasional

dikritik dari dalam dan dalam ketegangan dengan tradisi saingan. Tradisi memiliki

rasionalitas batin, terkait pada dasar sifat bawaan kolektif masyarakat dengan

melihat subjek dalam ritual yaitu apa yang dia lakukan.47 Dengan demikian, tradisi

yang ada dalam masyarakat saat ini merupakan bagian dari tradisi yang sudah

pernah dilakukan bersama-sama di masa yang telah berlalu.

2.2 Ritual

Ritual berasal dari Bahasa Sansekerta, yakni rita yang berarti

“keteraturan”

dan secara etimologi, ritual berasal dari kata rite yang artinya ritus atau upacara
46
Rosati, Ritual and Sacred, (Amerika : Ashgate Publishing Company,1969),7.
47
Rosati, Ritual and Sacred, (Amerika : Ashgate Publishing Company,1969),7-8.

21
keagamaan.48 Ritual dapat menyatukan kegiatan-kegiatan tertentu seperti

nyanyian, bacaan puisi, tarian, makan bersama, penggunaan kostum yang sama

dan sebagainya.49 Oleh sebab itu, ritual selalu dikaitkan dengan perayaan akan

sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia.50

Melalui ritual masyarakat dipersatukan bukan karena the sacred yang

menarik jiwa masyarakat, melainkan karena tindakan itu dilakukan bersama-

sama oleh anggota masyarakat. Ritual harus dijelaskan sebagai tindakan

kelompok partikular dengan kepentingan mereka sendiri dan bukan tindakan

keseluruhan masyarakat spontan. Peranan-peranan individu sangat penting

dalam pelaksanaan suatu ritual.51 Hubungan antara sistem makna dan tindakan

individu menjadi hal yang lama dibicarakan dalam teori kebudayaan. 52 Ritual

didefinisikan sebagai tindakan dan kemudian dipertimbangkan sebagai suatu

gagasan praktik. Kegiatan ritual menekankan keutamaan tindakan sosial itu

sendiri, bagaimana strateginya bersarang dan bagaimana ritualisasinya adalah

cara yang strategis untuk bertindak dalam situasi sosial tertentu. Kerangka

48
Larry L. Rasmussen, Komunitas Bumi: Etika Bumi (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010),
322.
49
Martha Sims dan Martine Stephens, Living Folklore: An Introduction to the Study of
People
and Their Traditions (Logan: Utah State University Press, 2011), 98.
50
Sharon Michelle Oktaviani Pattiasina,Sentralitas perempuan dalam liminalitas simbolik
Kain
Gandong pada hubungan Salam-Sarani di negeri Hative Kecil dan negeri
Hitumessing, Maluku, Tesis Fakultas Teologi Program Magister Sosiologi Agama,(Salatiga :
Universitas Kristen Satya Wacana, 2018),23.
51
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta :
Kanisius,2005),107-108.
52
Sutrisno danPutranto, Teori-teori Kebudayaan,177.

22
ritualisasi memberi cahaya baru pada tujuan kegiatan ritual, kemanjuran

sosialnya, dan perwujudannya dalam tradisi dan sistem yang kompleks.53

Demikianlah ritual selalu ada dalam setiap kehidupan manusia, karena

ritual adalah isi dari kehidupan manusia itu sendiri. Sehingga dalam setiap

ritual terdapat apa yang dinamakan interaksi. Interaksi ini merupakan hakekat

dari ritual itu sendiri untuk membangun hubungan dengan oranglain. 54 Turner

mendefinisikan ritual sebagai perilaku formal yang dianjurkan pada saat-saat

yang tidak bisa dilimpahkan kepada rutinitas teknologis karena memiliki

rujukan pada kepercayaan para makhluk dan kekuasaan mistik. Ritual pada

gilirannya dipandang sebagai semacam gudang simbol otoritatif yang

bermuatan adikodrati, yang artinya bahwa satu ritual terkecil yang

mempertahankan ciri-ciri spesifik perilaku ritual yang bisa menyandang bentuk

benda, aktivitas, kata, hubungan, peristiwa, isyarat tubuh ataupun unit spasial.55

Ritual selalu diidentikkan dengan habit (kebiasaan) atau rutinitas dan

sebagai suatu habitual action (aksi turun-temurun), aksi formal dan juga

mengandung nilai- nilai transendental. Mencermati pandangan-pandangan

tersebut, dipahami bahwa ritual berkaitan dengan pertunjukan secara sukarela

yang dilakukan masyarakat secara turun-temurun (berdasarkan kebiasaan) yang

menyangkut perilaku yang terpola. Pertunjukan tersebut bertujuan

mensimbolisasi suatu pengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan. Ritual

53
Chaterine Bell, Ritual Theory Ritual Practice(Amerika : Oxford University
Press,1992),67.
54
Jack David Eller, Introducing Anthropology of Religion-Culture to the Ultimate (New
York :
Routledge,2007),201
55
Bryan S Turner, Sosiologi Agama (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010),191

23
merupakan salah satu cara dalam berkomunikasi. Semua bentuk ritual adalah

komunikatif. Ritual selalu merupakan perilaku simbolik dalam situasi-situasi

sosial. Karena itu ritual merupakan suatu cara untuk menyampaikan sesuatu.56

Emile Durkheim sebagai seorang sosiolog menyelidiki dasar dari

kehidupan beragama dan menemukan bahwa agama terdiri dari keyakinan dan

ritus.57 Hasil dari penyelidikan tersebut membangun suatu pemahaman tentang

ritual sebagai aksi atau tindakan di mana keyakinan dan cita-cita kolektif

secara bersama dihasilkan, dialami dan diakui sebagai nyata oleh masyarakat.

Sehingga bagi Durkheim, ritual adalah aturan perilaku yang meresapkan

bagaimana manusia harus melakukan hal-hal sakral.58

Ritual bahkan dapat menggantikan kekurangan bentuk-bentuk lain dalam

kontrol masyarakat yang efektif semisal otoritas politis atau ikatan

kekerabatan, yang bertindak di dalam proses-proses ‘’drama sosial’’. 59

Sosiolog lain, seperti Catherine Bell memahami ritual sebagai aksi atau

tindakan sosial.60 Bell menggunakan istilah ritualisasi sebagai cara strategis

budaya untuk bertindak dalam situasi sosial tertentu. Tindakan sosial sangat

ditentukan oleh konteks di mana ritual dilaksanakan. Bagi Bell, tindakan ritual

harus dipahami dalam kerangka semantik di mana signifikansi suatu tindakan

tergantung pada tempat dan hubungannya dalam konteks dari semua cara

56
Yermia Djefri Manafe,. Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah Meto di
Timor-Nusa Tenggara Timur, Universitas Nusa Cendana Kupang : Jurnal Komunikasi 1 : (3),
288-289.
57
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (America: The Free Press,
1995), 34.
58
Durkheim, The Elementary, 38.
59
Turner, Sosiologi Agama,191.
60
Catherine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice (New York: Oxford University
Press.1992), 67.

24
bertindak yang lain: apa yang digemakan, apa yang dibalikkan, apa yang

disinggung, dan apa yang disangkalnya.61

Berpijak pada model ritus menjadi balig, bagian pertama ritual yaitu

sebagai penggerak para partisispan yang menjauh dari dunia ini dan kini

menuju dunia trasenden yang kuat. Jadi ritual ini mengekspresikan ‘’kekerasan

yang memantul ulang’’ yaitu kesediaan bekerja sama oleh para pelaku ritual

pemula akan seragam trasendental terhadap vitalitas dirinya diikuti oleh

pemulihan mendadak atas vitalitas tersebut oleh sumber/kekuatan eksternal.

Para pelaku ritual pemula tidak hanya mengalami yang sakral, mereka

menghadirkan kembali pengalaman tersebut ke dalam dunia sehari-hari agar

bisa menaklukkannya. 62

Jeanette menyebut ritual sebagai suatu cara di mana rasa masa lalu tidak

hanya dilestarikan, tetapi juga masa lalu harus diperankan kembali. Melalui

ritual, masa lalu dapat diingat kembali. Otoritas tradisi dan kepercayaan

tergantung tentang pengingatan ritual tentang masa lalu. Intinya adalah,

mengingat yang heteronom sebagai karakter dari tradisi, ritual yang dipakai

untuk mengaktualisasikannya yaitu ritual liturgis, tidak sepenuhnya dikodekan

oleh pemain, dan bukan praktik sosial postmodern mistis, di mana skrip harus

disesuaikan dengan keaslian individu. Ini adalah keajaiban ritual, mengubah

situasi yg bertindak secara koheren, dan menghasilkan makna kepercayaan.

Ritual menghasilkan keyakinan oleh para pelaku, dengan kata lain, mereka

membutuhkan ritual liturgi karena melaluinya masyarakat berusaha

61
Bell, Ritual Theory, 220.
62
Turner, Sosiologi Agama,191-195

25
menunjukkan bagaimana perasaan batin tentang keyakinan dan perlekatan tulus

yang merupakan hasilnya. Liturgi adalah ritual yang paling formal, tetap, dan

berbobot, di mana gerak tubuh, benda, dan kata-kata yang tepat harus

digunakan dengan cara yang benar-benar tepat agar ritual itu berhasil.63

Ada beberapa tipe aktivitas dalam ritual yang dicatat oleh Shich. 64

Pertama,tipe tradisional dan improvisasi. Ritual ini, berdasarkan tradisi dan

pengulangan ritual masa lalu versus yang diciptakan untuk keadaan baru.

Ritual sering didefinisikan sebagai tindakan yang bersifat tradisional dalam arti

bahwa itu merupakan seperangkat mana yang diulang dari waktu ke waktu.

Antropolog Margaret Mead mencatat bahwa ritual menghubungkan aktivitas

saat ini dengan kejadian masa lalu melalui tindakan berulang, misalnya

beberapa ritual kematian berhubungan dan menghubungkan kematian tertentu

dengan semua kematian yang terjadi sebelumnya. Sementara beberapa orang

melihat ritual sebagai “antitesis kreativitas”, Bateson mengatakan bahwa orang

berimprovisasi ritual baru yang berarti dalam kehidupan mereka melalui

“penciptaan kinerja bersama” dalam banyak ritual interaksi manusia. Ritual

mencoba untuk memberikan persatuan melalui waktu dengan menghubungkan

kejadian masa lalu dengan keadaan sekarang. Dengan berbagai cara, ritual

improvisasi merekontruksi dan menenun simbol simbol yang familiar atau

tradisional dengan simbol baru yang mewakili konteks baru yang berubah.

Kedua, formal dan informal. Kata ritual sering dikaitkan dengan

formalitas. Meed menekankan pentingnya menjadi sadar diri atau memiiki


63
Massimo Rosati, Ritual and Sacred, (Amerika : Ashgate Publishing Company,1969),7-
8.
64
Lisa Schich, Ritual and Symbol in Peacebuilding (America: Kumarin Press, 2005), 17.

26
“ritual awarensess”,. tindakan bukanlah ritual jika peserta tidak sadar bahwa itu

adalah ritual. Ritual kesadaran, orang biasanya tahu misalnya mereka

berpartisipasi dalam ritual saat mereka menerima persekutuan, menikah, atau

menghadiri pemakaman. Jika formalitas adalah persyaratan ritual , maka ritual

informal seperti makan atau menari mungkin lebih baik disebut tindakan

simbolis. Ritual bisa formal karena peserta sadar bahwa mereka berpartisipasi

dalam ritual, atau informal karena peserta kurang atau bahkan tidak sadar

bahwa mereka berpartisipasi dalam sebuah ritual. Ritual improvisasi seperti

upacara yang dibangun sendiri untuk meredakan kehilaangan orang tua,

seringkali bersifat formal. Peserta secara sadar membuat konteks ritual dan

berharap bisa berubah dan berarti. Namun ritual improvisasi lainnya kurang

formal. Ritual makan dan menari tradisional dalam arti bahwa mereka

mengikuti sebuah struktur yang ditetapkan berdasarkan pengalaman

sebelumnya. Namun ritual ini biasanya bersifat informal karena biasanya tidak

ada kesadaran bahwa tindakan tersebut bersifat ritual.65

3.4 Memori Kolektif

Pembahasan mengenai memori kolektif termasuk dalam bidang kajian

yang cukup luas, yang kini banyak menarik perhatian para pakar sosial politik,

sejarah, psikologi kognitif, dan kebudayaan. Pembentukan memori kolektif

merupakan sebuah langkah yang sangat peting untuk menuju kepada

penerimaan diri sendiri dan oranglain.66 Penerimaan yang dimaksudkan yakni

65
Schich, Ritual and Symbol,20-13.
66
Yoseph Yapi Taum,(2003). Novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai Memori Kolektif
dan Alat Rekonsiliasi Bangsa, Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis 1 : (1).

27
penerimaan dalam suatu masyarakat akan suatu hal yang dimaknai secara

kolektif karena dilakukan bersama-sama. Kebudayaan di berbagai wilayah

saling berinteraksi, berkompetisi, serta mempengaruhi. Dengan demikian,

kebudayaan dapat bersifat dinamis dan mengikuti hukum tertentu, yakni lahir,

tumbuh berkembang, saling mempengaruhi, saling mengalahkan dan saling

menguasai.67

Ada dua memori yaitu memori individu dan memori kolektif. Memori

individu adalah proses munculnya kesadaran seseorang tentang sesuatu

peristiwa yang pernah dialaminya saat ia kembali mengalami peristiwa yang

sama. Sedangkan memori kolektif adalah kesadaran yang muncul secara

bersama-sama oleh sekelompok orang dalam suatu komunitas tertentu. Memori

individu berpartisipasi dalam dua jenis memori tersebut, tetapi mengadopsi arti

yang sangat berbeda, bahkan bertentangan saat ia berpartisipasi dalam satu atau

yang lain. Di satu sisi, dia menempatkan kenangannya sendiri dalam kerangka

kehidupan pribadinya sendiri; dia menganggap miliknya sendiri bahwa dia

memiliki kesamaan dengan orang lain hanya dalam aspek yang menarik dia

berdasarkan perbedannya dengan orang lain. Di samping itu, dia mampu

bertindak hanya sebagai anggota kelompok, membantu membangkitkan dan

memelihara kenangan pribadi yang menarik bagi kelompok. Ini dua ingatan

sering berbaur. Khususnya, memori individu untuk menguatkan dan membuat

tepat dan bahkan untuk menutupi celah dalam ingatannya.68


67
Sulasman dan Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan : Dari Teori Hingga Aplikasi,
(Bandung
:Pustaka Setia,2013),205.
68
Maurice Halbwacsh, The Collective Memory(New York : Harper Colophon
Books,1945),22-25

28
Untuk memahami apa yang tidak berubah, apa yang bertahan dalam arti

sebenarnya, kita harus mengambil tempat dalam lingkungan sosial yang sadar

akan stabilitas relatif dan dibuat untuk menghidupkan kembali memori kolektif

yang sekarang punah. Jika peristiwa yang sama dapat mempengaruhi kesadaran

kolektif secara bersamaan, maka kesadaran kolektif pada saat itu saling terkait

dan dipersatukan satu sama lain. Yang terpenting adalah cara suatu kelompok

mengartikan peristiwa, dan memaknainya. Ingatan dapat bertahan dari

perpisahan atau kematian, namun, karena beberapa pemikiran umum hadir

selain pribadi keterikatan — mungkin topik meditasi, keindahan alam

lingkungan, atau rasa kefanaan waktu. Memori dengan demikian mencapai

beragam jarak ke masa lalu yang jauh, tergantung pada bagian tubuh sosial apa

sedang dipertimbangkan, karena masing-masing mengorganisir pemikirannya

tentang pusat kepentingan yang berbeda dan bukan karena seseorang memiliki

lebih banyak kenangan dari yang lain. Ketika suatu kelompok atau masyarakat

telah mengalami perubahan mendasar, ingatannya kembali ke ingatan periode

sebelumnya dan setelah itu berubah melalui jalur berbeda yang tidak kontinu

satu sama lain.69

Solidaritas masyarakat selain dibentuk oleh civil religion juga bersumber

dari memori kolektif. The sacred sebagai sebagai suatu nilai kultural kolektif

dan pengikat identitas diabadadikan dalam memori budaya. Makna kolektif itu

dapat merajai memori kolektif karena ada sharing of experience, merasakan

pengalaman yang sama atau berkat proses sosialisasi. Sosialisasi ini dipelihara

turun temurun melalui perayaan, ritus-ritus, upacara-upacara, penulisan sejarah


69
Halbwacsh, The Collective Memory,25.

29
dan narasi dari mulut ke mulut (dalam masyarakat kuno) yang bertujuan

mengabadikan masa lalu dan memasakinikan masa lalu. Begitulah proses

transfer makna kolektif. Dengan demikian, memori kolektif sebagai salah satu

simpul merupakan kondisi yang semakin memungkinkan keutuhan masyarakat

berkat adanya identitas yang sama (the common source of identity).70

Keterlibatan bersama dalam suatu komunitas tidak selamanya berarti berjumpa

secara fisik, tetapi juga dapat terjadi dalam bentuk imajinasi sosial yang

memberi ingatan kolektif bagi setiap orang.71

Memori kolektif menjadi semacam usaha design tindakan publik. Memori

kolektif bersangkut paut dengan ritus masyarakat yang dibutuhkan untuk

process of transference. Dengan kata lain, memori kolektif yang berada dalam

subjektivitas anggota masyarakat merupakan salah satu kondisi yang

memungkinkan design publik sebuah masyarakat. Memori kolektif (dapat juga

berupa kesadaran kolektif akan peristiwa historis prinsipal masyarakat) dapat

kita sebut sebagai potensialitas dalam diri individu-individu untuk

mengaktualisasikan penghayatan makna bermasyarakat. Memori kolektif

menggenggam makna kolektif atas sebuah peristiwa termasuk dengan simbol-

simbolnya. Makna kolektif inilah yang lebih memainkan peranan dalam

menjaga keutuhan masyarakat karena dihayati oleh masyarakat.

Memori kolektif ini membangun ikatan keutuhan masyarakat selain

menjadi variabel gerak budaya. Dalam fase liminal ketika masyarakat

70
Sutrisno dan Putranto, Teori-teori Kebudayaan,103-106
71
Izak Y. M. Lattu, “Orality and Interreligious Relationship: The Role of Collective
Theogiraduate Theological Union, (Disertasi Doctor of Philosophy
Universitas Berkeley, California, 2014), 231.

30
mengalami disorientasi, memori kolektif merupakan energi untuk bernostalgia,

untuk tidak lepas dari benang budaya asal. Halbwachs meyakini bahwa

kebutuhan, kondisi dan permasalahan masa sekarang turut membetuk ingatan

akan masa lalu. Kondisi masa sekarang merupakan forma dengan cara mana

masa lalu (materia) diformulasikan dalam ingatan dan dimaknai. Memori dan

makna peristiwa masa lalu terus diperbaharui dan diwariskan kepada generasi

berikutnya.72 Oleh karena itu, hal ini dapat diperingati kembali melalui ritual

yang ada dalam masyarakat.

Ritus diadakan secara kolektif dan reguler agar masyarakat disegarkan dan

dikembalikan akan pengetahuan dan makna-makna kolektif. Dalam ritus

dihadirkan kembali makna realitas dalam masyarakat (makna sosial). Dengan

demikian ritus memperkokoh keberakaran (rootednes) rasa kolektivitas karena

menggiring anggota masyarakat “meminum” dari sumber kekeramatan yang

sama. Oleh karena itu masyarakat melalui ritus mendapatkan legitimasi berkat

bersentuhan kembali dengan makna-makna fundamental yang mengonstruksi

masyarakat tersebut. Masyarakat dicerahkan kembali pada apa yang harus

dilakukan menurut budaya dan lembaga masyarakatnya.73 Memori kolektif

masyarakat mendapatkan pencerahan melalui salah satu ritual yang dilakukan

secara bersama-sama dalam masyarakat tersebut.

Penghayatan makna kolektif sangat terkait dengan proses internalisasi

yang selalu berlangsung dalam pembentukan masyarakat. Kepentingan

kelompok sebagai agen pewarisan cenderung menyensor, menyaring

72
Sutrisno dan Putranto, Teori-teori Kebudayaan,103-106.
73
Sutrisno dan Putranto, Teori-teori Kebudayaan,96-97.

31
informasi-informasi atau bahkan membelokkan masa lalu sesuai dengan

kepentingan mereka.74 Dalam suatu masyarakat, setiap individu pasti selalu

terhubung dan berinteraksi dengan individu yang lain. Dan dalam setiap

individu juga tidak akan terlepas antara masa lalu dan masa kini. Masa lalu

memberikan pengaruh yang signifikan bagi seseorang dalam menjalani

hidupnya pada masa kini dan masa mendatang. Budaya dalam kehidupan

sosial mengalami pergeseran dari masa lalu sebagai subjek untuk dipelajari.75

2.3 Cultural Memory

Secara umum, mobilitas berbagai kelompok masyarakat telah menjadi

fenomena yang sangat umum. Hal ini berarti bahwa setiap kelompok

masyarakat berhadapan dengan nilai-nilai baru yang mengharuskannya

menyesuaikan diri secara terus menerus. Di dalam konteks sosial yang

berubah, makna sosial dan individual suatu kebudayaan juga mengalami

perubahan karena konteks sosial memberikan makna bagi tindakan-tindakan

individu.76 Perubahan-perubahan apapun yang terjadi dalam masyarakat tentu

membutuhkan memori agar perubahan yang terjadi seperti tradisi maupun

ritual dapat dibangkitkan kembali.

Jeanette dan Fortier, dalam buku Cultural Memory77, mencatat bahwa

memori adalah kapasitas untuk mengingat, untuk menciptakan dan

menciptakan kembali masa lalu kita. Memori budaya adalah konsep yang
74
Sutrisno dan Putranto, Teori-teori Kebudayaan,99,105.
75
Intannia Cahyasari.2017. Kekuatan Memori dan (Ketidak)Mungkinan Pengampunan
dalam Novel Hanauzumi Karya Jun’ichi Watanabe,Universitas Negeri Yogyakarta : Journal Ilmu
Sastra 5 : (1).
76
Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan,(Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,2006),43-45.
77
Rodrigues and Fortier, Cultural Memory,3.

32
diperkenalkan dalam disiplin ilmu arkeologis oleh Jan Assmann, yang

mendefinisikannya sebagai "dimensi luar ingatan manusia. Menurutnya, ini

merangkul dua konsep yang berbeda: "memori budaya" ( Erinnerungskultur )

dan "referensi ke masa lalu" ( Vergangenheitsbezug ).

Memori budaya adalah proses di mana masyarakat memastikan

kesinambungan budaya dengan melestarikan, pengetahuan kolektifnya dari

satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga memungkinkan bagi generasi

selanjutnya untuk merekonstruksi identitas budaya mereka. Ketika kita

berbicara tentang memori budaya, kita masuk dalam dua karakteristik yang

berbeda: (1) kelangsungan hidup sekelompok orang yang terpinggirkan secara

historis, politis, dan sosial , dan (2) peran spiritualitas sebagai bentuk

perlawanan.

Memori budaya di tingkat kolektif menunggu untuk dipulihkan dalam

lagu, ritual, upacara, cerita, atau melalui elemen mediasi lainnya. Perbedaan

antara tingkat pribadi dan kolektif adalah : secara pribadi, individu menemukan

ingatan budayanya melalui krisis, dan secara kolektif, individu memulihkan

ingatan budayanya melalui lagu, ritual, upacara, dan bentuk mediasi lainnya.

Pada tingkat pribadi, keberbedaan ingatan budaya tersembunyi dari kita. Pada

tingkat kolektif, keberbedaan ingatan budaya hanya ada di sana. Kisah Fortier

tentang orang Indian Coeur d'Alene diceritakan dari sudut pandang seorang

individu, yaitu Maria, yang perasaan antagonisnya terhadap "antropolog

universitas" yang menodai sisa-sisa (tulang) leluhurnya mewakili perasaannya

33
terhadap pria kulit putih dan lembaganya ( yang berfungsi sebagai instrumen

penindasan).78

Generasi hari ini tidak sama dengan generasi yang hidup lima ratus tahun

yang lalu, tetapi ingatan budaya mereka masih hidup dalam ingatan kolektif

kita. Hal ini disebabkan karena keberadaan kita saat ini sangat kuat dibentuk

oleh ingatan masa lalu. Ingatan pribadi adalah landasan yang mendukung

ingatan kolektif atau sosial,

ingatan tidak dapat dipahami terlepas dari kekuatan sosial. Seperti semua

ingatan, ingatan budaya adalah kenyataan yang hidup dan dinamis.79

Penelitian Jeanette dan Fortier di Amerika, berupaya untuk merefleksikan

bagaimana narasi, ritual, dalam ingatan historis dan kolektif berfungsi sebagai

tembok manusia yang menentang pemusnahan dan sarana untuk memastikan

kelangsungan hidup. Budaya adalah konstruksi sosial yang biasanya dipahami

dalam dan melalui isi tradisinya, perasaannya, cara bertindaknya, bentuk-

bentuk bahasanya, aspirasi, hubungan interpersonal, gambar, ide, dan harapan.

Dua elemen yang sama dapat ditemukan dalam ingatan budaya: yaitu memori

dan budaya. Memori atau ingatan yang dimiliki masyarakat, dibesarkan dalam

perayaan, diteruskan secara lisan, direkam dalam tulisan-tulisan. Budaya

kembali membawa ingatan dalam masyarakat melalui suatu ritual yang

dilakukan bersama.80

Kekuatan memori budaya terletak pada sadar keputusan untuk memilih

kenangan tertentu, dan memberikan hak lebih untuk mengingatnya secara


78
Rodrigues and Fortier, Cultural Memory,2
79
Rodrigues dan Fortier, Cultural Memory : Resistance, Faith and Identity,19.
80
Rodrigues dan Fortier, Cultural Memory : Resistance, Faith and Identity,7-8.

34
komunal. Seperti halnya mitos, memori budaya, memiliki dasar historis dan

bisa ditransformasi. Mitos adalah kendaraan yang kuat untuk mentransmisikan

peristiwa yang berakar secara historis, dan banyak membawa memori budaya.

Mitos Amerika Utara kita sendiri berputar di sekitar kisah George Washington

dan Perang Revolusi dan kenangan budaya individualisme. Sebagai cara

menanamkan pemahaman khusus kita tentang memori budaya dengan rasa

sakral, kita menggunakan pemahaman mitos, atau cerita. Mitos adalah cerita

yang disakralkan dan dibagikan oleh sekelompok orang yang menemukan

makna paling penting di dalamnya, ini adalah cerita yang diyakini telah

disusun di masa lalu tentang suatu peristiwa di masa lalu, sebuah peristiwa

yang terus memiliki makna di masa sekarang karena diingat; itu adalah kisah

yang merupakan bagian dari suatu kelompok.81 Mitos berfungsi sebagai

pengantara antara manusia dan daya-daya kekuatan alam. Lewat mitos,

masyarakat primitif memperoleh keterangan-keterangan tentang

kehidupannya.82

Tema agama dan psikososial sulit untuk dipisahkan dari ingatan budaya

karena ranah privat dan publik saling terkait erat. Karakteristik transformasi

makna yang dikaitkan dengan mitos juga merupakan karakteristik dari apa

yang dilakukan dalam proses memori budaya. Dengan demikian, ingatan

budaya mentransmisikan pengalaman yang berakar pada sejarah yang telah

mencapai status budaya yang berpotensi transformatif.83

81
Rodrigues dan Fortier, Cultural Memory : Resistance, Faith and Identity,10.
82
C.A van Peursen, Strategi Kebudayaan(Yogyakarta : Kanisius,1988),42-43.
83
Rodrigues dan Fortier, Cultural Memory : Resistance, Faith and Identity,13.

35
Jan Assman, dalam buku Collective Memory and Cultural Identity,

menjelaskan bahwa memori budaya menjaga penyimpanan pengetahuan dari

mana suatu kelompok berasal dan memiliki kesadaran akan kesatuan dan

kekhasannya. Akses dan transmisi pengetahuan ini tidak dikendalikan oleh apa

yang Blumenberg sebut sebagai keingintahuan teoritis dan kebutuhan akan

identitas. Memori budaya bekerja dengan merekonstruksi penataan, yaitu,

selalu menghubungkan pengetahuannya dengan yang aktual dan situasi pional,

itu diperbaiki dalam rangka memori tidak bergerak dan menyimpan

pengetahuan, tetapi setiap konteks kontemporer berhubungan dengan

perbedaan ini. Melalui apresiasi, terkadang dengan kritik, kadang-kadang

dengan pelestarian atau transformasi. Memori budaya ada dalam dua mode:

pertama dalam mode potensi arsip yang diakumulasikan melalui teks, gambar,

dan aturan perilaku dan yang kedua yaitu aktualitas, di mana setiap konteks

kontemporer menempatkan objek dan memasukkan makna ke dalam

perspektifnya dan relevansinya sendiri.84

2.5 Kesimpulan

Tradisi dalam cultural memory terdiri dari kaitan antara masa lalu dengan

masa kini. Tradisi yang telah mengalami banyak perubahan dalam masyarakat

memerlukan cultural memory karena melalui cultural memory ingatan-ingatan

masa lalu dapat dihidupkan, dibangkitkan dan diperingati kembali. Hal ini

sejalan dengan yang dicatat Jeanette bahwa memori budaya adalah proses di

mana masyarakat memastikan kesinambungan budaya dengan melestarikan,

84
Jans Ansmaan, Collective Memory and Cultural Identity,(Italy : Ashgate Publishing
Limited,2009),8-10.

36
pengetahuan kolektifnya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga

memungkinkan bagi generasi selanjutnya untuk merekonstruksi identitas

budaya mereka. Demikian halnya dengan ritual. Ritual dalam masyarakat di

masa kini sangat erat kaitannya dengan masa lalu. Melalui memori budaya

(cultural memory), seperti yang disampaikan Rosati,masa lalu tidak hanya

sekedar diingat namun diperingati kembali melalui ritual yang dimaknai secara

kolektif dalam masyarakat.

BAB III

RITUAL MA’BULLE TOMATE DALAM KONTEKS MASYARAKAT

GANDANGBATU

Pada bab ini, penulis membahas hasil penelitian yang diperoleh selama

penelitian di desa Gandangatu. Masyarakat Gandangbatu memiliki ritual yang

unik dalam upacara Rambu Solo’ yakni dalam Ritual Ma’bullle Tomate yang

masih berkaitan dengan kepercayaan Aluk Todolo. Metode yang digunakan

penulis adalah metode penelitian kualitatif. Dalam metode ini, data penelitian

diperoleh melalui wawancara, observasi dan juga dokumentasi untuk memperkuat

data penelitian.

37
3.1 Gambaran Umum Masyarakat Gandangbatu

Gandangbatu merupakan salah satu Lembang85 (desa) yang berada di

Kecamatan Gandangbatu Sillanan, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi

Selatan. Gandangbatu berada di bagian Selatan wilayah kabupaten Tana Toraja

berbatasan langsung dengan kabupaten Enrekang. Lembang Gandangbatu

sebelumnya bergabung dalam wilayah kecamatan Mengkendek. Berdasarkan

peraturan daerah nomor 18 tahun 2002, setelah terjadi pemekaran di beberapa

kecamatan, Gandangbatu masuk ke dalam wilayah kecamatan Gandangbatu

Sillanan. Ibu kota kecamatan Gandangbatu Sillanan yaitu Kelurahan Benteng

Ambeso. Ada 12 lembang/kelurahan yang ada kecamatan Gandangbatu Sillanan

yaitu : Benteng Ambeso, Kaduaja, Gandangbatu, Garassik, Salubarani, Betteng

Deata, Buntu Limbong, Buntu Tabang, Sillanan, Pemanukan, Perindingan, dan

Mebali. 86

Penulisan kata Gandangbatu seringkali menjadi perdebatan yang serius.

Hal ini disebabkan karena ada dua versi penulisan kata ‘’Gandangbatu’’, yaitu

Gandangbatu dan Gandang Batu. Namun versi penulisan yang paling sering

digunakan pada umumnya adalah ‘’Gandangbatu’’. Asal usul nama desa

‘’Gandangbatu’’ juga terdapat dalam dua versi yang berbeda, yang pertama desa

ini disebut Gandangbatu karena pada zaman dahulu ada sebuah batu yang

berbentuk gendang dan bila dipukul bunyinya pun seperti bunyi gendang. 87 Versi

85
Lembang adalah sebutan masyarakat Gandangbatu untuk satu wilayah desa atau
kelurahan. Satu lembang dipimpin oleh satu orang kepala lembang.
86
Kecamatan Gandangbatu Sillanan dalam angka 2019.
87
Cerita dari mulut ke mulut yang berkembang dalam masyarakat Gandangbatu, namun
sampai saat ini penulis belum pernah melihat batu yang berbentuk gendang tersebut.

38
yang ke dua dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya yaitu 88 bahwa

dahulu kala ada seorang laki-laki yang berasal dari sebelah timur Gandangbatu

bernama Pabura’. Pabura’ memperistrikan seorang perempuan yang bernama

Lai’ Saleu’. Lai’ Saleu’ berasal dari Gandangbatu Matallo (Gandangbatu Matallo

saat ini diberi nama Gandangbatu Timur). Pada suatu hari Pabura’ datang di suatu

sumur (masyarakat setempat menamainya To’bubun89), lalu ia pergi ke sebuah

tempat yang bernama Majao90, To’bubun dan Majao merupakan dua kompleks

yang sangat berdekatan di Gandangbatu. Ketika Pabura’ tiba di Majao, ia lalu

bertanya kepada orang yang ada di situ. Katanya : “inda padang to´inde jiong

melo dinai mebanua ?’’. Artinya, siapa pemilik kebun di bawah sana? Bagus

untuk mendirikan rumah. Masyarakat setempat mengatakan : datanglah, supaya

kita jadi tetangga’’.

Setelah itu, Pabura’ kembali dari Majao dan melanjutkan perjalanan ke

Malaleo, untuk bertanya tentang siapa pemilik dari kebun (yang sekarang disebut

Gandangbatu) itu, dengan alasan bagus untuk mendirikan rumah. Orang di

Malaleo menjawab : kebun itu tidak ada pemiliknya, datanglah supaya kita jadi

tetangga sampai di Majao. Setelah itu, masyarakat setempat bertanya :’’dari mana

asalmu?, Pabura’ menjawab :’’saya berasal dari Gandangbatu (Timur)’’. Mulai

saat itu, masyarakat di Majao dan Malaleo sepakat untuk memberi nama

Gandangbatu. Jadi nama Gandangbatu diambil berdasarkan nama daerah tempat


88
Matius Limin, disampaikan dalam Seminar Kontekstual Agama dan Adat Gandangbatu
di Gereja Toraja Jemaat Gandangbatu(Gandangbatu, 3 Mei 2019),1.
89
To’bubun artinya sumur. Sumur ini memiliki air yang jernih. Masyarakat Toraja
menyebutnya mata air abadi, ini disebabkan karena saat musim kemaraupun sumur ini tidak
pernah berhenti mengeluarkan air. Sebaliknya, saat musim hujan tiba air yang dikeluarkannya juga
tidak pernah keruh.
90
Majao adalah bahasa asli masyarakat Gandangbatu, kata ‘’jao’’ dalam bahasa
Gandangbatu artinya bagian atas. Majao artinya berada di dataran atas.

39
Pabura’ dan Lai’ Saleu’ berasal yaitu Gandangbatu Matallo, yang sekarang

disebut Gandangbatu Timur.91

Diperkirakan sekitar tahun 1200-an, masyarakat mulai hidup dan

berkembang di Gandangbatu. Daerah yang paling pertama menjadi tempat tinggal

penduduk adalah daerah Majao dan Malaleo. 92 Suku yang ada dalam masyarakat

Gandangbatu adalah suku Toraja asli. Adapun suku-suku lain yang datang dalam

masyarakat Gandangbatu itu karena alasan perkawinan. Namun suku yang ada

dan berkembang di Gandangbatu adalah suku Toraja asli, oleh karena itu

Gandangbatu juga disebut sebagai salah satu suku Toraja.

3.1.2 Sistem Adat dan Kepercayaan Masyarakat Gandangbatu

Masyarakat Gandangbatu merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi

nilai budaya dan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adat adalah aturan yang dilakukan sejak dahulu

kala. Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,

norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan

menjadi satu sistem atau kesatuan. Sementara istiadat didefinisikan sebagai

kebiasaan. Jadi, adat istiadat yang dimaksud adalah kumpulan aturan sosial

kemasyarakatan yang sudah menjadi kebiasaan dilakukan secara turun temurun.

Sebagai contoh, dalam masyarakat Gandangbatu terdapat ritual Ma’bulle Tomate

yang merupakan salah satu ritual dalam upacara Rambu Solo’. Ritual ini sudah

91
Diterjemahkan oleh penulis ke dalam bahasa Indonesia, dengan berpedoman pada
dokumen yang diperoleh dari narasumber. Informasi yang dituangkan Matius Limin dalam
dokumen tersebut diperoleh melalui tiga orang (almarhum) yang bernama Ne’ Juni, Ne’ Omi dan
Ne’ Sikka.
92
Hasil wawancara dengan Matius Limin sebagai pemangku adat Gandangbatu, 13
Oktober 2019.

40
dilakukan masyarakat sejak dulu kala saat masyarakat masih menganut

kepercayaan lokal suku Toraja yaitu Aluk Todolo.93 Namun prosesi pelaksanaan

ritual ini dalam Aluk Todolo dengan kekristenan berbeda.

Adat di Gandangbatu disebut dengan Bua’ Gandangbatu (Ada’ Tallu

Kurinna) atau dikenal dengan sebutan Tondok Tobintoenan Lembang Kaasi-

asian. Matius Limin94 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan adat yaitu

kebiasaan yang ada di suatu komunitas tertentu. Bua’ Gandangbatu atau biasa

disebut Ada’ Tallu Kurinna95 terdiri atas tiga bagian. Pertama, Malaleo-Kumba

disebut to sipiak kurin, jika ada upacara Rambu Solo’ di tempat ini dan

dikurbankan lima ekor kerbau, kepala dari kerbau tersebut akan dibawa ke

Kumba. Demikian sebaliknya jika ada upacara Rambu Solo’di Kumba lima

kerbau yang dikurbankan harus diantarkan ke Malaleo. Ke dua, Majao-

Gandangbatu disebut to sangkurin dengan ketentuan bahwa jika dalam upacara

Rambu Solo’ di Majao dikurbankan lima kerbau maka kepala kerbau diserahkan

ke Gandangbatu yang disebut Tongkonan Lombok Jioan yang juga masyarakat

sebut sebagai Tongkonanna Bara’padang sola Dauppare.Demikian sebaliknya

saat jika upacara rambu solo’ diadakan di Gandangbatu maka kepala kerbau

sebagai tanda dibawa ke Buntu to bara Majao. Ke tiga, Lamudak-Lo’ko’riri

disebut juga to sangkurin (To sipessailean/to Sipakande). Dalam upacara Rambu

Solo’ yang dilakukan di Lamudak, kepala kerbau dibawa ke Tongkonan

93
Hasil wawancara dengan Matius Limin sebagai pemangku adat Gandangbatu, 6 Juli
2019 di Malaleo.
94
Matius Limin, disampaikan dalam Seminar Kontekstual Agama dan Adat Gandangbatu
di Gereja Toraja Jemaat Gandangbatu(Gandangbatu, 3 Mei 2019),5.
95
Tallu berarti tiga, kurin berarti belanga, artinya tiga belanga. Disebut tiga belanga
karena ada di tempat yang berbeda namun satu tatanan adat.

41
To’duajen Jiongan dan sebaliknya jika dilakukan di Lo’ko’riri, maka kepala

kerbau betina dibawa ke Tongkonan Batu Pekaindoran.96

Sebelum agama kristen hadir dan berkembang di Gandangbatu,secara

khusus agama Kristen pada tahun 1913, masyarakat Gandangbatu hidup dalam

kepercayaan lokal suku Toraja yaitu Aluk Todolo. Suku Toraja sejak dari dahulu

menganut agama atau kepercayaan yang kini disebut Aluk Todolo (aluk =

agama/aturan, todolo = leluhur), jadi Aluk Todolo agama leluhur atau agama

purba. Aluk Todolo adalah suatu kepercayaan animis tua yang rupanya dalam

perkembangannya telah dipengaruhi oleh ajaran hidup konfusius dan agama

Hindu, karena itu pemerintah menggolongkan Aluk Todolo dalam sekte agama

Hindu.97 Menurut kepercayaan dalam Alukta, Puang Matua (Tuhan Sang

Pencipta) sendirilah yang menciptakan seisi alam ini bersama dengan Aluk

(agama). Tugas dan kewajiban dari semua yang diciptakan yaitu memuliakan

dan menyembah dan menyembah Sang Pencipta (Puang Matua) dan para dewa

sebagai pesuruhNya. Cara-cara memuliakan dan menyembah itu diatur oleh

Sang Pencipta sendiri dalam bentuk Aluk (agama), dengan upacara-upacaranya

(lentenan Aluk) dan larangan-larangan (pemali). Aluk dan Pemali dipelihara

serta diwariskan turun temurun dengan nama Aluk Todolo.98

Sistem kepercayaan Aluk Todolo dalam ajarannya meyakini bahwa agama

atau keyakinan ini diturunkan oleh Puang Matua (Sang Pencipta) kepada nenek

96
Limin, disampaikan dalam Seminar Kontekstual Agama dan Adat Gandangbatu di
Gereja Toraja Jemaat Gandangbatu(Gandangbatu, 3 Mei 2019),5.
97
L.T Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya (Tana Toraja : Yayasan Lepongan
Bulan,1981),72.
98
John Liku Ada’, Aluk To Dolo Menantikan Kristus (Yogyakarta : Gunung
Sopai,2019),14-15.

42
manusia yang pertama yaitu Datu’ La Ukku’ yang dinamakan Sukaran Aluk

(sukaran= ketentuan, aturan, aluk = agama, aturan), artinya aturan/agama atau

keyakinan yang di dalamnya mengandung ketentuan-ketentuan bahwa manusia

dan segala isi bumi ini harus menyembah, memuja dan memuliakan Puang

Matua (Sang Pencipta) yang dilakukan dalam bentuk sajian persembahan. 99

Kepercayaan lokal ini berkembang di masyarakat Gandangbatu sebelum

kekristenan datang dan berkembang di sana.

Kepercayaan Aluk Todolo kini hampir punah di Toraja secara keseluruhan,

secara khusus di Gandangbatu penganut kepercayaan ini sudah tidak ada lagi.

Hal ini tentu dipengaruhi oleh kekristenan dimana kekristenan di Toraja mulai

masuk sekitar tahun 1906 yang dibawahi oleh para misionaris Gereformeerde

Zendings Bond (GZB) yakni pasukan Hindia Belanda. Ketika para misionaris

GZB memperbaiki pandangan mereka terhadap desa mereka mulai menekankan

penggunaan yang lebih besar dari guru-guru dan penginjil Toraja. Misi Kristen

berhasil dalam membuka soal adanya perpecahan, melalui apa Kristen bisa

masuk ke berbagai masyarakat Toraja. Van de Loodsdrecht 100 dengan berani

mengambil sebuah isu keagamaan tentang aspek-aspek yang kejam dari

perpecahan itu. Konstribusi yang paling penting van de Losdrecht adalah

pilihannya untuk memakai nama ‘’Puang Matua’’101 sebagai tuhannya orang

Kristen. Kepercayaan-kepercayaan lama mungkin melekat dengan nama Puang

99
Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya,72.
100
Van de Losdercht adalah tokoh yang paling terkenal dari misionaris GZB yang berasal
dari Hindia Belanda, yang pertama-tama datang untuk membawa Injil ke Toraja.
101
Puang Matua merupakan sebutan Tuhan Allah dalam kepercayaan Aluk Todolo.

43
Matua namun pada waktunya kepercayaan Kristen akan menggantikan

kepercayaan lama yaitu Aluk Todolo.102

Baptisan kristen yang pertama di Toraja dilaksanakan pada tanggal 16

Maret 1913. Orang yang mendapatkan baptisan pada saat itu berjumlah 10

orang, dua diantaranya merupakan anggota masyarakat Gandangbatu. Sejak saat

itu kekristenan mulai berkembang di Toraja sampai ke Gandangbatu. 103

Beberapa Pemberita Injil dari Belanda bersama dengan dua orang Gandangbatu

yang dibaptis pada saat itu datang meneruskan Injil di Gandangbatu, hingga

pada akhirnya kepercayaan lama yaitu Aluk Todolo perlahan berkurang dengan

datangnya kekristenan.

Masyarakat yang beragama kristen di lembang Gandangbatu terdapat

dalam beberapa denominasi gereja. Antara lain Gereja Toraja, Gereja Kibaid,

Gereja Katolik dan Gereja yang beraliran Karismatik. Gereja Toraja berjumlah

enam jemaat yaitu : Jemaat Gandangbatu, Jemaat Malaleo, Jemaat Toke’, Jemaat

Tambuli, Jemaat To’kalo’ dan Jemaat Gari. Gereja Kibaid berjumlah tiga

jemaat, antara lain Jemaat Talondo, Jemaat Pongdudu dan Jemaat Kanunang.

Sementara itu, di Lembang Gandangbatu terdapat satu gereja Katholik yang

berdekatan dengan Gereja Kibaid Jemaat Pongdudu. Sedangkan Gereja yang

masuk dalam aliran Karismatik juga ada satu yakni GBI Pedallean (Gereja

Bethel Indonesia) yang letaknya sekitar 1 km dari Jemaat Malaleo. Masyarakat

Gandangbatu memiliki dua mesjid, salah satunya berdekatan dengan Kantor

Lembang Gandangbatu dengan jarak sekitar 10 meter. Mesjid yang lainnya


102
Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (Yogyakarta : Ombak,2016),166-
169.
103
Hasil wawancara dengan Matius Limin, 7 Juli 2019 di Malaleo.

44
berada di daerah Buntu Lepong yang dekat dengan Gereja Toraja Jemaat Gari.

Untuk lebih jelasnya data ini akan ditampilkan dalam tabel berikut ini

berdasarkan data tahun 2018.

Jumlah Penduduk Menurut Agama di Lembang Gandangbatu

2018

Lembang Islam Katholik Protestan Jumlah

Gandangbatu 777 26 2651 3454

Sumber : Lembang Gandangbatu dalam Angka 2019.

Sejauh ini toleransi antar umat yang berbeda agama masih sangat terlihat

dalam masyarakat ini. Terlihat melalui hubungan yang harmonis dalam

masyarakat dengan tidak mengganggu warga yang berbeda keyakinan saat

melakukan ritual-ritual keagamaan. Saat ada kegiatan seperti pesta kematian dan

pernikahanpun kerjasama masih sangat terjalin di antara umat yang berbeda

agama.

3.1.3 Aspek Geografi dan Demografi

Gandangbatu adalah salah satu lembang yang berada di Kecamatan

Gandangbatu Sillanan, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan.

Sebelah utara bersebelahan dengan lembang Pemanukan, sebelah timur

bersebelahan dengan lembang Betteng Deata. Di bagian selatan, lembang

Gandangbatu bersebelahan dengan lembang Garassik dan sebelah barat

45
bersebelahan dengan lembang Pa’buaran.104 Gandangbatu memiliki jarak 21

kilometer dari ibu kota Kabupaten Tana Toraja yaitu Makale. Luas wilayah

sebesar 12,92 km2 dengan 1000m ketinggian dari permukaan air laut.105

Kondisi topografi daerah Gandangbatu berada di pegunungan, bukit dan

lembah. Sebagian besar daerahnya merupakan daerah pegunungan, tak heran

jika daerah ini termasuk wilayah dengan suhu yang sangat dingin. Suhu di

Gandangbatu berkisar antara 13°−23 ° . Oleh karena itu, Gandangbatu termasuk

iklim tropis basah. Sedangkan secara demografi lembang Gandangbatu

merupakan lembang dengan jumlah penduduk terbesar dalam wilayah

kecamatan Gandangbatu Sillanan, yaitu sebesar 3648 jiwa, dimana penduduk

laki-laki sebesar 1798 jiwa dan perempuan sebesar 1850 jiwa.106

3.1.4 Aspek Ekonomi

Gandangbatu merupakan daerah agraris yang sebagian besar penduduknya

mempunyai mata pencaharian di sektor perkebunan dan pertanian. Hal ini

didukung oleh kondisi tanah yang subur untuk tanaman musiman seperti buah-

buahan dan sayur-mayur serta tanaman lain seperti cengkeh, coklat, vanili, lada,

kopi dan juga umbi-umbian. Di sektor pertanian seperti persawahan ditampilkan

lewat gambar berikut ini.

104
Wawancara penulis dengan kepala Lembang Gandangbatu, Kalvin Inggu’. Pada
tanggal 3 Juli 2019.
105
Kecamatan Gandangbatu Sillanan dalam angka 2019,hal.3.
106
Kecamatan Gandangbatu Sillanan dalam angka 2019,hal.7.

46
Sumber : ganti/dokumen pribadi

Selain bekerja di sektor pertanian sebagian masyarakat di lembang

Gandangbatu juga bekerja sebagai peternak. Masyarakat yang bekerja sebagai

peternak, sebagian besar memelihara babi dengan jumlah yang banyak dan

beberapa hewan lainnya seperti kerbau, kambing, ayam dan sebagainya.

Berdasarkan data dari kecamatan Gandangbatu107, jumlah babi yang diproduksi

setiap tahunnya mencapai 669 ekor. Data-data yang akurat melalui jumlah ternak

yang lainnya tidak dilaporkan dalam data tersebut. Babi-babi yang menjadi usaha

pokok penduduk di Gandangbatu, sebagian besar dijual ke Makale atau Rantepao

dan sebagiannya digunakan dalam pesta pernikahan ataupun upacara Rambu

Solo’. Masyarakat Gandangbatu menjual ternak ke luar desa karena dalam

pelaksaan upacara Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’ dalam masyarakat, tidak

diperlukan ternak dalam jumlah yang besar. Karena bagi masyarakat

Gandangbatu, yang terpenting adalah pendidikan. Itulah sebabnya, hampir tiap

rumah di Gandangbatu paling tidak memiliki satu anggota keluarga yang

107
Kecamatan Gandangbatu Sillanan dalam angka 2019.

47
menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi atau sarjana. Pekerjaan lain yang

ditekuni masyarakat selain bertani dan beternak adalah sopir, pedagang, tukang

kayu, dan tukang bangunan. Selain itu, masyarakat yang bekerja sebagai pegawai

hanya sebagian kecil saja.

Untuk mendukung perekonomian penduduk, Kecamatan Gandangbatu

Sillanan memiliki satu pasar yang terdapat di ibukota Kecamatan yaitu di

Kelurahan Benteng Ambeso yang biasa disebut Pasar Buntu. Jarak pasar ini

dengan Lembang Gandangbatu hanya sekitar 5 km saja atau bisa ditempuh dengan

sepeda motor dalam waktu 15 menit. Masyarakat Gandangbatu menjadikan pasar

ini sebagai tempat berjual beli kebutuhan-kebutuhan seperti bahan makanan,

pakaian dan kebutuhan lainnya.

Selain beberapa gambaran di atas, ada satu hal yang menarik di

Gandangbatu yaitu sebuah sumur yang biasa disebut To’bubun. Sumur ini terletak

di pinggir jalan sebelah kanan sebelum lapangan yang dekat dengan Gedung

Gereja Toraja Jemaat Gandangbatu. Letaknya tepat di dusun Gandangbatu.

Menurut cerita warga setempat, To’bubun ini ditemukan oleh Pabura’ dan Saleu’.

Masyarakat menyebut sumur ini tidak ada pantangan ataupun misteri. Namun, ada

keistimewaannya yaitu sumur ini tidak pernah kehabisan air. Airnya selalu

mengalir saat kemarau sekalipun, sehingga sumur ini merupakan salah satu

anugerah dari Sang Pencipta bagi masyarakat Gandangbatu. Sumur tersebut

sebagai sumur kebanggaan masyarakat Gandangbatu selain karena airnya jernih

dan selalu mengalir, airnya juga tidak pernah keruh saat musim hujan tiba.

Keistimewaan yang lain dari sumur ini adalah airnya bisa langsung diminum

48
karena tidak berkapur. Mata air sumur ini keluar dari sela-sela bebatuan. Bila

musim kemarau tiba masyarakat dari luar Gandangbatu bahkan dari luar

Kecamatan Gandangbatu Sillanan datang untuk mengambil air di sumur yang

disebut to’bubun ini.108 Untuk lebih jelas, sumur tersebut akan ditampilkan pada

gambar berikut ini.

Sumber : https://www.karebatoraja.com/mengenal-lebih-dekat-mata-air-abadi-di-
lembang-gandangbatu/

3.1.5 Sistem Pemerintahan dan Lembaga Sosial Lembang Gandangbatu

Sistem pemerintahan dalam masyarakat Gandangbatu dipimpin oleh

seorang kepala Lembang bersama dengan aparat-aparatnya. Kepala lembang

yang bertugas saat ini bernama Kalvin Inggu’, beliau adalah mantan Kepala

Sekolah SMP Kristen Gandangbatu. Di Lembang Gandangbatu terdapat tiga

dusun yaitu dusun Majao, Gandangbatu dan Lamudak. 109 Kepala lembang dan

para aparatnya selain bertugas di bidang pemerintahan dan administrasi

108
https://www.karebatoraja.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2019.
109
Hasil pengamatan penulis, 2019

49
penduduk, mereka juga bertugas sebagai pengambil keputusan bersama dengan

para tokoh adat, tokoh masyarakat serta tokoh gereja jika hendak melakukan

suatu upacara adat atau ritus-ritus keagamaan yang berlaku dalam masyarakat,

baik itu pernikahan maupun kematian.

Foto Kantor Lembang Gandangbatu (Dokumentasi Pribadi)

Di bidang kesehatan, masyarakat Gandangbatu memilki satu puskesmas

dan empat posyandu dengan satu perawat dan enam orang bidan. Dalam bidang

pendidikan, mulai dari TK hingga SMP, masyarakat Gandangbatu memiliki satu

gedung TK, yang disebut TK PGRI Gandangbatu dengan dua orang guru. 110 Di

tingkat Sekolah Dasar, masyarakat Gandangbatu memiliki 3 Sekolah Dasar yaitu

SDN INPRES Gandangbatu, SDN 138 Gandangbatu dan dan SDN 295 INPRES

Talimbung.111 Sementara itu, masyarakat Gandangbatu juga memiliki satu

110
Kecamatan Gandangbatu Sillanan dalam Angka 2019.
111
Hasil wawancara bersama Michael Rionaldo, 2 Oktober 2019.

50
Sekolah Menengah Pertama yang disebut SMP Kristen Gandangbatu yang

merupakan satu-satunya SMP Kristen yang berada dalam wilayah Kecamatan

Gandangbatu Sillanan. Sedangkan, sekolah menengah atas belum ada di

Gandangbatu, jadi saat anak-anak telah lulus SMP sebagian dari mereka pergi ke

ibu kota Kabupaten yaitu Makale untuk menuntut ilmu, sebagiannya lagi

menuntut ilmu di tingkat SMA dalam lingkup wilayah Kecamatan Gandangbatu

Sillanan.

3.2 Tradisi Ritual Ma’bulle Tomate menurut Masyarakat Gandangbatu

3.2.1 Sejarah Menyanyi dalam Ritual Ma’bulle Tomate Adat

Gandangbatu

Menyanyi dalam Ma’bulle Tomate hanya berlaku dalam kekristenan, ritual

ini tidak berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam. Masyarakat yang

beragama Islam, pada saat meninggal hanya diusung ke pemakaman dengan

berjalan seperti biasa. Hal ini disebabkan karena nyanyain-nyanyian yang

digunakan dalam ritual Ma’bulle Tomate berasal dari kekristenan dan sebagian

besar syairnya berasal dari ayat-ayat alkitab.

Menyanyi dalam ritual Ma’bulle Tomate belum dikenal dalam Aluk

Todolo112, yang mereka lakukan adalah Ma’badong. Ma’badong dalam ritual ini

dilakukan sekitar tahun 1950an sebelum kekacauan besar-besaran terjadi di Toraja

yang juga masuk ke wilayah Gandangbatu. Namun pada saat itu masyarakat
112
Aluk Todolo adalah agama lokal yang ada di Toraja, yang kini hampir punah setelah
masuknya kekristenan pada tahun 1913 berdasarkan data dari hasil wawancara penulis dengan
Bapak Matius Limin. Beliau adalah salah satu tokoh adat yang berdomisili di Desa Gandangbatu.
Agama Aluk Todolo yang hampir punah ini, sampai sekarag ini pemeluknya sebagian besar
berdomisili di Toraja Barat. Daerah-daerah pelosok yang hapir sama sekali tidak mengenal
teknologi.

51
setempat menyebut ritual penguburan dengan kata dipeliang113. Kekacauan yang

terjadi pada saat itu sekitar tahun 1965 datang dari pihak DITII (Darul

Islam/Tentara Islam Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), para

gerombolan, dan ada juga yang masyarakat sebut sebagai gorilla.114 Pihak-pihak

yang datang menimbulkan kekacauan ini juga datang untuk meng-islamkan

masyarakat yang ada pada saat itu.

Pada tahun 1970an, setelah keadaan mulai aman masyarakat Gandangbatu

mulai menggunakan nyanyian untuk mengiringi ritual Ma’bulle Tomate. Sejak

saat itu, badong sudah tidak pernah lagi dipakai untuk mengiringi ritual Ma’bulle

Tomate.115 Badong adalah tarian dan nyanyian kedukaan yang ada di Toraja.

Badong adalah sebuah tari dan nyanyian berisi syair kedukaan yang diadakan di

upacara Rambu Solo’. Dalam masyarakat pada saat itu tidak semua yang

meninggal di badong saat penguburannya namun disesuaikan dengan strata sosial

yang berlaku dalam masyarakat. Di sinilah letak perubahan yang terjadi dalam

ritual Ma’bulle Tomate antara Aluk Todolo dengan kekristenan. Badong yang

dahulu digunakan untuk mengiringi ritual pengusungan jenazah ke pemakaman

kini diganti dengan nyanyian-nyanyian rohani seperti : Kidung Jemaat, Masmur

(dalam bahasa Toraja disebut Pa’pudian) lagu-lagu KKR dan beberapa Penanian

Dolo. Penanian Dolo merupakan salah satu bentuk nyanyian rohani yang dibuat

dalam bahasa Toraja. Nyanyian ini pada awalnya disusun oleh para Zendeling

(pemberita Injil dari Belanda di Toraja) bersama-sama dengan beberapa orang

113
Liang artinya lahat, jadi dipeliang artinya dikuburkan. Bahasa masyarakat setempat
pada saat ini mengatakan dilamun.
114
Hasil wawancara dengan Benyamin Bu’bu’, 28 Juni 2019 di Gandangbatu.
115
Hasil wawancara dengan Matius Limin, 19 April 2019

52
Toraja yang beragama kristen. Jika melihat dari asal katanya penanian berarti

nyanyian,dan dolo yang berarti dulu. Dengan demikian penanian dolo berarti

nyanyian pada masa yang lalu (lampau).116 Penanian dolo berisi syair-syair

pemujaan kepada Tuhan.

3.2.1.1 Ma’bulle Tomate Dalam Kepercayaan Aluk Todolo

Ritual Ma’bulle Tomate dalam kepercayaan Aluk Todolo diiringi dengan

badong. Namun tidak semua kerabat yang meninggal dalam ritual pemakamannya

disertai dengan badong. Hal ini didasarkan pada strata sosial atau yang biasa

disebut tana’ yang berlaku dalam masyarakat (lih.hal.18). Selain itu, dalam

Ma’badong ada satu orang yang bertugas sebagai pemimpin dari badong itu.

Pemimpin badong dalam bahasa Toraja disebut pa’tolo’ badong.117 Dia bertugas

menyampaikan kadong badong yang selanjutnya diikuti oleh pelaku ritual

lainnya.

Badong dalam ritual Ma’bulle Tomate pada kepercayaan Aluk Todolo

memilki beberapa makna yang dihayati oleh penganut kepercayaan ini. Adapun

makna-makna yang terkandung dalam badong antaralain118 :

1. Mengangkat dan menceritakan status sosial dari si mati.

Syair-syair badong yang disebut kadong badong menceritakan

riwayat hidup si mati, status sosialnya dalam masyarakat dan

kelengkapan ritualnya. Dalam kadong badong seluruh perjalanan

hidup dari si mati hingga pada saat kematiannya diceritakan kembali.


116
Simon Toyang Todingallo,Penanian Dolo, (Jakarta: STT Jakarta 1960),4.
117
Pa’tolo’ badong artinya pemimpin badong.
118
Hasil wawancara dengan Matius Limin sebagai tokoh adat Gandangbatu, 10 Agustus
2019 di Malaleo.

53
Demikianpun dengan status sosialnya, semuanya terungkap dalam

kadong badong. Kelengkapan ritual yang dimaksudkan dalam kadong

badong itulah yang kemudian masyarakat sering sebut ganna’

tunuanna119. Dalam kepercayaan Aluk Todolo, masyarakat mengusung

jenazah sambil Ma’badong di sepanjang jalan bahkan sampai di

tempat penguburan badong masih terus dilakukan.120 Menurut Kalvin

Inggu’, di sinilah letak mulainya luntur adat dan budaya yang

seharusnya dilestarikan oleh masyarakat di mana badong tidak lagi

digunakan dalam ritual ma’bulle tomate. Pada kenyataannya badong

secara perlahan-lahan mulai lenyap di dalam kultur sosial masyarakat

Gandangbatu.

2. Mengungkapkan ratapan

Dengan Ma’badong orang menyampaikan ratapannya atas

kepahitan yang dialami saat salah satu kerabat dipanggil Puang Matua

dari tengah-tengah kehidupan mereka. Ma’badong sebagai bukti

ratapan, penghargaan, rasa cinta kasih dan sebagai tanda kehilangan. 121

Ratapan-ratapan kepahitan itu diungkapkan dalam lise’ badong 122 yang

terus dikumandangkan dalam pelaksanaan ritual Ma’bulle Tomate.

119
Ganna’, artinya genap, tunuanna artinya hewan korban. Jadi, ganna; tunuuanna
artinya lengkap ritual, atau lengkap persembahan korbannya.
120
Hasil wawancara bersama Kepala Lembang Gandangbatu, 7 Juli 2019 di Kantor
Lembang Gandangbatu.
121
Arlene Azalia Stephanie Kamma, (2016), Komunikasi Antar Budaya Dalam Tarian
Mabadong Sebagai Media Tradisional Masyarakat Suku Toraja Di Desa Singa Gembara
Kecamatan Sangatta Utara, Journal Ilmu Komunikasi, 4 : (2), 39-251.
122
Lise’ badong artinya kalimat-kalimat yang berisi dari syair dalam badong

54
Ratapan-ratapan yang diungkapkan mewakili perasaan kehilangan,

baik yang dialami oleh keluarga maupun masyarakat.

3. Solidaritas

Ritual Ma’badong dalam ritual Ma’bulle Tomate orang tidak

melakukannya dengan sendirian namun dilakukan secara bersama-

sama. Sehingga ada syair Badong yang menyatakan bahwa : wei

umbamoko sangtondokna, dan seterusnya, yang artinya bahwa melalui

badong rasa solidaritas itu tercipta. Kadong badong yang diungkapkan

tersebut seakan mengajak yang lain untuk turut serta berperan dalam

ritual ma’badong. Solidaritas sebagai satu keluarga dan satu kesatuan

dalam hubungan kemasyarakatan itu tercipta melalui badong.

4. Kepedulian yang sangat tinggi terhadap keluarga si mati.

Dalam Ma’badong, orang datang tanpa diundang, orang merasakan

duka dan berempati kepada keluarga yang ditinggalkan. Pada makna

ini, dalam kadong badong ada rasa sipopa’dik dan siangkaran.

Sipopa’dik artinya turut merasakan sakit (pa’dik) yang dirasakan oleh

keluarga sehingga perlu adanya kata siangkaran yang artinya saling

menguatkan, memberi topangan dan penguatan-penguatan bagi

keluarga melalui kadong badong. Dengan demikian, rasa kepedulian

masyarakat bagi keluarga terlihat melalui badong.

5. Pemujaan kepada arwah.

Melalui kadong badong orang mengungkapkan betapa berharganya

manusia atau si mati tersebut. Masyarakat Gandangbatu pada saat itu

55
percaya bahwa, si mati yang ritual kematiannya lengkap akan Membali

Puang. Membali Puang artinya apabila si mati diupacarakan sesuai

dengan status sosial yang berlaku dan disempurnakan maka arwah si

mati akan berubah status di puyah dan menjadi To Membali Puang.

Arwah tersebut akan menjadi dewa leluhurnya dan menempati

kedudukan di langit bersama Puang Matua.123

6. Pengharapan dari masyarakat.

Makna ini hampir sama dengan makna sebelumnya pada nomor

lima. Dikatakan badong menjadi pengharapan dari masyarakat karena

salah satu kadong badong berisi pengharapan dari masyarakat supaya

si mati tinggal bersama dengan dewa karena sesungguhnya dia berasal

dari dewa.124 Karena itu Aluk Todolo meyakini bahwa si mati yang

lengkap ritualnya akan mengalami yang namanya to membali puang.125

To membali Puang merupakan salah satu nama dewa yang diyakini

oleh kepercayaan Aluk Todolo. Karena dalam kepercayaan Aluk

Todolo diyakini adanya Puang Titanan Tallu atau dikenal dengan

sebutan Tallu Sangbua Bannang yaitu Puang Matua, Puang Mellao

Langi’, dan To Membali Puang.126 Berikut contoh lise’ badong127 :

Tiromi tu tau tongan to nakombong Deata


Malulun rante naola ma’ti tombang napolalan
123
Matius Limin, disampaikan dalam Seminar Kontekstual Agama dan Adat
Gandangbatu, 3 Mei 2019,7.
124
Wawancara via telepon dengan Pdt. Kornelius Kondong, pada tanggal 18 April 2019,
pukul 10.00.
125
To membali Puang artinya, arwah si mati menempati status dan kedudukan yang setara
dengan Puang Matua di puya. Sehingga ia menjadi dewa bagi keturunannya dan terus memberkati
anak-cuc yang masih hidup.
126
Hasil wawancara dengan Matius Limin, 21 Oktober 2019.
127
Hasil wawancara dengan Matius Limin, 3 November 2019.

56
Dalam Aluk Todolo syair ini artinya : To ditingara tuka’, to buda

tunuanna. Artinya orang yang diupacarakan pada saat itu berasal dari

keturunan bangsawan (tana’ bulawan/tana’ karurung : lih.hal.18-19).

Karena berasal dari keturunan bangsawan maka segala ritualnya

lengkap yang terlihat melalui berapa banyak hewan yang dikurbankan

pada saat upacara rambu solo’.128

Hakekat sesungguhnya dari upacara rambu solo’ ialah memenuhi

persyaratan dalam kepercayaan Aluk Todolo agar arwah tetap menempati

statusnya di puyah sama seperti di lino (bumi) dan yang terpenting adalah

statusnya berubah menjadi To Membali Puang. Jika ini terjadi maka semua

keluarga, anak cucu yang masih hidup di dunia akan merasa puas, aman, bahagia

dan banyak mendapat rejeki. Sebaliknya, jika anak cucu dan keluarga melalaikan

kewajibannya menyempurnakan upacara rambu solo’ dari orangtua atau leluhur

yang meninggal maka anak cucu, keluarga yang masih hidup akan mendapat

kutukan seperti sakit penyakit, sukar mendapat rejeki dan selalu ditimpah

musibah. Upacara rambu solo’ dari orangtua atau leluhur yang tidak sempurna

karena kelalaian dari anak cucu itu disebut tang sundun Alukna.129

Selain beberapa hal penting di atas, Aluk Todolo juga mengajarkan bahwa

upacara kematian sangat terikat pada struktur pelapisan masyarakat di setiap

wilayah. Sekitar abad 13, pada pemerintahan Raja Sangalla’, Puang Palodang

bersama Tomanurun lainnya di Toraja bersepakat menetapkan pelapisan

masyarakat Toraja sebagai berikut130 :


128
Hasil wawancara dengan Matius Limin, 3 November 2019.
129
Limin,7.
130
Limin,8

57
1. Tana’ Bulawan yang artinya bangsawan tinggi. Para

bangsawan diyakini sebagai turunan dari makhluk dari langit

yakni tomanurun. Keyakinan ini menjadi legitimasi bagi para

bangsawan untuk melakukan kepemimpinan dalam suatu

daerah atau wilayah.131

2. Tana’ Bassi yang artinya bangsawan menegah.

Tana’ bassi, merupakan bagian dari golongan bangsawan

yang disebut dengan golongan bangsawan biasa. Disebut

sebagai bagian dari golongan bangsawan karena ikut

membantu tokoh adat dalam memerintah masyarakat. 132 Seperti

golongan orang kaya dan tua-tua kampung. Dengan demikian

jelas bahwa tana’ bassi masih merupakan golongan bangsawan

karena bersama-sama dengan tana bulawan untuk

menyelesaikan persoalan dalam masyarakat.133

3. Tana’ Karurung yang artinya rakyat biasa.

Tana’ karurung, adalah golongan masyarakat biasa atau

merdeka. Mereka bukan pemimpin dan bukan hamba dalam

masyarakat. Mereka adalah masyarakat biasa yang bersifat

independen.134 Umumnya masyarakat banyak masuk dalam

isitilah Tana’ Karurung.

131
Stepanus, Ritual Mebulle Bai Ruang Bersama Penyelesaian Konflik Sosial Masyarakat
Mamasa,Tesis Magister Sosiologi Agama Fakultas Teologi, (Salatiga : UKSW,2018),45-46.
132
W.A.Van der Klis,Datanglah Kerajaan-Mu: Lima Puluh Tahun Pekabaran
Injil di Toraja Barat 1913-1963,(Rantepao: Sulo,2007),16.
133
Stefanus, Ritual Mebulle Bai,46.
134
Arianus Mandadung,Keunikan Budaya: Pitu Ulunna Salu Kondosapata Mamasa.
Mamasa,2005. 116.

58
4. Tana’ Kua-kua yang artinya hamba atau dalam bahasa Toraja

disebut kaunan.135 Hamba atau dalam bahasa Toraja disebut

kaunan adalah mereka yang disuruh-suruh dalam setiap

kegiatan atau ritual yang dilakukan dalam masyarakat.

Tana’ sangat menentukan dalam upacara kematian karena tiap-tiap tana’

mempunyai upacara-upacara sendiri sehingga dalam masyarakat Toraja terjadi

beberapa tingkatan dalam upacara rambu solo’ yang didasarkan pada tana’ atau

strata sosialnya.136 Namun dalam masyarakat Gandangbatu, tana’ ini tidak lagi

menjadi hal yang dianggap penting di zaman sekarang ini, itulah sebabnya orang

Gandangbatu disebut tomasero yang artinya bukan bangsawan dan bukan hamba.

Dengan kata lain, orang Gandangbatu tidak diperintah dan tidak memerintah.137

3.2.2. Ritual Ma’bulle Tomate dalam Kekristenan

Ma’bulle artinya memikul, tomate artinya orang mati atau jenazah/mayat.

Dengan demikian, secara harafiah Ma’bulle Tomate artinya memikul mayat atau

mengusung jenazah ke pemakaman. Pelaksanaan ritual Ma’bulle Tomate yang

diiringi dengan nyanyian didasarkan pada kebiasaan turun temurun yang telah ada

dan berkembang dalam masyarakat Gandangbatu. Seperti yang penulis telah

paparkan sebelumnya bahwa ritual ini juga sudah ada dalam kepercayaan lama

masyarakat yaitu Aluk Todolo namun pelaksanaan ritual ini dalam Aluk Todolo

berbeda dengan pelaksanaannya dalam keristenan. Perbedaan itu jelas nampak

dalam pelaksaan ritual ini, dimana pada kepercayaan Aluk Todolo masyarakat
135
Stefanus, Ritual Mebulle Bai,46.
136
Limin,7.
137
Hasil Wanwancara bersama Matius Limin, 8 Agustus 2019.

59
melakukan ritual Ma’bulle Tomate sambil Ma’badong namun dalam masyarakat

saat ini ritual tersebut dilakukan sambil bernyanyi. Berikut penulis tampilkan foto

ritual Ma’bulle Tomate yang dilakukan masyarakat Gandangbatu.

Sumber : Youtube, diliput oleh Artha Media Picture.

Setiap ritual dalam masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi

tentu memiliki makna tersendiri bagi masyarakat di setiap wilayah. Demikian

halnya dengan menyanyi dalam ritual Ma’bulle Tomate di Gandangbatu memiliki

beberapa makna yang dihidupi oleh masyarakat. Makna itu antaralain :

1. Nyanyian dalam Ma’bulle Tomate sebagai ikatan sosial dalam

masyarakat.138

Ritual menyanyi dalam Ma’bulle Tomate dilakukan bersama

dalam masyarakat tanpa melihat strata sosial yang berlaku, baik

dari kalangan bawah, menengah dan kalangan atas seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya (lihat hal. 18). Hal ini berbeda dengan
138
Hasil wawancara dengan Pdt. Erniyanti Rustam Payangan sebagai Pendeta Jemaat di
Gandangbatu, 15 Agustus 2019.

60
badong dalam kepercayaan Aluk Todolo di mana badong tidak

berlaku bagi semua kalangan masyarakat namun hanya berlaku

bagi masyarakat dengan kalangan kasta menengah dan kasta tinggi.

Dengan kata lain, nyanyian mempersatukan semua kalangan dalam

masyarakat sehingga lewat ritual ini ikatan sosial itu tercipta.

Menyanyi dalam Ma’bulle Tomate sekaligus menyatukan semua

tana’ atau strata sosial yang berlaku dalam masyarakat sehingga

tercipta ikatan sosial dalam strata sosial yang berbeda-beda.

2. Wujud nyata dari rasa solidaritas masyarakat

Rasa kebersamaan tercipta melalui nyanyian dalam Ritual

Ma’bulle Tomate. Bukan hanya kerabat dekat saja yang hadir

namun kerabat yang jauh juga hadir merasakan duka bersama

dengan keluarga yang ditinggalkan oleh si mati. Pelaku Ritual

Ma’bulle Tomate bukan hanya keluarga dekat, bukan hanya yang

satu dusun dengan si mati namun kerabat dari beberapa tempat

yang cukup jauh turut hadir dalam ritual ini. Hal ini lebih dekat

dengan falsafah hidup masyarakat Gandangbatu yang mengatakan

bahwa innuduk bau bosi, yang artinya ritual kedukaan dapat

dihadiri kerabat tanpa undangan. Berbeda dengan upacara Rambu

Tuka’ seperti pernikahan, ucapan syukur, dan lain sebagainya, bila

tidak ada undangan maka orang akan merasa malu dan sungkan

untuk menghadirinya.139

139
Hasil wawancara dengan Yohana Mune’ sebagai salah satu anggota masyarakat
Lembang Gandangbatu, 6 Agustus 2019.

61
3. Keyakinan masyarakat bahwa manusia beserta semua yang

hidup akan kembali ke asalnya (dunia sebelah)

Masyarakat Gandangbatu meyakini bahwa manusia pada

dasarnya akan kembali ke tanah karena ia berasal dari tanah. Selain

sebagai bentuk keyakinan masyarakat, makna ini juga dapat

menjadi bentuk penghiburan dan kekuatan bagi keluarga si mati.

Sehingga ada syair lagu dalam Penanian Dolo yang digunakan

dalam ritual Ma’bulle Tomate yang berbunyi140 :

Mintu’ki’ ma’rupa tau lan lino sola mintu’ menono’na

Pangindanna nasang riki’ lino paningoan sangattu’ri

Do ri suruga inan marendeng, inan matontong saelakona

Si sola Puangta Yesu

Yang artinya :

Semua ciptaan di dunia dan segala ciptaan yang lain

Hanyalah titipan sementara di dunia

Di surgalah tempat kediaman kekal, kekal sampai

selamanya

Melalui syair ini masyarakat memahami bahwa semua

manusia dan seluruh yang hidup di dunia ini hanyalah titipan

sementara di dunia. Pada akhirnya semuanya akan kembali ke

surga sebab di sanalah tempat yang kekal selama-lamanya bersama

Tuhan Yesus.

140
Hasil wawancara dengan Benyamin Bu’bu’ sebagai salah satu anggota masyarakat
Lembang Gandangbatu, 6 Agustus 2019.

62
4. Pemujaan kepada Tuhan141

Syair lagu dalam ritual Ma’bulle Tomate juga berisi pemujaan

kepada Tuhan. Salah satu lagu yang digunakan terdapat dalam Kidung

Jemaat nomor 33 yang berjudul ‘SuaraMu ku dengar’’. Dalam bahasa

Toraja, syairnya sebagai berikut :

Kurangi puangku metamba tangtore nakua penombaina’ ku indoi’


salamu
O puang Yesu kamaseina’ sia basei raraMi pena kadakeku
Ku pennoloikomi rosso tu penangku natumang sala budangku o puang
garri’ mo’
O Puang Yesu kamaseina’ sia basei raraMi pena kadakeku
Kurre sumanga’ Puang bengan katuoan lu dio mai tang merambu lu
langan suruga O Puang Yesu kamaseina’ sia basei raraMi pena
kadakeku
Pemujaan-pemujaan ini berisi kesadaran akan keberdosaan sebagai

umat manusia yang membutuhkan penyucian diri melalui darah

Kristus. Bait-bait lagu ini juga berisi ungkapan syukur atas anugerah

kehidupan yang diberikan Tuhan kepada manusia baik kehidupan di

dunia maupun kehidupan di surga.

3.2.2.1 Mekanisme Pelaksanaan Ritual Ma’bulle Tomate

Pada bab 1 penulis telah menguraikan beberapa hal mengenai

mekanisme pelaksaan ritual Ma’bulle Tomate. Ritual ini dilakukan pada

hari terakhir si mati ada bersama-sama dengan keluarga dan masyarakat.

Dengan kata lain, ritual ini dilakukan pada saat penguburan si mati. Ritual

Ma’bulle Tomate merupakan salah satu hal yang menarik di Gandangbatu,

karena pelaksanaan ritual ini sangat berbeda dengan pelaksanaan ritual

141
Wawancara dengan Pandu sebagai tokoh masyarakat, tanggal 7 Juli 2019 di
Gandangbatu

63
Ma’bulle Tomate di Toraja secara umum. Berdasarkan hasil pengamatan

penulis, di beberapa daerah yang ada di Toraja seperti Makale, Sanggalla’

dan Rantepao, ritual Ma’bulle Tomate tidak diiringi dengan nyanyian atau

apapun. Mereka yang terlibat dalam ritual ini hanya berjalan seperti biasa

dalam mengantar si mati ke pemakaman. Di Sangalla’, mayat yang dipikul

bersama-sama disertai langkah yang berlari tanpa harus bernyanyi seperti

dilakukan masyarakat Gandangbatu.

Masyarakat Gandangbatu dalam melakukan ritual ini dipimpin

oleh satu pemimpin lagu yang biasa disebut pa’tolo.142 Orang yang

menjadi pemimpin lagu biasanya adalah yang sudah berpengalaman dalam

memimpin lagu pada ritual-ritual sebelumnya. Hal ini berarti bahwa tidak

semua orang bisa jadi pa’tolo’ namun hanya orang-orang tertentu saja.

Dalam mekanisme pelaksanaan ritual Ma’bulle Tomate posisi pa’tolo’ bisa

di depan, di tengah, di samping ataupun di belakang. Dimana yang

terpenting adalah pelaku ritual bisa mendengar suara dari pa’tolo’.

Pemimpin lagu bertugas mengucapkan tiap-tiap syair dari lagu tersebut

dan diikuti oleh pelaku ritual yang lain. Dalam perjalanan menuju tempat

pemakaman, lagu-lagu terus dikumandangkan hingga tiba pada lokasi

pemakaman yang telah disediakan keluarga.143

Selain bernyanyi, pelaku ritual memikul jenazah disertai dengan

langkah kaki yang agak santai. Ritual ini dilakukan oleh kaum laki-laki,

dari yang masih muda sampai orang yang sudah tua seperti yang terlihat

142
Pa’tolo’ artinya pemimpin lagu dalam ritual Ma’bulle Tomate
143
Hasil pengamatan penulis saat mengikuti jalannya ritual, 2019.

64
pada gambar halaman 20. Peti dari si mati yang telah dipaku rapat-rapat di

taruh di atas empat batang bambu yang telah diikat kuat satu dengan yang

lain.144 Pembawa karangan bunga berjejer di depan diikuti oleh para pelaku

ritual ma’bulle tomate, biasanya dilakukan oleh perempuan atau anak kecil

yang tidak lain adalah keluarga dari si mati. Namun karena jarak dari

rumah duka ke tempat pemakaman yang biasanya cukup jauh, pembawa-

pembawa bunga kadang keluar dari barisan dan berjalan sesuai dengan

kemauan mereka. Setelah tiba di lokasi pemakaman, bunga-bunga itu

dijejer dekat dengan jenazah yang telah dikubur.

Sumber : Youtube, diliput oleh Oscar Solata

Sebelum si mati diberangkatkan ke tempat pemakaman pihak

gereja memimpin doa dan satu pujian. Di samping itu, ritual Ma’bulle

Tomate juga dilakukan sambil minum air baik air putih ataupun ballok

144
Bambu yang digunakan bukan sembarang bambu, namun bambu yang dianggap kuat
untuk mengangkat jenasah, biasanya berwarna hijau dan masyarakat setempat menyebutnya
parrin.

65
(tuak Toraja) serta merokok. Hal ini disebabkan karena pelaku ritual

merasa haus akibat terus bernyanyi sambil berjalan sementara jarak rumah

duka ke tempat pemakaman cukup jauh. Lagu-lagu yang dinyanyikan

yakni Kidung Jemaat, Masmur (dalam bahasa Toraja disebut Pa’pudian)

lagu-lagu KKR dan beberapa Penanian Dolo. Semua lagu yang digunakan

ini dinyanyikan dalam bahasa Toraja.145 Dalam perjalanan menuju tempat

pemakaman, bila di jalan bertemu dengan kendaraan seperti mobil atau

motor, pelaku ritual berhenti sejenak dan memberi jalan bagi kendaraan

untuk lewat. Berikut salah satu foto ritual Ma’bulle Tomate.

Sumber : Youtube, diliput oleh Artha Media Picture.

Demikianlah mekanisme pelaksaan ritual Ma’bulle Tomate dalam

masyarakat Gandangbatu. Ritual ini merupakan salah satu keunikan tersendiri

yang dimiliki oleh masyarakat karena sarat dengan makna yang dihidupi

masyarakat hingga saat ini.

145
Pengamatan penulis saat mengikuti jalannya ritual, 2019

66
3.2.2 Pendapat masyarakat Gandangbatu tentang memori budaya Aluk

Todolo dalam ritual Ma’bulle Tomate

Memori budaya dapat bangkit kembali melalui tradisi yang diwariskan

secara turun temurun dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Tradisi yang

telah diwariskan secara tutun temurun ini akan terlihat melalui ritual yang masih

ada dan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Pada

point ini, penulis akan memaparkan tentang pendapat masyarakat di Lembang

Gandangbatu mengenai memori budaya Aluk Todolo yang ada dalam ritual

Ma’bulle Tomate.

Matius Limin sebagai pemangku adat di lembang Gandangbatu dengan

tegas menyatakan bahwa memori-memori budaya dalam Aluk Todolo muncul

kembali saat masyarakat melakukan ritual Ma’bulle Tomate.146 Lukas sebagai

salah satu anggota masyarakat yang selalu terlibat dalam ritual ini pun

menambahkan dengan mengatakan bahwa memori-memori itu ada dan muncul

kembali apalagi saat pelaku dari ritual ini sedang bernyanyi. Singkatnya bahwa

memori-memori budaya Aluk Todolo muncul karena nyanyian yang digunakan

dalam ritual Ma’bulle Tomate saat ini syair-syairnya hampir sama dengan badong

dalam Aluk Todolo yang juga menggunakan bahasa Toraja. Benyamin Lotto 147

sebagai pa’tolo’ badong juga sebagai pa’tolo’ nyanyian pun mengatakan hal yang

sama, bahwa secara umum anggota masyarakat yang berumur sekitar 50 sampai

60 tahun, memorinya akan badong dalam Aluk Todolo muncul kembali saat

sedang melihat atau mengikuti jalannya ritual Ma’bulle Tomate.

146
Wawancara via telpon bersama Matius Limin, 8 November 2019
147
Wanwacara via telepon, 8 November 2019.

67
Karena itu dapat disimpulkan bahwa dikalangan anggota masyarakat yang

sudah berumur 50-60 tahun, memori-memori budaya dalam Aluk Todolo secara

khusus dalam ritual penguburan muncul kembali dalam ingatan mereka. Hal ini

terjadi karena syair-syair dari nyanyian yang digunakan masyarakat saat ini

hampir sama dengan syair badong yang digunakan dalam ritual Ma’bulle Tomate

pada kepercayaan Aluk Todolo.148

Namun, hal ini berbanding terbalik dengan hasil wawancara bersama

kalangan muda di Gandangbatu. Dari beberapa narasumber kalangan muda yang

ada, mereka mengatakan bahwa ingatan mereka tentang budaya badong sama

sekali sudah tidak ada saat mereka sedang terlibat dalam ritual Ma’bulle Tomate.

Salah satunya yaitu Aries Banduru menyatakan bahwa bahwa sama sekali tidak

ingatan tentang budaya badong dalam Aluk Todolo pada saat terlibat ataupun

melihat prosesi ritual Ma’bulle Tomate.149 Memori itu tidak ada (tidak muncul)

selain disebabkan karena mereka belum ada pada saat itu, mereka juga

mengatakan bahwa tidak ada pemahaman yang dimiliki akan kepercayaan Aluk

Todolo. Sehingga Michael Vianser150 dengan tegas mengatakan bahwa, hal yang

paling mendominasi pikiran mereka saat terlibat dalam ritual Ma’bulle Tomate

adalah persekutuan pelaku ritual dengan Tuhan selaku Pencipta dan pemilik

kehidupan.

3.2.3 Kesimpulan

148
Wawancara via whatsapp bersama Aries Banduru, 6 November 2019.
149
Lihat bab 3,hal.26
150
Wawancara via whatsapp bersama Michael Vianser Selaku ketua Persekutuan Pemuda
di Jemaat Gandangbatu, 6 November 2019.

68
Ritual Ma’bulle Tomate telah mengalami pergeseran secara jelas dalam

masyarakat Gandangbatu, di mana dalam kepercayaan lokal masyarakat yaitu

Aluk Todolo masyarakat menggunakan badong untuk mengiringi ritual ini. Sejak

kekristenan masuk dan berkembang, badong kemudian tidak lagi dipakai dalam

kehidupan masyarakat. Makna badong dan nyanyian memiliki perbedaan yang

cukup besar. Namun satu hal yang menarik bahwa tidak semua anggota

masyarakat yang meninggal dibadong saat pemakamannya. Dibadong tidaknya

seseorang tergantung strata sosialnya dalam masyarakat. Nyanyian ritual Ma’bulle

Tomate mempersatukan kekristenan dan Aluk Todolo karena semua yang

meninggal ritual pemakamannya diiringi dengan nyanyian. Selain itu nyanyian

dalam ritual ini juga mempersatukan semua strata sosial atau tana’ yang ada

dalam masyarakat.

BAB IV

MA’BULLE TOMATE : MEMORI BUDAYA ALUK TODOLO DALAM


RITUAL KEKRISTENAN DI GANDANGBATU

Ritual Ma’bulle Tomate merupakan kekayaan tradisi masyarakat Toraja

yang diwariskan secara turun temurun di Gandangbatu. Dalam bab ini penulis

akan membahas dan menganalisa temuan-temuan yang diperoleh saat melakukan

penelitian terkait memori budaya Aluk Todolo dalam ritual kematian di

Gandangbatu. Ritual yang dimaksudkan adalah ritual Ma’bulle Tomate, di mana

ritual ini telah mengalami dinamika dalam pelaksanaannya pada kepercayaan Aluk

Todolo ke dalam Kekristenan. Dari hasil penelitian membuktikan bahwa ritual ini

bersama dengan beberapa elemen-elemennya dapat menjadi salah satu mediasi

69
pembangkit memori budaya Aluk Todolo dalam masyarakat yang bahkan telah

menganut kepercayaan kristen saat ini. Karena itu, penulis akan menganalisis

temuan tersebut berdasarkan teori yang dipaparkan pada bab II dengan uraian

sebagai berikut:

4.1 Eksistensi Ma’bulle Tomate dalam Konteks Masyarakat Toraja di

Gandangbatu

Secara etimologi ritual Ma’bulle Tomate adalah ritual memikul mayat

menuju tempat pemakaman.151 Ritual ini merupakan ritual yang dilakukan

masyarakat Gandangbatu untuk melestarikan kekayaan tradisi para leluhur. Dalam

kepercayaan Aluk Todolo ritual ini diiringi dengan badong152 namun sekarang

ritual ini disertai dengan nyanyian-nyanyian Kekristenan. Nyanyian ini juga

berkolaborasi dengan nyanyian Aluk Todolo yang dulu dinyanyikan di rumah

duka pada malam hari dengan menggunakan bahasa asli suku Toraja di

Gandangbatu. Masyarakat Gandangbatu masih sangat mengingat dengan jelas

bahwa pada kepercayaan Aluk Todolo, mereka (dan nenek moyang mereka)

mengiringi ritual Ma’bulle Tomate dengan badong. Sehingga saat mereka sedang

terlibat atau melihat dan mendengar pelaksanaan ritual tersebut memori mereka

kembali bangkit terhadap masa lalu badong dalam Aluk Todolo.

151
Ma’bulle sebenarnya terdiri dari dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Ma’ berfungsi
sebagai awalan, dan Bulle sebagai akhiran. Ma’, dalam bahasa Indonesia artinya me- sedangkan
bulle artinya pikul sehingga ma’bulle berarti memikul. Tomate juga terdiri dari dua kata yang
dalam bahasa Toraja tidak boleh dipisahkan, to itu sendiri artinya orang dan mate artinya
mati/meninggal. Jadi, tomate dalam bahasa Indonesia artinya orang mati/meninggal/mayat.
Dengan demikian, Ma’bulle Tomate berarti memikul mayat.
152
Lihat bab 3, hal.12-13

70
Sztompka153 menguraikan bahwa kaitan antara masa kini dan masa lalu

adalah basis tradisi karena tradisi merupakan suatu cara untuk menyampaikan

kenangan bersama. Meskipun dalam perkembangannya, tradisi sering mengalami

bentrokan karena adanya perbedaan tradisi dalam suatu keagamaan tertentu.

Kendatipun demikian, tradisi dapat pula hidup dan muncul kembali setelah sekian

lama terpendam. Melalui nyanyian ingatan akan badong direalisasikan dalam

ritual Ma’bulle Tomate. Nyanyian sebenarnya sudah dipraktekkan sejak dulu

dalam bentuk badong dalam kepercayaan Aluk Todolo. Dengan kata lain,

menyanyi bagi masyarakat Gandangbatu dalam ritual Ma’bulle Tomate bukanlah

sesuatu yang lahir bersamaan dengan lahirnya keristenan ; smelainkan praktek

budaya ini telah diperankan oleh nenek moyang mereka sejak dahulu kala melalui

badong. Nyanyian sebagai hasil dari perkawinan (perjumpaan) antara budaya Aluk

Todolo dengan budaya Kekristenan.154 Dengan menganut agama Kristen

masyarakat tidak serta merta meninggalkan sesuatu yang telah ada sejak dulu.

Keunikan yang dimiliki masyarakat Gandangbatu melalui ritual ini tetap

terpelihara dan dijunjung tinggi hingga detik ini.

Tradisi, seperti yang disampaikan Sztompka dalam konteks masyarakat

Gandangbatu tidak hanya sekedar mengalami bentrokan dalam perubahan karena

datangnya kebudayan yang berbeda dari tradisi agama lain. Tradisi badong dalam

ritual Ma’bulle Tomate juga ‘’mewujudkan diri’’ (berubah wujud) dalam bentuk

yang baru yaitu menyanyi. Badong yang kini dalam memori kolektif masyarakat

telah menjadi masa lalu dengan adanya nyanyian. Namun,makna yang dihidupi

153
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial
154
Hasil diskusi via telvon bersama Pdt. Kornelius Kondong. Salatiga, 19 Februari 2020

71
masyakat pada saat itu tetap ada dan dihidupi masyarakat hingga saat ini melalui

tradisi menyanyi. Senada dengan argumentasi Edward W. Said 155 bahwa berpaling

ke masa lalu yaitu badong dalam Aluk Todolo merupakan salah satu strategi

paling umum untuk menafsirkan masa kini yaitu nyanyian dalam ritual Ma’bulle

Tomate.

Secara turun temurun, masyarakat Gandangbatu memahami bahwa ritual

ini dilakukan untuk memelihara dan menjaga relasi dalam masyarakat, baik itu

relasi antar-sesama anggota masyarakat terlebih relasi manusia dengan Tuhan

sebagai Penciptanya. Upaya untuk memelihara dan menjaga relasi-relasi ini

terlihat melalui penghayatan masyarakat akan makna-makna yang terkandung

dalam ritual Ma’bulle Tomate tersebut.156 Berpaling ke masa lalu merupakan

strategi paling umum untuk menafsirkan masa kini. Hal yang menggerakkan sikap

itu bukan hanya ketidaksetujuan mengenai apa yang terjadi di masa lalu dan

seperti apa masa lalu itu, melainkan ketidakpastian tentang apakah masa lalu itu

benar-benar telah lalu, selesai, dan ditutup, atau apakah ia masih berlanjut,

meskipun mungkin dalam bentuk-bentuk yang berbeda.157

Tiap individu tentu sepakat bahwa kehidupan masa lalu sangat besar

pengaruhnya bagi kehidupan masa kini, walaupun dalam realitas sosial kita tidak

lagi berada di sana. Ma’bulle Tomate di Toraja dalam prosesi pelaksanaannya

terdapat dalam beberapa versi seperti yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya158. Secara khusus dalam masyarakat Gandangbatu, beberapa orang


155
Said, Kebudayaan dan Kekuasaan : Membongkar Mitos Hegemoni Barat
156
Lihat bab 3, hal.
157
Said, Kebudayaan dan Kekuasaan : Membongkar Mitos Hegemoni Barat

158
Lih.bab.3,hal.23

72
menyebut ritual ini sebagai ritual yang unik sehingga video-video dari ritual ini

banyak tersebar di beberapa media sosial seperti facebook, instagram dan

youtube. Keunikan ini nampak melalui pelaksanaan ritualnya yang diiringi dengan

nyanyian-nyanyian Kekristenan dalam bahasa Toraja159.

Pengusungan jenasah ke pemakaman disertai dengan nyanyian yang terus

dikumandangkan hingga tiba pada lokasi pemakaman. Dengan demikian selain

menjadi tradisi masyarakat di Gandangbatu, ritual ini juga menjadi salah satu

keunikan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Jika dilihat dari wilayah Toraja

secara keseluruhan, hanya di lembang inilah ritual Ma’bulle Tomate disertai

dengan nyanyian-nyanyian yang tentunya memiliki makna tersendiri bagi

masyarakatnya. Makna ini yang terus dihidupi oleh masyarakat sehingga ritual ini

telah menjadi tradisi bagi masyarakat di lembang Gandangbatu.

Pada bab sebelumnya yaitu pada bab dua, penulis telah memaparkan

bahwa tradisi merupakan keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal

dari masa lalu namun benar-benar masih ada di masa kini. Gagasan yang berasal

dari masa lalu itu masih ada dalam masyarakat saat ini, belum dihancurkan,

dirusak, dibuang atau dilupakan.160 Tradisi Ma’bulle Tomate di Gandangbatu

merupakan gagasan yang berasal dari tradisi para leluhur dalam kepercayaan Aluk

Todolo. Gagasan itu masih ada karena tidak dapat dilupakan dalam kultur sosial

masyarakat dan akan terus bagian menjadi dari masyarakat Gandangbatu hingga

saat ini. Seperti yang dikatakan Shils bahwa tradisi berarti segala sesuatu yang

disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Tradisi tidak tercipta atau

159
Lih.bab 3,hal.20
160
lih.bab 2,hal 1

73
berkembang dengan sendirinya secara bebas. Hanya manusia yang masih hidup,

yang dapat mengetahui dan mampu menciptakan, serta mencipta ulang dan

mengubah tradisi.161

Dinamika ritual yang terjadi dalam prosesi pelaksanan ritual Ma’bulle

Tomate merupakan salah satu perwujudan dari gagasan leluhur masyarakat

Gandangbatu. Gagasan seperti inilah yang dikatakan Shils bahwa tradisi itu dapat

dicipta ulang oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat. Perubahan tradisi

menyanyi dalam ritual Ma’bulle Tomate terjadi karena adanya peralihan

kepercayaan masyarakat yakni dari kepercayaan Aluk Todolo menjadi penganut

kepercayaan agama kristen. Namun meskipun telah mengalami perubahan dalam

prosesi pelaksanannnya, ritual Ma’bulle Tomate tetap menjadi keunikan tersendiri

yang dimiliki masyarakat Gandangbatu.

4.2 Ritual Ma’bulle Tomate sebagai Keutuhan Budaya Masyarakat Toraja di

Gandangbatu

Ritual Ma’bulle Tomate merupakan salah satu wujud kebudayaan yang

utuh dalam kultur sosial masyarakat Toraja. Keutuhan budaya adalah situasi di

mana pelbagai unsur atau struktur yang ada dan berlaku dalam masyarakat

berbaur menjadi satu, dalam sebuah ruang bersama yang disebut ritual. Hal inilah

yang kemudian dikonsepkan oleh Rodriguezs dan Fortier162, dalam dua bagian

dari tradisi yakni proses dan produk (konten). Apa yang dibangkitkan atau diingat

di dalam cultural memory yaitu perasaan, cara bertindak, bentuk bahasa, ide dan

lainnya ; diproduksi melalui ritual. Hal ini disebabkan karena menurut


161
Lih. bab 2,hal.2
162
Jeanette dan Fortier, Cultural Memory

74
Rodriguezs dan Fortier, ritual merupakan salah satu cara di mana rasa masa lalu

tidak hanya dilestarikan, namun ingatan atau rasa itu harus diperankan kembali

melalui ritual.

Keutuhan budaya sangat erat kaitannya dengan memori kolektif. Sutrisno

dan Putranto163 berpendapat bahwa memori kolektif merupakan energi untuk

bernostalgia , untuk tidak lepas dari benang budaya asal. Telah menjadi fakta

dalam masyarakat Gandangbatu bahwa badong tidak lagi menjadi penggiring

ritual Ma’bulle Tomate. Namun, dalam kultur sosial masyarakat, ingatan tentang

badong tidak dapat lenyap dan tidak menghilang tanpa jejak. Jejak ingatan itu

yang kemudian dikespresikan dalam nyanyian penggiring ritual ini dengan

menggunakan bahasa asli suku Toraja.

Keutuhan budaya masyarakat Toraja melalui ritual Ma’bulle Tomate

nampak melalui tercapainya tujuan hidup tertinggi masyarakat Toraja yaitu

‘’karapasan’’.164 Karapasan merupakan falsafah hidup yang sangat dujunjung

tinggi oleh masyarakat Toraja. Seluruh tatanan hidup dan kebudayaan masyarakat

Toraja yang mengandung gagasan, ide, cita-cita, harapan terangkum dalam

karapasan165. Bagi masyarakat Toraja, ritual keagamaan seperti Aluk Rambu Solo’

dan Rambu Tuka’, dan hal-hal lainnya yang sudah menjadi identitas keTorajaan

hanya memiliki satu tujuan yaitu mendatangkan damai sejahtera, yang dalam

bahasa Toraja disebut karapasan.166 Menurut Kobong, karapasan merupakan nilai

163
Sutrisno dan Putranto, Teori-teori Kebudayaan.
164
Karapasan,rapa’ : damai sejahtera, tenteram
165
Hasil diskusi via televone bersama Oktoviandi Rantelino,M.Si selaku dosen Sosiologi
Agama dan beberapa mata kuliah yang diampuhnya di IAKN Toraja. Salatiga, 19 Februari 2020.
166
Hasil diskusi via televone bersama Pdt. Kornelius Kondong,S.Th. Salatiga 20 Februari
2020.

75
tertinggi dalam pandangan orang Toraja karena merupakan wujud dari indahnya

sebuah keharmonisasian.167 Salah satu nilai dalam Kekristenan, yaitu persekutuan

sangat berkaitan erat dengan karapasan dan menurut Kobong hal inilah yang

merupakan tujuan manusia diciptakan. Hingga saat ini, dalam eksistensi setiap

ritual yang masih sangat terpelihara dan tertata dengan baik di Toraja, masyarakat

Toraja selalu menghubungkannya dengan kepercayaan lama yaitu Aluk Todolo.

Masyarakat Toraja yang saat ini telah menganut kepercayaan Kristen tidak bia

melepaskan diri dari kebudayaan lama yaitu Aluk Todolo. Hal ini terlihat melalui

ritual atau setiap prosesi pelaksaan tiap-tiap ritual secara khusus pada Aluk Rambu

Solo’.

Selain karapasan, keutuhan budaya masyarakat Toraja dalam ritual

Ma’bulle Tomate juga terwujud dengan adanya perjumpaan Aluk Todolo dan

Kekristenan. Di setiap pelaksanaan ritual dalam kemasyarakatan di Toraja yang

saat ini telah menganut Kekristenan, masyarakat selalu bertanya tentang

bagaimana pelaksanaan ritual tersebut dalam Aluk Todolo. Aluk Todolo memiliki

(semacam) tahapan dalam setiap rangkaian ritual yang disebut Lampana Aluk168.

Lampana Aluk berarti keseluruhan ritual yang dilakukan masyarakat mulai dari

hari pertama hingga pada masa penguburan si mati. Keseluruhan ritual ini tertata

dalam suatu tahapan yang disebut Alampana Aluk. Dalam Kekristenan Lampana

Aluk disebut dengan akta atau liturgi. Rosati169 menyebut ritual sebagai salah satu

cara untuk memerankan kembali masa lalu. Menurutnya, ritual yang harus

167
Theodourus Kobong, Injil dan Tongkonan : Inkarnasi, Kontekstualisasi, Transformasi
(Jakarta : Gunung Mulia,2008),hal.319
168
Lampana Aluk berarti
169
Rosati, Ritual and Sacred

76
digunakan adalah ritual liturgis, sehingga ritual itu menjadi ritual yang aktual

karena telah disederhanakan sedemikian rupa dalam satu tatanan yang disebut

liturgi.Masyarakat membutuhkan ritual liturgi karena melalui itu masyarakat dapat

menunjukkan bagaimana perasaan batin mereka tentang keyakinan dan

keterhubungan satu dengan yang lainnya. Ritual Ma’bulle Tomate menjadi salah

satu titik tolak perjumpaan yang indah antara Aluk Todolo dengan Kekristenan.

(data) Salah satu nilai Karapasan yang terwujud atau nampak dalam ritual

Ma’bulle Tomate170 adalah nilai sipopa’di’.171 Perasaan untuk terhubung dengan

orang lain dalam membangun perdamaian, kebersamaan, sepenanggungan,

merupakan tindakan solider terhadap pergumulan yang dialami oleh orang lain.172

(Kualifikasi)Ritual Ma’bulle Tomate dalam tiap-tiap kelompok masyarakat

di Toraja memiliki prosesi atau teknik pelaksanaan yang berbeda-beda.

Sebagaimana adanya yang disampaikan Sztompka173 bahwa tradisi biasanya

diwariskan melalui lisan maupun tulisan dari suatu generasi ke generasi

berikutnya yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan tradisi di setiap

kelompok masyarakat. Sebagaimana yang telah penulis uraikan pada bagian

sebelumnya174, bahwa ritual Ma’bulle Tomate dalam masyarakat Gandangbatu

memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan beberapa daerah yang ada

di wilayah Kabupaten Tana Toraja. Secara garis besar, ritual yang telah menjadi

170
Lih. bab 3,hal.16-21
171
Sipopa’di’ berarti turut merasakan beban orglain
172
Stepanus, Ritual Mebulle Bai Sebagai Ruang Bersama Penyelesaian Konflik Sosial
Masyarakat Mamasa,Tesis : Universitas Kristen Satya Wacana,2018,hal.
173
Sztompka, Perubahan Sosial
174
Lih. bab 4 hal. 2

77
tradisi dalam kehidupan budaya masyakat ini merupakan fakta sosial yang

merupakan totalitas budaya masyarakat Toraja di Gandangbatu.

(spiritulitas)Ritual Ma’bulle Tomate yang diiringi dengan nyanyian hanya

berlaku dalam kekristenan, ritual ini tidak berlaku bagi masyarakat yang beragama

Islam. Masyarakat yang beragama Islam, pada saat meninggal hanya diusung ke

pemakaman dengan berjalan seperti biasa. Hal ini disebabkan karena nyanyian-

nyanyian yang digunakan dalam ritual Ma’bulle Tomate berasal dari kekristenan

dan sebagian besar syairnya juga berasal dari ayat-ayat alkitab 175. Dengan

demikian, secara tidak langsung ritual ini dapat dikatakan ritual kekristenan yang

dimiliki oleh masyarakat di Gandangbatu dalam beberapa denominasi gereja yang

ada di daerah tersebut. Pelestarian tradisi merupakan suatu cara untuk

menyampaikan kenangan yang pernah dilalui bersama di masa yang lalu.

Berbicara soal kenangan membuat hubungan antara masa lalu dan masa kini

menjadi lebih dekat. Senada dengan yang diuraikan Piotr Sztompka dalam buku

Sosiologi Perubahan Sosial bahwa tradisi mencakup keberlangsungan masa lalu di

masa kini dan tidak hanya sekedar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal

dari masa lalu.176 Tradisi masa lalu para leluhur dalam kepercayaan Aluk Todolo

masih berlangsung hingga saat ini meskipun masyarakat telah menganut agama

kristen. Hal ini merupakan pengulangan kembali tradisi yang pernah ada

sebelumnya dalam kepercayaan Aluk Todolo. Sebagaimana yang telah penulis

paparkan bahwa tradisi menyanyi dalam ritual Ma’bulle Tomate belum dikenal

dalam Aluk Todolo karena yang masyarakat lakukan adalah ma’badong.177


175
Alkitab dalam bhs. Toraja disebut Sura’ Madatu
176
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial
177
Ma’badong artinya menari sambil bernyanyi pada saat upacara kedukaan.

78
Badong pada posisi tersebut dapat ditafsirkan sebagai kenangan yang pernah

dilalui, dialami dan dilakukan serta dihayati oleh masyarakat secara bersama-sama

(kolektif) pada masa yang lalu (Aluk Todolo). Singkatnya, dinamika yang terjadi

dalam ritual ini sebagai wajah baru ritual Ma’bulle Tomate di Gandangbatu.

Kebersamaan secara kolektif yang pernah dilalui masyarakat di Gandangbatu

melahirkan makna kolektif dalam wajah (wujud) yang baru pada ritual ini.

Sebuah tradisi dalam suatu masyarakat tentu memiliki makna yang

dihidupi oleh masyarakat tersebut. Makna dalam hal ini kemudian menjadi suatu

fenomena sosial yang diyakini oleh masyarakat. Demikian halnya dengan badong

dalam Aluk Todolo178 sangat sarat dengan makna, yang mana makna-makna ini

hampir sama dengan makna yang ada dalam nyanyian pada ritual Ma’bulle

Tomate. Adapun makna badong antara lain : 1) Mengangkat dan menceritakan

status sosial dari si mati, 2) Mengungkapkan ratapan, 3) Sebagai bentuk

solidaritas masyarakat, 4) Kepedulian yang sangat tinggi terhadap keluarga si

mati, dan 5) Pemujaan kepada arwah. Ke lima makna badong ini mempertegas

kembali penghayatan masyarakat terhadap ritual Ma’bulle Tomate yang masih ada

sampai saat ini. Beberapa unsur tersebut di atas yang terkandung dalam badong

juga mengandung unsur religiusitas. Unsur kereligiusitasan itu terkandung dalam

unsur yang ke 5 (lima) yakni pemujaan kepada arwah.

Kepercayaan lokal suku Toraja di Gandangbatu yaitu Aluk Todolo

meyakini dengan pasti bahwa arwah nenek moyang yang telah diberangkatkan ke

puyah akan terus memberkati anak cucu dan setiap keturunannya yang masih

hidup di bumi. Tidak jauh berbeda dengan yang dirumuskan dalam makna
178
Lihat bab 3.hal.14-17

79
nyanyian melalui ritual Ma’bulle Tomate tentang pemujaan kepada Tuhan. Syair

lagu dalam ritual Ma’bulle Tomate juga berisi pemujaan kepada Tuhan. Salah satu

lagu yang digunakan terdapat dalam Kidung Jemaat nomor 33 yang berjudul

‘SuaraMu ku dengar179’’. Dalam bahasa Toraja, syairnya sebagai berikut :

Kurangi puangku metamba tangtore nakua penombaina’ ku indoi’


salamu
O puang Yesu kamaseina’ sia basei raraMi pena kadakeku
Ku pennoloikomi rosso tu penangku natumang sala budangku o puang
garri’ mo’
O Puang Yesu kamaseina’ sia basei raraMi pena kadakeku
Kurre sumanga’ Puang bengan katuoan lu dio mai tang merambu lu
langan suruga O Puang Yesu kamaseina’ sia basei raraMi pena
kadakeku

Masyarakat Gandangbatu memang sudah tidak lagi hidup dalam

kepercayaan Aluk Todolo namun roh kepercayaan dalam Aluk Todolo masih

menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan budaya masyarakat hingga saat

ini. Pada ritual ini, masyarakat kemudian disadarkan pada suatu fakta sosial

bahwa meskipun secara biologis raga mereka dengan nenek moyang (kerabat)

telah terpisahkan namun hubungan mereka tidaklah berakhir. Hal ini yang

kemudian dimaksudkan pada poin yang ke lima tentang pemujaan kepada arwah

(Aluk Todolo). Bagian ini dalam kepercayaan kekristenan disebut dengan

pemujaan kepada Tuhan.180 Berkaitan dengan beberapa hal tersebut di atas, ritual

yang dilakukan dalam masyarakat hingga saat ini sangat berpengaruh besar bagi

memori budaya seperti yang telah diuraikan Rodrigues dan Fortier dalam buku

Cultural Memory.181 Rodrigues dan Fortier mengatakan bahwa memori individu

179
Dalam bahasa Toraja disebut Nanian Kombongan nomor 33 dengan judul lagu
“Kurangi Puangku”.
180
Lih. bab 3,hal. 21
181
Rodrigues dan Fortier, Cultural Memory

80
dapat digunakan untuk merumuskan peristiwa masa lalu baik individu maupun

kolektif. Ini adalah upaya untuk mencatat peristiwa masa lalu manusia yang

diingat oleh manusia itu sendiri.

Masyarakat Gandangbatu merumuskan memori masa lalu mereka pada

tradisi badong yang ada dalam ritual Ma’bulle Tomate saat masyarakat masih

menganut kepercayaan Aluk Todolo. Perumusan memori masa lalu itu nampak

sebagai wajah baru dalam syair nyanyian yang digunakan masyarakat pada saat

pelaksanaan ritual Ma’bulle Tomate hingga saat ini. Hal ini senada dengan yang

ditulis Massimo Rosati dalam buku Ritual and Sacred bahwa dalam tradisi, yang

penting bukanlah kesinambungan dalam tradisi itu sendiri, tetapi fakta bahwa

tradisi merupakan ekspresi yang tampak dari garis keturunan. Oleh sebab itu,

menurut Rosati tradisi adalah sebuah dunia bersama dalam suatu kelompok

masyarakat yang diproduksi melalui ritual.182 Memori budaya Aluk Todolo dalam

ritual Ma’bulle Tomate di lembang Gandangbatu diekspresikan melalui

pelestarian tradisi ini. Meskipun badong yang dahulu digunakan untuk mengiringi

prosesi ritual ini telah diganti menjadi nyanyian namun hal ini tidak membuat

makna ritual Ma’bulle Tomate hilang dalam kehidupan sosial masyarakat. Tradisi

dapat mengalami perubahan, namun dapat pula hidup dan muncul kembali. 183

Ritual Ma’bulle Tomate yang kini telah menjadi tradisi dalam kehidupan budaya

masyarakat Gandangbatu telah terbukti mengalami perubahan secara nyata. Rama

Tulus Pilakoannu184 menegaskan bahwa dari waktu ke waktu budaya selalu

mengalami perubahan karena budaya akan terus berkembang namun tidak berarti
182
Rosati, Ritual and Sacred.
183
Lihat bab2, hal.3
184
Diskusi bersama Rama Tulus Pilakoannu, Salatiga 12 November 2019.

81
bahwa esensi makna dari budaya tersebut akan hilang begitu saja. Budaya dalam

hal ini akan selalu meninggalkan jejak kenangan yang terekam kuat dalam

memori dan tak akan terhapus oleh waktu dan peristiwa.

Selanjutnya Piotr Sztompka185 juga menyatakan bahwa sikap atau orientasi

pikiran tentang benda material atau gagasan yang berasal dari masa lalu yang

dilakukan orang di masa kini menjadi hal yang penting dalam memahami tradisi.

Arti penting penghormatan atau penerimaan sesuatu yang secara sosial ditetapkan

sebagai tradisi yang menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi itu. Ritual

Ma’bulle Tomate dikatakan sebagai salah satu elemen pembangkit memori

budaya karena186 syair-syair yang digunakan dalam badong pada masa Aluk

Todolo untuk mengiringi ritual ini hampir sama dengan syair-syair nyanyian yang

digunakan dalam ritual Ma’bulle Tomate sejak masuknya kekristenan hinga pada

saat ini.

4.3 Fungsi Nyanyian dalam Ritual Ma’bulle Tomate (analisis data dan anals

teoritik)

Rasmussen187 menyatakan bahwa ritual dapat menyatukan kegiatan-

kegiatan tertentu seperti nyanyian, bacaan puisi, tarian, makan bersama,

penggunaan kostum yang sama dan sebagainya. Oleh sebab itu, ritual selalu

dikaitkan dengan perayaan akan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia.

Ritual Ma’bulle Tomate merupakan suatu ritual yang penting dalam kultur sosial

masyarakat Gandangbatu. Ritual ini menjadi penting karena merupakan tradisi

185
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial
186
Lihat bab 3,hal.25-26
187
Rasmussen, Komunitas Bumi : Etika Bumi

82
warisan para leluhur dalam kepercayaan Aluk Todolo. Sehingga ritual Ma’bulle

Tomate memperkuat ikatan sosial yang ada dalam masyarakat hingga pada saat

ini.

Strata sosial yang ada dalam Aluk Todolo membuat badong tidak berlaku

bagi semua kalangan dalam masyarakat pada saat itu. Namun kini hal ini tidak

lagi menjadi hal yang begitu diperbedatkan secara serius dengan munculnya

nyanyian dalam mengiringi ritual Ma’bulle Tomate. Dengan adanya nyanyian

dalam ritual Ma’bulle Tomate maka persoalan strata sosial atau yang masyrakat

sebut sebagai tana’188, bukan lagi menjadi permasalahan besar karena semua yang

meninggal ritual pemakamannya diiringi dengan nyanyian. Singkatnya bahwa

nyanyian dalam ritual ini mempersatukan semua strata sosial atau tana’ yang ada

dalam masyarakat Gandangbatu. Selain itu Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto189

dalam buku Teori-teori Kebudayaan, juga menegaskan bahwa melalui ritual

masyarakat dipersatukan bukan karena the sacred yang menarik jiwa masyarakat,

melainkan karena tindakan itu dilakukan bersama-sama oleh anggota masyarakat.

Hal inilah yang kemudian terlihat dalam makna nyanyian pada ritual

Ma’bulle Tomate, bahwa nyanyian itu dapat menjadi ikatan sosial masyarakat

serta dapat menjadi wujud nyata dari rasa solidaritas dalam masyarakat

Gandangbatu.190 Karena itu, melalui teori Rodrigues dan Fortier serta beberapa

teori lainnya yang telah dipaparkan dalam bab 2, penulis menemukan bahwa

memori budaya yang ada dalam konteks masyarakat Gandangbatu dapat

dibangkitkan melalui ritual Ma’bulle Tomate. Meskipun ditemukan adanya


188
Lihat bab 3,hal.
189
Sutrisno dan Putranto, Teori-teori Kebudayaan
190
Lih. bab 3 hal,

83
perbedaan memori berdasarkan usia yang ada dalam masyarakat. Berikut

penjelasan yang lebih detail tentang fungsi nyanyian dan bagaimana memori

budaya masyarakat Gandangbatu terkait ritual Ma’bulle Tomate.

4.3.1 Ritual Ma’bulle Tomate Sebagai Solidaritas Masyarakat

Gandangbatu

Ungkapan ‘’dukamu adalah dukaku, bahagiamu adalah

bahagiaku’’, merupakan ungkapan yang cukup familiar di dunia

percintaan bahkan dalam konteks hidup bermasyarakat. Dukamu

adalah dukaku, merupakan ungkapan yang begitu sangat dihidupi

oleh orang Toraja. Sehingga hasil penelitian ini mengatakan bahwa

rasa kebersamaan yang tercipta melalui nyanyian dalam Ritual

Ma’bulle Tomate, sebenarnya adalah manifestasi dari ungkapan

ini. Bukan hanya kerabat dekat saja yang hadir dan turut serta

dalam ritual ini, namun kerabat yang jauh juga hadir merasakan

duka bersama dengan keluarga yang ditinggalkan oleh si mati. Hal

ini lebih dekat dengan falsafah hidup masyarakat Gandangbatu

yang mengatakan bahwa innuduk bau bosi191, yang artinya ritual

kedukaan dapat dihadiri kerabat tanpa undangan. Berbeda dengan

upacara Rambu Tuka’ seperti pernikahan, ucapan syukur, dan lain

sebagainya, bila tidak ada undangan maka orang akan merasa malu

dan sungkan untuk menghadirinya.192

191
Innuduk bau bosi,berarti
192
Hasil wawancara dengan Yohana Mune’ sebagai salah satu anggota masyarakat
Lembang Gandangbatu, 6 Agustus 2019.

84
Rosati menyebut model keikutsertaan ini sebagai ekspresi

solidaritas tentang perasaan batin yang tulus dan keterhubungan

satu dengan yang lainnya, dalam suatu ritual. Istilah sipopa’di’

dalam falsafah dihidupi orang Toraja yang merupakan salah satu

nilai dari Karapasan193,menjadi tujuan utama dari fungsi nyanyian

pada bagian ini. Sipopa’dik berarti turut merasakan duka,

sepenanggungan serta menghidupi ungkapan bahwa ‘’dukamu

adalah dukaku, duka kita bersama’’. Beban duka dipikul bersama

bersama dengan mereka semua yang hadir. Bahkan tidak hanya

sampai di situ, mengutip pendapat Oktoviandi Rantelino, tentang

keharmonisasian alam semesta dalam duka manusia. Menurutnya,

alam (langit) juga ikut menangis, merasakan kepedihan, kehilangan

sehingga di Toraja dikenal istilah uran Tomate194. Bukan lagi

menjadi hal yang ‘’menjengkelkan’’ bila pada upacara Rambu

Solo’ pun saat ritual Ma’bulle Tomate sedang berlangsung, hujan

tiba-tiba turun sederas mungkin. Harmonisasi indah yang dapat

diekspresikan oleh semua ciptaan pada saat itu bersolider dalam

suatu kesatuan yang utuh, manusia, binatang, tumbuhan dan alam

menjadi satu dalam perasaan kehilangan.

Makna nyanyian dalam mengiringi prosesi ritual Ma’bulle

Tomate sebagai ratapan, kepedulian dan keyakinan masyarakat,

menjadi bukti adanya rasa solidaritas dalam diri masyarakat. Rasa

193
Lih. bab 4,hal.4
194
Uran Tomate,

85
solidaritas ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan

mereka sebagai makhluk sosial. Dalam pemikiran Rosati tentang

sakralnya sebuah ritual, dia menyebutkan bahwa suatu tradisi yang

dituangkan melalui ritual dalam kehidupan masyarakat memiliki

rasionalitas batin. Rasionalitas batin ini terkait pada dasar sifat

bawaan kolektif masyarakat dengan melihat subjek dalam ritual

yaitu apa yang mereka lakukan secara bersama-sama.195 Oleh

karena itu, nyanyian yang digunakan masyarakat untuk mengiringi

prosesi ritual Ma’bulle Tomate di Gandangbatu menjadi salah satu

mediasi untuk mempersatukan semua kalangan dalam masyarakat

sehingga lewat ritual ini ikatan sosial itu tercipta. Ikatan sosial

tercipta sebagai bukti bahwa dengan adanya nyanyian dalam

Ma’bulle Tomate tidak ada lagi perbedaan-perbedaan kasta dalam

masyarakat. Secara kasar, nyanyian meruntuhkan perbedaan-

perbedaan kasta atau yang lebih dikenal dengan istilah tana’196

(strata sosial) yang pernah berlaku dalam masyarakat. Secara

singkat, nyanyian ini menyatukan semua tana’ (stata sosial) dalam

masyarakat pada saat mereka masih menganut kepercayaan Aluk

Todolo.

4.3.2 Relasi Manusia dengan Si Mati dan Tuhan

Makna lain dalam syair nyanyian pengiring ritual Ma’bulle

Tomate adalah pemujaan kepada Tuhan. Dalam kepercayaan Aluk

195
Rosati, Ritual and Sacred, (Amerika : Ashgate Publishing Company,1969),7-8.
196
Lihat bab 3, hal.18

86
Todolo pemujaan ini dekat dengan makna badong yakni yang

masyarakat sebut pemujaan kepada arwah. Kenyataan tersebut

sejalan dengan yang diuraikan Bryan S.Turner197 bahwa ritual

merupakan perilaku formal yang dianjurkan pada saat-saat yang

tidak dapat dilimpahkan kepada rutinitas teknologis. Menurut

Turner, hal ini disebabkan karena dalam ritual tersebut terdapat

rujukan pada kepercayaan kepada para makhluk dan kekuasaan

mistik. Bagi masyarakat Gandangbatu, melalui ritual Ma’bulle

Tomate mereka dapat mengekpresikan bagaimana relasi mereka

dengan arwah dari si mati. Selain itu, dalam suatu artikel yang

ditulis oleh Manafe198, dia menyatakan bahwa ritual selalu

diidentikkan dengan habit (kebiasaan) atau rutinitas dan sebagai

suatu habitual action (aksi turun-temurun), aksi formal dan juga

mengandung nilai- nilai transendental. Mencermati pandangan-

pandangan tersebut, dipahami bahwa ritual berkaitan dengan

pertunjukan secara sukarela yang dilakukan masyarakat secara

turun-temurun (berdasarkan kebiasaan) yang menyangkut perilaku

yang terpola. Habitual action yang dimaksudkan Manafe ini

nampak dalam ritual Ma’bulle Tomate melalui keterlibatan

masyarakat dalam ritual ini. Salah contoh keterlibatan itu seperti

turut serta bernyanyi saat sedang melakukan ritual ini.

197
Turner, Sosiologi Agama
Manafe, Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah Meto di
198

Timor-Nusa Teanggara Timur

87
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa

masyarakat Gandangbatu meyakini bahwa manusia pada dasarnya

akan kembali ke tanah karena ia berasal dari tanah. Selain itu,

makna ini juga dapat menjadi bentuk penghiburan dan kekuatan

bagi keluarga si mati. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui

ritual ini ada ekspresi kuatnya relasi antar manusia dengan si mati

dan pengakuan akan adanya Sang Pencipta. Salah satu syair

nyanyian yang mengekspresikan relasi tersebut sebagai berikut.

Mintu’ki’ ma’rupa tau lan lino sola mintu’ menono’na


Pangindanna nasang riki’ lino paningoan sangattu’ri
Do ri suruga inan marendeng, inan matontong saelakona
Si sola Puangta Yesu
Yang artinya :

Semua ciptaan di dunia dan segala ciptaan yang lain


Hanyalah titipan sementara di dunia
Di surgalah tempat kediaman kekal, kekal sampai
selamanya

Syair ini sebagai ekspresi keyakinan, solidaritas dan

pengharapan dari masyarakat yang didasarkan pada pemahaman

bahwa semua manusia dan seluruh yang hidup di dunia ini

hanyalah titipan sementara di dunia. Oleh sebab itu melalui syair

ini, masyarakat meyakini bahwa pada akhirnya semua yang hidup

akan kembali ke asalnya (Kristen : Surga, Aluk Todolo : Puya)199,

sebab di sanalah tempat yang kekal selama-lamanya bersama

Tuhan selaku Pencipta.

199
Puya, Nirwana, surga, tempat berkumpul bersama arwah.

88
Dalam penyelidikan Emile Durkheim200 tentang dasar dari

kehidupan beragama, dia menemukan bahwa agama terdiri dari

keyakinan dan ritus. Di mana ritus tersebut dapat membangun

suatu pemahaman tentang ritual sebagai aksi atau tindakan. Di

dalam ritus tersebut ada keyakinan dan cita-cita kolektif yang

dihasilkan bersama, dialami dan diakui secara nyata oleh

masyarakat. Sehingga bagi Durkheim, ritual adalah aturan perilaku

yang meresapkan bagaimana manusia harus melakukan hal-hal

sakral. Makna nyanyian dalam ritual Ma’bulle Tomate sebagai

keyakinan masyarakat bahwa manusia beserta semua yang hidup

akan kembali ke asalnya (dunia sebelah), inilah yang kemudian

menjadi salah satu contoh dari keyakinan dan cita-cita kolektif

yang dimaksudkan Durkheim. Dengan demikian, rasa solidaritas

yang ada dalam masyarakat Gandangbatu tertuang melalui ritual

ini.

4.4 Ma’bulle Tomate dalam Konteks Cultural Memory Masyarakat Toraja di

Gandangbatu

Tradisi menyanyi dalam ritual Ma’bulle Tomate memang belum dikenal

dalam Aluk Todolo karena yang dilakukan orang pada saat itu adalah

Ma’badong.201 Namun pada saat ini badong tidak lagi dipakai untuk mengiringi

ritual Ma’bulle Tomate. Dinamika yang terjadi dalam ritual ini telah penulis

200
Durkheim
201
Durkheim,lengkapi

89
jelaskan secara terperinci pada bab sebelumnya 202. Dalam pelestarian tradisi ini,

masyarakat Gandangbatu mewariskannya melalui narasi atau cerita dari mulut ke

mulut bagi suatu generasi ke generasi selanjutnya. Proses ini pun terus mengalami

perkembangan dari waktu ke waktu dengan adanya tekhnologi yang semakin

canggih. Sehingga upaya untuk mewariskan tradisi menyanyi dalam ritual

Ma’bulle Tomate tidak hanya melalui cerita namun juga melalui media

komunikasi. Hal ini merupayakan upaya masyarakat untuk mempertahankan

memori-memori kepercayaan Aluk Todolo dalam ritual Ma’bulle.

Rodriguesz dan Fortier203 kemudian melanjutkan bahwa melalui tradisi,

orang atau masyarakat dapat mengingat suatu peristiwa di masa lalu. Tradisi di

masa lalu dapat diingat kembali karena telah terekam dalam memori, ingatan-

ingatan itu yang kemudian dibesarkan dalam perayaan atau ritual, yang diteruskan

secara lisan, serta direkam dalam tulisan-tulisan. 204 Namun sangat disayangkan

karena sumber atau naskah-naskah tertulis tentang ritual Ma’bulle belum digarap

secara maksimal oleh para tokoh-tokoh adat di Gandangbatu.

Ritual Ma’bulle Tomate dalam masyarakat Gandangbatu dapat dikatakan

sebagai salah satu mediasi pembangkit memori budaya masyarakat pada

kepercayaan Aluk Todolo. Dengan kata lain, melalui ritual ini memori masa lalu

yaitu budaya badong dalam kepercayaan Aluk Todolo muncul kembali dalam

ingatan masyarakat. Seperti yang dikatakan Jeanette bahwa melalui tradisi

masyarakat dapat mengingat suatu peristiwa di masa lalu. Di mana ingatan itu

202
Lih.bab 3,hal.12-13
203
Rodriguesz dan Fortier, Cultural Memory
204
Lihat bab 2,hal. 4.

90
dapat muncul kembali melalui ritual yang sampai saat ini masih ada dan terus

berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat.

Seperti yang disampaikan Limin205 sebagai salah satu pemangku adat di

Lembang Gandangbatu, bahwa memori masyarakat yang terlibat dalam ritual ini

muncul kembali saat sedang melihat atau mengikuti jalannya ritual. Hal ini

disebabkan melalui syair-syair nyanyian yang dikumandangkan pelaku ritual

secara bersama-sama dalam prosesi ritual Ma’bulle Tomate, hampir sama dengan

syair badong dalam Aluk Todolo. Contoh syair badong dan nyanyian sebelumnya

telah penulis paparkan pada bab 3. 206 Hal yang membedakan syair badong dan

nyanyian hanya terletak pada not-not yang terdapat dalam syair badong ataupun

nyanyian, juga pada pengucapan-pengucapan suku katanya.207

Halbwacsh208, menyampaikan pemikirannya dalam buku The Collective

Memory bahwa memori kolektif merupakan suatu bentuk kesadaran yang muncul

secara bersama-sama oleh sekelompok orang dalam suatu komunitas tertentu.

Namun hal ini agak berbeda dengan konteks yang ada dalam masyarakat

Gandangbatu. Perbedaan itu terletak pada hasil wawancara bagi para kaum muda

tentang memori mereka akan ritual Ma’bulle Tomate yang ada dalam Aluk

Todolo. Mereka mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengingat tentang

budaya Aluk Todolo pada saat terlibat ataupun melihat prosesi ritual Ma’bulle

Tomate.209 Memori para kaum muda akan budaya Aluk Todolo tidak ada (tidak

205
Lihat bab 3,hal.25
206
Lihat bab 3, hal.16 dan 21.
207
Untuk melihat perbedaannya dengan jelas, akan ditampilkan pada video yang telah
disiapkan penulis.
208
Halbwacsh, The Collective Memory
209
Lihat bab 3,hal.26

91
muncul) selain disebabkan karena mereka belum ada pada saat itu, mereka juga

mengatakan bahwa tidak ada pemahaman yang dimiliki akan kepercayaan Aluk

Todolo. Bahkan menurut Michael Vianser yang paling mendominasi pikiran

mereka saat terlibat dalam ritual Ma’bulle Tomate adalah persekutuan mereka

dengan Tuhan selaku Pencipta.210 Persekutuan itu menjadi tercipta lewat syair-

syair nyanyian yang dikumandangkan pada saat mengikuti prosesi ritual tersebut.

Halbwacsh 211 melanjutkan dengan mengatakan bahwa jika peristiwa yang

sama dapat mempengaruhi kesadaran kolektif secara bersamaan, maka kesadaran

kolektif pada saat itu saling terkait dan dipersatukan satu sama lain. Yang

terpenting adalah cara suatu kelompok mengartikan peristiwa, dan memaknainya.

Kaum muda di Gandangbatu tidak memiliki kesadaran kolektif seperti yang

dimaksudkan Halbwachs. Hal ini pun berakibat pada ketidak adaannya memori

mereka tentang budaya Aluk Todolo, mungkin disebabkan karena tidak ada

pemaknaan mereka akan prosesi ritual Ma’bulle Tomate. Oleh sebab itu, menurut

Maurice, suatu ingatan dapat bertahan dengan adanya perpisahan atau kematian.

Namun di Gandangbatu tidaklah demikian, ada geb generasi terkait cultural

memory dalam ritual ‘Ma’bulle Tomate.

Selanjutnya, Sutrisno dan Putranto212 juga menyampaikan ide dalam buku

Teori-teori Kebudayaan bahwa the sacred sebagai sebagai suatu nilai kultural

kolektif dan pengikat identitas diabadikan dalam memori budaya. Makna kolektif

itu dapat merajai memori kolektif karena ada sharing of experience, merasakan

pengalaman yang sama amelalui proses sosialisasi. Sosialisasi ini dipelihara turun
210
Lihat bab 3,hal.26
211
Halbwacsh, The Collective Memory
212
Sutrisno dan Putranto, Teori-teori Kebudayaan

92
temurun melalui perayaan, ritus-ritus, upacara-upacara, penulisan sejarah dan

narasi dari mulut ke mulut (dalam masyarakat kuno) yang bertujuan

mengabadikan masa lalu dan memasakinikan masa lalu.

Ritual Ma’bulle Tomate di Gandangbatu dalam kepercayaan Aluk Todolo

telah menjadi warisan tradisi turun temurun dalam masyarakat karena menjadi

bagian terpenting dalam kultur sosial mereka. Ritual ini juga memang telah

diwariskan melalui narasi-narasi lisan oleh para leluhur namun tidak semua yang

menerima narasi itu dapat memaknai makna kolektif yang sebenarnya terkandung

dalam ritual tersebut, termasuk para kaum muda.

Rodrigues dan Fortier213 dalam konteks penelitiannya menemukan

bahwa memori budaya merupakan suatu proses di mana masyarakat memastikan

kesinambungan budaya dengan melestarikan pengetahuan kolektifnya dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Sehingga lewat pelestarian tersebut dalam

memungkinkan bagi generasi selanjutnya untuk merekonstruksi identitas budaya

mereka. Memori budaya di tingkat kolektif menunggu untuk dipulihkan dalam

lagu, ritual, upacara, cerita, atau melalui elemen mediasi lainnya. Berbeda dengan

memori budaya Aluk Todolo yang terjadi dan dialami oleh masyarakat di

Gandangbatu. Memang memori itu muncul kembali melalui ritual Ma’bulle

Tomate yang masih terus terpelihara dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini,

namun hal ini hanya terjadi dan dialami oleh anggota masyarakat yang telah

berumur 50-60an tahun.214

213
Rodrigues dan Fortier, Cultural Memory
214
Lihat bab 3,hal.26

93
Penelitian yang dilakukan penulis menemukan hal yang berbeda dengan

penemuan Rodrigues dan Fortier melalui penelitiannya di Amerika Utara.

Perbedaan itu adalah bahwa dalam konteks masyarakat Gandangbatu ditemukan

adanya geb generasi terkait memori budaya. Kalangan muda di Gandangbatu

mengatakan bahwa ingatan mereka tentang budaya badong sama sekali tidak ada

saat mereka sedang terlibat sekalipun dalam ritual Ma’bulle Tomate. Salah

satunya yaitu Aries Banduru menyatakan bahwa bahwa sama sekali tidak ada

ingatan tentang budaya badong dalam Aluk Todolo pada saat terlibat ataupun saat

melihat prosesi ritual Ma’bulle Tomate.215 Memori itu tidak ada (tidak muncul)

selain disebabkan karena mereka belum ada pada saat itu, mereka juga

mengatakan bahwa tidak ada pemahaman yang dimiliki tantang kepercayaan Aluk

Todolo. Sehingga Michael Vianser216 dengan tegas mengatakan bahwa, hal yang

paling mendominasi pikiran mereka saat terlibat dalam ritual Ma’bulle Tomate

adalah persekutuan pelaku ritual dengan Tuhan selaku Pencipta dan pemilik

kehidupan. Perbedaan ingatan antara tingkat pribadi dan kolektif menurut

Rodrigues dan Fortier217, adalah bahwa secara pribadi, individu menemukan

ingatan budayanya melalui krisis, dan secara kolektif, individu memulihkan

ingatan budayanya melalui lagu, ritual, upacara, dan bentuk mediasi lainnya.

Para kaum muda tidak mengalami hal yang sama. Bahkan ingatan mereka

akan budaya Aluk Todolo sama sekali tidak ada pada saat terlibat dalam ritual

Ma’bulle Tomate. Hal ini disebabkan karena menurut Jeanette, pada tingkat

pribadi, keberbedaan akan ingatan budaya tersembunyi dalam diri kita. Oleh
215
Lihat bab 3,hal.26
216
Lihat bab 3,hal.26
217
Rodrigues dan Fortier, Cultural Memory

94
karena itu,pada tingkat kolektif, keberbedaan ingatan budaya ada di sana.

Memang tidak dapat disangkal bahwa bagi sebagain besar tua-tua adat dan bahkan

masyarakat pada umumnya yang ada di sana, memori akan budaya Aluk Todolo

masih sangat kuat dalam ingatan mereka.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Ritual Ma’bulle Tomate menjadi salah satu titik tolak dari perjumpaan

yang indah antara Kekristenan dan Aluk Todolo. Ma’bulle Tomate sebagai saksi

perkawinan (perjumpaan) ke dua keyakinan yang berbeda ini. Masyarakat

Gandangbatu memang telah menganut kepercayaan Kristen namun bukan berarti

masyarakat harus melupakan dan meninggalkan budaya lama Aluk Todolo, yang

telah lebih dulu ada di sana.

Memori budaya geb generasi

95
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar,2006.

Bell, Chaterine. Ritual Theory Ritual Practice. Amerika : Oxford University

Press,1992.

David,Eller Jack, Introducing Anthrology of Religion-Culture to the Ultimate.

New

York : Routledge,2007.

L. Rasmussen, Larry. Komunitas Bumi: Etika Bumi. Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2010.

Lattu, Izak Y. M. “Orality and Interreligious Relationship: The Role of Collective

Memory in Christian Muslim Engagements in Maluku,

Indonesia”.Disertasi,

Doctor of Philosophy Universitas Berkeley, California, 2014.

Peursen, C.A van Strategi Kebudayaan.Yogyakarta : Kanisius,1988.

96
Rosati, Massimo.Ritual and Sakced. USA : Ashgate Publishing Company,1969.

Rodrigues,Jeanette & Fortier, Ted.Cultural Memory : Resistance, Faith and

Identity.

Amerika : University of Texas Press,2007.

Sulasman dan Gumilar, Setia. Teori-teori Kebudayaan : Dari Teori Hingga

Aplikasi.

Bandung :Pustaka Setia,2013.

Said, Edward W.Kebudayaan dan Kekuasaan. Bandung : MIZAN,1995.

Sutrisno,Mudji dan Putranto,Hendar.Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta :

Kanisius,2005.

Sims, Martha dan Stephens, Martine. Living Folklore: An Introduction to the

Study of

People and Their Traditions .Logan: Utah State University Press, 2011.

S Turner, Bryan. Sosiologi Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010),191-195,

Sztompka, Piotr,Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada,2007

Widiarto,Tri.Pengantar Antropologi Budaya.Salatiga : Widya Sari Press,2007.

2. Jurnal, Disertasi

Cahyasari,Intannia.(2017).Kekuatan Memori dan (Ketidak)Mungkinan

Pengampunan

dalam Novel Hanauzumi Karya Jun’ichi Watanabe,Universitas Negeri

Yogyakarta : Journal Ilmu Sastra 5 : (1).

97
Djefri Manafe, Yermia. (2011). Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni

Pah

Meto di Timor-Nusa Tenggara Timur, Universitas Nusa Cendana Kupang

Jurnal Komunikasi 1 : (3).

Nurul Hidayah,Mei. (2018). Tradisi Pemakaman Rambu Solo Di Tana Toraja

Dalam

Novel Puya Ke Puya Karya Faisal Oddang (Kajian Interpretatif Simbolik

Clifford Geertz), Universitas Negeri Surabaya : Jurnal Interpretatif

simbolik 1: (1).

Hasan Bisri, Moh. (2007). Perkembangan Tari Ritual Menuju Tari Pseudoritual

di

Surakarta, Universitas Negeri Semarang : Harmonia Jurnal Pengetahuan

dan

Pemikiran Seni, 8 : (1).

Oktaviani Pattiasina,Sharon Michelle.Sentralitas perempuan dalam liminalitas

simbolik

Kain Gandong pada hubungan Salam-Sarani di negeri Hative Kecil dan

negeri

Hitumessing, Maluku, Tesis Fakultas Teologi Program Magister Sosiologi

Agama,(Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, 2018.

Yapi Taum, Yoseph.(2003). Novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai Memori

Kolektif

98
dan Alat Rekonsiliasi Bangsa, Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis 1 : (1).

Ada’, John Liku. “Aluk To Dolo Menantikan Kristus”. (Yogyakarta : Gunung

Sopai,2019).

Deer Veen, H. Van. “The Merok Feast of the Sa’dan Toradja”. (Springer-

Science+Business

Media,1965).

Bigalke, Terance W. “Sejarah Sosial Tana Toraja”. (Yogyakarta : Ombak,2016).

Bungin, Burhan. “Metodologi Penelitian Kualitatif” Aktualisasi Metodologis ke

Arah Ragam

Varian Kontempore”. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011).

Dahlia. “Analisis Wacana Ma’badong (Salah Satu Upacara Rambu Solok Di

Tana Toraja)”

(Jurnal Perspektif Budaya , Vol.01, Nomor 02,Desember, 2016).

Eller, Jack David. “Introducing Anthropology of Religion - Culture to the

Ultimate”. (New

York : Routledge, Madison Ave., , NY 10016, 2007).

Creswell, John W. “Research Gesign : Pendekatan Metode Penelitian Kualitatif,

Kuntitatif

dan Campuran”. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014).

J. Moleong, Lexy. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya,

2013).

99
Mulyana, Deddy. “Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma baru Ilmu

Komunikasi dan

Ilmu Sosial Lainnya”. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006).

Nazir, Moh. “Metode Penelitian”. (Bogor : Ghalia Indonesia,2011).

Penelitian – “Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah”. (Jakarta: Kencana Prena

Media

Group 2011).

Pasila, Daud.”Badong Sebagai Penghiburan Atas Dukacita Dalam Upacara

Rambu Solo’

Masyarakat Kristen Lameme : Suatu Tinjauan Sosio-Teologis Terhadap

Tradisi Badong Di Tanah Toraja”. (Skripsi, Fakultas Teologi Universitas

Kristen Satya Wacana,2017).

Rosati, Massimo. “Ritual and Sacred”. (Asghate Publishing Company,2009).

Stephanie Kamma, Arlene Azalia. “Komunikasi Antar Budaya Dalam Tarian

Ma’badong

Sebagai Media Tradisional Masyarakat Suku Toraja Di Desa Singa

Gembara Kecamatan Sangatta Utara”. (Journal Ilmu Komunikasi,

volume 4, 2016).

Samiyana, David, Metode Penelitian Sosial, disampaikan dalam kelas Metode

Penelitian

Sosial. (Salatiga tanggal 12 Februari 2019).

Sugiarto, Eko. “Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi dan Tesis”.

(Yogyakarta:

100
Suaka Media,2015).

Sugiyono. ”Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. (Bandung :

Alfabeta,2012).

Sugiyono. ”Memahami Penelitian Kualitatif”. (Bandung : Alfabeta,2012).

Suwartono. “Dasar-dasar Metodologi Penelitian”. (Yogyakarta : ANDI,2014).

Samantha Lakburlawal, Giovanna. ”Pemahaman Gereja Toraja terhadap

Ma’badong.

(Skripsi, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana”, 2017).

Selpiande. “Kajian Sosio-Teologis terhadap Nilai-nilai yang terkandung dalam

Ritual

Ma’bulle Tomate”. (Toraja : STAKN, 2017).

101

Anda mungkin juga menyukai