Anda di halaman 1dari 4

Nama: Avrina Dewi Nacita

NIM: D051211021

Kelas: Teori dan Sejarah Arsitektur 1-C

RESUME MATERI ARSITEKTUR TORAJA

Toraja merupakan salah satu suku di sebelah Utara Sulawesi Selatan yang memiliki beragam
kebudayaan unik mendunia yang terwujud dalam berbagai aspek, diantaranya nilai-nilai budaya,
adat istiadat, tempat wisata, benda-benda seni khasnya, hingga arsitektur bangunannya. Sejak
tahun 2009 lalu, Toraja ditetapkan sebagai salah satu situs Warisan Dunia (World Heritage)
dalam kategori kebudayan oleh UNESCO.

Nenek moyang suku Toraja merupakan penganut kepercayaan Aluk Todolo. Namun sejak
Belanda datang untuk menyebarkan agama Kristen, masyarakat pun banyak yang beralih
memeluk agama tersebut.

Sebelum melangkah jauh, asal-usul kata Tana Toraja merupakan sebutan oleh orang Gowa
kepada suku Toraja kala itu. Orang Gowa menyebutnya Tau Raya yang berarti orang Timur, dan
nama tempat tinggalnya dinamakan tana tau raya yang kemudian menjadi Tana Toraja seperti
saat ini. Sebelum itu, orang-orang terdahulu menyebut Tana Toraja sebagai Tondok Lepongan
Bulan Tana Matarik Allo yang artinya negeri yang bentuk pemerintahan dan
kemasyarakatannya merupakan kesatuan/bulat bagaikan bentuk bulan dan matahari.

Terdapat empat strata sosial bagi masyarakat Toraja, diantaranya yang pertama; Tana’ Buluaan
berarti lapisan bangsawan tertinggi sebagai pewaris yang dapat menerima Sukaran Aluk, yang
dipercaya dapat mengatur aturan hidup dan sebagai pemimpin agama. Yang kedua Tana’ Bassi
adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima Maluangan
Bata’tan ditugaskan megatur kepemimpinan dan mengatur intelektual atau kecerdasan. Yang
ketiga, Tana’ Karurung merupakan lapisan masyarakat biasa yang merdeka, tidak pernah
diperintah langsung, sebagai pewaris yang dapat menerima pande, yaitu tukang-tukang dan
orang yang terampil. Terakhir, yaitu Tana’ Kua-kua merupakan lapisan hamba sahaya sebagai
pewaris yang menerima tanggung jawab sebagai pengabdi, biasanya disebut matutu inaa.

Masyarakat toraja juga memiliki pemahaman mengenai kosmologi yang disesuaikan dengan
kepercayaan masyarakat Tana Toraja, yang pertama yaitu Langi’ (dunia atas), tempat puang
matua yaitu Tuhan maha tinggi yang menjaga keseimbangan siang dan malam dari kehidupan di
dunia ini. Yang kedua, Dunia tengah berada dipermukaan bumi sebagai tempat manusia
menjalani kehidupan yang wajib melaksanakan persembahan dan pemujaan pada setiap fase
kehidupannya. Yang ketiga, Dunia bawah dianggap berada di bawah air diidentifiksikan sebagai
bawahan dan buruk yang dijaga oleh Pong Tuluk Padang, yang mendukung dan memberikan
spirit (semangat) pada tongkonan dan kehidupan manusia di bumi.
Seperti yang kita ketahui, Tana Toraja hingga sekarang masih memiliki adat dan tradisi yang
masih kental dan terjaga. Hal inilah juga yang membuat budaya di Tana Toraja banyak dikenal
oleh dunia sama halnya seperti Bali yang lebih dikenal ketimbang Indonesia itu sendiri. Atmosfer
kultural di Tana Toraja-tempat yang kuat membuat wisatawan menikmati sensasi dan pesona
berbeda dimana mengutamakan pelestarian alam dan budaya. Salah satu aspek pesona yang
menaraik perhatian adalah arsitektur Toraja dimana menawarkan banyak keragaman teknik dan
nilai artistik yang tinggi.

Salah satu arsitektur khas suku Toraja tersebut adalah Banua Tongkonan yaitu rumah
tradisional panggung dengan atap melengkung seperti perahu. Tongkonan merupakan tempat
tinggal bagi penguasa adat sebagai tempat berkumpul dan menjadi sumber rujukan serta
penyelesaian masalah bagi masyarakat.

Pada dasrnya, Rumah/Banua dalam masyarakat Toraja terbagi atas dua golongan, yang pertama
yaitu Banua Barung-barung atau rumah pribadi orang Toraja, bentuknya bisa seperti rumah
Bugis, atau berbentuk seperti tongkonan tetapi tidak dilengkapi ragam hias dan perlengkapan
seperti pada tongkonan. Kedua, yaitu Banua Tongkonan atau rumah adat keluarga Toraja yang
memiliki fungsi adat, dimana tongkonan memiliki arti tempat duduk atau sebagai tempat untuk
bermusyawarah tentang hal yang terkait dengan adat. Tongkonan juga dapat diartikan sebagai
pusat tempat perayaan Rambu Solo dan Rambu Tuka.

Selain itu, (Dikutip dari penjelasan Pak Mochsen Sir) Rumah Tongkonan juga terbagi atas
beberapa jenis yang disesuaikan dengan peranan Penguasanya, yaitu tongkonan Layuk,
tongkonan Pekaindoran, dan tongkonan batu a’riri. Tongkonan Layuk merupakan tongkonan
yang pertama kali menjadi pusat perintah dan kekuasaan dengan peraturan Tana Toraja dahulu
kala. Kedua, Tongkonan Pekaindoran yang didirikan penguasa masing-masing daerah untuk
mengatur pemerintahan adat berdasarkan aturan tongkonan aluk. Ketiga, Tongkonan Batu
A’riri yang berfungsi sebagai tali ikatan dalam membina persatuan dan warisan keluarga. Pada
dasarnta, bentuk ketiga tongkonan ini serupa, hanya saja terdapat perbedaan pada tiangnya.
Tongkonan layuk dan tongkonan Pekaindoran memiliki tiang tengah yang disebut a’riri posi di
samping hiasan berbentuk kepala kerbau (kabogo) dan kepala ayam (katik).

(Dikutip dari http://forumarsitek.blogspot.com/toraja) Tongkonan memiliki tata letak yang


berorientasi utara-selatan dengan pintu utama di sebelah utara dengan mengambil filosofi
“perahu yang mengarungi lautan luas kehidupan”. Dengan knstruksi “knock down” yang
sangat rumit dan cerdas, tongkonan dirancang sebagai rumah panggung dari kayu-olong. Di
bagian bawah dirancang sebagai kandang kerbau dan memiliki konstruksi tahan gempa. Arah
orientasi bangunan yang memilki makna ini secara garis besar menggambarkan keseimbangan.
Makna dan filosofi arah bangunan ini kemudian disimbolkan melalui ukiran-ukiran kayu dan
ornament yang menghiasi seluruh rumah.

Adapun pembagian fungsi sisi-sisi dan area pada rumah Tongkonan, meliputi bagian kanan
(timur) kale banua, tempat sajian kurban persembahan dalam upacara Aluk Rambu Tuka’.
Bagian kiri (barat) kale banua, sebagai tempat saian kurban hewan dalam upacara Aluk Rambu
Solo’. Bagian depan (utara) kale banua, ruang tando, sebagai tempat sajian kurban pada
upacara persembahan pemujaan kepada Puang Matua. Bagian belakang kale banua, ruang
sambung, atau disebut Pollo Banua (ekor rumah), tempat masuknya penyakit. Bagian depan
tongkonan merupakan areal pelaksanaan ritual untuk upacara persembahan dan pemujaan
kepada Puang Matua. Pada sisi kanan tongkonan, sebagai areal pelaksanaan ritual Aluk
Rambu Tuka’ tempat pemujaan Deata-deata. Pada bagian belakang tongkonan merupakan
areal pelaksanaan ritual tempat membuang kesialan atau penyakit. Terakhir, pada sisi kiri
tongkonan sebgai tempat pelaksanaan ritual dalam Aluk Rambu Solo’ temapat pemujaan
Tomembali Puang (todolo).

Selain sebagai tempat tinggal, Tongkonan juga banyak difungsikan oleh masyarakat lokal
sebagai tempat penyimpanan padi atau harta-harta mereka. Tongkonan jenis ini disebut sebagai
Lumbung padi atau Alang. Walaupun hanya sebagai tempat penyimpanan padi, Alang ini salah
satu hal penting yang membuat Toraja go International karena dipajang dan menjadi mascot
salah satu museum di Jerman, yaitu Museum Rautenstrauch-Joest. (Dikutip dari bagooli.com)
Dari segi bentuk atap, Alang cukup mirip dengan Tongkonan, namun dari segi ukuran dan fungsi
sangatlah berbeda yang mana Alang memiliki ukuran yang lebih kecil. Alang dibangun berhadap-
hadapan dengan Tongkonan. Bangunan Alang berdiri di atas tiang-tiang bundar, memiliki satu
ruang yang dibatasi oleh dinding, lantai, serta atapnya terbuat dari bambu. Alang juga tidak
memiliki tangga yang tetap. Kemudian di bagian dinding depan diberi pintu yang berfungsi untuk
memasukkan dan mengeluarkan padi.

Keberadaan Alang sebagai pelengkap Tongkonan memberi kesan tingkat strata sosial
pemiliknya. Di Toraja, terdapat dua jenis Alang yang paling umum, yaitu Alang Sura (lumbung
yang berukir) dan Alang Tang Messura (lumbung tak berukir). Alang Sura diperuntukkan dan
hanya dimiliki oleh kaum bangsawan, sedangkan Alang Tang Messura diperuntukkan bagi
masyarakat biasa pada umumnya (Ila Yahya, 2017).

Selain Lumbung, terdapat juga Liang atau kuburan Toraja yang dibuat berupa gua-gua hasil
pahatan tebing bukit batu. Ritual unik pemakaman Liang atau kuburan adat bagi keluarga orang
Toraja disebut juga “Tongkonan Tangmerambu” (Tongkonan tanpa asap). Liang bagi manusia
Toraja mempunyai arti yang snagata dalam bagi siklus kehidupan manusia karena dalam
pemahaman Aluk Todolo (kepercayaan leluhur).

Liang merupakan pasangan Tongkonan yang sebenarnya. Sebab, orang Toraja percaya bahwa
kematian adalah pergantian status dari alam nyata ke alam gaib/puya. Pada waktu masih hidup
di dunia mereka berkumpul di Tongkonan dan ketika mati mereka akan berkumpul lagi, yang
mana tulang belulangnya yang akan berkumpul di Liang (kuburan).

Jadi bagi orang Toraja jasad orang mati harus mendapat pelayanan seperti pada waktu masih
hidup. Sehingga keluarga bangsawan Toraja bila membangun sebuah tongkonan semasa
hidupnya di dunia, maka harus dibuatkan juga Liang sebagai pasangannya untuk persiapan saat
meninggal dan akan dikburkan di tempat itu nantinya (Kearifan Lokal, 2021).

Beralih ke bagian yang lebih spesifik dari rumah adat Tongkonan, yaitu ragam hias (ornament).
Segala bentuk kegiatan, ritual, dan benda-benda yang hadir/nampak pada bangunan Tongkonan
tentunya memiliki filosofi atau makna mendalam lebih dari hanya sekedar estetika dan
fungsionalnya saja.

Seperti elemen tanduk kerbau yang menggambarkan status sosial dan berhubungan juga dengan
fase kematian dalam hidup. Selain itu terdapat ukiran kayu yang selalu menyimbolkan kebaikan
dengan menggunakan empat warna dasar hitam (kematian), kuning (anugerah dan kekuasaan
ilahi), putih (suci) dan merah (kehidupan manusia). Keempat warna ini juga merepresentasikan
kepercayaan asli suku Toraja yaitu Aluk Todolo (Forum Arsitek, 2021).

Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa ragam hias yang terkenal dan umum digunaka
pada rumah Tongkonan. Yang pertama, Pa’tedong berbentuk kepala kerbau yang diletakkan di
daun pintu Tongkonan, ini menjadi sebagai simbol modal utama (kekayaan) bagi orang Toraja.
Yang kedua, Pa’barre Allo dan Pa’manuk Londong dinding atap yang berbentuk segitiga selalu
diukirkan Bersama dimana pa’berre allo berada tepat dibwah pa’manuk londong. Penempatan ini
dinotasikan untuk menjunjung tinggi system kemasyrakatan dan aturan adat masyarakat Toraja.
Perbedaan fungsi keduanya, yakni pa’bere allo merupakan symbol system pemerintahan dan
kemasyarakatan Toraja, sedangkan pa’manuk londong adalah symbol aturan adat Toraja.

Adapun beberapa motif ukiran pada dinding rumah tongkonan yang bagus untuk diketahui
meliputi, yang pertama Pa’ lolo Tabang ukiran ini mencontoh bentuk ranting pucuk tanaman
lenjuang yang merupakan tanaman obat untuk menyembuhkan demam panas. Kedua, Pa’ulu
Karua yang berarti delapan kepala yang memilki makna visual dari system musyawarah dan
gotong-royong dan memiliki tujuan untuk menghormati orang pintar nenek moyang masyarakat
Toraja. Ketiga, Pa’tangki Pattung memiliki pola dasar empat lingkaran (garis putih) dengan
bentuk bintang empat yang mirip bunga di dalam setiap lingkaran. Raga mini dikonotasikan
sebagai bentuk yang menyerupai tangkai (telinga) cangkir tempat minum bangsawan Toraja dan
sebagai symbol persatuan keluarga. Keempat, Pa’sekong memiliki bentuk kait yang disusun
secara miring 45 derajat. Diukirkan pada panil dinding Tongkonanan, dikonotasikan sebagai
masalah yang saling berkaitan dan merupakan symbol peringatan untuk tidak mencampuri
urusan orang lain. Kelima, Pa’tangki Pattung yang memiliki arti tangkai bambu betung yang
sebagai tanda visual kebangsawanan Toraja. Keenam, Pa’katik yang berarti paruh burung
enggang. Ragam hias ini diknotasikan menyerupai paruh empat burung di masing-masing sudut
belah ketupat sebagai hiasan kepalanya. Ragam ini biasnya diukirkan pada pintu atau jendela
Tongkonan sebagai symbol kebangsawanan di Toraja. Dan Ketujuh, Pa’kapu Baka yang
memiliki arti ikat bakul yang terbuat dari ayaman rotan yang merupakan tempat menyimpanan
pakaian dan perhiasan. Ragam hias ini biasanya diukirkan pada panil dinding, pintu, atau jendela
Tongkonan. Namun, sering diukirkan juga pada lantai bawah Alang sebagai simbol persatuan
rumpun keluarga dari salah satu Tongkonan.

Anda mungkin juga menyukai