Anda di halaman 1dari 3

Nama: Avrina Dewi Nacita

NIM: D051211021

Kelas: TSA 1-C

RESUME MATERI SEJARAH ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Bali adalah sebuah provinsi di Indonesia yang ibu kotanya bernama Denpasar. Bali juga
merupakan salah satu pulau di Kepulauan Nusa Tenggara. Di awal kemerdekaan Indonesia,
pulau ini termasuk dalam Provinsi Sunda Kecil yang beribu kota di Singaraja, dan kini terbagi
menjadi 3 provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai
tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para
wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan julukan Pulau Dewata dan Pulau
Seribu Pura.

Seperti yang kita ketahui, Indonesia terkenal akan kekayaan arsitektur nusantara yang khas yang
diwakili oleh setiap daerah. Salah satunya adalah arsitektur tradisional Bali. Keunikan dari
arsitektur tradisional Bali sangat khas dan menjadi studi baik di dalam maupun luar negeri serta
memberikan pengaruh pada beberapa aliran arsitektur modern masa kini.

Secara filosofi, arsitektur Bali dipengaruhi oleh kebudayaan dan ajaran agama Hindu, mulai dari
tata letak ruang hingga detail yang diaplikasikan pada ukiran. Tata bangunan Bali dapat diartikan
sebagai tata ruang yang mewadahi kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang dan
diwarisi selama turun menurun yang dipengaruhi oleh tradisi Hindu serta unsur Jawa Kuno.

Adapun, filosofi arsitektur Bali tercermin dalam ketujuh hal berikut:

• Tri Hita Karana: Menciptakan keseimbangan dan harmoni dari tiga unsur kehidupan,
yakni manusia (atma), alam (angga) dan dewa (khaya).
• Tri Mandala: Zonasi atau pembagian ruang.
• Sanga Mandala: Aturan pembagian ruang berdasarkan arah.
• Tri Angga: Hierarki antara bangunan dan alam yang berbeda.
• Tri Loka: Hubungan dengan alam lain.
• Asta Kosala Kosali: Delapan pedoman desain arsitektur yang mencakup simbol, kuil,
tahapan, dan satuan pengukuran
• Arga Segara: Garis axis suci antara gunung dan lautan.

Konsep Tri Hita Karana ini diterapkan di sebagian besar bidang kehidupan termasuk arsitektur.
Orang Bali percaya bahwa rumah bukan hanya untuk tempat tinggal manusia. Namun juga
Sthana untuk Manifestasi Tuhan sebagai Dewa-Dewi dan tempat untuk hewan peliharaan dan
tumbuh-tumbuhan di taman. Harmoni tiga unsur ini yang membuat arsitektur bali selalu membagi
rumah menjadi tiga bagian utama, yaitu pertama Sanggah/Merajen yang merupakan area yang
disucikan, terdapat Pelinngih atau tugu sebagai kiblat sembahyang kepada Tuhan. Kedua, Bale
yang merupakan sebutan untuk bangunan fungsional tempat beraktivitas yang dibagi menjadi
empat, yaitu Bale Daja di Utara, Bale Dangin di Timur, Bale Delod di Selatan dan Bale Dauh di
Barat. Ketiga, Natah adalah ruang kosong di tengah rumah sebagai tempat berkumpul, tempat
membuat taman, dan kolam. Pada halaman belakang rumah biasanya terdapat "Tebaa" yang
merupakan area untuk menempatkan hewan peliharaan.

Pada denah pembagian dari arsitektur tradisional Bali terdapat konsep “Sangga Mandala” yang
merupakan pola penataan zonasi dari arsitektur tradisional Bali dimana bagunan terbagi dari 9
kotak bagian (3x3) dengan konsep pembagian utama, madya, dan nista yang menentukan fungsi
dari setiap ruang.

Terkait struktur utama bangunan, arsitektur Bali mengadopsi filosofi Tri Angga dengan tiga
pembagian elemen untuk menciptakan keseimbangan dengan alam yang masing-masing memilii
hirarki makna tersendiri, yang diantaranya adalah:

a) Bagian utama (kepala) yang merupakan simbol tertinggi, makna utama bangunan yang
berfungsi peribadatan pada dasarnya sebagai tempat pemujaan dan berbakti kepada
Tuhan dan leluhur dalam rangka menguatkan dan memberdayakan hidup ini agar
manusia dalam hidup ini menjadi lebih baik dan lebih berguna. Tempat pemujaan ini terdiri
dari:
• Pura Kawitan dan Sanggah sebagai media mengembangkan kerukunan dalam
keluarga.
• Pura Kahyangan Desa sebagai media untuk mengembangkan kerukunan dalam stau
territorial desa.
• Pura Swagina sebagai media untuk mengembangkan kerukunan profesi.
• Pura Kahyangan Jagat sebagai media untuk mengembangnkan kerukunan regional
dan universal.
b) Bagian madya (badan) yang terdiri dari bagian dinding, jendela dan pintu dengan
memanfaatkan material kayu yang dilengkapi dengan ukiran khas Bali. Bangunan Madya
berfungsi perumahan untuk tempat hunian dengan segala aktivitas dan interaksinya agar
manusia dapat mengembangkan potensi dan profesinya secara profesional dan optimal
secara serasi, selaras dan seimbang. Hunian ini terdiri dari:
• Griya sebagai wadah hunian untuk profesi rohaniawan/sulinggih/pendeta
• Puri sebagai wadah hunian untuk pemimpin/penguasa pemerintahan
• Jero sebagai wadah hunian untuk pembantu/pejabat pemerintahan
• Umah sebagai wadah hunian untuk masyarakat umum seperti penggerak
pertanian dan perdagangan.

c) Bagian nista (kaki) yang merupakan bagian bawah bangunan dan berperan sebagai
penyangga bangunan, dibuat menggunakan material batu bata atau batu kali. makna
nista bangunan yang berfungsi sosial sebagai wadah untuk melakukan aktivitas secara
berkelompok/bersama dalam suatu territorial tertentu baik di tingkat lingkungan maupun
desa. Bangunan ini akan lebih berfungsi sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial
budaya bagi anggota masyarakat, jenisnya antara lain sebagai berikut:

• Bale Desa berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan
kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan di tingkat teritorial
desa.
• Bale Banjar berfungsi sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan
kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan di tingkat lingkungan
banjar.
• Bale Teruna-teruni sebagai wadah aktivitas, kreativitas dan interaksi sosial
budaya dan kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan
pembinaan generasi muda.
• Bale Subak sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan
kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan kesejahtraan
dibidang pertanian.
• Pasar sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan ekonomi
kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kesejahtraan desa.
• Beji sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan kemasyarakatan
dalam rangka mengembangkan kerukunan dan sanitasi desa.
• Bale bendega sebagai wadah aktivitas dan interaksi sosial budaya dan
kemasyarakatan dalam rangka mengembangkan kerukunan dan kesejahtraan
oleh nelayan
• Bale Sekee difungsikan oleh perkumpulan profesi non formal
• Dan lain-lain

Untuk mengaplikasikan filosofi Tri Loka, rumah pun dianggap sebagai tubuh manusia dengan
kaki sebagai dasar sehingga mengutamakan kekokohan. Pada bagian luar rumah, umumnya
terdapat tembok tinggi untuk meningkatkan keamanan rumah dan penangkal roh jahat,
sedangkan bagian halaman dibuat dengan ukuran yang luas untuk memudahkan interaksi
dengan alam sekitar.

Terakhir, sesuai dengan filosofi “Asta Kosala Kosali” dalam arsitektur tradisional Bali, sistem
pengukuran dalam proses pembangunan Bali menggunakan metode yang masih sangat
tradisional dan disesuaikan dengan aspek ergonomis penghuni rumah Bali, yaitu dengan
menggunakan satuan pengukuran dari penghuni. Beberapa dari satuan pengukuran dari
arsitektur tradisional Bali tersebut adalah:

• Agu: sebuku jari (dua nyari: dua jari, petang nyari: empat jari)
• Alek: sepanjang jari tengah, dan akacing: sepanjang jari telunjuk
• Musti: sekepalan tangan dengan ibu jari yang menghadap ke atas
• Hasta/asta: sejengkal jarak tangan dari pergelangan tengah sampai ujung jari tengah
yang terbuka dari orang dewasa.
• Depa: seukuran dua bentang tangan yang direntangkan dari kiri ke kanan,
dan beberapa metode pengukuran arsitektur tradisional Bali lainnya.

Anda mungkin juga menyukai