Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan
masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan
yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri
fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada
penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk
dimaksud.
KONSEP DASAR:
Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi
tata ruangnya, diantaranya adalah:
1. Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga
Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:
Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia
Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala
didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali
adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi
yang lainnya. sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun
memprhatikan kebudayan tersebut.
Filosofi arsitektur tradisional Bali pada masa prasejarah hingga kekuasaan Majapahit (abad
XV – XIX ) dianggap sebagai masa tumbuh dan berkembangnya arsitektur tradisional Bali
yang dilandasi oleh lontar asta kosala-kosaili dan lontar asta bumi. (Bhagawan Wiswakarma
dan Bhagawan Panyarikan)
Asta kosala-kosali adalah aturan tentang bentuk-bentuk simbol pelinggih, yaitu ukuran
panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan), dan hiasan.
Asta bumi adalah aturan tentang luas halaman pura, pembagian ruang halaman, dan jarak
antar-pelinggih.
Varian karakter yang mendasar muncul di antara penduduk di daerah dataran dengan
pegunungan serta penduduk di daerah Bali Selatan dengan penduduk di daerah Bali Utara.
Meskipun demikian, terdapat filosofi dasar atau filosofi utama yang menjadi titik acuan
arsitektur tradisional Bali, yaitu prinsip tri anggaatau tri loka, konsep kosmologis (tri hita
karana), dan orientasi kosmologis.
C. ORIENTASI KOSMOLOGIS
Dalam orientasi kosmologis di antaranya terdapat konsepsi sanga (sanga mandala/nawa
sanga). Konsepsi ini lahir dari perpaduan astha dala (delapan penjuru mata angin) dengan
dewata nawa sanga (sembilan mitologi dewa-dewa penguasa mata angin). Falsafahnya tetap
menitikberatkan upaya menjaga keharmonisan dan keselarasan alam. Orientasi ini ditentukan
berlandaskan:
Bagi masyarakat Bali, pegunungan dijadikan petunjuk arah (kajake arah gunung dan kelodke
arah laut).
Gunung Agung merupakan orientasi utama yang paling disakralkan. Namun, untuk wilayah
yang tidak berdekatan dengan Gunung Agung, umumnya berorientasi ke pegunungan
terdekat. Posisi pegunungan yang berada di tengah-tengah menyebabkan Bali seakan terbagi
menjadi dua bagian, yaitu Bali Utara dan Bali Selatan. Oleh karena itu, pengertian kajabagi
orang Bali yang berdiam di sebelah utara dengan sebelah selatan menjadi berlainan, padahal
patokan sumbu mereka tetap, yaitu sumbu kaja-keloddan kangin-kauh.
Rumah tinggal tradisional Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak berada satu kesatuan
dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dan memiliki
fungsinya masing-masing. Berikut ini adalah bagian-bagian dari rumah adat Bali:
Sumber: infoobjek.wordpress.com
Pada bagian dasar bangunan arsitektur tradisional Bali disebut dengan bebaturan. Fungsi dari
bebaturan yaitu sebagai dasar dan fondasi bangunan. Tinggi bebaturan berbeda-beda sesuai
dengan fungsi bangunan dan tingkatan hirarkinya. Pondasi pada bangunan tradisional Bali
ada dua macam, yaitu : pondasi menerus dan pondasi setempat. Pondasi menerus berfungsi
menopang tembok, sedangkan pondasi setempat atau dalam arsitektur tradisional Bali dikenal
dengan istilah jongkok asu berfungsi untuk menopang tiang atau saka.
Universitas Udayana
Pada bagian madya (tengah) yaitu berupa tembok, saka(tiang). Material yang digunakan pada
tembok yaitu dari bahan bata dan batu padas. Tembok pada bangunan tradisional Bali tidak
berkaitan dengan konstruksi bangunan.Tiang (saka) merupakan konstruksi utama pada
bangunan tradisional Bali. Jumlah tiang kolom (saka) pada bangunan menjadi nama dari
bangunan tersebut, contohnya seperti : bale saka roras jumlah tiangnya ada dua belas, bale
sakenem jumlah sakanya ada 6 dan seterusnya.
Sumber: Persentasi Arsitektur Tradisional Bali 2
Universitas Udayana
Atap merupakan bagian utama (kepala) pada arsitektur tradisional Bali. Bentuk atap
bangunan pada rumah tinggal tradisional Bali berbeda sesuai dengan fungsinya.
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Ornamen Khas : Ornamen yang digunakan pada rumah tradisional Bali sangat
beragam. Pada bagian dasar bangunan terdapat ornament berupa kepala gajah, sesuai
dengan bentuknya karang asti/ gajah memiliki makna sebagai penopang bangunan
karena gajah merupakan hewan yang kuat dan besar. Pada bagian atas ornament
karang asti terdapat ornament karang goak. Karang goak melambangkan burung
gagak. Selain itu juga ada karang tapel dan juga ragam hias lainnya yang berupa
pepatran/ ukiran berupa tanaman merambat. Pada bagian atap juga terdapat ornament
berupa murda sebagai mahkota dari bangunan tersebut.
Bahan Bangunan dan Perkembangan Bahan : Material atau bahan yang digunakan
pada bebaturan yaitu dari bahan batu alam, batu padas, batu kali, batu bata, tanah, dan
pasir. Seiring perkembangan teknologi bahan, pada bebaturan juga menggunakan
bahan keramik, marmer, teraso, semen, granit sebagai bahan finishing. Material yang
digunakan pada tembok yaitu dari bahan bata, batako dan batu padas. Bahan yang
digunakan untuk sesaka (tiang) yaitu dari kayu. Tidak semua jenis kayu dapat
dijadikan sesaka, karena setiap kayu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Bangunan Suci:
Makna dan Filosofi : Makna dan filosofi yang terdapat pada rumah tradisional Bali
yaitu perwujudan tatanan nilai, aturan/ norma-norma dalam menata ruang antar
bangunan yang berdasarkan manusia sebagai dasar ukuran atau biasa disebut dengan
human scale. Pada arsitektur tradisional Bali terdapat filosofi yang sering digunakan
sebagi pedoman dalam membangun, yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah
tiga penyebab kebahagian. Ketiga penyebab kebahagian tersebut yaitu, pertama:
hubungan harmonis manusia dengan manusia lainnya, kedua: hubungan harmonis
manusia dengan alam sekitar atau lingkungan dan yang ketiga: hubungan harmonis
manusia dengan tuhan yang maha esa. Dalam arsitektur tradisional bali juga terdapat
istilah Desa (wilayah/tempat), Kala (waktu) dan Patra (situasi/kondisi). Desa Kala
Patra menjadi salah satu pedoman dalam membangun rumah tradisional Bali, karena
tidak semua aturan-aturan dalam membangun rumah adat Bali dapat diterapkan
sepenuhnya. Rumah tradisional Bali idealnya dibangun pada lahan yang cukup luas
dan datar, namun terkadang hal tersebut sulit diterapkan pada lahan yang tidak cukup
ideal, seperti daerah pegunungan dengan lahan miring dan cuacanya yang dingin.
Maka dari itu, konsep Desa Kala Patra menjadi solusinya. Contohnya dapat ditemui
pada daerah pegunungan di Bali, bentuk rumahnya berbeda dengan yang di dataran
rendah namun tetap memiliki makna yang sama.
11.25 baliinformation
Di Bali saat ini ditemukan berbagai corak arsitektur, mulai dari Arsitektur tradisional bali
kuno, tradisional bali yang di kembangkan, arsitektur masa kini yang berstil bali bahkan
arsitektur yang sama sekali tidak memiliki nuansa bali. Mengetahui aspek-aspek arsitektur
tadisional bali di butuhkan pengetahuan yang mendalam terutama aspek filosofi, religius dan
sosial budaya.Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah
kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-
aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-
ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Pasali. Arsitektur
Tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi agama Hindu, merupakan
perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional Bali sangat ditentukan norma-
norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan kebudayaan.
Arsitektur Tradisional Bali memiliki beberapa konsep-konsep dasar yang mempengaruhi
nilai tata ruangnya, antara lain :
Di dalam menentukan atau memilih tata letak pekarangan rumah pun menurut aturan
tradisional Bali ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu:
1. Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung ada disebelah Timur atau Utara
pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti: sawah,
ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.
2. Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan lurus
langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
3. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalingkuhan.
4. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.
5. Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah jalan
umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.
6. Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur Lautnya
pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan umum, ini tidak
boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.
Desain interior berarti rancangan ruang dalam. Tetapi dalam konsep arsitektur tradisional
Bali Madya konsep desain interior, juga dapat berarti rancangan “ruang di dalam ruang” (space
in space) pada area rumah tinggal, ( by : http://m.isi-dps.ac.id/news/desain-interior-rumah-
tinggal-tradisional-bali-madya ) dengan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pola Zonasi
Pola zonasi rumah tinggal era Bali Madya memiliki pola teratur, dengan konsep ruang sanga
mandala, yang membagi pekarangan menjadi 9 bagian area (pah pinara sanga sesa besik). Tata
nilai ruangnya ditata dari area atau zona Utamaning utama sampai zona Nistaning nista untuk
bangunan paling provan. Jadi konsep zonasi unit bangunan di dalam pekarangan rumah
tradisional Bali Madya, ditata sesuai dengan fungsi dan nilai kesakralan dari unit bangunannya.
Zona parahyangan untuk tempat suci, zona pawongan untuk bangunan rumah dan zona
palemahan untuk kandang ternak, teba dan tempat servis/ pelayanan. Filosofi Trihitakarana
sangat jelas diterapkan pada sonasi ruang rumah tinggal era Bali Madya, karena zona ruangnya
telah didesain agar keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan
ala lingkungan tetap terjaga, sehingga pemilik dan pemakai bangunan memperoleh
keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan.
2. Pola Sirkulasi
Desain pola sirkulasi pada rumah tinggal tradisional Bali Madya adalah dari pintu
masuk/angkulangkul menuju dapur (paon), yang memiliki makna sebagai tempat untuk
membersihkan segala hal buruk yang terbawa dari luar rumah, kemudian baru dapat memasuki
bangunan-bangunan lainnya, seperti ke Bale Dauh, Bale Gede/Dangin, Meten/Gedong dan
bangunan lainnya. Sedangkan pola religiusnya dimulai dari Sanggah/Merajan, baru kemudian
ke Bale Meten/Bale Daja, Bale Gede/dangin, Bale Dauh, Paon, Jineng, Penunggun Karang,
Angkul-angkul dan bangunan tambahan lainnya. Proses aktivitas yang dimulai dari tempat suci
ini dilakukan pada saat upacara secara tradisional Bali.
3. Orientasi
Orientasi bangunan rumah tradisional Bali Madya adalah menghadap ke ruang tengah
(natah),yang memiliki makna tempat bertemunya langit dan bumi, sehingga tercipta kehidupan
di bumi. Langit (akasa) adalah purusa, sebagai simbol unsur laki-laki dan bumi (pertiwi) adalah
pradana, yang merupakan simbol unsur perempuan. Unsur purusa dan predana inilah bertemu
pada natah, sehingga tercipta kehidupan di rumah tinggal tradisional Bali Madya. Pada rumah
tradisional Bali Madya, bangunan tempat tidur (Bale Meten) berorientasi ke Selatan, bangunan
tempat anak muda/ tamu (Bale Dauh) berorientasi ke Timur, bangunan tempat upacara (Bale
Gede/Dangin) berorientasi ke Barat, sedangkan dapur (Paon) berorientasi ke utara. Keempat
unit bangunan pokok tersebut berorientasi ke tengah/natah sebagai halaman pusat aktivitas
rumah tinggal. Orientasi pintu masuk tempat suci keluarga (Sanggah/ merajan) kearah Selatan
atau ke arah Barat.
4. Lay Out Ruang
Maksud dari lay out ruang adalah perencanaan, rancangan, desain, susunan, tata letak tentang
ruang-ruang yang terdapat pada desain interior rumah tinggal tradisional Bali Madya. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa desain interior tradisional Bali Madya adalah seluruh
compound bangunan yang terdapat di dalam tembok penyengker, sehingga ruang kosong di
tengah yang disebut natah adalah termasuk ruang keluarga sebagai tempat bermain dan
berkumpulnya keluarga.