Anda di halaman 1dari 20

ARSITEKTUR VERNAKULAR

‘Arsitektur Bali’

MAHASISWA : PRICO ENJELINA NATTY


NIM :1906090013
KELAS : A

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
SEMESTER 5
2021

1
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha
Esa yang telah memberkati saya, sehingga laporan ini dapat diselesaikan. saya juga
ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang telah membantu saya dalam
pembuatan laporan ini dan berbagai sumber yang telah saya pakai sebagai data dan
fakta pada laporan ini.

Saya mengakui bahwa saya adalah manusia yang mempunyai keterbatasan


dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan
sangat sempurna. Begitu pula dengan laporan ini yang telah saya selesaikan. Tidak
semua hal dapat saya deskripsikan dengan sempurna dalam laporan ini. saya
melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang saya miliki.

Maka dari itu, saya bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca yang
budiman. saya akan menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu loncatan
yang dapat memperbaiki laporan saya di masa datang.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR ISI................................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................ 4

1.3 Tujuan................................................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sosial Budaya pada Arsitektur Bali..................................................................................... 5

2.2 Pola Tata Tapak pada Arsitektur Bali …………………………………..…....................6

2.3 Ruang dalam Arsitektur Bali …………………………………..………..………………...8

2.4 Struktur dan Konstruksi pada Arsitektur Bali ……..……………………………………13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………..…19

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..20

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang yang mewadahi
kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun menurun
dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu hingga sekarang.
Arsitektur Bali adalah gaya arsitektur vernacular yang didesain menggunakan
bahan-bahan lokal untuk membangun bangunan, struktur, dan rumah-rumah,
serta mencerminkan tradisi lokal.
Arsitektur Bali sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu Bali, serta unsur Jawa kuno.
Bahan yang biasa digunakan di rumah-rumah dan bangunan Bali antara lain
atap jerami, kayu kelapa, bambu, kayu jati, batu, dan batu bata. Arsitektur Bali
memiliki karakteristik menggunakan budaya kuno dan kesenian di setiap elemen
desain.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sosial budaya pada arsitektur Bali?


2. Bagaimana pola tata tapak pada arsitektur Bali?
3. Bagaimana ruang dalam arsitektur Bali?
4. Bagaimana struktur dan konstruksi pada arsitektur Bali?

1.3 Tujuan

Untuk membahas lebih mendalam mengenai arsitektur Bali mulai dari sosial
budaya pada arsitektur Bali, pola tata tapak pada arsitektur Bali, ruang dalam
arsitektur Bali, dan struktur dan konstruksi pada arsitektur Bali.

4
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sosial Budaya pada Arsitektur Bali

Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi
hidup untuk membuat kebaikan di bumi, dan bila kebaikannya diterima oleh Sang
Hyang Widi maka dirinya dapat menyatu dengan alam semesta dan
meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, kemudian bersatu
dengan dewanya untuk selamanya. Itulah yang disebut sebagai dharma.

Namun, bila masyarakat Bali membuat suatu kesalahan, ketika mati dia akan
melakukan reinkarnasi untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian
diterima oleh Tuhannya. Inilah konsep kosmologi Bali yang juga dianut dalam
arsitektur Bali. Hal inilah yang mendasarkan arsitektur Bali pada harmoni dan
keselarasan kehidupan.

Masyarakat suku Bali sejak dulu memiliki hal-hal yang tetap melekat pada
setiap sendi kehidupan mereka, yakni agama, adat istiadat, kepercayaan dan
sistem peribadatan mereka sebagai landasan-landasan dalam segala aspek
kehidupan masyarakat suku Bali (Dwijendra, 2008). Suku Bali yang memiliki
latar belakang sejarah agama Hindu menyebabkan tatanan kehidupan pribadi
maupun sosial mereka sangat melekat pada agama Hindu. Norma-norma, tradisi

5
serta nilai-nilai kehidupan yang tercipta menjadi bukti bahwa agama Hindu
merupakan dasar aturan kehidupan mereka sehari-hari.

2.2 Pola Tata Tapak pada Arsitektur Bali

Rumah-rumah di Bali cenderung memiliki struktur yang kompleks namun tertata


rapi. Rumah-rumah berasitektur tradisional Bali tidak hanya terdiri atas satu unit
stuktur, tapi memiliki sekumpulan bangunan-bangunan. Tiap bangunan dihuni
satu kepala keluarga. Biasanya, mereka yang tinggal di kompleks ini merupakan
keluarga besar dan berasal dari keturunan yang sama. Di sekeliling kompleks
bangunan ini dibangun tembok yang tidak terlalu tinggi, namun cukup
memisahkannya dengan dunia luar.

Peta kompleks rumah tradisional Bali (Sumber: www.crazylittlefamilyadventure.com)

Pada kompleks bangunan ini terdapat satu pura untuk sembahyang, dapur yang
digunakan untuk bersama, area untuk tidur, serta area untuk pertemuan penting
atau perjamuan. Untuk tujuan itu, biasanya pada kompleks bangunan dibangun 2

6
macam paviliun, yaitu paviliun untuk menerima tamu serta paviliun khusus untuk
upacara adat dan ritual keagamaan.

Suasana di kompleks rumah tradisional Bali (Sumber: www.gusdehousevilla.com)

Mirip seperti rumah-rumah tradisional di pulau Jawa, rumah khas Bali dibangun
di dalam kompleks yang dikelilingi oleh dinding lumpur bercat putih atau batu
bata, bergantung pada kekayaan dari pemilik rumah. Kompleks rumah tradisional
Bali didominasi oleh paviliun (bale) yang mengelilingi halaman tengah (natah).
Elemen arsitektur lainnya yang ada dalam kompleks rumah ditata sesuai dengan
konsep kesakralan yang ada di Bali dan mata angin.

Pura dalam kompleks rumah (Sumber: commons.wikimedia.org)

7
Kuil keluarga merupakan area yang paling suci dari keseluruhan kompleks
rumah, dan terletak di Timur Laut (Kaja-Kangin) yang diidentifikasikan sebagai
kepala dari kompleks rumah. Kuil keluarga ini selalu dikurung di dalam tempat
suci (Pamerajan). Kuil yang paling penting adalah Kamulan Sanggah, sebuah
kuil yang berisi tiga kompartemen yang didedikasikan untuk trimurti Hindu
Brahma, Wisnu dan Siwa.

2.3 Ruang dalam Arsitektur Bali

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang
mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah :

 Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga


 Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
 Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
 Konsep court, Open air
 Konsep kejujuran bahan bangunan
 Konsep Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala
manusia yang meliputi Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa,
Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya.

Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan
arsitektur, yang merupakan asal-usul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga
membagi segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone:

 Nista (bawah, kotor, kaki),


 Madya (tengah, netral, badan) dan
 Utama (atas, murni, kepala)

8
Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di
Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

 Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir
 Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
 Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi


kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep
ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian
tipikal di Bali

Bangunan Hunian

Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi
yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut
utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan,
Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan
sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.

Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling,


yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk
memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh
jahat/jelek. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon
(dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah, bale
sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale
sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka.

Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat


dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis.
Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai
dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang
lain (tempat barang-barang penting & berharga).

9
Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang
berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.

Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam

Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada


umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali terdiri dari beberapa masa yang
mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh
sebuah tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang
tak terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut
sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah
sebuah ruang luar. Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya
memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep Bali dengan dengan konsep
ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga
sering digunakan dalam usaha untuk “meminjam” unsur alam ke dalam
bangunan.

Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam,
lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai
ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang
yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat
maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat
dinding penuh hanyalah uma meten).

Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale
sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah.
Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar
pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya,
sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi.

Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat
diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena
pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari
‘ruang luar’ menjadi ‘ruang dalam’ karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini.

10
Elemen pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk
oleh ke-empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang
ada adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam
yang terjauh jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah
sangat menarik, karena keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan
natah (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan
lengkap seperti hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah
akan menjadi suatu ‘ruang dalam’ yang ‘satu’, dengan paon dan lumbung adalah
fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah
pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen
dinding yang membatasinya.

Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif

Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi


sebagai gerbang penerima. Kemudian orang akan dihadapkan pada dinding
yang menghalangi pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat.
Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah
penghalang visual, dimana ke-privaci-an terjaga. Hadirnya aling-aling ini,
menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat
dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan
aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya
dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di
dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas
dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip.
Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip.

Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, “natah” berlokasi di daerah


madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat “manusia”. Apalagi kalau dilihat
dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah
ruang positip. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa
yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order.

11
Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling),
sehingga daerah ini telah diberi “frame” untuk menjadi sebuah ruang dengan
batas-batas lantai dan dinding serta menjadi ‘ruang-luar’ dengan ketidak-hadiran
elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan
penghuni melakukan aktifitasnya disana.

Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang


daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun
paling akhir.

Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana


ruang positip pertama kali dibuat (Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya
adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi ‘frame’ untuk
menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa-
masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam,
lumbung, paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang
positip baru ini.

Konsistensi dan Konsekuensi

Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan
(rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah
bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas
pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian
bangunan terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain
mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak,
tempat menyimpan barang (berharga dan makanan), tempat berkomunikasi,
tempat berdoa dan lain-lain. Ruang-ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh
untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri
sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur merupakan bagian
sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam atau interior.
Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan
yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang

12
dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah juga ruang-dalam atau
interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang luar, karena
kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian bangunan Hunian Bali
dikaji dengan kaidah-kaidah ‘Ruang luar-Ruang dalam’, terutama juga apabila
bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri,
maka adalah konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang
luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya ruang ini adalah
bagian utama (yang bersifat ‘manusia’) dari hunian Bali.

Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari aktifitas
utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas
ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale
sikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding
dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang ‘membuka’ ke
arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar
yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale
sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan
yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah ruang tidur, natah adalah
ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga. Apabila
dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan
memasak dan ruang makan, maka hunian Bali, teryata identik dengan hunian-
hunian berbentuk flat pada hunian orang Barat.

2.4 Struktur dan Konstruksi pada Arsitektur Bali

Struktur utama bangunan tradisional pada umumya adalah struktur rangka yang
tersusun atas tiang-tiang kayu dengan balok (lambang dan sineb), canggahwang
(skoor),sunduk, dsb. Bagian atas tiang terhubung dengan balok lambang dan
sineb yang merupakanpenyangga atap. Bagian ini meneruskan beban atap ke
pondasi.

Untuk menciptakan ruangy ang stabil, maka struktur rangka ini harus memenuhi
empat persyaratan utama yaitukesetimbangan, kestabilan geometris, kekakuan
dan kekuatan. Konstruksi rangka di bagian tengah menerapkan prinsip-prinsip

13
portal sederhanadengan bantuan canggahwang sebagai pengaku hubungan
tiang dengan balok.Selain canggahwang, papan-papan parba juga merupakan
pengaku hubungan tiang dan balok sekaligus menjaga bentuk ruang tetap siku
dan stabil. Fungsi parba ini setara dengan dindinggeser pada bangunan modern.

Prinsip-prinsip portal tidak berlaku secara mutlak karena konstruksi bangunan


masihpula menggunakan sistem-sistem penjaga kestabilan yang lain seperti
sunduk, lait, purus, dsb.Bangunan yang memiliki balai-balai dilengkapi dengan
sunduk yang juga berfungsi sebagaipengaku tetapi dengan konstruksi fleksibel
dengan sistem baji/lait. Pada hubungan antaratiang dengan sendi terdapat purus
yang menciptakan hubungan stabil sekaligus lentur antaratiang ke sendi yang
akan menyalurkan beban ke pondasi.

Perletakan untuk bangunan yang dilengkapi balai-balai merupakan perletakan


rol,sedangkan tiang-tiang lainnya merupakan perletakan sendi. Hubungan antar
tiang yangmemakai balai-balai, menggunakan sunduk yang dilengkapi lait,
dimana sunduk berfungsipurus dan lubang terdapat pada saka. Coakan pada
sunduk menjadi pengikat struktur.

Hubungan tiang dengan lambang sineb memakai purus rangkap, sedangkan


antara balok pamentang (balok tarik) dengan tadapaksi dihubungkan oleh
konstruksi dukung netral berupakencut, yang sebenarnya hanya merupakan
ornamen, karena tadapaksi tidak menerima bebantekan akibat beban bidang-
bidang atap yang diteruskan oleh pemade(balok tekan) danpemucu (jurai luar)
dan balok tadapaksi/pamentng (balok tarik). Bentuk kencut yang
cekingmerupakan ekspresi ornamental untuk menggambarkan bahwa batang
tersebut tidak menerima beban sama sekali (nol).

Perkembangan hubungan tiang dengan balok selanjutnya tidak hanya


menggunakan canggahwang, tetapi dengan adanya pengaruh barat, hubungan
ini dilengkapi ornamenestetika berupa kapu-kapu, palm, ataupun tiang bergaya
corinthians.

14
 Pondasi
Meskipun tipologi bangunan tradisional di Bali bentuk dan fungsinya beragam
tetapimemiliki konsep struktur yang serupa. Pondasi sebagai penyangga struktur
utama berupapondasi setempat dari pasangn batu disebut jongkok asu. Jongkok
asu ini meneruskan bebanyang diterima dari tiang dan sendi di atasnya ke tanah
untuk menjada bangunan tetap berdiridengan tegak. Hubungan antara tiang
bangunan, sendi dan jongkok asu dibuat tidak kaku,tetapi berfungsi tumpu. Jika
terjadi pergerakan akibat gempa atau getaran tanah, hubungan iniakan turut
bergerak dan akan menciptakan daya redam untuk meminimalisir akibat buruk
gerakan tanah yang terjadi.
Untuk menghindari kelembaban, maka di sekeliling bangunan dibuat pasangan
batuuntuk menjaga timbunan tanah yang menciptakan ketinggian bangunan
sesuai dengan yangdikehendaki. Pondasi keliling ini ridak menerima beban atap
ataupn meneruskan beban daritiang, tetapi berfungsi untuk menjaga urugan
tanah sekalifus menyangga dinding yangberfungsi sebagai pemisah ruangan.
Secara struktural antara pondasi jongkok asu dan pondasikeliling penyangga
dinding tidak berhubungan secara langsung.
Dalam proses pembangunan, pondasi jongkok asu dibuat terlebih dahulu
lengkapdengan struktur di arasnya berypa rangka bangunan dan rangka atap.
Setelah rangka atapselesai dibuat, maka pada bagian ujung sudut terluar kolong
diberi sepat gantung. Tegak luruske bawah tepat di titik jatuhnya sepat gantung
ini merupakan ujung terluar pondasi kelilingyang dibuat belakangan setelah
struktur tengah hingga rangka atap berdiri tegak. Secaraumum, sistem struktur
pondasi ini berlaku untuk semua bangunan, baik itu bale meten, baledangin, bale
dauh, dan paon, serta bangunan Bali pada umumnya.

15
 Dinding Pemisah
Dalam arsitektur tradisional Bali, dinding atau tembok hanya berfungsi
sebagaipemisah ruang. Dinding-dinding tidak berfungsi sebagai struktur
penyangga, karena itustrukturnyapun terpisah dari struktur utama bangunan.
Pondasi keliling bangunan hanyaberfungsi untuk menyangga beban dinding dan
menjaga tanah urugan peninggian lantai.
Fungsi dinding yang hanya berfungsi untuk pembatas ruangan (partisi)
diperlihatkandengan memberi jarak antara tin dengan dinding dan antara dinding
dengan bagian kolongbangunan. Dengan melepaskan semua bagian dinding
baik secara visual, maka jelas terlihatfungsi masing-masing elemen struktur dan
konstruksi bangunan yang bekerja secarafungsional. Dengan demikian maka
setiap elemen tersebut dapat diperbaiki tanpa harusmengganggu elemen yang
lainnya.
Jarak yang tercipta antara dinding dengan atap bangunan menciptakan celah
yangberfungsi sebagai ventilasi. Dengan adanya celah yang berfungsi ventilasi,
maka tidak adalagi dibuat lubang pada dinding bangunan. Pada beberapa
bangunan Bali ada yang sengajadibuat tertutup seluruhnya, ada yang dibuat
tertutupsebagian, dan ada pula yang teruka samasekali. Bagian yang ditutup
adalah bagian yang berlawanan dengan arah natah sedangkanyang terbuka
adalah bagian yang menghadap natah, menciptakan ruang yang
mengalir(continuous space) dan longgar terbuka ke arah natah.
Dinding bangunan yang dibuat setelah rangka bangunan utama selesai, berjarak
atapak ngandang (satu telapak kaki lurus dan menyilang) dalam sikut tradisional
Bali. Ukuranini jika diterjemahkan ke dalam metrik kurang lebih 35cm. Jarak ini
adalah jarak bersih daripinggir sendi ke pinggir dinding pemisah.
Selain ke dinding-dinding pada bangunan, terdapat pula dinding yang
mengelilingikompleks bangunan sekaligus menjadi batas lahan sebuah rumah.
Dinding yang mengelilingiareal pekarangann ini dikenal sebagai tembok
penyengker. Pada salah satu sisi yang dianggapbaik, tembok dilubangi sebagai
pintu masuk pekarangan, tembok penyengker memilikipanjang uang

16
membutuhkan penguat pada beberapa titiknya untuk menjaganya tetap tegak.
Dalam arsitektur Tradisional Bali pilar-pilar penguat utama tembok penyengker
terletak padasudut-sudut pertemuan dua dinding yang disebut paduraksa. Di
dalam lontar arsitektur, empatpilar pada empat sudut pertemuan dinding diberi
nama, antara lain :Sri/sari raksa untuk pilaryang berposisi di kaja kangin/ timur
lautAji raksa raksa untuk pilar yang berposisi di kelod kangin/tenggara Rudra
raksa raksa untuk pilar yang berposisi di kelod kauh/barat daya Kalaraksa raksa
untuk pilar yang berposisi di di kaja kauh/barat laut. Selain keempat pilar
yangmemiliki istilah seperti di atas, masih dimungkinkan untuk menambah pilar-
pilar penguat diantara dua pilar sudut. Pilar-pilar ini meskipun secara fisik sama
dengan yang di sudut, tidak memiliki istilah secara khusus hanya disebut sebagai
lelengen.

 Atap
Bangunan rumah di bali berupa bentuk-bentuk geometris sederhana, demikian
pulaatapnya. Secara umum bentuk atap rumah bali adalah limasan, kampiah
(pelana), bahpondok. Varian bentuk atap lainnya yang berkembang belakangan
merupakan kombinasi daribentuk-bentuk tersebut.
Atap limasan memiliki struktur utama berupa pemade dan pemucu yang pada
bagianpuncaknya disatukan oleh dedeleg (balok nok memanjang) atau petaka
(nok bujursangkar/titik). Pada bidang-bidang diantara pemade dan pemucu
disertai dengan usuk (iga-iga) bambu. Usuk bambu diikat atau dijepit menyatu
dengan pemade dan pemucumembentuk satu bidang datar dengan ikatan tali
bambu atau tali ijuk membentukk suatustruktur bidang. Beban utama atap
disangga oleh pemade dan pemucu. Susunan antara pasak-pasak kayu dan juga
tali ikatan apit-apit, selain berfungsi struktural juga berfungsi estetis.Kepala
pasak apit-apit seringkali dihiasi dengan ornamen tapuk manggis.
Bangunan dapur dengan atap pelana memberi ruang bagi asap dan panas
ruanganmengalir keluar melalui celah atap. Bentuk atap ini memiliki struktur
serupa dengan limasan,pemade dan pemucu menjadi penyangga utama beban
atap. Perbedaannya adalah pada bagianlebar bangunan, tidak semua bidang

17
ditutup oleh atap tetapi hanya sebagian, untuk membuatlubang ventilasi
keluarnya asap dan panas, dan menciptakan ventilasi silang.
Konstruksi atap bangunan merupakan pelengkung tiga sendi dengan sendi
masing-masing terletak pada petaka/dedeleg, dan pada titik-titik hubungan
dengan konstruksi portal. Konstruksi puncak bangunan menyerupai konstruksi
payung yang menyatukan semua elemenpembentuk konstruksi atap ke tengah.
Konstruksinya sangat sederhana berupa purus danlubang tanpa pasak.
Penyelesaian struktur dan konstruksi sederhana, jujur dan indahmenyiratkan
mutu penciptanya.
Struktur bidang atap diperkuat dengan penggunaan bahan alang-alang sebagai
bahanpenutup. Alang-alang diikatkan pada jalon, kemudian dipasang pada usuk.
Hubungan ikatanalang-alang dengan usuk menggunakan tali bambu yang diatur
sehingga puntiran-puntirandan sisipan-sisipan tali rapi membentuk elemen
estetis tersendiri sebagaimana juga berlakupada garis-garis horizontal ikatan
alang-alang di atas usuk

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Arsitektur Bali (AB) adalah arsitektur yang tumbuh, berkembang, dan


dipertahankan di Bali mengisi sejarah, ruang dan waktu dari masa ke masa.
Sebagai wujud Arsitektur Bali, Globalisasi dan perubahan yang cepat dalam
segala aspek dapat mempengaruhi eksistensi Arsitektur Tradsional Bali. Salah
satu langkah pelesatarian dilakukan dengan mengidentifikasi makna dan konsep
Arsitektur Tradisional Bali. Identifikasi makna dan konsep dapat membangun dan
menambah pengetahuan arsitektur etnis nusantara, bahkan di negara lain
dimana arsitektur etnik itu berada.
Dari analisa dan pembahasan yang dilakukan dapat diketahui bahwa
Arsitektur Tradisional Bali, terdiri dari jiwa dan badan fisik. Jiwa yang
menghidupkan dianalogikan sebagai maknanya, sedangkan bentuk badan
fisiknya merupakan ekspresinya. Konsep dalam Arsitektur Tradisional Bali dapat
ditransformasiakan dan diaplikasikan pada Arsitektur Bali (kekinian), antara lain
(1) Konsep keseimbangan kosmos ; (2) Konsep Rwabhineda ; (3) Konsep
Tribhuana-Triangga ; (4) Konsep keserasian dengan lingkungan.

19
DAFTAR PUSTAKA

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/96acde4e5d638d5f0c76d5bb24c
64208.pdf
https://dokumen.tips/documents/arsitektur-tradisional-bali-55b07e2e3de63.html
https://www.arsitag.com/article/mengenal-keunikan-arsitektur-bali
https://cvastro.com/arsitektur-bali-tata-ruang-masyarakat-bali.htm

20

Anda mungkin juga menyukai