Anda di halaman 1dari 7

IMPLEMENTASI Implikasi adat dengan agama Hindu di Bali sangat lekat, sehingga sulit memisahkan secara tegas antara

adat dan agama, karena adat istiadat di Bali dipancari oleh Agama Hindu dan aktivitas agama Hindu didukung oleh adatistiadat di masyarakat. Banyak sastra Hindu yang melandasi adat dan istiadat di Bali yang jiwanya masih melanjut samapai sekarang, seperti: Purwadigama, Adigama, Agama, Sasana, Kutaramanawa, Dewagama, Dewadanda,

Dharmaupapati, Nagarakrama, dan lain-lainnya. Apabila diambil suatu deret perkembangan sastra agama Hindu yang melandasi adat dan hukum adat di Bali, maka terlihatlah bahwa adat dan hokum adat di Bali dikukuhkan oleh Paswara Adat dan Awig-Awig. Awig-awig dan Paswara disusun berlandaskan Sastragama dan Sasana. Sastragama dan Sasana mengambil sumber dari Adigama dan Kutaramanawa. Purwadigama. Adigama dan Kutaramanawa mengambil sumber dari

Purwadigama

disusun

berlandaskan

Manawadharmasastra,

sedangkan Manawadharmasastra disusun berdasarkan Karmakandha dari kitab suci Weda. Itulah sebabnya adat-istiadat di Bali tidak bisa dipisahkan dengan agama Hindu. Adapun masalah-masalah dalam aktivitas kehidupan masyarakat Bali ditangani oleh lembaga-lembaga adat, seperti: desa adat, banjar, dan subak. Jalinan yang erat antara adat-istiadat dan agama Hindu di Bali yang dalam kehidupan sehari-hari berorientasi kepada ajaran agama, merupakan faktor utama yang menyebabkan kokohnya persatuan dan kesatuan masyarakat di Bali dan menciptakan suasana hidup rukun, tentram dan damai serta penuh dengan kegotong-royongan. Pembinaan adat dan hokum adat di Bali, dilakukan oleh Majelis Pembinaan Lembaga Adat untuik tingkat propinsi dan oleh Badan Pelaksana Pembinaan Lembaga Adat untuk tingkat kabupaten dan kecamatan. Pada masing-masing desa, adat dan hukum adat dibina oleh Kelihan Desa atau Bendesa. Dalam rangka pembinaan adat dan hukum adat di Bali peranan Lembaga Pendidikan Hukum tentu sangat berperan besar terutama dalam penulisan awigawig di desa-desa. Setiap desa diusahakan mempunyai awig-awig tertulis yang memuat aturan-aturan yang berlaku bagi masyarakat adat. Pada prinsipnya awigawig itu memuat tigal hal, yaitu:

Sukerta tata palemahan yang artinya tata tertib di bidang wilayah desa dan struktur pola penetapan anggota desa; Sukerta tata pawongan yang artinya tata tertib dalam bermasyarkat; Sukerta tata parhyangan yang artinya tata tertib melaksanakan agama. Selain itu di dalam awig-awig juga disebutkan sanksi sosial dan ketentuanketentuan tertulis, desa adat di Bali mempunyai pula aturan-aturan tidak tertulis namun ditaati oleh anggota masyarakat yang disebut sima dan dresta. Desa adat di Bali mempunyai totonomi yang luas dan otonomi itu dijamin oleh pasal 18 Undang-undang Dasar 1945. Kendati desa adat dan hukum adat mempunyai otonomi, namun aturan-aturan dan hokum-hukumnya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Maka dari itu, adat dan hukum adat yang bernilai positif tetap dipelihara dan dilestarikan. Namun hal tersebut tidak semudah membalikan telapak tangan. Agar bisa dilaksanakan dengan baik perlu pemahaman yang baik dari umat Hindu semua dan bukannya selesai dengan kata "nak mula keto"

Arsitektur Tradisional Bali Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dengan sifatnya yang luas, meliputi segala aspek dalam kehidupan. Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada rontal Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjukpetunjuk dimaksud. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga

Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu Konsep proporsi dan skala manusia Konsep court, Open air Konsep kejujuran bahan bangunan

Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan arsitektur, yang merupakan asal-usul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone:

Nista (bawah, kotor, kaki), Madya (tengah, netral, badan) dan Utama (atas, murni, kepala)

Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir) Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali . Waktu tentang kapan panduan arsitektur kosala-kosali mulai dipakai di Bali belum jelas. Tidak satu sumberpun ada menyebutkan dengan gamblang masa permulaan dipergunakannya asta kosala-kosali di Bali. kalau menilik dari sejarah, kemungkinan besar kosala-kosali dipergunakan setelah datangnya gelombang pendatang dari jawa secar besar-besaran ke Bali. Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang mpunya rumah. mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti

Musti(ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),

Hasta(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)

Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)

Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang mpunya rumah. begitu.

nah selain itu Konsep ini juga berdasarkan oleh Kepercayaan masyarakat bali akan Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti : 1. Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa. 2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme 3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma. Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan, Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit. dan Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada DSB.

Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. seperti misalnya kasta di masyarakat. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan. nah kalo yang ini biasanya dibangun oleh kasta Kesatria. tapi karena sekarang banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh bikin yang seperti ini. tetapi mungkin nanti bedanya Warna di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.

itu merupakan sistem hirarki, nah kalo di Bali Hirarkial itu juga

berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumah, sehungga rumah akan dibagi 3 yaitu jaba, jabajero dan jero.

jaba untuk bagian paling luar bangunan jabajero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah

jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal

1. nah, di konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri Angga, yang terdiri dari Nista Madya dan

Utama.

a. Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu gunung. b. Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia

c. Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang. Selain itu juga, ada konsepnya berdasarkan kelipatan tiang atau kolom. Rumah tinggal di Bali itu tidak dijadikan satu, disini dibagi menjadi beberapa ruangan yang dimana bangunannya dipisah. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk.

2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. 3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar 4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang 5. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat 6. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu 7. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau anggota keluarga lain yang masih junior. 8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. 9. Paon(Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga. 10. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya Pengakuan kebudayaan oleh bangsa lain Klaim kebudayaan Indonesia masih saja terus dilakukan Malaysia. Setelah sebelumnya lagu rasa sayange, batik, angklung, reog Ponorogo, bunga Raflesia, dan yang terbaru tarian sakral Bali, tari Pendet. Geram dan marah muncul dari masyarakat Indonesia menyikapi klaim kebudayaan yang dilakukan Malaysia. Berbagai aset budaya nasional dalam rentang waktu yang tak begitu lama, diklaim negara tetangga. Pola pengklaiman dilakukan melalui momentum formal kenegaraan. Seperti melalui media promosi Visit Malaysia Year yang diselipkan kebudayaan nasional Indonesia. Klaim terbaru soal tari pendet seperti mempertegas posisi Malaysia versus Indonesia. Kondisi ini pun menjadikan polemik di internal, ada yang menyikapinya konfrontatif ada pula yang melalui jalur damai. Menyikapi klaim Tari Pendet oleh Malaysia, para seniman Bali menggelar aksi protes diikuti oleh berbagai kalangan baik akademisi maupun para politisi. Menurut seniman tari Wayan Dibia, tari Pendet pada awalnya merupakan

tarian sakral ritual keagamaan. Sudah ratusan tahun masyarakat Bali memainkan Tari Pendet, tegasnya di Denpasar, Bali, Sabtu (22/8). Persoalan klaim kebudayaan Indonesia oleh Malaysia ada baiknya telunjuk Indonesia tak hanya menuding pihak Malaysia semata. Tak salah jika melakukan introspeksi atas ketahanan dan kepedulian bangsa ini terhadap warisan nenek moyangnya. Pasalnya, bagaimanapun, negara harus responsif atas kasus seperti ini. PENGGUNAAN PAKAIAN ADAT BALI SAAT PURNAMA DAN TILEM DI SEKOLAH-SEKOLAH Dewasa ini, sekilah-sekolah di bali sedang gencarnya melestarikan kebudayaan pakaian adat bali. Hal ini terlihat dengan pemakaian pakaian adat bali disekolah saat purnama dan tilem yang dibarengi dengan persembahyangan bersama di padmasana sekolah masing-masing. Hal ini tentulah sangat baik untuk mempertahankan kebudayaan bali yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Tanggung jawab pelestarian kebudayaan kita berada dipundak para remaja. Oleh karena itu, dari sejak dini para generasi kita harus disaddarkan akan pentingnya kebudayaan-kebudayaan warisan nenek moyang kita/

Anda mungkin juga menyukai