Anda di halaman 1dari 7

IDENTIFIKASI TATA BANGUNAN PADA RUMAH TINGGAL ETNIK BALI DI

KABUPATEN TABANAN
I wayan agus bayu krisna putra(202062121038)1 I Putu Gita Mahendra(202062121034)
Fakultas Teknik dan Perencanaan, Universitas Warmadewa1

Abstrak
Permukiman Tradisional Bali merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat yang
berpola tradisional yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: unsur kahyangan tiga (pura desa), unsur krama
desa (warga), dan karang desa (wilayah) dengan latar belakang norma-norma dan nilai-nilai
tradisional yang melandasinya. Perumahan Permukiman Tradisional Bali tersebut pada prnsipnya
dilandasi oleh konsepskonsepsi sepert: hubungan yang harmonis antara Bhuana Agung dengan
Bhuana Alit, Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana, Tri Angga, Hulu-Teben sampai kepada
melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang memberi arahan tata ruang, baik dalam skala rumah
(umah) maupun perumahan (desa). Dalam kajian ini, konsepkonsep tersebut dirumuskan ke dalam
4 atribut atau aspek dalam perumahan permukiman tradisional Bali, yaitu: aspek sosial, simbolis,
morfologis dan fungsional.
Tata ruang di Bali memiliki konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai
kehidupannya, antara lain: 1) Konsep Tri Hita Karana, dalam konsep tri hita karana terdapat tiga
unsur penghubung antara alam dan manusia untuk membentuk kesempurnaan hidup, yaitu jiwa,
raga, dan tenaga. Tiga sumber kebahagiaan tersebut akan tercipta dengan memperhatikan
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Pencipta, manusia dengan manusia, serta manusia
dengan alam; 2) Konsep hirarki ruang, Tri Angga, merupakan salah satu bagian dari Konsep Tri
Hita Karana, yaitu tentang konsep pembagian sistem zona dalam perencanaan arsitektur tradisional
Bali yang terdiri dari utama, madya dan nista; 3) Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau
Sanga Mandala, konsep keseimbangan yang tersusun dari tiga sumbu yaitu: Sumbu kosmos Tri
Loka: Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir); Sumbu ritual kangin-kauh (terbit
dan terbenamnya matahari) dan Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut); 4) Konsep Rwe
Bhineda (hulu - teben, purusa - pradana), hulu - teben merupakan dua kutub berkawan dimana
hulu bernilai utama dan teben bernilai nista/kotor, sedangkan purusa (jantan) - pradana (betina)
merupakan embrio dari suatu kehidupan; 5) Konsep keharmonisan dengan lingkungan, konsep
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya.
Kata Kunci : Tata ruang, Elemen Ekistik, Permukiman Tradisional bali
1. PENDAHULUAN
Permukiman merupakan bentuk tatanan kehidupan yang didalamnya mengandung unsur fisik
dalam arti merupakan wadah untuk melakukan aktivitas tempat bertemunya komunitas untuk
berinteraksi sosial dengan masyarakat (Niracanti, 2001). Indonesia merupakan negara dengan
keanekaragaman budaya yang membentuk suatu permukiman di berbagai daerah. Dalam
perkembangannya, permukiman tradisional suatu suku dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat-
istiadat setempat, seperti bentuk pola permukiman, orientasi permukiman, serta bentuk bangunan
dari rumah penduduk. Masuknya kebudayaan baru ke suatu kebudayaan yang bermukim di suatu
daerah juga memberikan warna tersendiri terhadap budaya Indonesia. Hal ini mendorong untuk
terjadinya akulturasi budaya yang menjadikan perpaduan yang harmonis dan sejalan tanpa
menghilangkan budaya dan identitas aslinya. Bali memiliki tatanan dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk dalam hal permukiman. Tidak hanya bentuk bangunannnya saja yang khas,
tetapi demikian pula halnya dengan pola desanya. Untuk permukiman desa adat pembagian
semacam ini mengklasifikasikan ruang desa dalam konsep tri angga dengan pembagian ruang
menjadi (1) ruang utama atau ‘suci’ berupa tempat-tempat sakral (parahyangan), (2)ruang madya
atau ‘netral’ berupa kawasan permukiman (pawongan), dan (3) ruang nista atau ‘profane’ berupa
kuburan (palemahan). Konsep nawasanga secara keruangan ditransformasikan menjadi sanga
mandala merupakan bentuk pengorganisasian ruang lebih detail.

2. METODE
Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif kualitatif yang menekankan pada observasi
empiris. Peneliti menggunakan teknik observasi dan wawancara mendalam sebagai alat dalam studi
empiris sensual, emic, etis, dan logis pada kasus yang telah dipilih melalui purposive sampling.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan temuan dan kesimpulan yang rasional dan logis dengan
menekankan konsep tata bangunan hunian etnis Bali di Tabanan dengan menggunakan metode
normatif dan universal, data empiris, dan berdialog dengan konsepsi yang diterima.
Informasi praktis yang dikumpulkan untuk penelitian ini melalui observasi, survei, dan wawancara
adalah sebagai berikut:
a) Pengamatan untuk melihat perubahan tata bangunan pada bangunan tempat tinggal.
Pengetahuan ini menjadi landasan untuk memahami kecenderungan tatanan bangunan
pada hunian etnik Bali.
b) Tinjauan literatur tentang budaya Hindu Bali, termasuk arsitektur tradisional Bali dan
konsepsi budaya dan kepercayaan. Ide-ide ini lebih membantu dalam memahami dari pada
menyediakan mekanisme untuk mengevaluasi masalah pengurungan dalam desain hunian.
c) Survey untuk melihat respon terhadap situasi yang telah berkembang dan disetujui,
khususnya hunian etnis Bali.
d) Wawancara dengan pemilik rumah, baik terstruktur maupun tidak terstruktur, untuk
mengetahui asal-usul dan sejarah modifikasi desain rumah etnik Bali.

Hasil analisis perubahan spasial kemudian disintesis untuk memberikan kesimpulan interpretatif yang
mengkristal dari efek analisis. Pendekatan sintesis melibatkan terlibat dalam percakapan dengan temuan
dan teori atau konsep karakter universal ini untuk menyelaraskan kesimpulan dari pengetahuan umum
tentang konteks. Meski tidak meyakinkan dalam menentukan kebenarannya, temuan ini membantu
memperluas pemahaman penelitian ini tentang keputusan komunitas etnis Bali untuk mengubah desain
tempat tinggal mereka.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Denah Rumah Adat Bali Berdasarkan Pemahaman Warga


Desain rumah etnik Bali di kawasan Bali selatan ini mengikuti prinsip dari sanga mandala.
Gagasan asanga mandalaadalah skema zonasi yang membagi pekarangan menjadi sembilan zona
berdasarkan sumbu alami .Setiap zona memiliki hierarki spasial, dengan zona paling signifikan
(terutama Utamatama) di bagian atas dan zona paling tidak signifikan
(nistaning nista) di dasar. Setiap daerah memiliki wilayah yang ditempati massa bangunan,
termasuk tempat-tempat suci,Bale Daja, Bale Dangin, Bale Dauh, Bale Delod, Dapur, dan
Gudang (Dwijendra, 2008; I.K.M. Wijaya, 2021). Ilustrasi di bawah ini menunjukkan
penataan tempat tinggal etnis Bali masih terlihat jelas, berbeda dengan kelompok vernakular atau
tradisional yang mendiami daerah pedesaan dengan lahan yang luas dan minim fungsi. Desa
Pengotan, Desa Penglipuran, dan Desa Tenganan Pegringsingan
Peraturan daerah di setiap lingkungan Bali biasanya mengatur penataan ruang bangunan tempat
tinggal berdasarkan pemahaman hirarki orientasi antara orientasiutamanilai (tinggi atau suci) dan orang-
orang dari mereka tidak nilai (rendah atau profan). Namun tuntutan akan ruang, pola pikir zaman, dan
masyarakat yang cenderung mengarah pada aspek pembaharuan dan kepraktisan dalam penataan ruang
melahirkan sikap yang dinamis. Pemukiman etnik Bali di Tabanan yang memiliki dinamika pertambahan
penduduk dan ketersediaan lahan yang semakin terbatas dapat ditemukan mencerminkan perubahan
tersebut. Hal ini menjadi pembenaran bagi suku Bali di tabanan untuk merancang tata ruang hunian yang
sesuai dengan kebutuhannya. Tata ruangdaerah dataran tinggi yang pola pemukimannya masih terlihat
mengikuti orientasi dan sistem zonasi. Jalan berfungsi sebagai sumbu utama untuk tata letak linier tiga
komunitas

Perubahan desain ruang permukiman diakibatkan oleh pertumbuhan kota Tabanan dengan
percepatan pertambahan penduduk dan penyusutan pasokan lahan. Untuk mengakomodir kebutuhan akan
fungsi tambahan, modifikasi spasial ini menggabungkan massa dan ruang bangunan. Suku Bali di tabanan
menyadari pentingnya hirarki tata ruang dalam perencanaannya dan tanggap terhadap perubahan tata ruang.
Menurut pemahaman hierarki spasial yang relevan, zona yang mengalami modifikasi (penambahan ruang)
biasanya memiliki zona dan arah yang bernilai rendah (profane). Meskipun zona atau tuntutan memiliki
kepentingan yang cukup besar, mereka tetap dipertahankan untuk menggunakan bangunan atau struktur
sakral untuk adat daerah. yang cenderung mengalami dinamika perubahan, yaitu zona bobot rendah, dalam
penataan ruang hunian etnik Bali dengansanga mandalaide. Karakteristik ekonomi, perilaku, dan
lingkungan masyarakat metropolitan seringkali berdampak pada dinamika perubahan tersebut

lingkungan perkotaan mempengaruhi penataan rumah hunian mengingat kompleksitas fungsinya


sebagai akibat dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Kesadaran akan nilai-nilai hirarki ruang yang
secara umum mengatur tata ruang rumah etnik Bali, terus mempengaruhi perubahan tata ruang hunian
masyarakat etnik Bali di Tabanan. Kelompok etnis Bali di tabanan terus menghargai praktik ritual; oleh
karena itu, meskipun ada perubahan signifikan, tempat-tempat yang terkait dengan praktik upacara
tampaknya masih ada. Di tabanan, penduduk etnis Bali sering pindah ke daerah yang bernilai rendah
dibandingkan dengan daerah yang ada dianggap bernilai tinggi

beberapa kasus di empat kecamatan di wilayah tabanan menggambarkan dinamika perubahan spasial
pada hunian etnis Bali.
Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan bangunan terjadi pada massa bangunan Bale
Delod,Bale Dauh, dan dapur. Bangunan-bangunan ini berada di zona bernilai rendah .Gambar di atas
menunjukkan bagaimana konfigurasi ruang hunian etnis Bali yang seringkali cenderung berada pada zona-
zona bernilai rendah (kelod Dan kauh), telah berubah dari waktu ke waktu. Perubahan dapat berupa
penambahan fungsional dan kombinasi ruang yang merubah bentuk bangunan dan menyimpang dari
desain khas bangunan etnik Bali Perkembangan fasilitas hunian dan gaya hidup masyarakat perkotaan,
yang berdampak pada penciptaan ruang rumah baru, bertanggung jawab atas perubahan tata ruang
tersebut
4. Tipologi Modifikasi Etnis BaliPerumahanTata Ruang Rumah di Tabanan

Salah satu bentuk adaptasi yang mempertimbangkan gagasan arsitektur tradisional Bali dalam
dinamika perubahannya adalah pengetahuan literasi konsep spasial hunian etnik Bali di Tabanan dalam
menghadapi transformasi spasial. Dengan pembangunan struktur baru dan perluasan horizontal dan
vertikal yang sudah ada,

A. Tipologi Horisontal

Perubahan tata ruang dengan luas lahan mengakibatkan tipologi horizontal. Untuk perumahan yang
masih memiliki lahan yang luas, diperlukan ketersediaan ruang hunian baru sebelum menambah
ruang atau bangunan dengan cara memperluas (menghubungkan) bangunan lama atau membangun
bangunan baru di lahan yang tersedia.

B. Tipologi Vertikal

Perubahan arah yang tiba-tiba terjadi di lingkungan perumahan dengan area kecil yang berlantai satu.
truktur telah diubah menjadi sistem dua atau tiga lantai. Pengembangan terdiri dari memperluas bagian
atas formulir. Ini merupakan modifikasi tata ruang sebagai jawaban atas perubahan rumah-rumah
penduduk Bali di kawasan Denpasar. Rancangan fisik rumah etnik Bali terus mempengaruhi persepsi
masyarakat terhadap ruang kegiatan upacara keagamaan dan adat istiadat. Dalam dinamika perubahan,
sangat penting untuk menjaga keberadaan situs-situs keramat

Anda mungkin juga menyukai