Anda di halaman 1dari 10

Peran Kearifan Lokal Budaya Bali Dalam Pembentukan Budaya Bermukim

Tiara Faradina Prasti

Program Studi Magister Arsitektur Lingkungan Binaan, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik,
Universitas Brawijaya
tiarafaradinap@student.ub.ac.id

ABSTRAK

Penataan permukiman dalam mendirikan bangunan maupun merancang pola tata ruang di Bali didasarkan pada
konsep dan desain yang berbasis pada nilai-nilai budaya yang telah menjadi warisan turun-temurun. Nilai-nilai
sosial yang ditanamkan oleh para leluhur seperti nilai kekerabatan, kebersamaan, dan saling mendukung perlu
dilestarikan, sehingga nilai tersebutlah yang akan mempengaruhi pola tata ruang dan tercemin dalam ruang
terbuka non hijau (kisa loka) serta ruang permukiman (sa’o). Permukiman yang didasarkan pada kearifan lokal
memiliki pola/tatanan permukiman yang berbeda-beda dan memiliki nilai adat serta tingkat kesakralan yang
berbeda dari suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Perumahan dalam arsitektur tradisional Bali
tidak terlepas dari pemikiran Agama Hindu yang disalurkan melalui konsep Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri
Mandala, dan Sanga Mandala. Makalah ini menggunakan metode review article dari studi literatur untuk setiap
konsep kearifan lokal yang berhubungan dengan penataan ruang hunian dan permukiman. Hasil dari makalah ini
adalah adanya pengaruh antara rasa spiritualitas dari masyarakat Bali terhadap aktivitas dan kehidupan sehari-
hari, sehingga hal tersebut mendorong penataan ruang hunian maupun permukiman yang membutuhkan
penyesuaian dengan aktivitas masyarakat.

Kata Kunci: Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri Mandala, Sanga Mandala, Budaya Bermukim.

ABSTRACT

The arrangement of settlements in erecting buildings and designing spatial patterns in Bali is based on concepts
and designs based on cultural values that have been a legacy for generations. The social values instilled by the
ancestors such as the value of kinship, togetherness, and mutual support need to be preserved, so that the value
will affect spatial patterns and reflected in non-green open spaces (kisa loka) and settlement spaces (sa'o).
Settlements based on local wisdom have different patterns / settlement orders and have customary values and
levels of sacredness that are different from a traditional residential or residential environment. Housing in
traditional Balinese architecture is inseparable from Hinduism which is channeled through the concepts of Tri
Hita Karana, Tri Angga, Tri Mandala, and Sanga Mandala. This paper uses the review article method from a
literature study for each concept of local wisdom related to the arrangement of residential spaces and
settlements. The result of this paper is that it was found that the strong sense of spirituality of the Balinese people
affects daily activities and lives, so that it encourages the spatial arrangement of residential and residential areas
that require adjustment to community activities.

Keywords: Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri Mandala, Sanga Mandala, living culture.

PENDAHULUAN perumahan akan mengacu pada suatu


kerangka penataan ruang agar pembangunan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1992
dapat berlangsung tertib dan terorganisasi
tentang Perumahan dan Permukiman
dengan baik.
menyebutkan bahwa permukiman yang layak
Menurut Burhan (2008), pola tata ruang
merupakan kebutuhan dasar manusia dan
permukiman tradisional dipengaruhi oleh guna
menjadi faktor penting dalam meningkatkan
lahan yang terdiri dari elemen pembentuk dari
harkat, martabat, dan kesejahteraan. Rumah
suatu kawasan pedesaan, ruang budaya yang
dan permukiman mencerminkan jati diri
didasarkan pada aktivitas harian dan ritual,
manusia perorangan maupun kelompok dalam
serta pola tata ruang tempat tinggal yang
masyarakat. Pembangunan permukiman dan

1
berupa rumah beserta pekarangan, struktur temurun berada dalam ikatan Kahyangan Tiga
tata ruang tempat tinggal, dan pola tata yang memiliki wilayah tertentu, dan memiliki
bangunan. Nilai-nilai sosial yang ditanamkan harta kekayaan tersendiri, serta berhak untuk
oleh para leluhur seperti nilai kekerabatan, mengurus rumah tangganya sendiri. Konsep-
kebersamaan, dan saling mendukung perlu konsep kearifan lokal yang menjadi dasar
dilestarikan, sehingga nilal tersebutlah yang penataan hunian dan permukiman di Bali
akan mempengaruhi pola tata ruang dan antara lain Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri
tercemin dalam ruang terbuka non hijau (kisa Mandala, dan Sangga Mandala.
loka) serta ruang permukiman (sa’o)
(Tandafatu, 2015). TINJAUAN TEORI
Permukiman yang didasarkan pada Konsep Tri Hita Karana
kearifan lokal memiliki pola/tatanan Menurut Kaler (1983), konsep Tri Hita
permukiman yang berbeda-beda dan memiliki Karana mengatur keseimbangan antara
nilai adat serta tingkat kesakralan yang manusia sebagai bhuana alit dengan alam
berbeda dari suatu lingkungan hunian atau semester atau bhuana agung. Konsep ini
perumahan tradisional (Regga, 2015). dalam kehidupan sehari-hari diwujudkan
Penataan permukiman masyarakat Bali dalam ketiga unsur tunggal yang tercermin
dalam mendirikan bangunan maupun pada wadah interaksinya, yaitu pola rumah dan
merancang pola tata ruang didasarkan pada desa yang memenuhi ketiga unsur tersebut.
konsep dan desain yang berbasis pada nilai- Konsep keseimbangan antara alam dewa, alam
nilai budaya yang telah menjadi warisan turun- manusia, dan alam butha didasarkan pada
temurun dari zaman dahulu hingga kini. filosofi Tri Hita Karana dengan menciptakan
Sehingga, arsitektur tradisional Bali tidak hubungan harmonis dan seimbang antara
terlepas dari aturan-aturan perancangan manusia dengan Tuhan, antara manusia
bangunan hingga kawasan serta keberadaan dengan manusia lainnya, serta antara manusia
manuskrip Hindu (Pradnyasari dan Antariksa, dengan lingkungannya. Dalam arti lain, sikap
2017). berbakti manusia kepada Tuhan diwujudkan
Perumahan dalam arsitektur tradisional melalui perilaku baik manusia dengan
Bali tidak terlepas dari pemikiran Agama Hindu sesamanya dan menghormati seluruh ciptaan
dimana manusia dan alam menurut falsafah Tuhan dengan menjaga lingkungan (Susanta
Hindu diyakini terbentuk oleh lima unsur, yaitu dan Wiryawan, 2016).
apah (zat cair), teja (sinar), pertiwi (zat padat), Secara harfiah Tri memiliki arti yaitu tiga;
bayu (angin), dan akasa (ether) atau yang Hita memiliki arti baik, kemakmuran, gembira,
disebut sebagai “Panca Maha Bhuta”. senang, dan lestari; dan Karana memiliki arti
Arsitektur tradisional Bali digambarkan dengan sebab atau sumber dari sebab yang
satu kompleks rumah yang terdiri dari menjadikan kehidupan, yaitu Atma (jiwa/roh),
beberapa bangunan dan dikelilingi oleh Prana (tenaga), dan Angga (jasad/fisik)
tembok penyengker. Perumahan merupakan (Majelis Lembaga Adat dalam Dwijendra,
kumpulan dari beberapa rumah dalam satu 2003). Konsep Tri Hita Karana melandasi
kesatuan wilayah yang disebut banjar adat perwujudan susunan kosmos dari yang paling
atau desa adat dengan kesatuan keagamaan mikro (manusia/bhuana alit) sampai yang
berupa pura kayangan tiga, yaitu pura desa, paling makro (alam semesta/bhuana agung).
pura puseh, dan pura dalem (Wastika, 2005). Susunan kosmos untuk konsep Tri Hita Karana
Desa adat merupakan kesatuan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 1.
hukum adat di daerah Bali yang secara turun
Tabel 1. Tri Hita Karana dalam Susunan Kosmos
Susunan Jiwa/Atma Tenaga/Prana Fisik/Angga
Paramatman (Tuhan Yang Tenaga (yang menggerkaan Unsur-unsur panca maha
Alam Semesta
Maha Esa) alam) bhuta
Desa Kahyangan Tiga (Pura Desa) Pawongan (Warga Desa) Palemahan (wilayah desa)
Banjar Parhyangan (Pura Banjar) Pawongan (Warga Banjar) Palemahan (wilayah banjar)
Rumah Sanggah (Pamerajan) Penghuni Rumah Pekarangan rumah
Manusia Atma (Jiwa Manusia) Prana (tenaga sabda bayu idep) Angga (badan manusia)

2
Sumber: Sulistyawati, dkk (1985); Meganda (1990)
Hasil dari hubungan yang harmonis Penerapan Tri Hita Karana dalam
antara wadah dan jiwa akan menimbulkan perumahan di Bali terbagi menjadi tiga bagian,
tenaga. Gabungan dari unsur jasmani, jiwa, dan pertama adalah hubungan manusia dengan
tenaga merupakan sumber kehidupan yang Tuhan. Dalam upaya mengharmoniskan atma
baik dan sempurna disebut “Tri Hita Karana” (jiwa/manusia) dengan paratma atma (Tuhan
atau tiga sumber kebaikan. Jasmani dan jiwa Yang Maha Esa), perlu dibangun fasilitas untuk
yang digerakkan oleh tenaga memiliki bersembahyang pada setiap rumah dan
hubungan dengan desa adat, yaitu (Wastika, perumahan yang memadai dengan
2005): mempertimbangkakn lahan yang tersedia.
1. Kayangan tiga. Jiwa pada karang desa Kedua, hubungan manusia dengan manusia
yang tidak dipisahkan dari seluruh lainnya yang akan membentuk kehidupan
kehidupan desa. bermasayarakat seperti kelompok budaya dan
2. Krama desa. Warga desa atau aparatur keagamaan, kelompok pekerjaan atau
desa yang menjadi penggerak atau ekonomi, dan kelompok politik (Sajogyo dalam
tenaga yang menghidupi desa. Wastika, 2005).
3. Karang desa. Territorial bagi Krama desa Ketiga, hubungan manusia dengan
untuk melakukan aktivitas untuk lingkungan sekitar yang penerapannya dalam
menjaga hubungan yang harmonis pembentukan hunian tradisional umumnya
antara ketiga unsur di atas. terbagi menjadi tiga, yaitu bagian luan (atas)
Hubungan harmonis tersebut juga dapat yang digunakan sebagai tempat
diidentikkan dengan hubungan manusia bersembahyang, bagian tengah untuk tempat
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan tinggal dan melakukan aktivitas manusiawi,
manusia lainnya, dan hubungan manusia dan bagian teben (rendah) untuk menyimpan
dengan lingkungannya. Selain berlaku pada bahan yang tidak berguna lagi, serta tempat
desa adat, pengertian Tri Hita Karana juga untuk memelihara hewan. Penerapan dari
berlaku pada rumah tradisional yang konsep Tri Hita Karana ini memberikan inspirasi
umummnya terdiri dari sanggah, natah, dan dan membantu dalam perencanaan rumah dan
lebuh. Berikut merupakan penjabaran dari perumahan yang ada di Bali.
pengertian Tri Hita Karana dalam unit rumah.
1. Area sanggah atau merajan merupakan Konsep Tri Angga
areal sembahyang untuk melakukan Dari konsep Tri Hita Karana,
pemujaan kepada Sang Yang Widhi, terbentuklah konsep turunan berupa Tri
serta leluhur dari setiap keluarga. Angga. Tri memiliki arti tiga, dan Angga
2. Area natah atau ruang tengah memiliki arti badan yang lebih menekankan
merupakan area untuk mendirikan pada tiga nilai fisik, yaitu Utama Angga, Madya
rumah, untuk tidur, melakukan upcara Angga, dan Nista Angga. Konsep dari Tri Angga
adat, serta melakukan kegiatan sosial dalam susunan kosmos meliputi yang paling
lainnya. makro (alam semesta/bhuana agung) sampai
3. Area lebuh merupakan tempat untuk yang paling mikro (manusia/bhuana alit).
meletakkan bahan-bahan yang sudah Susunan kosmos dalam konsep Tri Angga dapat
tidak terpakai, lahan pertanian dan dilihat pada Tabel 2.
peternakan.

Tabel 2. Tri Angga dalam Susunan Kosmos


Susunan Utama Angga Sakral Madya Angga Netral Nista Angga Kotor
Alam Semesta Swah Loka Bwah Loka Bhur Loka
Wilayah Gunung Dataran Laut
Perumahan/Desa Kahyangan Tiga Permukiman Setra/Kuburan
Rumah Tinggal Sanggah/Pamerajan Tegak Umah Tebe
Bangunan Atap Kolom/Dinding Lantai/Bataran
Manusia Kepala Badan Kaki
Masa/Waktu Masa depan (Watamana) Masa kini (Nagata) Masa lalu (atita)
Sumber: Sulistyawati, dkk (1985); Andhika (1994)

3
Konsep Tri Angga memberikan penataan pemakaman/kuburan.
nilai secara vertikal. Selain itu, terdapat Kemudian, konsep Tri Mandala dalam
penataan nilai Hulu-Teben yang merupakan lingkup wilayah kompleks pura juga terbagi
pedoman untuk menyelaraskan bhuana agung menjadi tiga wilayah secara horizontal. Pada
dan bhuana alit dengan orientasi sebagai area terluar atau area kulit disebut sebagai
berikut: jaba sisi atau nista mandala. Lalu terdapat area
1. Berdasarkan sumbu bumi, yaitu arah peralihan yaitu jaba tengah atau madya
kaja-kelod atau gunung dan laut. mandala yang bernilai semi profan atau berisi
2. Berdasarkan arah tinggi-rendah atau bangunan-bangunan yang bernilai cukup sakral
tegeh-lebah. atau kurang sakral. Kemudian, bagian terdalam
3. Berdasarkan sumbuh matahari, yaitu dari kompleks pura disebut sebagai jeroan atau
timur-barat (terbit dan terbenam). area utama mandala yang berisi bangunan-
bangunan dengan tingkat kesakralan yang
Konsep Tri Mandala tinggi.
Tri Mandala merupakan konsep
pembagian yang terbagi menjadi tiga nilai Konsep Sanga Mandala
wilayah ruang yang dipengaruhi oleh arah Pada konsep penataan ruang, konsep
orientasi secara horizontal. Konsep Tri Mandala Sanga Mandala mempertimbangkan tata letak
menurut Aninday (1991) terbagi menjadi zona bangunan dan zona kegiatan, contohnya pada
Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista kegiatan utama yang memerlukan keternagan,
Mandala. Pada dasarnya, konsep Tri Mandala maka diletakkan pada area utamaning utama
merupakan sistem pembagian area dalam (kaja-kangin), lalu pada kegiatan yang
upaya untuk menciptakan hubungan manusia dianggap paling kotor atau sibuk diletakkan
yang harmonis dengan Tuhan, hubungan pada area nistaning nista (kalod-kauh), dan
dengan manusia lainnya, dan hubungan untuk kegiatan diantaranya diletakkan pada
dengan lingkungannya. Utama Mandala dalam bagian tengah (Sulistyawati. Dkk, 1985).
lingkup permukiman merupakan tempat yang Gambaran dari penerapan konsep Sanga
dianggap suci/sakral, kemudian Madya Mandala dalam penataan rumah dan tata
Mandala merupakan tempat permukiman, dan ruang tradisional Bali dapat dilihat pada
Nista Mandala merupakan tempat Gambar 1. dan Gambar 2.

Gambar 1. Konsep Sanga Mandala dalam Zonasi Kegiatan di Rumah


Sumber: Eko Budiharjo dalam Dwijendra (2003)

4
Gambar 2. Konsep Sanga Mandala dalam Tata Ruang Tradisional Bali
Sumber: Eko Budiharjo dalam Dwijendra (2003)

METODOLOGI satu pura yang wajib dimiliki oleh Desa


Penelitian ini menggunakan metode Pakraman, yang terdiri dari Pura Desa
review article dan studi komparasi antar sebagai kekuasaan Tuhan dalam
konsep kearifan lokal dalam lingkup mencipta dan diberi gelar Brahma, Pura
permukiman. Review article menggunakan Puseh sebagai lambang kekuasaan
studi-studi terdahulu dengan menjabarkan Tuhan dalam memelihara dengan diberi
penerapan atau implementasi dari setiap gelar Wisnu, dan Pura Dalem yang
konsep kearifan lokal yang berhubungan melambangkan kekuasaan Tuhan
dengan penataan ruang hunian dan sebagai pelebur yang diberi gelar Siwa.
permukiman. Konsep-konsep kearifan lokal Ketiga lambang kekuasaan Tuhan itu
yang akan dibahas pada makalah ini adalah disebut sebagai Tri Murti. Fungsi dari
konsep Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri Mandala, pura adalah sebagai penyatu umat
dan Sangga Mandala. Makalah ini akan melalui kegiatan ngayah atau
berfokus pada bentuk hunian dan permukiman berkumpulnya masyarakat dalam
yang menyesuaikan dengan kegiatan dan mengerjakan sesuatu agar hubungan
budaya masyarakat Bali. masyarakat dalam lingkup Desa
Pakraman menjadi lebih tercipta
PEMBAHASAN STUDI KASUS keharmonisan dan kekeluargaan,
Implementasi Konsep Tri Hita Karana di Kota dimana hal tersebut merupakan bagian
Singaraja dari elemen sosial. Lalu, parhyangan
Konsep Tri Hita Karana dalam elemen artefak dilakukan dengan
diimplementasikan secara nyata di Desa pembiayaan upacara-upacara yang
Pakraman, sebuah penelitian yang dilakukan dilaksanakan di pura melalui
oleh Suarmini (2011) tentang Peranan “Desa pembiayaan dari hasil swadaya
Pakraman” dalam Memperkuat Ketahanan masyarakat.
Sosial Budaya melalui Konsep Ajaran “Tri Hita 2. Pawongan (hubungan antara manusia
Karana”. Elemen-elemen yang ada di Desa dengan sesama manusia)
Pakraman terbagi menjadi elemen pola Pawongan merupakan media yang dapat
pikir/nilai, elemen sosial, dan elemen artefak. membangun keharmonisan dengan
Ketiga elemen tersebut diterapkan sesuai sesama manusia. Dari elemen pola
konsep Tri Hita Karana untuk membangun pikir/nilai, masyarakat di Desa Pakraman
suasana harmonis dan kebersamaan di Desa memiliki pandangan terhadap Pura
Pakraman. Berikut merupakan implementasi sebagai tempat yang sangat disucikan.
dari konsep Tri Hita Karana dengan elemen- Hal tersebut mendorong masyarakat
elemen di Desa Pakraman. secara tidak sadar untuk mengayomi
1. Parhyangan (hubungan antara manusia Pura agar kesuciannya tetap terjaga,
dengan Tuhan) contohnya tidak sembarang orang yang
Parhyangan dalam elemen pola bisa memasuki Pura. Jika dikaitkan
pikir/nilai dapat digambarkan melalui dengan elemen sosial, pawongan
keberadaan pura di Desa Pakraman. diwujudkan melalui kehidupan pasuka-
Pura Kahyangan Tiga merupakan salah dukaan dengan tujuan memelihara

5
kerukunan, keharmonisan, dan berkaitan dengan batas-batas desa, aset
kebersamaan masyarakat. Sedangkan desa, hutan desa, dan lain sebagainya
pawongan dalam elemen artefak, yang memiliki kaitan dengan lingkungan
umumnya masyarakat melakukan alam. Secara sosial, palemahan yang ada
apapun demi kepentingan Pura melalui di Desa Pakraman dapat dimanfaatkan
hasil musyawarah desa dengan misi secara maksimal untuk kepentingan
menciptakan kebersamaan dan masyarakat dan kesejahteraan
keharmonisan. masyarakat. Kemudian, palemahan
3. Palemahan (hubungan antara manusia secara elemen artefak atau kebendaan
dengan alam lingkungan) dilakukan dengan manajemen
Palmahan merupakan media yang palemahan desa yang dilakukan untuk
digunakan untuk membangun hubungan menghindari terjadinya konflik.
antara manusia dengan alam. Pada Bentuk dari denah atau penataan rumah
elemen pola pikir/nilai, palemahan oleh adat berdasarkan konsep Tri Hita Karana dapat
masyarakat Desa Pakraman diwujudkan dilihat pada Gambar 3.
dengan menjaga kelestarian dan
eksistensi alamnya. Palemahan desa

Gambar 3. Denah Rumah Adat dengan Konsep Tri Hita Karana

Pada Gambar 3. Dapat dilihat denah rumah 7. Sanggar Pemujaan (Pura/Pamerajan)


adat dengan konsep Tri Hita Karana, berikut yang berfungsi sebagai tempat untuk
merupakan keterangan denah setiap nomor: melakukan sembahyang atau pemujaan
1. Pintu Masuk (kori) yang berfunsgi terhadap Hyang Widhi dan leluhur.
sebagai jalan untuk keluar dan masuk. 8. Pura Penunggu Karang, sebagai tempat
2. Bale Adar (sakanan) yang berfungsi untuk memuja Tuhan sebagai pengaman
sebagai tempat melaksanakan upacara secara spiritual.
agama. 9. Kamar mandi sebagai tempat mandi.
3. Bale Dadya (meten) yang berfungsi 10. Teba, yang berfungsi sebagai tempat
sebagai tempat untuk menerima tamu, beraktivitas mulai dari menanam pohon,
serta tempat untuk tidur. beternak, dsb.
4. Bale Dauh (tempat tidur) yang juga Sebagai konsep keselarasan hidup bagi
berfungsi sebagai tempat untuk tidur. masyarakat Desa Pakraman, konsep Tri Hita
5. Dapur (pawon) yang befungsi sebagai Karana memiliki spirit yang kuat untuk
tempat untuk memasak dan mendorong perwujudan masyarakat yang
menyiapkan makanan. tangguh. Dalam implementasi konsep Tri Hita
6. Jineng (lumbung) yang berfungsi sebagai Karana sangat ditekankan untuk
tempat untuk meyimpan padi atau mengaplikasikan konsepnya secara utuh dan
kekayaan. terpadu, sehingga aspek parhyangan,

6
pawongan, dan palemahan tidak ada yang Blambangan, diketahui bahwa konsep Tri
menduduki posisi istimewa. Angga dapat dilihat perbedaannya antara
penyegker, candi bentar, dan candi Kori Agung.
Pura Langgar yang memiliki fungsi
Implementasi Konsep Tri Angga di Pura sebagai pelinggih yang berada di zona utama
Penataran Agung Dalem Jawa Blambangan mandala sudah sesuai dengan konsep Tri
Konsep dari Tri Angga pada kompleks Angga, sehingga konsep Tri Angga tidak
Pura Agung Dalem Jawa Blambangan dapat berubah dari yang sebelumnya pada Pura
dilihat secara kasat mata dan dapat terlihat Penataran Agung Dalem Jawa Blambangan.
jelas perbedaannya. Dari penelitian Achmad Gambar 4. menggambarkan penerapan Konsep
dan Antariksa (2019) tentang Konsep Tri Hita Tri Angga di Pura Penataran Agung Dalem Jawa
Karana dan Tri Angga pada Pola Ruang Luar Blambangan.
Pura Penataran Agung Dalem jawa

Gambar 4. Konsep Tri Angga pada Pura Penataran Agung Dalem Jawa Blambangan

Implementasi Konsep Tri Mandala kompleks Purayang disebut sebagai jeroan


Konsep Tri Mandala merupakan konsep atau utama mandala merupakan area yang
arsitektur tradisional Bali yang salah satunya dinilai paling sakral dengan berbagai jenis
diterapkan pada penataan area pura Hindu di massa bangunan.
Bali. Penelitian Suryada (2012) terkait Konsepsi Tingkat kesakralan dari ketiga area
Tri Mandala dan Sanga Mandala dalam Tatanan tersebut dipertegas dengan adanya tembok
Arsitektur Tradisional Bali membahas terkait pembatas atau penyengker yang memisahkan
penerapan konsep Tri Mandala dalam ketiga area di komplek Pura tersebut (Suendi,
kompleks Pura. Pada dasarnya, konsep Tri 2005). Penyengker yang dibangun di area
Mandala membagi wilayah komplek Pura terluar biasanya berupa bangunan candi
menjadi 3 area, yaitu area jaba sisi atau nista bentar atau split gate. Kemudian, pada area
mandala sebagai area terluar dan bernilai nista mandala dan madya mandala,
paling profan. Kemudian, terdapat area jaba penyengker ditempatkan pada gerbang utama
tengah atau madya mandala yang merupakan berupa candi bentar yang berukuran sedang.
zona inti dari kompleks Pura sebagai area Gambaran dari konsep pembagian area di
peralihan dan memiliki nilai semi profan. Lalu, Kompleks Pura di Bali dapat dilihat pada
pada bagian paling dalam atau inti dari Gambar 5.

7
Gambar 5. Konsep Pembagian Area Kompleks Pura di Bali

Penerapan konsep Tri Mandala pada seperti gunung dan arah matahari terbit. Di sisi
area lahan bertransisi diperkuat dengan lain, posisi nista mandala atau jaba sisi
memanfaatkan karakter lahannya. Contohnya, diarahkan ke arah atau posisi yang tidak
area jaba sisi pada kompleks pura akan berada disakralkan, contohnya ke arah laut atau arah
di area lahan yang paling rendah, jaba tengah matahari terbenam. Gambar 6.
akan diposisikan pada area lahan tengah, dan Menggambarkan orientasi kompleks Pura
jeroan akan diposisikan pada area lahan yang dengan orientasi kaja-kelod atau gunung-laut
paling tinggi karena merupakan area yang dan Gambar 7. Menggambarkan orientasi
paling sakral dan paling utama. Penataan ruang kompleks Pura dengan orientasi kangin-kauh
komplek Pura dengan konsep ini juga akan atau matahari terbit-matahari terbenam.
memberikan efek emosional dan spiritual
kepada para umat, terutama pada area jeroan
yang memberikan suasana lebih khusyuk saat
bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Konsep Tri mandala dengan area Pura seperti
ini dapat dijumpai pada kompleks Pura Kehen
di bangle, Pura Besakih di Karangasem, dan
Pura Uluwatu di Badung.
Umumnya, orientasi penataan dari
konsep Tri Mandala mengacu pada arah
gunung-laut (kaja-kelod) atau arah mata hari
terbit-matahari terbenam (kangin-kauh). Posisi Gambar 6. Kompleks Pura dengan Orientasi
uutama mandala atau jeroan biasanya Kaja-Kelod
diarahkan ke arah yang disakralkan, contohnya

8
rumah yang menghadap tengah dapat
memaksimalkan pencahayaan yang alami.
Konsep Sanga Mandala adalah
pembagian sebuah area menjadi Sembilan
zona berdasarkan nilai kesakralannya. Konsep
Sanga Mandala menggabungkan konsep
kangin-kauh dan kaja-kelod dengan konsep
zona yaitu zona utama mandala, madya
mandala, dan nista mandala. Penggabungan
kedua orientasi tersebut menghasilkan
sembilan zona, dimana kesembilan zona ini
Gambar 7. Kompleks Pura dengan Orientasi memiliki nilai kesakralannya masing-masing.
Kangin-Kauh Hasil dari penggunaan konsep Sanga Mandala
pada pembangunan di Bali, ditemukan dua
Namun, pada beberapa kompleks Pura unsur yang didapat, yaitu unsur pencahayaan
di Bali tidak seluruhnya mengiktui konsep Tri alami dan unsur penghawaan. Orientasi yang
Mandala dengan orientasi kaja-kelod atau digunakan pada pembangunan yang mengacu
kangin-kauh. Tingkat kesakralan sebuah Pura pada matahari terbit-matahari terbenam dapat
dapat mengacu pada elemen yang sakral memberikan pencahayaan alami dan optimal
seperti sumber air suci, sungai, laut, maupun terhadap bangunan. Kemudian, posisi
mengacu pada bangunan Pura lainnya. geografis tersebut juga dapat mempengaruhi
sirkulasi udara pada bangunan.

Implementasi Konsep Sanga Mandala Pada konsep Sangga Mandala terdapat Zona
Sabrina, dkk (2019) dalam penelitiannya ruang kosong di tengah bangunan yang
tentang Pengaruh Penerapan Konsep Sanga membentuk garis diagonal dari Tenggara
Mandala pada Bangunan Arsitektur Bali menuju Barat Laut, atau yang disebut sebagai
terhadap Lingkungan menemukan bahwa zona natah. Natah atau madyaning madya
konsep Sanga Mandala memiliki beberapa memiliki fungsi sebagai ruang tengah atau
pembagian ruang, salah satunya zona tenga ruang kosong dapat memberikan sirkulasi
atau natah yang berfungsi untuk menjadi udara dari Tenggara yang mengarah ke Barat
sirkulasi udara ke seluruh lingkungan pada Laut melalui area natah. Berikut merupakan
rumah hunian, sehingga penataan bangunan gambaran dari konsep Sanga Mandala yang
membagi 9 area.

Gambar 8. Persilangan Sumbu Kaja-Kelod dan Kangin-Kauh yang Membentuk Sanga Mandala

9
PENUTUP Ketahanan Sosial Budaya Melalui
Dari studi literatur yang dijabarkan Konsep Ajaran “Tri Hita Karana”.
sebelumnya, diketahui bahwa kearifan lokal Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 4, No. 1,
budaya Bali masih sangat kental terutama pada Juni
konsep-konsep yang berkaitan dengan Sudikno, A. 2012. Konsep Pola Ruang Makro desa
penataan ruang hunian dan permukiman. Tigawasa. Planning for Urban Region
Diketahui bahwa tata ruang permukiman dan Environment, Vol. 1 No. 1
maupun hunian di Bali sangat menerapkan Suendi, I Nyoman. 2005. Arsitektur Tradisional
konsep Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri mandala, Daerah Bali: Selayang Pandang.
maupun Sangga Mandala. Penerapan konsep Solo: Pustaka Cakra.
kearifan lokal terhadap penataan ruang hunian Sulistyawati, dkk. 1985. Preservasi Lingkungan
Perumahan Pedesaan dan Rumah
dan permukiman ini sangat berhubungan
Tradisional Bali di Desa Bantas,
dengan konsep keagamaan dari Hindu, dimana
Kabupaten Tabanan. Denpasar: P3M
manusia perlu menjalin hubungan yang
Universitas Udayana.
harmonis dan sejahtera dengan Tuhan, sesama
Suryada, I Gusti A. B. 2012. Konsepsi Tri
manusia, serta alam lingkungan. Kuatnya rasa
Mandala dan Sanga Mandala dalam
spiritual terhadap agama dan Tuhan
tatanan arsitektur Tradisional Bali.
membentuk pola pikir masyarakat dalam
Fakultas Teknik. Universitas
menyusun penataan ruang hunian dan
Udayana.
permukiman melalui konsep-konsep kearifan
Wastika, D. N. 2005. Penerapan Konsep Tri Hita
lokal Bali seperti Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri
Karana dalam Perencanaan
Mandala, dan Sanga Mandala yang selalu
Perumahan di Bali. Jurnal
membagi antara zona bersembahyang
Permukiman Natah, Vol. 3, No. 2,
(sanggah), zona ekonomi dan sosial manusia
Agustus
(natah), dan zona memelihara
hewan/kekayaan.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, A. D., dan Antariksa. 2019. Konsep Tri
Hita Karana dan Tri Angga pada Pola
Ruang Luar Pura Penataran Agung
Dalem Jawa Blambangan. Jurnal
Mahasiswa Arsitektur
Adi, K., dan Perdana P. D. 2014. Penerapan
Konsep Tri Hita Karana dalam Tata
Ruang Permukiman masyarakat Kota
Singaraja.
Budiharjo, Eko. 1997. Lingkungan Binaan dan Tata
Ruang Kota. Andi: Jogjakarta.
Dwijendra N.K. Acwin 2003. Perumahan dan
Permukiman Tradisional Bali. Jurnal
Permuiman Natah, Vol. 1, No 1
Pebruari 2003.
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. (2009).
Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuna.
Udayana: University Press, Bali.
Mirza Permana, Eddi Basuki, Nindya Sari.
Perubahan Pola Ruang Tradisional
Desa Adat Tenganan Pegringsingan,
Karangasem-Bali. Arsitektur Journal,
Volume 3 Nomor 1, November 2010
Suarmini, N. W. 2011. Penerapan “Desa
Pakraman” dalam Memperkuat

10

Anda mungkin juga menyukai