Anda di halaman 1dari 8

Tugas Arsitektur Bali 3

“Resume Tata Nilai ATB”

MATA KULIAH : Arsitektur Bali 3


DOSEN KOORDINATOR : Prof. Dr. Ir. Anak Agung Ayu Oka Saraswati,
MT.
MT. DOSEN PENGAJAR : Ir. A. A. Gde. Djaja Bharuna, ST.,

Oleh :
Ni Luh Putu Dean Novithayanti
1805521015
Kelas A

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA
TATA NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

Arsitektur tradisional adalah perwujudan ruang makro untuk menampung


aktifitas kehidupan dengan pengulangan pola ruang dari generasi ke generasi
berikutnya dengan sedikit atau tanpa perubahan, yang dilatarbelakangi oleh norma-
norma agama dan dilandasi oleh adat kebiasaan setempat serta dijiwai kondisi dan
potensi alam lingkungannya. Permukiman dan arsitekturnya yang berlokasi di Bali,
dibangun, dihuni atau digunakan oleh penduduk Bali yang berkebudayaan Bali,
kebudayaan yang berwajah natural dan berjiwa ritual.

Kenyataan, dalam perkembangannya permukiman dan arsitektur tradisional


Bali telah menyebar jauh ke luar batas-batas Bali. Untuk mengakrabkan dengan
permasalahan perkembangan pola arsitektur permukiman tradisionasl Bali, antara
mempertahankan/pelestarian nilai-nilai yang ada dan mengembangkannya agar
dapat berdampingan seirama dengan nilai-nilai baru peradaban, dianggap perlu
kegiatan telaah guna mendekatkan pada anggapan dan batasan dalam pola berfikir
analisis untuk suatu kesimpulan sebagai pedoman langkah penterapannya ke depan.

Konsep perencanaan kawasan dan permukimannya mengadaptasi pada


tempat, waktu, dan ruang serta orang/masyarakatnya. Konsep arsitekturnya yang
berpedoman pada bentuk dan fungsi peruntukannya. Dalam permukiman dan
arsitektur tradisional Bali, ada konsepsi sebagai pedoman tata nilai normatif dalam
profesi. Ada dimensi sebagai penjelmaan manusia pemiliknya yang ditata dalam
suatu komposisi bermakna untuk masing-masing massa bangunan dan
penempatannya.
Keadaan alam Bali, pegunungan di tengan-tengah membujur dari barat ke timur
dengan gunung-gunungnya, sehingga dataran terbelah di Bali Utara dan di Bali
Selatan. Letak astronomi, letak geografi serta kondisi geologi, iklim dan keadaan
alam Bali serupa itu sangat menentukan bentuik-bentuk perwujudan lingkungan
binaan/arsitektur bermukim tradisionalnya (desa). Performansi dan keberadaannya
merupakan penyelaras kehidupan manusia dan alamnya.

Kesinambungan alam/makrokosmos (bhuwana agung) dan


manusia/mikrokosmos (bhuwana alit). Kesinambungan diatur melalui unsur-
unsurnya yang disebut Panca Mahabhuta (5 unsur alam):

 Pertiwi : Unsur padat/tanahapah


 Apah : Unsur cair / air
 Teja : Unsur Panas / api
 Bayu : Unsur tenaga / Angin
 Akasa : Unsur ruang / rongga / langit

Dengan begitu arsitektur tradisional memperhatikan iklim sebaik-baiknya,


penataan pekarangan, pola ruang, struktur konstruksi dan pemilihan bahan
diperhitungkan guna keseimbangan dan pengkondisian manusia dengan lingkungan
sekitarnya.

Konsepsi perancangan arsitekturnya didasarkan pada tata nilai ruang yang dibentuk
oleh 3(tiga) sumbu, yaitu ;

1) sumbu kosmos, bhur, bhwah, swah (hidrosfir, litosfir, atmosfir)

2) sumbu ritual, kangin-kauh terbit dan terbenamnya matahari)


3) sumbu natural, kaja-kelod (gunung-laut). Masing-masing dengan daerah
tengah yang bernilai madia.

Dengan adanya pegunungan di tengah, maka untuk Bali Selatan, kaja adalah ke arah
gunung di utara, kelod ke arah laut di selatan. Untuk Bali Utara, kaja adalah kea rah
gunung di selatan, kelod kea rah ;laut di utara. Kedua sumbu lainnya berlaku sama.

Unit-unit permukiman tradisional di Bali disebut Desa Adat/Pekraman yang


mengatur secara horisontal satu atau beberapa banjar adat/pekraman. Disebutkan
bahwa dalam tataran tradisional, syarat untuk adanya suatu Desa Adat, adalah
lengkapnya Tri hita Karana :

1) Atma : Unsur Jiwa yaitu pura khayangan tiga


2) Angga : Unsur fisik yaitu wilayah, bangunan
3) Khaya : Unsur tenaga yaitu warga desa tenaga

Dalam suatu desa Adat, Kahyangan Tiga sebagai jiwa, Krama desa
(penduduk) sebagai tenaga, dan Pekraman desa (teritori/wilayah desa) sebagai
fisiknya. Di dalam suatu desa adat, ada ikatan-ikatan kependudukan yang disebut
nyama (keluarga), soroh (klan), pisaga (tetangga), braya (keluarga luar), tunggal
dadia (satu keturunan) dan lainnya.

Di dalam territorial desa adat penduduk di Bali juga terdiri dari beberapa
tingkatan strata sosial Hindu yang disebut Kasta, yaitu

1) Brahmana : keturunan dari orang suci seperti sulinggih, pendeta


2) Ksatrya :keturunan dari pejabat pemerintahan atau prajurit perang
3) Wesia :keturunan dari pedagang
4) Sudra : keturunan dari budak
Dalam satu desa penduduknya ada yang terdiri dari keempat kasta, ada pula yang
hanya tiga kasta, dan sering hanya terdiri dari dua yaitu wesia atau sudra saja. Dalam
pekraman desa, kapling tempat tinggal warga brahmana disebut grya, ksatrya
dinamakan puri/jero, wesia atau sudra disebut umah.

Dalam sistem kemasyarakatan, di Bali pola kekrabatan/ikatan kekeluargaan


merupakan pendekatan yang proporsional untuk mengurainya. Sebab Masyarakat
Bali terikat dalam bentuk-bentuk kekrabatan (nyama, braya, soroh,warga) dan
bentuk-bentuk ikatan kekeluargaan lainnya yang membentuk unit kesatuan
kemasyarakatan yang merupakan ikatan keturunan, ikatan-ikatan upacara adat dalam
satuan keturunan sebagai bentuk sistem kemasyarakatan terutama kehadiran bersama
dalam upacara-upacara atau yadnya seperti manusa yadnya, pitra yadnya dan dewa
yadnya (terdapat kepercayaan saling menyembah /saling sumbah) dalam batas-batas
tertentu.

Pola-pola permukiman tradisional yang selanjutnya disebut Desa Tradisional


di Bali umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata nilai ruang dari tata
nilai ritual sebagai berikut :

1. zona ‘sakral’ dibagian kangin (timur) arah terbitnya matahari sebagai arah
yang diutamakan.
2. zona ‘provan’ dibagian kauh (barat) arah terbenamnya matahari.

Faktor kondisi dan potensi alam, nilai utama ada pada arah gunung dan kearah
laut dinilai lebih rendah. Faktor sosioekonomi juga berpengaruh, bahwa desa nelayan
menghadap ke-arah laut, desa petani menghadap kearah persawahan atau
perkebunannya. Terjadi hubungan yang erat dan seimbang antara pola desanya
dengan area tempat kerjanya.

Pada kondisi lain di Bali, pola permukiman ada yang berpola Pempatan Agung
yang disebut pula Nyatur Desa atau Nyatur Muka. Dua jalan utama yang menyilang
Desa, Timur – Barat dan Utara – Selatan, membentuk silang perempatan sebagai
pusat desa (cross road). Balai Banjar sebagai pusat pelayanan sub lingkungan
meneliti kearah sisi desa dengan jalan-jalan sub lingkungan sebagai cabang-cabang
jalan utama.

Di pempatan agung sebagai pusat lingkungan Pura Desa dan Pura Puseh atau
Puri menempati zona kaja kangin, Balai Banjar atau wantilan desa ditempatkan di
zone kaja kauh, lapangan desa menempati zone kelod kangin dan zone kelod kauh di
tempati pasar desa. Kuburan desa dialokasikan di luar desa pada arah kelod atau arah
kauh yang meru[pakan zona dengan nilai rendah. Tata letak perumahan dan
bangunan-bangunan pelayanan disesuaikan dengan keadaan alam dan adat kebiasaan
setempat.

Beberapa desa ada yang berpola khusus, plaza di tengah (Desa Tenganan-
Karangasem), plaza dengan jalan lingkar sisi (Desa Julah-Singaraja), plaza dengan
lorong-lorong dari plaza ke-arah tepi (Desa Bugbug- Karangasem) dan beberapa
desa lainnya. Potensi dan kondisi alam lingkungan lokasi desa banyak
mempengaruhi pola-pola perkampungan/desa di Bali.

Desa-desa nelayan umumnya memanjang sepanjang pantai menghadap kearah


laut, pola lingkungan mendekati bentuk linier dengan jalan searah garis pantai.
Diperlukan ruang-ruang terbuka ke dekat pantai untuk aktifitas bersama dalam
hubungan dengan profesinya sebagai nelayan.

Pola desa/perkampungan petani umumnya berorientasi kearah tengah dengan


ruang-ruang terbuka di tengah sebagai pelayanan bersama. Kearah luar desa untuk
kandang-kandang ternak dan hubungan ke tempat-tempat kerja di luar desa. Desa-
desa pegunungan umumnya cenderung berorientasi kearah puncak gunung, lintasan-
lintasan jalan yang membentuk pola lingkungan di sesuaikan dengan transis lokasi
kemiringan dan lereng-lereng alam.
Pola desa/perkampungan di desa-desa yang lokasinya di dataran dengan latar
belakang laut atau pegunungan umumnya mendekati pola-pola tradisional yang
umum berlaku. Pola desa berpusat ditengah dengan pempatan agung sebagai pusat
desa, penataannya disesuaikan dengan lokasi dan sistem kemasyarakatannya. Lokasi
desa di pegunungan, di dataran dan pantai.

Desa-desa di pegunungan umumnya dengan pola menyebar, cenderung


mendekati tempat-tempat kerja di perkebunan atau lading-ladang pertanian. Pola
permukimannya menyebar membentuk sub-sub lingkungan yang berjauhan yang
dihubungkan dengan jalan setapak ke desa induk. Pemerajan atau sanggah dadia
kawitan ada di desa induk.

Dalam perkembangan kekinian , prediksi serta proyeksi gerakan perubahan


penduduk (Bali) yang umumnya merupakan gerakan yang cenderung semakin
meningkat dari tahun ketahun, yang disebabkan oleh peningkatan pertambahan
alamiah (kelahiran–kematian), dan pertambahan gerak perpindahan
(mobilitas/migrasi – transmigrasi). Sejalan dengan itu morfologi desa berkembang,
sesuai dengan pemenuhan kebutuhan akan pengadaan perumahan, tempat-tempat
pemujaan dan bangun-bangunan untuk akomodasi/fungsi aktifitas adat/agama (bale
adat, bale delod, bale dangin, bale gede, dll) juga bertambah. Di sisi lain
kecenderungan terpandang ‘baru’ nmembutuhkan ruang-ruang berkatifitas atas nama
aktifitas modernitas.

Pelaksanaan aktifitas keagamaan, upacara adat/yadnya, tradisi dan tata cara


desa tetap menghendaki adanya bangun-bangunan dengan konsep arsitektur tradisi.
Agama, adat dan kepercayaan yang masih berkembang, meluas sejalan dengan
pertambahan penduduk skuantitas, namun juga seirama secara kualitas, memerlukan
kehadiran bangunan-bangunan tradisional berkembang memenuhi ruang pekraman
desa.

Anda mungkin juga menyukai