Anda di halaman 1dari 17

PENYUSUNAN RENCANA RINCI KAWASAN STRATEGIS SERANGAN

KARAKTERISTIK RUANG SOSIAL BUDAYA SERANGAN


A. Kehidupan Sosial Budaya
1. Kehidupan Sosial

Di wilayah perencanaan Desa Serangan terdapat tiga tipe kehidupan sosial yang dominan
berhubungan erat dengan organisasi kemasyarakat, yaitu terdiri dari tiga kehidupan sosial;. (1)
kehidupan sosial masyarakat yang berhubungan dengan organisasi Desa Dinas yang terdiri dari
berbagai macam penganut agama dan latar belakang profesi serta diatur secara administratif dalam
suatu perbekelan atau desa. (2) kehidupan sosial masyarakat Hindu yang berhubungan dengan
organisasi Desa Pakraman. (3) kehidupan sosial masyarakat Muslim yang berhubungan dengan
organisasi keislaman sebagai penganut agama Islam. Terbentuknya tata kehidupan seperti itu terkait
dengan terbentuknya persekutuan-persekutuan dasar secara fungsional maupun struktural, yaitu
keluarga inti senior (kuren), banjar, dan pakraman desa dan desa dinas/Kelurahan.

Di kawasan perencanaan khususnya persekutuan-persekutuan dasar bagi penganut agama Hindu
adalah akibat dari perkawinan terbentuk suatu keluarga batih atau kuren dengan tempat
pemujaannya yang baru disebut kemulan taksu. Ini berarti, setiap terbentuknya keluarga inti baru
akan membutuhkan ruang-ruang yang lebih luas. Dari perkembangan keluarga batih atau kuren
tersebut, akan terbentuk keluarga besar yang disebut tunggal dadia dengan tempat pemujaannya
disebut Pura Dadia. Tunggal Dadia ini berkembang terus dan tetap memuja leluhur yang sama
dengan tempat pemujaannya disebut Pura Paibon/Panti. Bila ruang hunian keluarga inti senior tidak
mencukupi, maka anggota keluarga tersebut akan menempati tanah pekarangan di luar hunian
keluarga inti senior, ini sering disebut ngarangin (dalam bahasa Bali). Menurut Rampun (dalam
Suamba, 73 : 2011) disebutkan Clan/soroh/ keluarga batih dalam sistem kemasyarakatan Desa
Pakraman Serangan terdiri dari berbagai Dadia, keluarga batih ini merupakan masyarakat Serangan
yang beragama Hindu yang sudah dari turun termurun menjadi pangemong pura-pura yang ada di
Serangan khususnya Pura Camara. Ciri atau bukti keberadaannya dibuktikan dengan adanya
palinggih-palinggih dari berbagai clan yang ada di Pura Camara dan merupakan palinggih prasanak
dari Ratu Agung, di antaranya soroh Arya, soroh Dukuh, soroh Pasek, soroh Bandesa yang merupakan
penyungsung Ratu Agung dan Dewi Sri di Pura Camara. Sedangkan bagi umat Islam yang ada di pulau
Serangan adalah terbentuk sebagai penduduk pendatang dari Bugis pada jaman dahulu dan juga
terbentuk karena sebagian atas dasar perkawinan.
Secara umum tata kehidupan masyarakat di wilayah perencanaan terbagi menjadi 2 (dua) sistem
kemasyarakatan, yaitu :
Pertama, sistem kekerabatan yang terbentuk menurut adat yang berlaku, dan dipengaruhi oleh
adanya klen-klen keluarga; seperti kelompok kekerabatan disebut dadia (keturunan),
pekurenan, kelompok kekerabatan yang terbentuk sebagai akibat adanya perkawinan dari anak-
anak yang berasal dari suatu keluarga inti;
Kedua, sistem kemasyarakatan merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas
kesatuan wilayah/teritorial wilayah administrasi, seperti desa dinas atau kelurahan, dengan
turunannya banjar dinas.
Pulau Serangan secara administrasi merupakan satu kesatuan wilayah kelurahan Serangan yang
terdiri dari tujuh Lingkungan, yakni : (1) lingkungan Banjar Ponjok, (2) Lingkungan Banjar Kaja, (3)
Lingkungan Banjar Tengah, (4) Lingkungan Banjar Kawan, (5) Lingkungan Banjar Peken, (6)
Lingkungan Banjar Dukuh, dan (7) Lingkungan Kampung Bugis.
Sedangkan secara tradisional, wilayah desa pakraman yang terbagi lagi menjadi satu kesatuan
sosial yang lebih kecil yaitu banjar adat, yang mempunyai fungsi dan peranan yang berkaitan
dengan keagamaan, adat, dan kegiatan masyarakat lainnya.
Di wilayah perencanaan Serangan terdiri dari dua sistem pemerintahan, yakni sistem
pemerintahan kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah di bawah sistem pemerintahan
Republik, dan sistem pemerintahan tradisional Desa Pakraman yang dipimpin oleh seorang
Bendesa Adat.

Lembaga desa pakraman bukan merupakan lembaga struktural bila dikaitkan dengan sistem
pemerintah Negara Indonesia, tetapi merupakan lembaga yang bersifat fungsional. Artinya,
keberadaan lembaga desa pakraman dikaitkan dengan fungsi pokok dari desa pakraman, yaitu
khusus pada bidang adat dan keagamaan.
Desa pakraman di wilayah perencanaan dengan turunannya adalah bajar adat secara umum
mempunyai pola kepemimpinan tunggal dengan pamong-pamongnya yang disebut:
Bendesa adat (pucuk pimpinan desa pakraman),
Pangliman (wakil Bendesa adat);
Penyarikan (juru tulis desa pakraman);
Petengen (bendahara desa pakraman);
Pamijian (pamong pembantu mengedarkan surat-surat);
Klian Banjar adat (pemimpin adat di tingkat banjar);
Sinoman atau juru arah adalah pamong penghubung antar pengurus dan warga.
Kegiatan Desa Pakraman pada bidang adat dan agama, memiliki aturan adat tersendiri yang tertuang
dalam awig-awig desa pakraman. Secara pemerintahan struktural, maka desa pakraman bersifat
otonomi, artinya masing-masing desa pakraman mempunyai awig-awig tersendiri yang hanya
berlaku bagi para warga (krama) desa pakraman di wilayah bersangkutan. Awig-awig atau aturan-
aturan ini pada umumnya tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lainnya yang lebih tinggi yang ditetapkan dan diundangkan di wilayah negera Republik Indonesia.
Batas geografis suatu desa pakraman pada umumnya hampir sama dengan batas wilayah desa dinas
yang menggunakan batas-batas fisik alam seperti : sawah, sungai, bukit, gunung, garis pantai, laut,
jalan dan sebagainya. Eksistensi suatu desa pakraman ditentukan oleh:
Adanya wilayah dengan batas-batas tertentu yang disebut palemahan desa;
Adanya warga desa yang disebut karma desa adat;
Adanya sejumlah pura sebagai pusat pemujaan warga desa yang disebut Kahyangan Tiga,
yaitu Pura Puseh, Pura Desa atau Pura Baleagung, dan Pura Dalem;
Adanya lembaga adat yang berlandaskan pada aturan-aturan adat tertentu (awig-awig )
desa; dan
Adanya bendesa adat sebagai pimpinan desa pakraman.
Desa pakraman sebagai satu kesatuan wilayah desa dalam melaksanakan kegiatan upacara
keagamaan dan kegiatan kemasyarakatan (sosial) senantiasa berorientasi pada pusat wilayah
desa pakraman. Pusat-pusat kegiatan tersebut, antara lain :
Pura Kahyangan Tiga;
Pempatan Agung;
Setra (kuburan); dan
Wantilan, Balai Banjar, alun-alun.

Sistem Pemerintahan Desa, baik Desa Pakraman maupun Desa Dinas di kawasan Serangan
merupakan pola pemerintahan Desa satu wilayah, yakni satu kelurahan terdiri dari satu desa
pakraman demikian sebaliknya satu desa pakraman terdiri dari satu kelurahan dengan turunannya
terdiri dari beberapa banjar, baik banjar adat maupun lingkungan.

3.2 Jenis Kelembagaan Adat
Wilayah perencanaan Serangan, memiliki jenis kelembagaan adat yang hampir sama dengan daerah
lainnya di Bali. Lembaga-lembaga adat yang ada dan hidup di masyarakat dapat berfungsi sebagai
motivator dan katalisator pembangunan. Kelembagaan pembangunan yang terkait dengan adat
budaya setempat cukup berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya.

Banjar Adat
Banjar adat merupakan satu kesatuan sosial atas dasar ikatan wilayah dan adat istiadat setempat. Di
dalam banjar adat tersirat jalinan dan keterpaduan sifat, pengertian dan peranan sesama anggota
banjar adat sebagai anggota keluarga besar desa pakraman. Banjar adat merupakan salah satu
bentuk kebudayaan Bali karena fungsinya terpusat pada pelaksanaan kegiatan adat dan agama, dan
secara struktural merupakan bagian dari suatu wilayah desa pakraman.
Di wilayah perencanaan terdapat satu wilayah Desa Pakraman yaitu Desa pakraman Serangan yang
terdiri dari enam Banjar adat, yakni (1) Banjar Adat Ponjok, (2) Banjar Adat Kaja, (3) Banjar Adat
Tengah, (4) Banjar Adat Kawan, (5) Banjar Adat Peken, dan (6) Banjar Adat Dukuh,
Sekaa
Lembaga ini muncul didasarkan atas tuntutan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan lembaga-
lembaga adat di atas, yang dilandasi oleh kesamaan tujuan. Sekaa-Sekaa yang ada di wilayah
perencanaan Serangan antara lain : 1) Sekaa Teruna-Teruni (STT) Satya Budhi Banjar Ponjok, 2) STT
Satya Karya Banjar Kaja, 3) STT Dharma Laksana Banjar Tengah, 4) STT Satya Witra Banjar Kawan, 5)
STT Panca Yasa Banjar Peken, 6) STT Satya Hredaya Banjar Dukuh, 7) Sekaa Kidung Swadharma Gita
(Desa Serangan), 8) Sekaa Santi Komala Buana (Desa Serangan), 9) Sekaa Gong Mekar Jaya (Desa
Serangan), 10) Sekaa Gong Dharma Suara Kanti Banjar Kawan, 11) Sekaa Gong Wanita Merdu Suara
Asih Desa Serangan, 12) Baleganjur Banjar Ponjok, 13)Baleganjur Banjar Kaja, 14) Baleganjur Banjar
Tengah, 15) Baleganjur Banjar Kawan, 16) Baleganjur Banjar Peken, 17) Sekaa Angklung Batur Sari,
18) Sakaa Tari Sanggar Seni Serangan Banjar Kawan (Sumber monografis Desa Serangan).

2. Falsafah Budaya Setempat
Wilayah perencanaan Serangan merupakan lingkungan daerah pesisir , maka wilayah
perencanaan mencerminkan sub kultur nelayan, pengerajin, peternak dan buruh/karyawan.
Penduduk Desa Serangan yang sebagian besar kehidupannya adalah petani dan mayoritas beragama
Hindu, memiliki wilayah teritorial dan sistem kepercayaan yang dilandasi dengan Falsafah Tri Hita
Karana, yaitu falsafah yang memberikan keharmonisan dan kesejahteraan bagi semua penduduk,
diantaranya (1) Parhayangan, hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhannya, (2) Pwongan,
hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, dan (3) Palemahan, hubungan
harmonis antara manusia dengan lingkungannya.
Berbagai fasilitas Desa Pakraman tersebut sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana, antara lain
:
1. Fasilitas Parhyangan; Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Tiga, Perempatan
Agung, Taman Beji, Tempat Melasti dan sebagainya.
2. Pasilitas Pawongan; Perumahan Penduduk, Tempat pertemuan (wantilan, Balai
Banjar), Pasar dan sebagainya.
3. Pasilitas palemahan; Hutan, Pantai dan Laut, Sumber Mata Air, dan Setra.

Selanjutnya dalam konsep budaya tentang tata ruang terdapat tiga kelompok nilai masing-
masing; nista, madia dan utama yang berakar pada konsep Rwa Bhineda dengan mengikuti garis
vertikal (Tri Angga) dan horizontal (Tri Mandala) selanjutnya nilai madia diberikan pada bagian
tengah(Puser) dari masing-masing sumbu tersebut. Dalam pola ruang, nilai yang utama diberikan
pada arah kaja yakni menunjuk arah gunung. Sedangkan untuk nilai nista diberikan pada arah
kelod yakni menunjuk arah ke laut, sehingga di Bali di kenal dua arah kelod atau ke laut untuk Bali
Utara dan ke laut untuk Bali selatan dan satu arah kaja di tengah-tengah, yaitu puncak
pegunungan. Jadi kaja adalah utara bagi Bali Selatan dan selatan bagi Bali Utara.
Timbulnya pusat orientasi yang menunjuk arah kaja-kelod bersumber pada pengertian
sumbu bumi sebagai orientasi aktivitas kemanusiaan dan sebagai pemaknaan terhadap Gunung
sebagai Linggacala tempat stana Dewa Siwa yang dapat memberikan keharmonisan, kesakralan,
kesejahteraan dan kemakmuran. Orientasi kangin-kauh (terbit dan tebenamnya matahari)
dipandang sebagai sumbu spiritual yang merupakan orientasi aktivitas keagamaan atau hubungan
antara manusia dengan Tuhannya. Hal ini juga tampak jelas pada wilayah perencaaan, yang mana
gunung yang letaknya di seletan di anggap kaja sebagai daerah yang disucikan, demikian juga laut
yang letaknya di utara di anggap kelod sebagai tempat menyucikan segala kekotoran. Dapat dilihat
pada Gambar 3.1. Arah Orientasi Ruang Budaya Bali


Buku Himpuan Keputusan Seminar Kesatuan tafsir TerhadapAspek-Aspek Agama Hindu I
XV dijelaskan, bahwa tata cara membangun perumahan dengan perwujudan landasan dari tata
ruang, tata letak dan tata bangunan antara lain :
1.1 Landasan Etis dan landasan Spiritual.
Landasan etis menimbulkan tata nilai dari palemahan dan bangunan, dengan menempatkan
bangunan pemujaan di arah hulu dan bangunan-bangunan lainnya ditempatkan di arah hilir
(teben), hal ini bertujuan untuk pembinaan hubungan dengan lingkungan. Sedangkan ladasan
ritual dalam menggunakan lahan, mendirikan bangunan, dan pelestarian lingkungan alam selalu
dilandasi dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan
status, serta menyucikan, menjiwai serta memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
sehingga terjadi keseimbangan antara kehidupan lahir dan bhatin.
1.2 Konsepsi Perwujudan
Konsepsi perwujudan kawasan (palemahan) dapat dibagi dalam bentuk : Keseimbangan alam
Bhur, Bwah dan Swah. Wujud palemahan meunjukkan keseimbangan Tri Loka antara alam Dewa
(Swah), alam manusia (bwah) dan alam Bhuta (lingkungan/Bhur) yang diwujudkan dalam satu
pekarangan perumahan dan wilayah desa terdapat tempat pemujaan, tempat tinggal dan
palemahan sebagai aplikasi konsep Tri Hita Karana.

Rwa Bhineda, hulu- teben, kaja-kelod dan segara-gunung.
Rwa bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu-teben (teben=hilir) yang dimaksud dengan hulu
adalah arah terbit matahari, arah gunung, arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari
padanya. Perwujudan Purusa-pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar (mikro)
perkarangan rumah dan perempatan Agung (makro) palemahan desa, sebagai ruang petemuan
antara akasa dan pertiwi.

Tri Mandala dan Tri Angga
Pekarangan rumah maupun wilayah permukiman secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga
bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala peruntukannya untuk penempatan bangunan-
bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan), Madia Mandala, diperuntukan untuk
penempatan bangunan yang bernilai madia (seperti tempat tinggal penduduk) dan Kanista
mandala diposisikan pada wilayah palemahan untuk penempatan bangunan bernilai kanista
(seperti setra, kandang, WC, dll). Secara vertikal masing-masing bangunan dibagi menjadi tiga
bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga (atap), Madia Angga adalah badan bangunan yang terdiri
dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi)

Harmonisasi dengan potensi lingkungan
Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat untuk
setiap pembangunan kawasan dan pembangunan-bangunan permukiman penduduk.

3. Pola Ruang Rencana Rinci Kawasan Strategis Serangan

Karakteristik pola ruang kawasan dapat dibagi secara makro maupun mikro dengan memadukan
pembagian falsafah Tri Hita Karana dengan perpaduan konsep Tri Mandala yang dapat
dikatagorikan antara lain :
1. Parhyangan, adalah ruang utama yang peruntukannya sebagai tempat: Pura Kahyangan
Jagat, Pura Kahyangan Tiga, hutan bakau, kawasan suci, mata air, pantai atau laut. Utama
nya daerah hulu dan hilir perencanaan yang tempatnya tersebar di setiap Banjar
2. Pawongan, adalah ruang wilayah Madia dengan segala prioritas peruntukannya sebagai
pusat pengembangan pusat desa dengan permukiman penduduk yang sedikit masih
bercirikan desa tradisional
3. Pelemahan, adalah ruang Kanista, dengan peruntukannya sebagai tempat bertani,
berladang, beternak bagi warga desa, TPA, melaut untuk mencari ikan. Ruang kanista di
kawasan perencanaan di arahkan pada daerah hilir desa yang mengarah pada lautan di
wilayah Selatan Desa Serangan.

Pola susunan desa Pakraman Serangan dikatagorikan berdasarkan bagian-bagian ruang
dengan sarana atau prasarana dari pencerminan konsep Tri Mandala, Tri Hita Karana dan Rwa
Bhineda, maka pola permukiman di Kawasan Serangan dari segi strukturnya merupakan Pola
perkampungan mengelompok padat. Pola ini terutama terjadi struktur perkampungan bersifat
memusat dengan kedudukan desa pakraman amat penting dan sentral dalam berbagai segi
kehidupan warga desa.
Terbentuknya pola perkampungan yang mengelompok padat dengan keterbatasan ruang
permukiman menyebabkan perkembangan permukiman justru bergerak ke tengah yang dapat
mengaburkan ciri-ciri arah orientasi ruang desa.
Walaupun demikian Pola penataan lokasi sarana dan prasarana desa masih memperlihatkan ciri
sesuai dengan pedoman arah orientasi ruang natural dan spiritual, seperti lokasi antara balai banjar
dengan lapangan (alun-alun) masih bersebrangan satu sama lainnya yang masih terlihat menempati
kedua kutub dari pertentangan tersebut adalah pura desa/bale agung dan Pura Puseh. Sedangkan
sebagai poros (pusat) adalah pempatan agung. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar
GAMBAR
POLA DESA SERANGAN DENGAN POSISI NYATUR DESA


U









Keterangan :
PA : Posisi Sentral atau Pempatan Agung Desa Pakraman Serangan.

Pr.Segara
Pr. Puseh & desa
Kantor Ds.Pakraman
Pasar
Pr. Cemara
Alun-Alun Pr. Dalem


Pr. Puseh & desa

Pr. Puseh & desa
Setra


Pr. Puseh & desa

Pr. Puseh & desa
PA
Apabila seluruh rangkaian tiga ini digabung menjadi satu sisi atau masing-masing dipecah menjadi
dua bagian, maka akan muncul empat sisi atau bagian. Seluruh rangkaian empat inilah disebut
nyatur muka atau dalam wilayah desa disebut nyatur desa. Pedoman nyatur desa ini dalam tata
ruang berlaku luas di seluruh desa di Bali.
4. Kegiatan Budaya Yang Terkait dengan Kawasan
Masyarakat Bali khususnya masyarakat di wilayah perencanaan Serangan merupakan suatu kolektiva
yang terkait oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, yaitu kebudayaan Bali, kebudayaan yang
pada dasarnya bersumber kepada ajaran agama Hindu.
Agama Hindu banyak menonjolkan kegiatan-kegiatan upacara (yajna) yang dilandasi ajaran Tattwa
Agama Hindu. Upacara tersebut erat kaintannya dengan bebagai adat istiadat setempat (desa
mawacara) dengan landasan Catur Dresta, yang terdiri dari Purwa Dresta, Laka Dresta, Desa Dresta
dan Sastra Drestanya.
Kegiatan-kegiatan upacara agama yang dilakukan oleh masyarakat Hindu selalu diikuti dengan tata
cara pelaksanaannya sesuai dengan adat istiadat setempat, seperti misalnya : (1) Tata cara
penyelenggaraan upacara; (2) Tata cara upacara keadatan; (3) Tata cara kemasyarakatan; (4) Tata
cara perkawinan; (5) Tata cara berumah tangga; (6) Tata cara berperilaku; (7) Tata cara berbusana;
(8) Tata cara berbahasa; (9) Struktur sosial; dan (10) Struktur pola menetap.

1. Upacara Agama
Kegiatan upacara agama yang dilakukan masyarakat di wilayah perencanaan yang memanfaatkan
ruang wilayah yang lebih luas yaitu antara lain upacara Panca Yajna, yang meliputi Dewa Yajna, Rsi
Yajna, Pitra Yajna, Manusa Yajna, dan Butha Yajna. Upacara yang paling berpengaruh terhadap
penggunaan ruang kawasan adalah kegiatan upacara Dewa Yajna, Pitra Yajna dan Butha Yajna.. Di
antara ruang upacara-upacara tersebut adalah :
1. Upacara kepesiraman atau beji yang dilakukan masyarakat di air suci beji/Taman beji yang
berlokasi di timur laut Desa Serangan juga lokasi taman beji terdapat di sebelah barat Pura
Dalem Sakenan, juga di sebelah selatan Desa Serangan di wilayah reklamasi di sekitar Pura Tirta
Harum dan di Pura Batuapi yakni di sebelah barat daya pulau Serangan. Prosesi upacara agama
ini dengan sendirinya akan memanfaatkan jalur-jalur jalan ataupun jalan setapak yang terdapat
di wilayah perencanaan.
2. Kegiatan upacara Melasti, upacara melasti biasanya dilakukan sehubungan dengan upacara
Butha Yajna Tawur Kesanga, juga upacara yang berskala besar di lingkungan desa seperti
upacara ngeteg linggih, upacara mamungkah di pura/kahyangan, maupun pada saat ngusaba
desa. Sesuai dengan desa Dresta Upacara melasti pada desa-desa pakraman dilakukan diwilayah
segara/laut yang berlokasi di sebelah Timur Laut Desa Serangan.
3. Upacara Mamintar (Nangluk Merana), upacara mamintar dilaksanakan pada Tilem (bulan mati)
Sasih Keenem, yang dilakukan dengan prosesi upacara mengelilingi wilayah desa Pakraman
Serangan. Prosesi Upacara mamintar dimulai dari Pura Puseh/Desa Desa Pakraman Serangan
yang berada di tengah-tengah Desa, menuju ke parempatan Agung ke utara menuju ke arah
Timur laut (Beji Segara) melalui wilayah reklamasi ke selatan menuju Pura Prapat Payung
Keselatan, selanjutnya menuju Pura Tirta Harum di sebelah selatan Pura menuju ke barat melalui
di sebalah selatan Pura Puncaking Tingkih, selanjutnya ke barat di tepi Pantai ke utara menuju
Pura Sakenan selanjutnya perjalanan mempergunakan Perahu ke arah Timur laut dan kembali ke
Pura Desa. Upacara ini di samping sebagai fungsi penyucian desa juga mnemiliki makna untuk
mengetahui dan memagari wilayah Desa Serangan. (Lihat Gambar .................................)
Prosesi Upacara Melasti dan Upacara Mamintar di wilayah Desa Pakraman Serangan.

3. Tempat Suci dan Kawasan Suci yang Terdapat di Wilayah Perencanaan.
Tempat suci/bangunan suci yang ada di Bali sering disebut dengan Pura atau Kahyangan
yang mendapat proses upacara sakralisasi sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kawasan suci adalah suatu wilayah yang melingkapi bangunan suci maupun wilayah pendukung
kegiatan pada bangunan suci tersebut yang telah mendapatkan upacara Pamarisudha (sakralisasi)
yaitu upacara untuk menarik kekuatan Ida sanghyang Widhi Wasa dan menetralisir segala kekotoran
secara spiritual terhadap wilayah/kawasan suci tersebut. Di antaranya: sungai, danau, hutan,
gunung, pantai, laut, pelaba pura, mata air suci (beji), jurang, ngarai, campuhan (pertemuan sungai),
setra dan pempatan agung.
Ukuran dari suatu kesucian adalah sangat relative dan sulit ditentukan, tetapi untuk adanya
suatu kebersamaan sikap, prilaku dalam menghayati sesuatu yang suci perlu adanya keyakinan
terhadap apa yang dipercaya dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama Hindu. Suci adalah suatu
keadaan yang diyakini dan dipercaya oleh umat Hindu beik terhadap orang, tempat, wilayah, benda,
ruang, waktu yang memberi rasa aman, tentram, rasa tenang, rasa hening, dan telah mendapatkan
upacara agama Hindu ehingga tercapainya keseimbangan, keselarasan dan ketentraman hidup. Hal
ini sesuai dengan jiwa yang termuat dalam Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia mengenai
kesucian Pura No. 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994. Yang dimaksud tempat suci
adalah suatu tempat yang berwujud bangunan suci umat Hindu (pura/kahyangan) yang antara lain
terdiri dari Kahyangan Tiga, Dhang Kahyangan, Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan sebagainya,
dimana kawasan radius kesucian Pura (disebut daerah kekeran), yaitu Apenyengker ( 50 meter)
untuk Kahyangan Tiga dan pura lainnya yang setingkat. Apeneleg Alit untuk Dhang Kahyangan dan
Kahyangan Jagat lainnya ( 2,0 km). Apeneleg Agung ( 5 km) untuk Sad Kahyangan. Untuk Kawasan
perencanaan Serangan hanya terdapat Pura yang berstatus Kahyangan Tiga dan Pura Swagina.
Tempat Suci dan Kawasan suci di wilayah perencanaan desa Serangan dapat dilihat pada Tabel :

DATA DESA PAKRAMAN, PURA, TEMPAT IBADAH LAINNYA, KAWASAN SUCI
DI KAWASAN STRATEGIS SERANGAN

LOKASI/ DI
BANJAR
ADAT
PURA/KAWASAN SUCI
DK/KJ KT SWAGINA TEMPA
T
IBADA
H
LAINN
YA
Kawasan
Suci
Upacara/Piodalan
Br. Dukuh Dalem
Serangan
dan
Nataran
Agung
Susunan
Wadon
- - Taman Beji Saniscara Kuningan
Br. Peken - Puseh/
Desa,
Taman Beji
Melasti
Saniscara Keliwon
Lamdep/Tumpek
Landep
Br. Tengah dalem
Khyangan,
Prajapti
Setra,
Taman Beji
Saniscara Kliwon
Wariga/Tumpek
Wariga
Br. Ponjok - Pura
segara dan


- Pura
Cemara
Perempatan
Agung

-Buda Umanis
Medangsia & Buda
Keliwon Sinta
- Purnama Kapat
di sebelah
selatah DP.
Serangan
wilayah
Reklamasi
BTID.
- Prapat
Payung,

- Tirta aruam
Taman Sari - Saniscara Keliwon
Uye/Tumpek Uye
Anggara Kasih
Prangbakat
di Sebelah
Barat Daya P.
Serangan,
wilayah
Reklamasi
BTID
Pura Tanjung
Sari,
Pr. Puncaking
Tingkih,
Pr. Batuapi,
Taman Beji
Sakenan

Lingkungan Masjid
Sumber : hasil Survey Team 2014

D. Permasalahan dan Issue Sosial Budaya
Di masyarakat kita kini muncul berbagai penyakit keterasingan (alienasi) antara lain.
Alienasi ekologis, manusia secara mudah merusak alam dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dengan penuh kerakusan dan tanpa menghiraukan kelangsungan hidup di masa depan
bagi semua orang. Muncul pula alienasi etologis, bahwa manusia kini mengingkari hakikat
dirinya, hanya karena memperebutkan materi dan mobilitas kehidupan. Alienasi masyarakat,
menunjukkan keretakan dan kerusakan dalam hubungan antar manusia dan antarkelompok,
sehingga lahir disintegrasi soSial. Selain itu, muncul pula alienasi kesadaran, yang ditandai oleh
hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-
satunya penentu kehidupan yang menapikan rasa dan akal budi (Nasir 1999:6).
Pada kehidupan masyarakat Bali umumnya dan masyarakat di Kawasan Serangan pada
khususnya alienasi-alienasi di atas telah muncul kepermukaan dalam pemanfaat ruang
wilayahnya baik secara makro maupun mikro. Pemanfaatan ruang wilayah yang tidak lagi
mengindahkan kearifan lokal yang ada. seperti pembuangan sampah di ruang-ruang terbuka
walaupun sudah ada Bank Sampah yang menurunkan nilai estetik kawasan, pembangunan
fasilitas pariwisata dan pendukung pariwisata masih ada di daerah karang kekeran. Kedua
masyarakat telah mengingkari hakikat dirinya sebagai mahkluk sosial dalam wadah kehidupan
bersama di atas bumi ini, yang sering memunculkan kasus perebutan asset-aset yang bernilai
material (karang desa). Ketiga telah terjadi disintegrasi sosial, yang mengesampingkan hakikat
menyamabraya (bersaudara), dan telah hilangnya rasa memiliki, rasa saling membutuhkan
diantara manusia dengan lingkungannya maupun antara manusia dengan manusia lainnya, yang
kadangkala juga menganggungkan rasio atas egoisme manusia terhadap akal pikiran yang hebat
terhadap Tuhannya.
Permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan ruang disebabkan karena :
1. Perubahan sosial karena masalah demografi. Pertambahan jumlah penduduk seperti pengayah
pengarep, penyade dan pengayah pengele/tamiu (masyarakat suku Bugis)
Meningkatnya penduduk pendatang, sehingga kebutuhan akan ruang semakin luas. Interaksi
antara penduduk pendatang yang lebih agresif dan kreatif dengan penduduk lokal dapat
menimbulkan benturan budaya, sehingga dapat menjadi sumber konflik diantaranya: (1)
Kampung Bugis
persaingan mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama. (2) suku-suku bangsa
mencoba memaksakan unsur-unsur dari kebudayaannya kepada warga lain. (3) suku bangsa
memaksakan konsep-konsep agamanya terhadap warga (etnis) lain yang berbeda agama. (4)
satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa lain secara politis, dan (5) potensi
konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-suku bangsa yang telah bermusuhan secara
adat. (6) beralihnya fungsi tanah dari tanah karang Desa menjadi tanah milik pribadi.
Terjadinya peningkatan jumlah penduduk, yang membutuhkan tempat permukiman yang lebih
luas sehingga dapat menggeser tatanan nilai orientasi ruang desa Pakraman Serangan dari
struktur ruang tri mandala sebagai struktur ruang religius bergeser ke tengah permukiman. Dari
ruang perikanan/pesisir menjadi ruang industri, ruang publik berubah menjadi ruang komersial,
demikian ruang-ruang religius di desak oleh ruang permukiman dan kepentingan ruang untuk
pariwisata.
2. Perubahan sosial disebabkan oleh teknologi. Utamanya teknologi komunikasi yang membatasi
ruang dan waktu. Ruang semakin sempit dan waktu semakin dipersingkat dalam interaksi dan
komunikasi, sehingga terjadi banjir informasi yang berpengaruh pada perubaan cara pandang
maupun gaya hidup masyarakat yang bisa bermuara pada perubahan sikap mental dan cultural.
Dalam tata ruang ini berpengaruh pada pendirian bangunan-bagunan yang tidak lagi
mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal.
3. Perubahan social karena masalah ekonomi. Pada era pasar bebas dan globalisasi segala sesuatau
diukur dengan ekonomi komersial, sehingga terjadi pelanggaran-pelanggaran nilai budaya,
seperti; pembangunan bangunan yang dulunya secara horizontal sekarang telah berkembang
secara vertical, adanya pembangunan kafe-kafe yang tidak memperhatikan nilai-nilai kesucian
dan kesakralan suatu tempat.
4. Perubahan karena budaya, sebuah kebudayaan akan berubah karena orientasi nilai, yang
berlanjut pada perubahan norma prilaku yang bisa berwujud ; pergeseran (asimilasi nilai dan
norma), persengketaan (ambivalensi) sikap menerima atau menolak dan perbenturan
(pertentangan yang ekstrim). Pluralisme kebudayaan dan peradaban akan tetap menjadi khas
kemanusiaan dan setiap pengingkaran ciri khas akan membangkitkan pertentangan, apapun
caranya dan bagaimanapun pengejawantahannya, seperti :
Ruang kawasan suci seperti, taman beji, jurang, sungai, Campuhan, di desak oleh bangunan-
bangunan yang bersifat komersiil.
Hilangnya identitas antara desa pakraman dalam hal pola permukiman desa pakraman, dan bisa
terjadi bergesernya karang kekekran yang berubah menjadi permukiman, pertokoan dan
fasilitas komersial lainnya, sehingga sering memunculkan konflik kepentingan.
Munculnya berbagai konflik sosial dalam pemanfaatan ruang religius, baik antara investor
maupun antara masyarakat itu sendiri. Masyarakat telah melupakan aspek historis sehingga
dengan mudahnya menggunakan karang kekeran menjadi kegiatan komersial sebagai desakan
kepentingan politik dan tidak meratanya sumber-sumber ekonomi masyarakat.
5. Perubahan karena hukum. Hukum yang selalu berubah-ubah di Negara ini, sehingga masyarakat
belum paham betul dengan hukum yang pernah berlaku lalu dicabut dan diganti dengan hukum
yang baru, maka masyarakat menjadi passive terhadap pelanggaran hukum. Dengan demikian
sering terjadinya pelanggaran-pelanggaran di lapangan karena hukum kalah cepat dengan
keinginan pengguna hukum.
6. Perubahan karena perencanaan. Suatu perencanaan adalah sangat berpengaruh terhadap baik
buruk perubahan tersebut. Seperti perencanaan kota, wilayah, jalan, permukiman penduduk
yang akan membawa perubahan fisik suatu wilayah desa maupun perkotaan, yang tidak
dibarengi dengan aturan-aturan hukum dan konsistensi penegakan hukumnya, seperti reklamasi
yang tidak memberikan arah yang jelas dalam pemanfaatan ruang secara agama, adat dan
budaya Bali di wilayah perencanaan Serangan.
E. Strategi Pengelolaan Kawasan Budaya, diarahkan pada :
a. Perlu pembuatan penentuan batas-batas desa pakraman sesuai dengan budaya setempat,
sesuai dengan prosesi upacara mamintar.
b. Melakukan pelestarian dan konservasi terhadap hasil-hasil budaya.
c. Melakukan pengamanan terhadap karang kekeran dan peruntukkannya hanya sebagai
pendukung kegiatan keagamaan dan adat bagi kemudahan Umat Hindu melakukan kegiatan
keagamaan.
d. Melakukan perbaikan dan memberikan ruang terbuka di sekitar tempat suci dan kawasan-
kawasan suci, seperti Taman-Taman Beji yang berdekatan dengan permukiman penduduk,
Pempatan Agung, Setra, campuhan (pertemuan sungai) telajakan.
e. Penetapan radius kesucian pura berdasarkan Bhisama PHDI dan disesuaikan dengan kondisi
lokasinya, setelah mendapat pertimbangan dari pemerintah, lembaga keagamaan (PHDI),
lembaga adat (Desa Pakraman, Majelis Alit Desa Pakraman, Majelis Madya Desa Pakraman,
Majelis Agung Desa Pakraman dan instansi yang terkait.
f. Perlindungan terhadap pantai-pantai dan tempat-tempat suci baik yang bersifat
Dangkahyangan, Kahyangan tiga maupun swagina dari desakan fasilitas pariwisata.
g. Perlu pengamanan dan pelestarian kesucian pura Sakenan, Pura Susunan Wadon, Pura Tirta
Harum, Pura Prapat Payung, Pura Puncaking Tingkih, dan Taman-Taman Beji sebagai sentral
tepat pelelastian di wilayah Desa Serangan.
h. Meningkatkan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya ruang publik dan ruang
religius bagi keharmonisan hidup.
i. Menjaga kelestarian hutan manggrove di sekitar pulau serangan
j. Menjaga kebersihan lingkungan dari pencemaran sampah plastik setelah upacara piodalan di
tempat-tempat suci di sekitar Pulau Serangan.















Sampah di depan Pura Susunan Wadon, setelah Upacara Piodalan di Pura Sakenan

Anda mungkin juga menyukai