Anda di halaman 1dari 15

Kebudayaan Sasak terwujud dari percampuran antara kebudayaan penduduk asli (penghuni pulau

Lombok sebelum kedatangan migran dari Jawa), dengan kebudayaan Jawa, Bali, dan Melayu
Islam (Cederroth: 1981, Bartholomew: 1999, Ecklund: 1976). Dengan kata lain, kebudayaan
Sasak berkaitan dengan sebuah sistem yang kompleks. Mengenai hal ini tampak jelas pada
bahasa, adat, tata nilai, busana, sistem kepercayaan, beberapa tradisi dan kebiasaan, juga terlihat
pada nama-nama orang dan tempat, ragam kesenian, permainan rakyat, dan lain-lain.

Sejarah panjang penguasaan oleh berbagai etnis di Lombok sejak abad ke-16 sampai pertengahan
abad ke-20, telah menghasilkan akulturasi budaya yang cukup luas. Kondisi ini melahirkan
permasalahan-permasalahan budaya bagi etnis Sasak. babak sejarah penguasaan oleh berbagai
etnis tersebut telah mempengaruhi rancang bangun budaya Sasak dan melahirkan bias pada
pembentukan karakter (caracter building) masyarakatnya. Namun demikian, pengalaman pahit
sejarah tersebut tidak sampai berimbas pada postur utama kebudayaan yang menjadi lemah, dan
mental masyarakat yang mudah putus asa. Corak kebudayaan Sasak lebih banyak dibentuk oleh
pilar etika dan moral sehingga membentuk satu corak kebudayaan yang bersahaja dan penuh
tatakrama.

Pengalaman panjang penguasaan oleh etnis lain di samping melahirkan beberapa kelemahan,
ternyata juga melahirkan hal-hal yang positif. Dalam pergaulan dan hubungan kemanusiaaan
dengan orang lain, misalnya. Masyarakat Sasak selalu mengedepankan moral kepatutan dan
kepatuhan. Misalnya melalui moral dan sikap “bender, lomboq” (lurus, jujur), las, reda (ikhlas,
rela dalam memberi), wanen (berani karena benar), dana- darma (dermawan, murah hati kepada
siapa saja), jamaq-jamaq (rendah hati, sikap sederhana), solah bagus perateq (suka damai, baik
hati, cepat baik, tidak pendendam), periak-asek (belas kasihan), sabar (cepat mengalah), rema
(tenggang rasa yang tinggi), gerasaq (ramah-tamah), teguq (kuat memegang janji) dan
sebagainya.

Contoh nyata dalam keseharian masyarakat misalnya ketika tradisi betemoe (bertamu), tuan
rumah tidak akan menanyakan agama sang tamu. Yang ditanyakan adalah seputar asal-muasal.
Selanjutnya tuan rumah menawarkan “makan” sembari dalam waktu singkat disuguhkan
penginang (tempat, wadah kapur sirih), dan lanjaran (rokok) dengan gerasak (ramah).
Kemudian menyusul sajian air minum dan sedaq (makanan kecil berupa masakan ringan dengan
jajan, biji-biji atau buah). Tradisi seperti ini dilakukan orang Sasak dengan sikap yang tindih,
yakni dilakukan wajar dan tidak dibuat-buat, rapi dan teratur menurut adat.

Kearifan budaya tradisional-lokal (local knowledge, local indigenous) adalah manifestasi dari
kedalaman pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tradisional dalam memanfaatkan sumber
alam dan lingkungan untuk mewujudkan hidup yang harmonis. Kearifan budaya (cultural
wisdom) adalah suatu terminologi yang diberikan bagi keluhuran nilai-nilai maupun sistem
kehidupan leluhur di masa lampau, yang tebukti secara signifikan masih survive dan
memberikan nilai-nilai dasar bagi era kekinian. Nilai-nilai ini semestinya bisa diaplikasikan
dalam kehidupan bermasyarakat secara teguq (kuat dan utuh), bender atau lomboq (lurus dan
jujur), patut (benar) tuhu (sungguh-sungguh) dan trasna (penuh rasa kasih atau sayang).

Dalam penataan hidup yang harmonis di tengah masyarakat, kearifan tradisional masih dirasakan
mempunyai keampuhan dan keunggulan. Hal ini terlihat jelas misalnya dalam pergulan sehari-
hari masyarakat Islam-Sasak Hindu Bali dan yang masih tradisional di khususnya di Dusun
Tratak-Desa Batu Kumbung, Dusun Karang Bayan- Desa Segerongan (Kecamatan Lingsar),
Dusun Suranadi-Desa Selat, Dusun Sesaot- Desa Sesaot (Kecamatan Narmada), juga di Desa
Bilebante, Ubung dan Mantang di Lombok Tengah, serta di banyak tempat lain. Kedua
kelompok etnis dan agama yang berbeda ini hidup berdampingan penuh kedamaian dan harmoni
sejak ratusan tahun yang lalu. Hubungan sosial diatur oleh krama banjar dan dan awig-awig
desa.

Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat Hindu Bali dengan masyarakat Sasak- Islam,
menggunakan bahasa Sasak halus dengan fasih1[1]. Karena menurut tuntunan adat pergaulan
harus dilandasi oleh saling menghormati (Sasak: saling ajinin). Ini ditunjukkan dengan
digunakannya bahasa halus, dibarengi sikap merendah, di mana segala ucapan disampaikan
dengan nada rendah, lebih-lebih terhadap orang lain yang baru dikenal.

Kitab Kotaragama (kotara berarti wilayah, gama berarti aturan atau hukum) adalah suatu kitab
hukum dan aturan adat etnis Sasak. Dalam kitab itu disebutkan bahwa setiap pelanggaran adat
dapat dikenai sanksi adat berupa dedosan (denda adat) dan juga dikenai hukuman moral atau
sosial. Dedosan dapat berupa kepeng tepong (uang bolong) yaitu uang Cina zaman dahulu.
Dalam prosesnya, bila kepeng tepong tidak ada maka dapat diganti dengan mata uang yang
sedang berlaku. Sedangkan hukuman moral atau sosial antara lain dapat berupa pengucilan
keluar kampung atau desa yang dalam istilah adat disebut teselong.

Sementara dalam konteks institusi kebudayaan, kebudayaan Sasak mengalami permasalahan


utama pada terputusnya peran dan fungsi instansi pedesaan yang berbasis budaya lokal, sebagai
dampak dari munculnya institusi baru yang bersifat sentralistik akibat kuatnya peran birokrasi
yang mengabaikan otonomi desa yang berbasis adat.

1[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tata Kelakuan Di Lingkungan Pergaulan Keluarga Masyarakat NTB,(Mataram, 1989), hal. 85
Sisa-sisa institusi adat yang masih hidup seperti krama banjar sebagai salah satu bentuk
pekraman adat (aturan adat) di perkampungan dan pedesaan kemudian dianggap kurang praktis
dan kurang fungsional untuk menjawab tantangan perkembangan peradaban modern di masa
mendatang.

Bersamaan dengan itu, muncul berbagai institusi-institusi non-formal berbasis agama di


pedesaan, seperti kelompok pengajian/majelis ta’lim, kelompok wiridan, hizib, zikir khusus,
kelompok arisan dan lain-lain. Akan tetapi institusi-institusi tersebut hanya menata pola
hubungan kemasyarakatan secara internal, hanya dalam lingkup kepentingan yang sangat
terbatas. Bahkan ketika maraknya pertumbuhan partai politik, institusi tadi cenderung hanya
“dimanfaatkan” sebagai basis politik. Padahal sesungguhnya bila dilakukan revitalisasi dan
rekonstruksi, institusi-institusi lokal tersebut memiliki potensi untuk mampu membangun
harmonisasi hubungan sosial dalam memperteguh hubungan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Disamping itu, kecenderungan melemahnya citra budaya daerah menyebabkan ekspresi budaya
daerah pada berbagai event budaya menjadi tidak representatif mewakili komunitas dan budaya
Sasak. Hal ini disebabkan oleh sikap masyarakat Sasak sendiri yang cepat terpengaruh oleh
budaya luar, meskipun yang kurang baik. Sebagai akibatnya, beberapa permasalahan budaya
lokal yang menyeruak saat ini antara lain:

1. Landasan etik, seperti adat tapsila (budi pekerti, sopan santun), adat krama (aturan,
  
hukum, norma adat) tidak lagi dianut dan dipatuhi secara ajeg dan konsekuen untuk
merepresentasikan etika ke-Sasak-an.
2. Lembaga adat “pekraman” hampir tidak lagi melembaga dalam masyarakat Sasak. Begitu
juga halnya dengan awig-awig adat (aturan-aturan adat) sudah tidak lagi menjadi
pegangan normatif dalam masyarakat.
3. Proses sosioalisasi tentang kearifan tradisional melalui pendidikan formal dan non-
formal tidak lagi berjalan sistematis, efektif dan berkelanjutan. Demikian juga prakteknya
secara langsung maupun tidak langsung relatif sangat kurang. Media sosialisasi dan
pengkomunikasian kearifan tradisional dalam bentuk puwaran (dongeng atau cerita
rakyat), perilaku adat (adat krama, adat agama, adat tapsila) tidak banyak dilakukan oleh
orang tua, guru dan tokoh adat. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan para orang
tua, guru, tokoh adat dan bahkan tokoh agama tentang kearifan budaya lokal. Penerapan
adat yang benar dan patut, sesungguhnya tidak bertentangan dengan agama, malah
mendukung pelaksanaan ajaran agama, terutama dalam pembinaan hubungan mu’amalah
sesama manusia.

B. Lembaga Adat Sasak


Untuk menjalankan dan menegakkan adat yang dianut masyarakat Sasak, di masa lampau
dikenal beberapa pranata adat yang disebut krama. Untuk lebih solidnya pelaksanaan tugas dari
krama, diperkokoh dengan pembentukan desa adat, yang dikelola dengan struktur organisasi
yang dipimpin oleh pemusungan (kepala desa), kliang (kepala kampung/dusun), lang-lang
desa/dusun (pamswakarsa), serta juru arah (pembantu khusus pemusungan atau kliang). Semua
aturan disepakati sebagai awiq-awiq adat.

Krama, secara bahasa, selain berarti “masyarakat” juga dapat berarti adat istiadat, tingkat
laku, aturan dan hukum. Bahkan dalam arti yang lebih luas, krama berarti pula suatu majelis,
perkumpulan atau paguyuban. Berkaitan dengan pekraman adat urip-pati (krama adat hidup dan
mati), etnis Sasak mengenal beberapa bentuk krama yaitu:

1.     Krama Banjar, yaitu suatu kelompok adat atau perkumpulan masyarakat adat yang anggotanya
terdiri dari penduduk di suatu kampung atau dusun (Sasak: dasan), atau yang berasal dari
beberapa desa, yang keanggotaannya mempunyai tujuan yang sama. Anggota-angggota banjar
dapat saja terdiri dari keturunan yang sama, satu kelompok atau satu agama. Perkumpulan adat
yang keanggotannya homogen, atau karena adanya hubungan sosiologis dan emosional atas
dasar pada kepentingan bersama disebut juga krama banjar urip-pati, yaitu suatu banjar yang
menyeleng- garkan urusan orang hidup dan orang yang mati. Tempat pertemuan para anggota
banjar disebut bale banjar yaitu rumah tempat pertemuan berwujud balairung atau berugaq
sekenem atau sekewalu (balai-balai bertiang enam atau delapan). Krama banjar dikoordinir oleh
kliang atau seorang penoaq (pemuka) lainnya, ditambah seorang atau lebih petugas perlengkapan
banjar. Krama banjar urip-pati, sesuai kepentingan masyarakat adat setempat dan berbentuk:

      Krama Banjar Subak, adalah perkumpulan para petani penggarap sawah atau pengguna air irigasi
yang berada dalam wilayah subak tertentu, misalnya pada daerah teritorial bendungan tertentu.
Anggotanya disebut sekeha subak, yang berkewajiban membayar upah bagi pekasih (petugas
pengatur air) dengan seikat padi atau lebih, sesuai luas tanah garapan maisng-masing. Kewajiban
lain adalah bergotong royong membersihkan dan memperbaiki salurah kokoh (sungai), telabah
(parit), pengempel (cek dam), tembuku (pintu air) dan lain-lain. Termasuk juga bergotong
royong melakukan selametan pengempel atau kenduri setelah selesainya pekerjaan-pekerjaan
tersebut. Anggota sekeha banjar subak bersifat heterogen secara etnis dan agama. Kepentingan
utama banjar ini adalah berkaitan dengan urusan irigasi sawah. Pada krama ini dapat terpatri rasa
persaudaraan yang tinggi.

      Krama Banjar Merariq, yaitu banjar pemuda yang membentuk kelompok untuk mengadakan
arisan perkawinan. Uang iuran anggota banjar diberikan untuk membantu anggota banjar yang
menikah.
      Krama Banjar Mate, yaitu perkumpulan untuk saling membantu anggota yang ditimpa musibah
kematian. Iuran anggota dapat berupa kain kafan putih, uang belasungkawa, serta barang-barang
lain yang dapat membantu kebutuhan keluarga yang ditinggal mati.

      Krama Banjar Haji, yaitu perkumpulan untuk kepentingan berhaji, dengan pola yang sama seperti
mendapat dana haji dari iuran anggota yang terkumpul. Anggota krama ini juga bergotong-
royong membantu penyelenggaraan persiapan keberangkatan, seperti membuat tetaring (semcam
terop), melaksanakan adat zikir dan do’a bersama di rumah calon haji. Termasuk juga mengantar
dan menjemput anggota pada saat berangkat dan kembali dari Mekkah.

2.     Krama Gubuk, yaitu suatu bentuk krama adat yang beranggotakan seluruh masyarakat dalam
suatu kampung atau dusun, tanpa kecuali. Artinya bahwa keanggotaan krama ini tidak
membedakan orang dan kepentingan khususnya, asalkan secara adat dan administratif
merupakan penduduk sah di gubuk tersebut. Unsur pimpinan krama gubuk bisa berbeda-beda
pada tiap kampung (dasan, dusun), tetapi umumnya terdiri dari kliang adat (kepala dusun), juru
arah (pembantu kliang yang bertindak sebagai penghubung gubuk), lang-lang (kepala
keamanan). Kiai, penghulu gubuk, mangku gubuk (pemangku adat) juga penaoq gubuk (para
tetua kampung) yang lain. Juga termasuk penaoq agama (tokoh agama) seperti para tuan guru
dan ustadz yang bertempat tinggal di dalam gubuk.

Di Bayan, Lombok Barat bagian utara, yang menjadi anggota majelis krama gubuk
adalah para toaq lokaq/mangku. Sementara di Tanjung dan Gangga, pekasih (petugas pembagi
air irigasi) dan mangku pengalas (pawang hujan), selain sebagai sebagai tetua Majelis Krama
Subak juga termasuk tetua Majelis Krama Desa.

3.     Krama Desa, yaitu majelis adat tingkat Desa, terdiri dari pemusungan (kepala Desa adat), juru
arah (pembantu kepala Desa), lang-lang Desa (kepala keamanan Desa), jaksa (hakim Desa),
luput (koordinator kesejahteraan Desa), kiai-penghulu.

Khusus di Bayan, majelis adat disebut gegundem, dengan pimpinan inti terdiri dari kiai ketip
(kitab), lebe (lebai), modim, dan kiai santri (kiai pembantu). Sementara anggota lainnya meliputi
para toaq lokaq/mangku adat dan mangku gubuk. Dalam hal ini yang termasuk toaq lokaq atau
mangku adat adalah: lokaq pelawangan, pemomong, penyunat gumi, gantungan rombong, kliang
adat, walin gumi, pande, penguban, pengontas, perumbaq, gedeng lauq, pejambeq gedeng daye,
pemangku timuk orong, pemangku bat orong, dan pemangku karang salah.
          
Ke depan, kemungkinan dapat terbentuk krama adat yang lebih luas wilayahnya.
Kemungkinan bentuknya adalah:

1. Krama paer, yaitu sebuah krama yang mewilayahi beberapa desa adat dalam suatu
wilayah setingkat Kecamatan.
2. Krama gumi paer, yaitu krama pada wilayah setingkat kabupaten atau lebih luas.

Dalam operasionalnya, krama ini dapat membuat kesepakatan adat dalam bentuk awig-awig
(aturan) yang memuat aturan-aturan normatif dan hukum adat yang wajib ditaati setiap anggota
masyarakat adat Sasak. Setiap pelanggaran terhadap awig- awig, dikenai sanksi adat berupa
dedosan (denda-denda adat dalam bentuk uang, ternak, dan lain-lain). Selain itu, ada juga sanksi
sosial atau sanksi moral berupa dengan tidak diurusnya kepentingan adat si pelanggar. Misalnya,
dalam hal-hal yang berkaitan dengan upacara atau acara adat gawe (pesta), daur hidup dan
kematian (gawe urip dan gawe pati). Sementara hukuman fisik diberikan dalam bentuk
pengucilan dari masyarakat, diusir keluar kampung atau desa. Tindakan pengusiran seperti ini
disebut selong. Selain sebagai hukuman badan, pengucilan (selong) juga dimaksudkan sebagai
hukuman moral.

Krama sebagai sebuah norma sosial dalam pergaulan hidup atau dalam hubungan muamalah
sesama manusia dapat berbentuk:

a.      Tata atau titi krama, yaitu adat yang diatur awig-awig sebagai hasil kesepakatan adat dari seluruh
masyarakat adat. Jika dilanggar akan dikenai sanksi sosial atau sanksi moral. Tata krama ini
antara lain menyangkut adat midang (bertamu dirumah pacar) adat liwat (melewati halaman
rumah orang lain), adat betemoe (adat bertamu) dan lain-lain.
b.      Basa Krama, yaitu budi pekerti, sopan santun atau tata tertib adat yang diatur dalam awig-awig
adat. Krama ini mengatur cara berkomunikasi yang harus dilakukan dengan bahasa lisan dan
sikap tubuh yang santun, tertib dan sepenuh hati (tertib- tapsila). Terutama terhadap orang yang
dihormati dan dihargai karena umur dan kedudukannya (yang muda lebih menghormati yang tua,
rakyat menghormati pimpinannya) dan lain-lain.
c.       Aji Krama, yaitu harga adat suatu komunitas, atau harga status sosial seseorang, atau nilai
martabat kekerabatan seseorang dalam komunitas, baik dalam lingkungan keluarga maupun
dalam lingkungan masyarakat adat secara umum. Besar kecilnya nilai adat atau aji karama itu
terungkap dalam ketentuan adat perkawinan, sorong serah aji krama.

Menyepakati aji krama berarti menghargai kedudukan atau martabat seseorang atau komunitas
dalam masyarakat adat. Dengan kesepakatan itu terciptalah lingkungan hidup bermasyarakat
yang harmonis.

Untuk lebih memantapkan hubungan yang harm onis penuh santun dalam berkomunikasi di
tengah komunitas, ungkapan perasaan harus disampaikan dengan bahasa yang santun, sesuai
dengan rasa Bahasa Sasak, dengan memperhatikan:

a.      Tata/titi basa, yaitu tata bahasa yang sesuai dengan kaidah Bahasa Sasak yang benar. Dalam
pengungkapan pikiran, isi hati dan pendapat, hendaknya menggunakan bahasa yang baik dan
benar, tidak menimbulkan salah makna dan salah tafsir. Hal ini untuk menghilangkan
ketersinggungan seseorang akibat pengungkapan bahasa yang tidak benar.
b.      Indit basa, yaitu penggunaan bahasa sesuai dengan tingkatan status atau kedudukan sosial
seseorang, baik berdasarkan umur maupun jabatan dalam masyarakat. Lawan bicara yang
dihormati karena pangkat dan jabatannya, harus disapa dengan menggunakan kata-kata atau
kalimat yang mengandung penghormatan.
c.       Ragin basa, yaitu penggunaan kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Penggunaanya harus
sesuai dengan posisi lawan bicara.
d.      Pribahasa, yaitu ungkapan-ungkapan bahasa yang berbentuk sesenggak (pribahasa) sesimbing
(perumpamaan, sindiran), penerem (perumpamaan penegas), yang jika digunakan dengan tepat
dapat menyejukkan pergaulan serta m enghindari ketersinggungan.
Aktualisasi nilai-nilai dan bahasa karama adat tersebut dilakukan dalam pelaksanaan
upacara dan acara-acara adat, baik adat urip atau pati, seperti pada acara sangkep majelis adat,
sorong serah aji krama dan lain-lain. Beberapa model adat tersebut antara lain:
a.     Adat krama seperti dalam upacara adat sorong serah aji krama sebagai rangkaian dari adat
perkawinan Sasak yang berkaitan dengan penyepakatan harga adat.
b.     Adat gama, yaitu pelaksanaan adat yang berkaitan dengan ajaran atau petunjuk agama, seperti
adat nikahang (adat pernikahan) adat nyunatang (adat khitanan), adat ngurisan (adat cukuran),
aqiqah dan lain-lain.
c.      Adat luar gama, yaitu adat yang berkaitan dengan aturan hukum komunitas Sasak setempat yang
didasarkan pada awig-awig yang sudah disepakati bersama. Seperti tata cara memilih kiai
penghulu, mangku adat, menghukum pencuri, menghukum orang berzinah atau pasangan yang
haram nikah, dan sebagainya.
d.     Adat tapsila, yaitu adat yang berlaku dalam pergaulan dan hubungan komunikasi.

Misalnya adat bertamu, adat midang (bertandang ke rumah pacar), adat menyilaq (adat
mengundang) dan lain-lain, serta adat lain yang berkaitan dengan sopan santun, tata tertib dalam
pergaulan.

Dalam menegakkan adat tapsila, nilai-nilai moral yang harus dikedepankan adalah:

a.     Moral kepatutan, seperti: bender lomboq (lurus hari, jujur), las, rela (ikhlas, rela), polos (polos,
jujur), wanen (berani karena benar), dana, darma (murah hati, dermawan), jamaq-jamaq
(sederhana, rendah hati), solah (bagus, damai), bagus perateq (baik hati), periyak aseq (belas
kasihan), wiring, malu ilaq (punya rasa malu), sabar (sabar), meserah (tawakal), nyandang,
onang (sesuai, pantas), kenaq, patut jati (benar dan patut), cumpu (setuju), teger (berketetapan
hati), teguq (kuat memegang prinsip).
b.     Moral etika patuh dan ketuhan/ disiplin yang tercermin dalam ungkapan trasna (kasih sayang),
bekti (berbakti), rema (kebersamaan, tenggang rasa kegotong royongan), adung (mufakat), ra’i
(tenggang rasa), tao (bijaksana, kebijaksanaan memegang prinsip).

C. Hubungan Sosial dalam Bingkai Kearifan Tradisional

Dalam kitab Negarakertagama, sebuah kitab Hukum dan Pemerintahan kerajaan Majapahit yang
ditulis oleh Empu Prapanca, pada pupuh 14 tertulis sebutan untuk Pulau Lombok adalah
“Lombok Mirah Sasak Adi” yang makna bebasnya: “Kejujuran adalah permata kenyataan yang
utama”. Karena itu, tau Sasak (orang Sasak) yang menghuni Lombok atau Gumi Selaparang,
pada dasarnya dalam pergaulan hidupnya mengedepankan sifat dan tingkah laku yang lomboq
yang bermakna lurus atau jujur.

Jika kemudian lahir tingkah laku yang bertentangan dengan makna filosofis lomboq, hal itu
disebabkan semata-mata karena penetrasi pengaruh dari etnis dan bangsa lain secara bergantian,
selama hampir dua setengah abad. Dimulai sejak kedatangan Suku Bugis dari kerajaan
Gowa/Bone, disusul dengan masuknya cengkeraman kerajaan Gelgel-Bali dan seterusnya,
sampai dengan berakhirnya pendudukan bangsa Nippon (Jepang) pada tahun 1945.
Secara administratif Lombok Mirah meliputi wilayah Lombok Barat, mulai dari batas
Sungai Dodokan di dekat Pemepek, ke arah barat sampai pantai selatan Lombok. Sedangkan dari
Kokoq Dodokan (Sungai Dodokan) ke arah timur sampai pantai selatan Alas termasuk wilayah
administratif Sasak Adi.

Sejiwa dengan makna filosofis dari sebutan Lomboq Mirah Sasak Adi, terdapat beberapa
bentuk “kearifan tradisional” dalam hubungan kemasyarakatan, yang sudah tumbuh lama dalam
menciptakan suasana hidup yang harmonis antara sesama manusia dan juga lingkungannya.
Misalnya (dalam pergaulan sehari-hari), masyarakat Sasak menyebut sahabat/kawan sebagai
batur seperti batur Bali, Jawa, Ambon, Batak dan batur Kristen, sedang sebaliknya, sahabat dari
suku Bali dan suku lain (non-Sasak), memanggil orang Sasak dengan panggilan semeton
(saudara).

Dalam interaksi sosial antar kelompok masyarakat (terutama antar orang Sasak dengan
Bali), telah terjadi proses akulturasi dan adaptasi sistem nilai yang satu dengan lainnya. Pihak-
pihak yang terlibat dalam interaksi adalah individu antar warga. Masing- masing membawa
sistem nilai sendiri-sendiri, sehingga interaksi sosial yang berlangsung pada hakekatnya adalah
interaksi berbagai sistem budaya yang secara aktual terekspresi ke dalam berbagai bentuk
perilaku positif.

Dari pergaulan hidup yang telah berlangsung ratusan tahun, orang Sasak dan orang Bali di
Lombok, telah terjadi empati dan saling menghargai perbedaan di antara mereka, tetapi harus
tetap dapat hidup bersama, berdampingan dalam kedamaian. Keyakinan damai dalam masyarakat
majemuk akan dikekalkan, manakala golongan minoritas diakui keberadannya, dihormati
keyakinan agamanya oleh golongan mayoritas. Sebaliknya golongan minoritas harus menghargai
keberadaan dan hak kelompok mayoritas secara profesional sebagai pemukim terdahulu dan
terbanyak.

Minoritas dalam masyarakat Sasak ialah kelompok nukan (non) Sasak. Ada minoritas
Hindu-Bali, Kristen, etnis Tionghoa dan kelompok migran/pendatang lainnya. Selama ini
kelompok minoritas diperlakukan sebagai tetangga dengan sikap baik. Hidup dan bekerjasama
dalam segala hal, tetapi tidak dalam hal agama. Selama ini kelompok minoritas telah mengetahui
dan memahami budaya Sasak. Baik umat Hindu maupun Kisten, tidak pernah secara eksklusif
dan terbuka menyebarkan agama mereka.

Sebaliknya orang Sasak Islam tidak pernah mempengaruhi para pendatang (minoritas) yang non
Islam untuk berpindah agama menjadi Islam. Masing-masing pemeluk melakukan ibadah dengan
tenang dan damai sesuai kepercayaan dan agama masing-masing. Dengan demikian telah
terbentuk kebiasaan seluruh masyarakat untuk hidup bersama. Kebiasaan-kebiasaan tersebut
dibangun dan dipelihara bersama-sama di tengah masyarakat tanpa memandang agama, ideologi,
adat, budaya dan kebiasaan sehari-hari. Hal itu tercermin dalam bentuk-bentuk kearifan lokal
sebagai berikut:
1. Hubungan Sosial Kemasyarakatan.

Dalam hubungan sosial kemasyarakatan, khususnya dalam hubungan kekerabatan dan


persahabatan, masyarakat Sasak mengenal empat “saling” yang dapat diangkat sebagai pengikat
tali silaturrahmi, yaitu:

a.     Saling Perasak, yaitu saling memberi atau mengantarkan makanan. Termasuk pemberian kepada
masyarakat/kerabat yang berbeda agama. Pemberian ini sebagai wujud penghormatan terhadap
kerabat Hindu, Budha ataupun Nasrani, demikian pula sebaliknya kerabat Hindu, Budha ataupun
Nasrani, setelah selesai mengadakan hajatan atau merayakan hari raya tertentu, misalnya
Ngaben, Galungan, Natalan, Tembru (tahun baru imlek), pesta perkawinan dan sebagainuya,
mereka akan mengantarkan makanan kering berupa jajan dan buah-buahan kepada kerabat atau
sahabatnya orang Sasak yang beragama Islam.
b.     Saling Pesilaq, yaitu saling undang untuk suatu hajatan keluarga, misalnya dalam upacara
perkawinan, potong gigi, ngaben dan lain-lain. Jika yang mengundang sahabat Hindu, maka
undangan Sasak atau Non-Sasak lainnya, oleh yang punya hajatan (handowe karya) disipkan
bahan-bahan mentah berupa beras, lauk-pauk (baik berbentuk daging halal maupun non-daging,
termasuk bumbu-bumbunya), di tambah kelapa, minyak kelapa, serta kayu bakar. Sedangkan
wadah untuk makan, perlengkapan masak-memasak juga ditinggal (dititipkan) sebagai tanggung
jawab. Yang punya hajatan akan hadir juga untuk menemani (nenemin) acara santapan sebagai
penghormatan dan wujud kebersamaan kepada tamu undangan. Akan tetapi jika hajatan
diselenggarakan oleh sahabat Islam, undangan dari sahabat Hindu Bali dan non-Islam lainnya,
menerima dengan senang hati semua sajian yang dipersiapkan menurut adat Sasak Islam.
c.      Saling Laiq/ Saling Ayo (saling kunjungi), yaitu saling layat jika ada kerabat/ sahabat yang
meninggal. Jika sahabat Islam yang meninggal, maka sahabat Hindu atau non-Islam lainnya akan
datang melayat, sekalipun tidak diberitahu secara resmi, lebih-lebih jika ada permakluman.
Pelayat Hindu akan datang membawa pelangar (bawaan berupa beras atau uang dalam wadah
adat berupa bokor perak almunium). Bahkan yang laki-laki ikut mengantarkan jenazah ke tempat
pemakaman, tetapi mereka cukup mengantar sampai di luar batas halaman kuburan, kecuali jika
dipersilahkan masuk. Akan tetapi jika ada sahabat Hindu atau non-Islam lainnya meninggal,
sahabat Sasak Islam akan datang melayat cukup sampai di rumah duka saja. Tetapi jika turut
mengantar jenazah sampai ke sema (pekuburan hindu) tidak dilarang, asalkan kehendak dari
pelayat sendiri. Saling laiq/saling ayo, diartikan juga sebagai saling kunjung mengunjungi. Tanpa
harus saling undang secara resmi. Kebiasaan saling kunjung mengunjungi ini sudah merupakan
kebiasaan, lebih-lebih jika pemukiman antar komunitas Sasak dan Bali saling berdekatan. Jika
tamu Islam yang datang ke rumah sahabat Hindu, kalau ada suguhan, umumnya tidak akan
disajikan makanan basah berupa nasi dan lauknya, kecuali jika dipesankan di warung atau
restoran Islam. Biasanya, jajan yang disajikan menggunakan wadah, untuk setiap orang ditaruh
di tempat tersendiri pada lepekan atau wadah lain yang kecil. Tidak akan terjadi dalam satu
piring dipergunakan bersama. Akan tetapi jika sahabat Hindu Bali yang bertamu ke tempat
sahabat Sasak Islam, akan tersajikan apa adanya menurut adat Sasak. Pada saat kepulangannya,
baik yang bertamu orang Sasak Islam maupun Hindu Bali, maka sang tamu biasanya akan
diberikan buah tangan yang disebut kaluq- aluq yang berupa tanaman buah-buahan di sekitar
rumah.
d.     Saling ajin/saling lilaq, yaitu saling menghormati atau saling menghargai di dalam persahabatan
dan pergaulan. Jika ada rombongan pengantin yang diiringi gamelan atau tabuhan kesenian
lainnya, begitu melewati kampung komunitas Hindu Bali, hanya suara tabuhan yang terdengar,
dan tidak akan keluar tepukan emosional. Sebaliknya, jika rombongan tabuhan gamelan Bali
yang mengikuti prosesi ngaben atau pejagrayan melewati pemukiman/kampung komunitas
Sasak, maka tabuhan spontan dihentikan, lebih-lebih jika sedang berbarengan dengan waktu
sholat. Itulah wujud saling menghormati antar umat.

Selain dari empat “saling” di atas, perekat silaturrahmi komunitas Sasak juga berbentuk
hubungan kemasyarakatan/kekerabatan yang intensitasnya tidak sekuat empat saling diatas,
yaitu:

a.     Saling jangoq, yaitu silaturrahmi saling menjenguk jika ada diantara sahabat sedang mendapat
atau mengalami musibah seperti sakit, kecelakaan dan lain-lain. Dalam kesempatan seperti itu,
yang menjenguk datang membawa kaluq-aluq (buah tangan) berupa makanan, buah-buahan,
minyak tanah dan lain-lain, atau paling tidak, ucapan do’a dan rasa simpati.
b.     Saling Bait, yaitu saling mengambil dalam adat perkawinan, asalkan antara kedua calon keluarga
dan mempelai terjalin hubungan yang setara, yang disebut kupu (setara, kesetaraan) dalam
tingkat sosial, ekonomi, ciri-ciri dan sifat fisik, terutama kufu dari soal keyakinan agama. Jika
tidak kufu, maka secara adat dan agama, penyelesaian dilakukan secara sepihak oleh pihak laki-
laki. Hal ini dimaksudkan agar keluarga pihak perempuan (karena dianggap melanggar awig-
awig adat) tidak dikucilkan secara adat oleh komunitas, sehingga perdamaian akan terjadi secara
alami dalam waktu yang relatif sama.
c.      Saling Wales/bales, yaitu saling berbalas kunjungan atau semu budi (kebaikan), hal ini terjadi
karena kedekatan persahabatan antara semeton Sasak dan batur Bali atau dengan suku dan agama
lain. Ketika saling bales ada buah tangan yang dibawa oleh yang melakukan kunjungan, yang
disebut pejambeq (bawaan), umumnya berupa ayam dan ditambah hasil sawah atau kebun yang
sedang dipanen.
d.     Saling Sauq, yaitu percaya mempercayai dalam pergaulan dan persahabatan, terutama sesama
Sanak (saudara) Sasak dan antara orang Sasak dengan batur luah (non Sasak).
e.     Saling Pe’eling/Saling Peringet, yaitu saling mengingatkan satu sama lain dengan tulus hati antar
kerabat atau sahabat demi kebaikan bersama.

2. Perilaku Sosial dan Transformasi Mental

Perkembangan budaya di kalangan masyarakat Sasak terjadi seiring dengan proses kemajuan
yang dialami masyarakat ini sebagai dampak dari kemajuan pembangunan. Sebagai bagian dari
peradaban, kekayaan landasan budaya yang dimiliki masyarakat Sasak merupakan aspek
pendukung yang potensial bagi pembangunan.

Dalam hubungan kehidupan sehari-hari di sana-sini kita dapat melihat wujud tradisionalitas yang
berpadu dengan nilai kebudayaan seperti:
a.     Acara Besiru yakni gotong-royong bekerja di lahan, mulai dari mengolah tanah, menanam sampai
menuai hasil, secara bergilir tanpa upah. Pada tingkatan yang sama disebut juga: betnak, betjak.
b.     Nginjam: meminta orang untuk menggarap sawah (menggunakan sapi) dengan upah uang atau
alat pembayaran lain seperti beras, hewan dan lain-lain.

c.      Begal, saling bantu mengolah tanah sawah dengan bajak, cangkul maupun lainnya dengan upah
murah yakni hasil sawah kelak apabila sudah panen.

d.     Bederep, mengetam atau menuai hasil sawah pertanian dengan upah dalam bentuk hasil produksi
pertanian, misalnya padi.

Pada tradisi gawe ngawinan atau merariq (pesta perkawinan) di masyarakat Sasak, jika pihak
mempelai pria tidak memiliki seekor sapi jantan untuk membayar gantiran (hantaran) kepada
pihak keluarga pengantin wanita, maka pengadaan sapi tersebut dapat dibantu oleh orang lain.
Cara ini disebut nenalet (menanam semu budi). Kelak, keluarga yang pernah dibantu tersebut
akan mengganti sapi juga pada saat keluarga yang pernah membantunya menghadapi kewajiban
adat serupa. Sapi pengganti ini harus sama besar dan sama umurnya seperti sapi yang
dipinjamkan semula.

Sebagai sebuah kearifan lokal, semua bentuk tatanan sosial tersebut di atas, telah
menciptakan suasana kehidupan yang harmonis. Model-model kearifan lokal ini dan beberapa
model lainnya seperti hubungan gotong royong dengan pola beriuk tinjal (kebersamaan gerak
pikiran), perlu direvitalisasi untuk mendorong laju pembangunan yang berbasis harmoni
masyarakat.

Pada konteks pergaulan yang lebih spesifik, masyarakat Sasak mengenal istilah semeton
sebagai ungkapan kekerabatan dalam lingkungan pergaulan secara umum. Meskipun pada
dasarnya, konotasi semeton memiliki arti khusus dalam lingkungan keluarga, yaitu saudara
dalam pertalian genealogis.

Namun demikian, dalam pergaulan umum, istilah semeton telah berkembang menjadi
simbol keakraban dalam konteks yang lebih luas, ---tidak hanya bagi yang memiliki hubungan
genealogis---, yang mengarah pada terciptanya persaudaraan antar sesama. Manifestasi dari
keakraban dalam konsep semeton tercermin lewat ungkapan besopoq jejengku, besopoq
amburase (bertemu lutut, bersatu bau dan rasa).

Sikap yang lahir dari ikatan semeton dalam makna khusus maupun umum yaitu:

1.       Mérang, yaitu rasa solidaritas tinggi untuk mempertahankan hal-hal yang hakiki, dimana untuk
mempertahankannya akan ditempuh segala pengorbanan.
2.       Lome, merupakan perasaan sangat peka terhadap penderitaan orang lain. Dalam hal ini, orang
yang lome sanggup mengorbankan apa saja agar orang yang terkena masalah dapat terlepas dari
beban tersebut.
3.       Ngayah, sebagai salah satu wujud kontribusi masyarakat kebanyakan dalam melakukan gotong-
royong memperbaiki berbagai sarana peribadatan, sekolah, madrasah, jalan dan saluran irigasi.
4.       Belangar, mendatangi seseorang yang ditimpa musibah kematian, sebagai wujud belasungkawa
atas musibah yang dihadapi oleh penderita, tanpa mengenal siapa saja yang ditimpa musibah.
5.       Bejango (menjenguk). Ada dua versi yang dikenal dalam bejango yaitu; pertama, bejango bila
teman atau kerabat ditimpa musibah, sebagai wujud empati terhadap musibah orang lain. Kedua,
bejango ketika mengantar kedua mempelai yang telahmelakukan upacara sorong serah.

3. Sistem Perkawinan Sasak

a. Perjodohan

Perjodohan merupakan sistem perkawinan pada masyarakat Sasak asli, walaupun pada
perkembangannya ada anggapan dari banyak pihak bahwa kedatangan Bali telah melahirkan
akulturasi antara budaya asli dan pendatang dari sistem perjodohan ke merariq (kawin lari). 2[2]
Padahal sesungguhnya merariq merupakan salah satu dari model asli pernikahan pada
masyarakat Sasak, sebagai salah satu alternatif ketika sistem melamar (memadiq) tidak berjalan.

2[2] Perbedaan pandangan para peneliti terhadap masalah ini adalah sebagai berikut: Pendapat Pertama beranggapan bahwa fenomena
merariq merupakan bias dari berkuasanya kerajaan-kerajaan Bali di Lombok. Membaurnya masyarakat Bali dan Lombok berdampak pada
terjadinya penetrasi bahkan adopsi kebudayaan, termasuk didalamnya sistem kawin lari. Sebelum kerajaan Bali berkuasa di Lombok, sistem
perkawinan dilakukan melalui perjodohan. Mengenai hal ini lihat: Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Budaya Sasak (Studi Tentang Akulturasi Nilai-
nilai Islam ke Dalam Kebudayaan Sasak, Disertasi S3, IAIN Jogjakarta, 2002). Periksa juga; Ahmad Nurjihadi, Implikasi Tradisi Merariq Terhadap
Kehidupan Keluarga Muslim Pada Masyarakat Sasak, (Thesis S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005).

Pendapat Kedua berpandangan bahwa budaya kawin lari merupakan tradisi asli masyarakat Sasak sebagai jalan keluar bagi “sumpeknya” sistem
perjodohan yang seringkali tidak diterima oleh pihak laki-laki maupun perempuan. Sistem perjodohan telah menimbulkan rekasi keras berupa
tindakan melarikan diri untuk menikah. Popularitas perjodohan awalnya disebabkan karena penduduk Lombok relatif tidak dinamis. Dominasi
ekonomi pertanian dan kurangnya transportasi yang efisien mengakibatkan komunitas- komunitas agraris ini memiliki peluang yang terbatas
untuk berpindah ke daerah luar. Dengan kenyataan bahwa prospek pasangan pengantin terbatas dari sekitar desa, menambah kebutuhan
untuk mempertahankan perbedaan yang jelas antara kaum ningrat dan orang-orang biasa dalam komunitas yang lebih kecil. Hal ini memberi
kontribusi terhadap strategi orang tua dalam menjalankan kontrol langsung terhadap pilihan pasangan perkawinan anak-anaknya. Untuk lebih
jelasnya lihat: Judith Ecklund, Marriage, Seaworms and Song: Ritualized Respons to Cultural on Lombok, dalam PHD (Cornell Univercity, 1977).
Pendapat kedua ini juga diolah dari diskusi bersama para pemuka masyarakat Sasak. Pandangan lain tentang alasan lahirnya budaya kawin lari,
disebabkan karena secara kultural masyarakat adat Sasak meyakini dan menyetujui cara ini sebagai evidensi kelaki-lakian calon suami yakni
dengan menunjukkan keberanian, keseriusan, dan gambaran artikulasi tanggung jawab dalam perkawinan serta dalam kehidupan keluarga
nantinya. Ditambah lagi dengan meningkatnya otonomi dan kebebasan anak dalam menentukan pilihan jodohnya. Lebih jelasnya lihat John
Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001) hlm. 201-207.

Pandangan Ketiga mengatakan bahwa tradisi asli sistem perkawinan masyarakat Sasak adalah perjodohan. Biasanya dilakukan antar keluarga
batih yang tergabung dalam satu gubuk dan suteran. Perjodohan mula-mula dilakukan sebagai tradisi kuat kaum ningrat Sasak yang
menghendaki perkawinan antar golongan dan trah yang sama, guna memlihara trah golongan. Praktek kawin lari yang diadopsi dari Bali telah
merusak tatanan sistem perjodohan ini karena banyak dari laki-laki non-ningrat membawa lari gadis dari kelompok ningrat. Sistem perjodohan
ini juga terjadi karena preferensi yang luas untuk menyatukan garis keturunan laki-laki yang sederajat dan pola-pola penduduk verilokal. Untuk
lebih jelasnya lihat Ruth Krulfeld, Fatalism in Indonesia, A Comparison of Socio-Religious Types on Lombok, dalam Anthropological Quarterley.
Sistem perjodohan pada masyarakat Sasak memang cenderung bersifat patriarkhi, yaitu lebih
memberikan keleluasaan dan keutamaan pada anak laki-laki untuk memilih pasangannya.
Beberapa pola perkawinan pada masyarakat Sasak adalah:

1.             Memadiq, disebut juga melamar. Orang kebanyakan menyebutnya belakoq (meminta). Di masa
lampau, memadiq ini dilakukan hanya pada satu rumpun yang pertalian darahnya terlahir dari
satu buyut, yaitu saudara sepupu dari laki-laki dan dari rumpun garis perempuan. Misan atau
sepupu satu tidak dibenarkan melakukan memadiq. Tetapi dapat dilakukan bila kedua keluarga
melakukan musyarakat mufakat.
2.             Melaiq/Merariq, dapat disebut juga selarian. Merariq berasal dari kata Ariq (adik, maka merariq
bisa juga dikatakan sebagai memperadik). Jika seorang wanita disebut Ariq (dalam perkawinan)
maka seorang wanita sudah sanggup dianggap adik. Merarik merupakan pola alternatif bagi
orang yang tidak diizinkan oleh keluarga untuk melakukan memadiq3[3].
3.             Perondong, yaitu sistem perjodohan yang dilakukan atas dasar hubungan kekeluargaan antara
keluarga pihak perempuan dengan laki-laki yang telah menjalin hubungan percintaan. Dari
hubungan ini orang tua kedua belah pihak telah setuju dan berkehendak menjodohkan keduanya.
Sistem perjodohan ini biasanya dilakukan ada satu rumpun keluarga dari pihak laki-laki.
4.             Peruput, yaitu sistem perjodohan untuk menutup atau menangani aib keluarga bila hubungan
percintaan seorang anak sudah tidak terkontrol. Labih-lebih bila seorang wanita telah hamil
duluan. Dengan dasar itu maka ditempuhlah sistem perjodohan dengan sistem peruput
( perjodohan yang didasari atas adanya masalah pada salah satu diantara kedua calon mempelai).
5.             Meneken, merupakan cara perjodohan yang dilakukan dengan cara pihak perempuan memberikan
selembar tikar dan sebuah bantal kepada laki-laki yang telah menjalin hubungan cinta
dengannya. Pemberian kedua simbol tersebut berarti pihak laki-laki diminta untuk menikahi
calon mempelai perempuan.
6.             Ngukuh/Ngekeh, dilakukan dengan cara pihak laki-laki beserta keluarganya mendatangi pihak
perempuan dengan membawa pisau kecil (Sasak: maje) atau pelocok (tempat menumbuk sirih)
meminta untuk dinikahkan karena sudah lama menjalin hubungan percintaan.

3[3] Merariq (melarikan diri) dalam gramatika Sasak merupakan kata kerja yang secara umum dimaknai sebagai tindakan melarikan gadis.
Proses ini dianggap sebagai prosesi awal pernikahan. Tetapi terhadap istilah ini pun terdapat interpretasi beragam, ada yang memaknainya
sebagai proses melarikan diri (dengan kesepakatan kedua pasangan), ada juga yang dimengerti sebagai tindakan “mencuri” (Sasak - memaling)
seorang gadis dari pengawasan orang tua dan lingkungan sosialnya. Prosesi merariq pada masyarakat Sasak dilaksanakan dalam lima tahap
tindakan (aksi), yaitu: pertama, kedua pasangan melarikan diri; Kedua, Besebo (bersembunyi), di mana gadis yang sudah dilarikan
disembunyikan di rumah keluarga atau kerabat calon suami; Ketiga, mesejati, yaitu tindakan pemberitahuan kepada pihak keluarga gadis oleh
orang utusan dari pihak laki-laki tentang pencurian anak gadisnya dan bahwa mereka berencana menikah; Keempat, pembicaraan antar dua
keluarga pasangan berkaitan dengan besarnya mahar (maskawin) dan biaya prosesi lainnya yang disebut selabar. Selanjutnya proses Kelima
adalah proses sorong serah dan nyongkolang.

Sorong serah merupakan upacara adat yang melibatkan pemuka adat kampung dan aparat pemerintahan desa guna penyelesaian persoalan-
persoalan adat yang timbul dari perkawinan tersebut. Pada prosesi inilah dapat dipertanyakan signifikansi nikah dalam Islam, karena proses
pernikahan cara Islam merupakan persoalan kecil dibandingkan dengan proses sorong serah yang menyangkut soal material, menyangkut
semua keluarga dan institusi adat kampung yang ada. Sedangkan nyongkolang merupakan prosesi di mana pasangan pengantin datang ke
rumah orang tua pengantin perempuan dengan diringi rombongan arak-arakan dan musik gamelan Sasak (bila ada) guna penerimaan dan
pemberian restu atas perkawinan tersebut. Prosesi ini dalam beberapa kesatuan adat kampung di Lombok sering dilakukan setelah pernikahan
Islam dilaksanakan. Lihat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat, (Jakarta: Proyek pengkajian
Nilai-Nilai Budaya Pusat, CV. Eka Dharma,

1997), Edisi II, hlm. 161-170. Lihat Juga Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Adat Istiadat Perkawinan Di Lombok, (Lombok: Proyek
Inventarisasi Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1991. Bandingkan dengan John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 217.
7.             Murugul, dilakukan dengan cara yang nista yaitu bila laki-laki memperkosa perempuan yang
notabene adalah pacarnya sendiri, hal ini disebabkan waktu pacaran yang cukup lama akan tetapi
pihak perempuan tidak bersedia untuk menikah. Langkah pemerkosaan ini ditempuh agar pihak
perempuan merasa terikat dan tidak menolak bila diajak kawin.
8.             Kawin Tadong, yaitu sistem perkawinan yang dilakukan dengan menjodohkan seorang anak
semenjak belum akil balig. Sistem perkawinan ini sebagai bentuk rasa syukur sebuah keluarga
karena telah dianugerahkan anak perempuan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam pelaksanaanya,
Sistem ini biasa dilakukan oleh keluarga dari kaum bangsawan, hartawan dan perkanggo lainnya.
9.             Kawin Gantung, sistem perkawinan ini dilakukan untuk mengantisipasi bila dimungkinkan ada
orang lain yang menyukai anak perempuannya, sementara si orang tua sudah memiliki calon bagi
anaknya. Perkawinan yang sebenarnya akan dilakukan pada saat kedua belah pihak telah sama-
sama sepakat tentang waktu dan caranya. Tetapi sebelum itu (selama masa kawin gantung),
kedua belah pihak biasanya diberikan kebebasan untuk melanjutkan studi atau pekerjaannya.

A. Cara-Cara Penyelesaian Urusan Perkawinan

Dalam rangka mempertahankan ikatan persaudaraan, proses penyelesaian urusan


perkawinan dilakukan dengan cara musyawarah mufakat tanpa memandang starata maupun
tingkat ekonomi yang dimiliki sebuah keluarga. Hal ini untuk menghindari terjadinya
desintegrasi dalam masyarakat. Karena sesungguhnya perkawinan menurut adat Sasak adalah
anugerah dari Yang Maha Kuasa, untuk itu masyarakat Sasak memiliki

aturan-aturan dalam proses penyelesaian perkawinan sebagai berikut:

1.             Saling Ajinin, proses saling ajinin dilakukan dengan pola saling tagih-menagih antar keluarga.
Pemberian beban oleh pihak perempuan kepada pihak pria disebut gantiran. Saling ajinin
biasanya dilakukan kepada pasangan yang sekufu agama dan kebangsaan.
2.             Keterimen/Ketampen, yaitu bila perkawinan yang tidak sekufu kebangsaan namun sekufu agama,
maka diberikan hak untuk menikah dengan prosesi yang terbatas, dimana keluarga dekat pihak
laki-laki dalam jumlah yang terbatas datang bejango kepada pihak perempuan.
3.             Kepaicayang, bila terjadi perkawinan namun pihak perempuan lebih tinggi statusnya dan keluarga
pihak perempuan tidak setuju. Pihak laki-laki dibolehkan bejango namun tidak diterima oleh
keluarga perempuan, pihak perempuan boleh menyerahkan kepada orang lain untuk
menerimanya.
4.             Kehambil/Tegadingan, bila terjadinya perkawinan yang sekufu dalam segala hal, tetapi keluarga
pengantin wanita meminta calon pengantin pria untuk dinikahkan di rumah keluarga pihak
perempuan. Hal ini sekaligus sebagai wujud syukur dari pihak perempuan atas hadirnya anak
laki-laki dalam keluarganya (Sasak: ite nganak mame)
5.             Kepanjing, adalah hak pihak perempuan untuk dinikahkan, sementara urusan adat menjadi tugas
pemerintah adat (krama Desa). Artinya pihak perempuan tidak boleh batal dinikahkan gara-gara
tersangkut masalah adat.

Anda mungkin juga menyukai