Anda di halaman 1dari 22

KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK SEBAGAI MODEL

PENGELOLAAN KONFLIK DI MASYARAKAT LOMBOK

(LOCAL WISDOM OF SASAK TRIBE AS A MODEL FOR LOMBOK SOCIETY


CONFLICT MANAGEMENT)

Muhammad Harfin Zuhdi

Dosen Fakultas Syari’ah UIN Mataram


Pos-el: harfin72@gmail.com

Diterima: 9 April 2018; Direvisi: 9 Mei 2018; Disetujui: 21 Mei 2018

Abstrak

Kearifan lokal sebagai suatu kekayaan budaya yang mengandung nilai pandangan,
kebijakan, dan kearifan hidup masyarakat dalam banyak ragam variannya, seperti
tercermin dalam konsep krama, sesenggak. perteke, atau lelakaq. Namun saat ini
kearifan lokal masih belum difungsikan secara optimal, padahal kearifan lokal dapat
dijadikan rujukan sebagai model dalam pengelolaan konflik dan masalah sosial di
masyarakat. Keterlibatan kearifan lokal dapat diupayakan melalui pembangunan
perdamaian untuk mencegah dan melokalisir konflik di masyarakat, karena melibatkan
kearifan lokal terbukti mampu mempertahankan harmoni sosial. Artikel ini berupaya
mendeskripsikan kearifan lokal suku Sasak dengan pendekatan kualitatif berbasis
content analisis. Dalam upaya pengelolaan konflik harus ada keterlibatan tokoh agama
dan tokoh adat dalam mendorong hadirnya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap
kearifan lokal. Oleh karena itu, untuk menjadikan kearifan lokal sebagai model dalam
pengelolaan konflik, maka perlu direvitaliasi dan disosialisasikan secara sistematis dan
massif sehingga dapat fungsional sebagai model pengelolaan konflik di masyarakat
Lombok. Pendekatan multikultural berbasis kearifan lokal ini merupakan model
penting yang dapat dimanfaatkan untu pngelolaan konflik di wilayah ini.

Kata kunci: konflik, kearifan lokal suku Sasak, pendekatan multikultural, pengelolaan
konflik

Abstract

Local wisdom can be defined as a local cultural treasure that contains the values of life policy,
life viewpoints, and living wisdom. Local wisdom not only applied locally to a particular culture
or ethnic, but also to be a cross-cultural or cross-etnical known as the concept of Bhineka
Tunggal Ika (Unity in Diversity) in which there are teachings of mutual assistance, tolerance,

64
65 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

hard work, and mutual respect. Local wisdom can be used as a reference in solving problems
in the community.In the related reconciliation efforts, it was revealed that there was the
involvement of religious and traditional leaders in encouraging the enhancement public
appreciation of local wisdom. The local wisdom of the Sasak tribe varies widely, as reflected
in the concept of krama, sekenggak. perteke, or lelakaq. Sasak local wisdom needs to be
revitalized and socialized systematically and synergistically by traditional leaders, religious
leaders and stakeholders in the region to function as a model of conflict management in Lombok
society. This multicultural approach based on local wisdom is an important model that can be
utilized to minimize conflicts in the region.

Keywords: conflict, local wisdom of Sasak tribe, multicultural approach, conflict resolution

1. Pendahuluan berbau kekerasan yang marak merebak


Pulau Lombok didiami oleh di berbagai daerah, termasuk di
sejumlah suku dengan budaya, agama, Lombok, Provinsi Nusa Tenggara
ras dan gologan yang berbeda. Barat. Selain meyebabkan jatuhnya
Perbedaan tersebut telah dapat bernilai korban jiwa yang tak sedikit, konflik
positif bagi pengembangan masyarakat juga mengakibatkan dampak sosial
setempat namun juga mengandung nilai yang luar biasa. Berbagai konflik
negatif, yakni dapat menjadi dasar komunal ini bukan hanya sangat
pemicu terjadinya konflik. mengganggu stabilitas nasional, tetapi
Kemajemukan tersebut merupakan juga mengancam integrasi bangsa.
suatu tantangan besar bagi pemerintah Inilah sebetulnya tantangan terberat
dan masyarakat dalam memper- bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
tahankan kondisi daerah agar tetap tersusun secara multikultur, multietnik,
aman dan tidak terjadi konflik yang dan multiagama yang rapuh dan rentan
dapat merugikan banyak pihak. jatuh dalam perpecahan jika bangsa ini
Selama ini, pulau Lombok gagal mengelolanya secara baik.
terkenal sebagai pulau yang aman dan Untuk kasus Nusa Tenggara
nyaman untuk ditempati sehingga Barat, fenomena konflik kekerasan
menjadi primadona tujuan destinasi telah menunjukkan intensitasnya, baik
wisata nasional maupun internasional. dalam bentuk konflik horizontal antar-
Namun, dalam dua dekade terakhir, warga, konflik suatu golongan
realitas harmoni Indonesia kerap keagamaan dengan masyarakat
terkoyak oleh serangkaian konflik sekitarnya, dan yang masih segar dalam
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 66

ingatan masyarakat adalah apa yang masyarakat. Tentunya hal itu tidak
terjadi di pesantren Umar bin Khattab diinginkan terulang kembali. Oleh
(UBK) di Bima. Demikian juga, karena itu, dibutuhkan suatu bentuk
fenomena benih-benih paham upaya preventif agar tidak terulang serta
keagamaan radikal dan potensi konflik penanganan permasalahan yang timbul
komunal masih bercokol di sejumlah dengan baik secara proporsional,
tempat di pulau Lombok, seperti terutama dengan pendekatan kearifan
konflik Monjok versus Karang lokal.
Taliwang.
Lebih jauh, dalam konteks 2. Kerangka Teori
kelompok-kelompok masyarakat yang 2.1. Kearifan Lokal Suku Sasak
berbeda agama, jika dicermati Kedamaian dan keharmonisan
pergerakannya, meski di permukaan sebetulnya merupakan kultur dominan
nampak rukun dan tenang, namun di masyarakat Sasak. Sejumlah idiom
bawah permukaan sesungguhnya terjadi yang dikenal di lingkungan masyarakat
persaingan dan perebutan pengaruh dan Sasak sangat dekat dengan orientasi
pengikut. Lebih jauh, konflik sosial kedamaian. Konsep ajinin yang secara
akibat sara telah menimbulkan kerugian harfiah berarti saling menghormati,
besar bagi masyarakat maupun reme, rapah, regen yang berarti suka
pemerintah, dari sisi materiel yakni memberi, memilih situasi aman damai
hancurnya infrastruktur yang ada dan dan mendukung toleransi menambah
hilang/rusaknya harta kekayaan. Lebih khazanah kearifan lokal masyarakat
dari itu, konflik juga berdampak pada Lombok dalam menjalani relasi sosial.
sosio-psikologik dan sosio-kultural Sejak masa lampau, etnis Sasak
yang memprihatinkan bagi masyarakat telah mengenal wadah yang menjadi
di mana konflik terjadi. Konflik sosial induk dalam kehidupan bermasyarakat
tersebut telah menimbulkan depresi mereka yang mengatur tentang
sosial, traumatik, keinginan balas pedoman hidup warga masyarakat, dan
dendam, dan menguatnya fenomena tempat mereka mencari rujukan untuk
social tention, cultural disintegration menetapkan sanksi atas terjadi
dan rendahnya social trust terhadap pelanggaran dalam tata pergaulan
pemerintah maupun terhadap kelompok komunitasnya. Wadah itu dikenal
67 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

dengan istilah krama. Konsepsi ini a. Krama banjar urip pati, yaitu suatu
teraktualisasikan atau terjabarkan kelompok adat atau perkumpulan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat yang anggotanya
masyarakat Sasak sejak masa lampau terdiri atas penduduk di suatu
sehingga pelaksanaan dari konsepsi kampung/dusun (dasan) atau berasal
kultural itu telah menjelma menjadi dari beberapa dasan, yang
berbagai elemen atau unsur yang tidak keanggotaannya berdasarkan dan
terpisahkan. mempunyai tujuan yang sama.
Secara konseptual, krama Krama banjar lebih banyak bergerak
merupakan institusi adat yang pada banjar yang terkait urusan
memayungi kearifan lokal yang terdiri orang hidup dan orang yang mati.
atas dua macam, yaitu krama sebagai Jenisnya antara lain krama banjar
lembaga adat dan krama sebagai aturan subak, krama banjar merariq, krama
pergaulan sosial. Ajikrama terdiri atas banjar mate, dan krama banjar haji.
kata, aji yang berarti harga atau nilai b. Krama Gubuk, yaitu bentuk krama
dan krama yang berarti ‘suci’ dan adat yang beranggotakan seluruh
terkadang berarti ‘daerah atau kesatuan masyarakat dalam suatu gubuk
penduduk dalam suatu wilayah dalam (dasan, dusun, kampung) tanpa
suatu daerah adat’. Dengan demikian, kecuali. Keanggotaan krama tidak
ajikrama lambang adat, artinya nilai memandang bulu asalkan secara adat
suci dari suatu strata sosial adat Sasak dan administratif yang bersangkutan
berdasarkan wilayah adatnya. adalah penduduk yang sah di dalam
2.2. Krama dalam Fungsi Sosial dan gubuk.
Hukum c. Krama Desa, yaitu majelis adat
Subbab di atas telah menjelaskan tingkat desa, terdiri atas pemusungan
bahwa ajikrama lambang adat yang (Kepala Desa Adat), juru arah
artinya nilai suci dari suatu strata sosial (Pembantu Kepala Desa), lang-lang
adat Sasak ini dibagi menjadi dua, desa (Kepala Keamanan Desa),
yaitu: jaksa (Hakim Desa), luput
1. Krama sebagai lembaga adat terdiri (Koordinator Kesejahteraan Desa),
atas beberapa bagian, antara lain: dan kiai penghulu.
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 68

2. Krama sebagai aturan pergaulan terhadap status sosial sesorang


sosial terdiri atas beberapa bagian, dalam masyarakat.
yaitu: Penerapan beberapa Krama
a. Titi Krama, merupakan adat yang dalam kehidupan etnis Sasak telah ikut
diatur awig-awig sebagai hasil mendorong lahirnya berbagai bentuk
kesepakatan adat dari seluruh kearifan lokal dalam kumunitas tersebut
masyarakat adat. Jika dilanggar, yang mengandung nilai-nilai yang
dikenakan sanksi sosial atau sanksi masih cocok dalam konteks kekinian
moral seperti adat bejiran dan relevan untuk diwariskan melalui
(bertetangga), adat nyangkok pendidikan bagi peserta didik. Elaborasi
(menginap di rumah pacar). berikut ini akan menyajikan pola-pola
b. Bahasa Krama, merupakan budi kearifan lokal yang dimaksud.
pekerti, sopan santun atau tata tertib 2.3. Kategorisasi Bentuk Kearifan
adat yang diatur dalam awig-awig Lokal
adat yang harus dilakukan dengan Secara umum, terdapat tiga
bahasa lisan dan bahasa tubuh yang kategori bentuk kearifan lokal suku
santun dan tertib, dilakukan dengan Sasak Lombok, yaitu:
penuh tertib-tapsila. Dalam bahasa a. Bidang politik, sosial,
krama terdapat beberapa kaidah dan kemasyarakatan, tercermin dari
tata bahasa yang termuat dalam sebelas macam “saling” sebagai
kearifan lokal masyarakat Sasak, pengikat tali silaturrahmi masyarakat
antara lain: tata bahasa, indit bahasa, Sasak, yaitu: (1) saling jot/perasak
rangin bahasa, peribahasa. (sama-sama saling memberi atau
c. Aji Krama, merupakan harga adat mengantarkan makanan); (2) saling
komunitas atau juga harga status pesilaq (sama-sama saling undang
sosial seseorang atau nilai martabat untuk suatu hajatan keluarga); (3)
kekerabatannya seseorang yang saling belangarin (sma-sama saling
terkait dengan hak adat dalam layat jika ada kerabat/sahabat yang
komunitas, baik dalam lingkungan meninggal); (4) saling ayoin (sama-
keluarga maupun dalam lingkungan sama saling mengunjungi); (5) saling
masyarakat adat secara umum. Aji ajinan (sama-sama saling
krama ini mencerminkan pengakuan menghormati atau saling menghargai
69 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

terhadap pebedaan, menghargai b. Bidang ekonomi perdagangan,


adanya kelebihan dan kekurangan tercermin dari tiga macam saling
yang dimilki oleh seseorang atau sebagai praktik kearifan lokal, yaitu:
kelompok tertentu); (6) saling saling peliwat (suatu bentuk
jangoq (sama-sama saling menolong seseorang yang sedang
silaturrahmi, menjenguk jika ada di pailit atau jatuh rugi dalam usaha
antara sahabat sedang mendapat atau dagangannya, saling liliq/gentiq
mengalami musibah); (7) saling bait (suatu bentuk menolong kawan
(sama-sama saling ambil-ambilan dengan membantu membayar hutang
dalam adat perkawinan); (8) saling tanggungan sahabat atau kawan,
wales/bales (sama-sama saling balas dengan tidak memberatkannya
silaturrahmi, kunjungan atau semu dalam bentuk bunga atau ikatan
budi /kebaikan yang pernah terjadi lainnya yang mengikat), dan saling
karena kedekatan-persahabatan); (9) sangkul/sangkol/sangkon (saling
saling tembung/sapak (sama-sama menolong dengan memberikan
saling tegur sapa jika bertemu atau bantuan material terhadap kawan
bertatap muka antar seorang dengan yang sedang menerima musibah
orang lain dengan tidak dalam usaha perdagangan).
membedakan suku atau agama); (10) c. Bidang adat budaya, tercermin dari
saling saduq (sama-sama saling saling tulung (bentuk tolong
mempercayai dalam pergaulan dan menolong dalam membajak
persahabatan) terutama membangun menggaru sawah ladang para petani);
peranakan Sasak Jati (persaudaraan saling sero (saling tolong dalam
Sasak sejati) di antara sesama sanak menanami sawah ladang); saling
(saudara) Sasak dan antar orang saur alap (saling tolong dalam
Sasak dengan batur luah (non- mengolah sawah ladang, seperti
Sasak); dan (11) saling dalam hal ngekiskis/membersihkan
ilingan/peringet (sama-sama saling rerumputan dengan alat potong kikis
mengingatkan satu sama lain antara atau ngoma/ngome/ mencabuti
seseorang (kerabat/ sahabat) dengan rumput; dan besesiru/besiru, yaitu
setulus hati demi kebaikan dalam nilai kearifan lokal ini juga hampir
menjamin persaudaraan/silaturahmi. sama dengan saling saur alap, yaitu
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 70

pekerjaan gotong royong bekerja di memanas, maka kita harus mampu


sawah dari menanam bibit sampai menjadi pendingin sebagai mediator
panen. b. Besual/besiaq cara anak kemidi,
Di samping ketiga katagori (bertengkar seperti cara cara pemain
tersebut, ada juga nilai-nilai kearifan sandiwara), maknanya boleh saja
lokal dalam komunitas Sasak yang kita berselisih pendapat, tetapi tidak
memiliki signifikansi nilai dan sangat boleh menyimpan dendam.
cocok diterapkan dalam kehidupan saat c. Aiq meneng, tunjung tilah, empaq
ini maupun di masa akan datang, yaitu bau, (air tetap jernih, teratai tetap
nilai-nilai yang terdapat dalam utuh, ikan pun dapat ditangkap),
ungkapan bahasa yang dipegang teguh maknanya adalah bahwa dalam
dalam pergaulan sehari-hari dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu
peribahasa dan pepatah sebagai perekat perselisihan, diupayakan agar
pergaulan masyarakat Sasak, yang suasana tetap tenang, masyarakat
dalam komunitas Sasak diistilahkan tidak panik, lingkungan masyarakat
dengan sesenggak. Sesenggak yaitu tidak tertanggu, masalah atau
ungkapan bahasa (tradisional) yang perselisihan terselesaikan dengan
berbentuk peribahasa dan pepatah damai.
sebagai perekat pergaulan masyarakat d. Banteng belage jerami rebaq,
Sasak. (banteng yang beradu di tengah-
Dalam sesenggak, banyak tengah sawah menyebabkan jerami
terkandung ajaran-ajaran dan nilai-nilai rebah dan patah), maknanya adalah
kearifan tradisional, seperti pertikaian yang terjadi pada dua
mengajarkan tentang ketuhanan, orang pemimpin akan menyebabkan
pendidikan, moral, hukum dan kesengsaraan dan penderitaan bagi
sebagainya. Beberapa contohnya antara rakyatnya. Hal ini diumpamakan
lain dengan peristiwa yang terjadi di
a. Adeqte tao jauq aiq (supaya kita tengah-tengah sawah, jika
dapat membawa air), maknanya diperhatikan, banteng, sapi, atau
bahwa dalam suatu perselisihan atau kerbau yang sedang beradu di tengah
pertengkaran yang sedang terjadi dan sawah yang baru selesai dipanen,
keadaan jerami yang semula berdiri
71 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

beraturan menjadi rubuh, jatuh tak 3. Metode Penelitian


tentu arah akibat pertarungan Pendekatan penelitian ini
banteng tersebut. Demikianlah menggunakan metode kualitatif yang
perumpamaan bagi pemimpin yang didasarkan pada pertimbangan untuk
bertikai dan akibatnya bagi rakyat. menjawab masalah dan tujuan
Peribahasa ini ditujukan pada orang- penelitian, yaitu tentang Kearifan Lokal
orang berkedudukan, baik dalam Suku Sasak Sebagai Model Pengelolaan
lingkup yang kecil maupun yang Konflik Di Masyarakat Lombok.
besar. Data-data yang digunakan dalam
Berdasarkan uraian tentang penelitian ini meliputi data primer dan
kearifan lokal suku Sasak, mulai dari data sekunder. Data primer terdiri atas
masalah krama sampai dengan dokumen-dokumen tentang kearifan
sesenggak, dapat dirumuskan dan lokal suku Sasak, hubungan antara
disimpulkan bahwa terdapat sepuluh Islam dengan budaya lokal dan hasil
unsur atau komponen nilai-nilai yang wawancara dengan para tokoh agama
tercermin dalam kearifan lokal dan adat di pulau Lombok. Dalam
masyarakat Sasak, yaitu: (i) keimanan penelitian ini, digunakan teknik
kepada Allah; (ii) sikap toleransi; (iii) wawancara mendalam (in-depth
kerja sama dengan orang lain; (iv) interview) dengan menggunakan
menghargai pendapat orang lain; (v) pokok-pokok sebagai pedoman. Pokok-
memahami dan menerima kultur pokok diperlukan agar wawancara tidak
masyarakat; (vi) berpikir kritis dan menyimpang dari fokus masalah
sistematik; (vii) penyelesaian konflik penelitian untuk menghindari terjadinya
tanpa kekerasan; (viii) kemauan kevakuman selama wawancara. Pokok-
mengubah gaya hidup dan kebiasaan pokok wawancara untuk masing-
konsumtif; (ix) sensitif terhadap masing tidak selalu sama, sesuai dengan
kesulitan orang lain; dan (x) kemauan asumsi sebelumnya tentang keterangan
dan kemampuan berpartispasi dalam yang dapat diperoleh dari informan
kehidupan sosial. yang bersangkutan.
Data penelitian ini berupa
kegiatan kebudayaan dalam berbagai
bentuk, misalnya lisan, tulisan, fisik,
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 72

properti dan simbol-simbol budaya Dengan demikian, pendekatan yang


lokal. Selain itu, data penelitian ini umum sebenarnya tidak relevan
berupa situs-situs keagamaan yang diterapkan dalam menangani masalah
terkait dengan budaya lokal yang ada di konflik lokal sehingga dibutuhkan
daerah penelitian. model khusus. Pendekatan dalam
Karena penelitian ini bersifat penyelesaian konflik yang belum
kualitatif, analisis datanya bersifat iteratif banyak dikaji tetapi sebenarnya telah
(berkelanjutan) dan dikembangkan lama berjalan adalah kearifan lokal
sepanjang penelitian berlangsung.
(local wisdom).
Maksudnya, analisis data tidak dilakukan
Pola penyelesaian konflik
setelah pengumpulan data selesai, tetapi
memang kadang unik, sehingga model
dilaksanakan mulai penetapan masalah,
di suatu daerah tak mungkin diterapkan
pengumpulan data dan setelah data
terkumpul. Dengan demikian, peneliti
di daerah lain. Oleh karena itu, dalam

dapat mengetahui kekurangan data yang menentukan langkah penyelesaian


harus dikumpulkan dan dapat mengetahui berbagai peristiwa konflik perlu
metode mana yang harus dipakai pada dicermati dan dianalisis banyak hal;
tahap berikutnya. tidak saja faktor global universal, tetapi
Dalam penelitian ini, analisis perlu juga faktor lokal dan khusus.
dilakukan secara induktif, yaitu peneliti Penyelesaian konflik akan lebih tepat
berangkat dari fakta-fakta dan jika menggunakan model-model
ketentuan-ketentuan yang bersifat penyelesaian yang disesuaikan dengan
khusus, kemudian dibuat generalisasi kondisi wilayah serta budaya setempat.
analisis sehingga dapat diambil Penyelesaian yang ideal adalah jika
simpulan yang besifat umum. dilakukan atas inisiatif penuh dari
masyarakat bawah yang masih
memegang teguh adat lokal serta sadar
4. Pembahasan akan pentingnya budaya lokal dalam
4.1 Model Pengelolaan Konflik menjaga dan menjamin keutuhan
Berbasis Kearifan Lokal
masyarakat.
Penyelesaian konflik seharusnya Tradisi dan kearifan lokal yang
disesuaikan dengan konteks dan latar masih ada dan berlaku di masyarakat
atau setting di mana konflik itu terjadi. berpotensi untuk dapat mendorong
73 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

keinginan hidup rukun dan damai. Hal kebersamaan atau sama-sama


itu disebabkan kearifan tradisi lokal menguntungkan (win-win solution) bagi
pada dasarnya mengajarkan perdamaian yang bersengketa dan tidak merugikan
dengan sesamanya, lingkungan, dan satu pihak, sementara pihak lain
Tuhan. Pendekatan kearifan lokal diuntungkan (win-lose solution).
sangat tepat dalam menyelesaikan Dalam konteks masyarakat suku
konflik karena selama ini di samping Sasak di Lombok, Islam merupakan
sudah membudaya dalam masyarakat, rujukan utama dan lensa ideologis
kearifan lokal juga masih memiliki nilai dalam memahami dan mengevaluasi
sakral dan tidak hanya berorientasi perubahan. Islam mempunyai peranan
profan semata. Dengan adat lokal ini, yang sangat penting dalam menghadapi
diharapkan resolusi konflik bisa selesai perubahan serta kekuatan-kekuatan
dan diterima secara damai oleh semua eksternal yang dirasakan sebagai
kelompok dalam waktu lama. ancaman terhadap kehidupan sosial
Selain argumen di atas, beberapa mereka. Islam merupakan agama yang
alasan lain pentingnya pendekatan sangat dominan di pulau Lombok yang
kearifan lokal dalam mediasi konflik memainkan peran penting sebagai
adalah karena kearifan lokal umumnya penjaga nilai-nilai kearifan lokal yang
lebih menekankan nilai-nilai berkembang di masyarakat.
kemanusiaan, kebersamaan, Pada masyarakat Sasak, kearifan
persaudaraan, dan sikap ketauladanan, lokal merupakan hal yang tidak dapat
bukan pada nilai-nilai individual. dipisahkan dengan agama dan adat
Penyelesaian dengan resolusi konflik budaya. Karenanya, denyut nadi
secara damai tidak meninggalkan rasa kehidupan masyarakat Sasak
dendam dan sakit hati berkepanjangan, memerlukan cara-cara yang arif lagi
tetapi membangun emosi persaudaraan, bijaksana. Karena itu, sikap yang etik
rasa, nurani dan kehormatan diri. Oleh yang dikembangkan masyarakat Sasak
karena diselesaikan dengan rasional, setidaknya juga tercermin dari petuah
pelibatan emosi dan perasaan, para orang tua yang dapat disimpulkan
penyelesaian bersifat tuntas dan dapat dalam ungkapan-ungkapan berikut:
diterima semua pihak yang bertikai. Di Solah mum gaweq, solah eam daet,
sinilah, resolusi konflik menawarkan bayoq mum gaweq bayoq eam daet
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 74

(baik yang dikerjakan maka akan Ketiga hal inilah yang akan
mendapat kebaikan dan buruk yang mewarnai setiap pandangan, ucapan,
dikerjakan maka akan mendapatkan dan perbuatan masyarakat Sasak
keburukan), piliq buku ngawan, semet menjadi adab budaya yang tidak hanya
bulu mauq banteng, empak bau, aik diukur dengan hasil karya secara
meneng, tunjung tilah. Masyarakat material, namun yang lebih penting
memahami bahwa seluruh alam raya adalah nilai-nilai yang diperoleh selama
diciptakan untuk digunakan oleh hidup yang tercermin dari pelaksanaan
manusia dalam melanjutkan evolusinya adat istiadat mereka (Sarjana, 2004).
hingga mencapai tujuan penciptaan. Aspek kearifal lokal suku Sasak
Kehidupan mahluk-mahluk Tuhan inilah yang perlu dielaborasi dan
saling terkait. Bila terjadi gangguan dieksplorasi secara komprehensif dan
yang luar biasa terhadap salah satunya, holistik sehingga terbentuk pola
mahluk yang berada dalam lingkungan pemahaman tentang kearifan local yang
hidup akan ikut terganggu pula. terpadu, bersinergi, dan harmoni yang
Berdasarkan aturan adat budaya dimiliki masyarakat Sasak dalam hidup
ini, muncul budaya tradisional bermasyarakat sebagai model dalam
masyarakat Sasak yang tidak lepas dari mengeloala konflik yang melibatkan
pola trinitaris dasar yakni: pertama, semua elemen masyarakat dan stake
“epe-aik” sebagai Pemilik yang Maha holder yang ada dalam masyarakat.
Kuasa atas segala asal kejadian alam Sementara itu, fenomena maraknya
dan manusia. Kedua, “gumi-paer” konflik sosial yang terjadi di
sebagai tanah tempat berpijak di situ masyarakat suku Sasak, baik di
langit dijunjung, karena di “gumi-paer” Lombok Barat, Lombok Tengah,
ini masyarakat Sasak dilahirkan, diberi Lombok Timur, dan Kota Mataram
kehidupan dan selanjutnya diwafatkan. harus dilihat secara komprehensif.
Ketiga, “budi-kaye” yang merupakan Fenomena konflik saat ini memang
kekayaan pribadi dari kesadaran akan melanda hampir semua etnis
“budi-daye” yang menurunkan “akal- masyarakat di Indonesia. Hal ini
budi” pada setiap diri manusia untuk menjadi fenomena umum ketika saluran
mendapatkan kemuliaan hidup yang informasi dapat diakses secara masif,
akan dibawa sampai meninggal dunia. sehingga dapat membawa ekses kepada
75 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

komunitas lain yang secara latah “ikut- merawat dan mengelola perbedaan
ikutan” untuk mengekspresikan tersebut. Hanya saja, berbagai kearifan
eksistensi identitas etnis atau lokal yang mungkin dikembangkan di
kelompoknya. negeri ini masih saja membutuhkan
Di samping itu, konflik juga apresiasi dan penguatan dari para elit
dipicu oleh adanya ketimpangan sosial agar kearifan lokal ini bekerja
dan anomali moral dalam masyarakat. (workable) secara baik. Para pemimpin
Hal inilah yang menyebabkan pada tradisional adalah penggerak yang
batas-batas tertentu tidak berfungsinya menentukan harmoni sosial pada suatu
kearifan lokal secara maksimal komunitas.
sehingga perlu dilakukan upaya Dalam komunitas Sasak,
revitalisasi kearifan lokal dan reka cipta sejumlah kearifan nilai lokal sejatinya
kearifan lokal baru (institutional dapat dikembangkan sebagai upaya
development), suatu reka cipta kearifan mengelola konflik dan membangun
lokal baru, yang tepat guna untuk harmoni. Nilai-nilai kearifan lokal bisa
menjawab tantangan sosial, ekonomi dilacak dari naskah kuno Kotaragama,
dan budaya, serta politik masa kini di sesenggak (peribahasa), perteke, atau
masyarakat. lelakaq (pantun). Berikut ini
Rekomendasi perlunya diketengahkan beberapa pantun
melibatkan “orang dalam” melalui (lelakaq) kearifan lokal Sasak yang
kearifan lokal sebagai alternatif resolusi memiliki makna luhur dalam
konflik sebetulnya bisa digunakan membangun harmoni kedamaian untuk
untuk kasus-kasus konflik bernuansa meredam konflik dan mengingatkan
agama. Meskipun agama masih tentang tujuan akhir kehidupan untuk
diperdebatkan sebagai unsur budaya mendapatkan kebahagiaan dan
atau bukan dalam konstruksi sosial keselamatan dunia-akhirat. Hal ini
masyarakat, fakta historis tergambar dari pantun (lelakaq) Sasak
memperlihatkan bahwa proses integrasi berikut ini:
dan harmoni di antara keyakinan yang Niniq Bai, Bije Sanaq Naken
Bagus – bagus ntan jauq diriq endak
berbeda yang pernah hidup di Indonesia
langgar adat krama tertip tapsila endak
dapat berlangsung justru karena piwal leq dengan towaq, pengelingsir
leq pesware dengan si kwase silaq
kontribusi kearifan lokal dalam
beriuk tunas ring arepan dekaji Allah
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 76

Ta’ ale Neneq si Kuase ampoq te jari ini mengarah pada upaya menjaga
dengan besanakan si tao jauq diriq
harmoni sosial, seperti budaya roah
Saleh-solah-soloh, Patut-patuh-pacu
genem geger gerasak Lombok Mirah atau begawe, yang berarti pesta. Dalam
Saksaq Adi, sekadi siq tesurat leq dalam
banyak kesempatan, roah dilakukan
kitab negare kerta game maliq perlu te
pade iling, Sai-sai juaq si te ican jari pada upacara kelahiran, pernikahan
perkanggo endaq jari dengan si besifat
hingga kematian serta aktivitas
bahil loba tamaq beterus betabeat
angkuh iri dengki dait sombong iling- perayaan hari-hari besar keagamaan,
iling-iling beriuk pade iling.
seperti Maulid Nabi dan Isra’-mi’raj.
Tradisi ini dilaksanakan dengan cara
Berdasarkan pantun tersebut,
sebuah keluarga biasanya memasak
tergambar bahwa kedamaian dan
makanan dan mengundang tetangga,
harmoni sebetulnya merupakan kultur
teman, atau sanak sadara untuk makan
dominan masyarakat Sasak. Sejumlah
bersama. Mereka secara kekeluargaan
idiom yang dikenal di lingkungan
melakukannya dengan cara duduk
masyarakat Sasak sangat dekat dengan
bersila melingkar dan bersama-sama
orientasi kedamaian. Konsep ajinin
menyantap makanan yang dihidangkan.
yang secara harfiah berarti saling
Aktivitas ini biasanya disebut begibung
menghormati, reme, rapah, regen, yang
(Suprapto, 2013).
berarti suka memberi, memilih situasi
Dalam begibung, semua orang
aman damai dan mendukung toleransi
duduk sejajar tanpa dibedakan status
menambah khazanah kearifan lokal
sosialnya. Mereka membaur menjadi
masyarakat Lombok dalam menajalani
satu dan dalam suasana penuh
relasi sosial.
kekeluargaan. Meskipun sejumlah
Selain terdapat sejumlah petuah
orang tokoh seperti tuan guru dan kiai
lama yang menjadi nilai-nilai luhur
biasanya memperoleh hidangan lebih
yang mengatur interaksi sosial di Pulau
awal ketimbang warga yang lain tetapi
Lombok, terdapat pula banyak tradisi
secara keseluruhan posisi mereka dalam
yang jika ditelusuri dapat menjadi
proses begibung adalah sama.
bagian dari upaya bina damai (peace
Menyantap makanan tanpa
building). Tradisi-tradisi tersebut
menggunakan sendok, semua orang
hingga kini masih dipraktikan di
merasakan menu masakan yang sama
komunitas Sasak, terutama di daerah
sambil bercengkerama secara lepas.
pedesaan. Hampir keseluruhan tradisi
77 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

Tradisi ini jelas menggambarkan ini, masyarakat suku Sasak juga sadar
adanya kerukunan dan keharmonisan di dan tidak menutup mata jika kehidupan
antara warga. Semangat menjalin mereka memang berbeda dan mereka
silaturahim sangat kental dalam juga biasa memuji kepada orang-orang
kegiatan ini. yang mampu menjaga diri dan
Praktik kearifan lokal Sasak keluarganya dari perbuatan-perbuatan
dalam bentuk institusi roah atau tercela.
begawe ini merupakan institusi Di luar falsafah hidup yang dapat
slametan yang berkaitan dengan digali dari kearifan lokal tersebut, pada
kerukunan dalam kehidupan beragama. beberapa desa di Lombok, terdapat pula
Kerukunan dan keselarasan sejumlah aturan yang disepakati
menggunakan media slametan pada bersama oleh anggota masyarakat dan
suku Sasak tercermin dalam slametan menjadi semacam hukum tak terlulis.
kelahiran anak, slametan kematian, Aturan yang disepakati bersama ini
slametan ibadah keagamaan seperti dinamakan awig-awig. Awig-awig, ada
haji, slametan untuk menuntut ilmu dan yang tertulis dan ada yang tak tertulis.
rizki dan bermacam-macam bentuk Dalam praktiknya, awig-awig ini dapat
slametan lainnya. Pada masyarakat lebih efektif dibanding hukum formal
suku Sasak, jika dalam acara slametan yang dikonstruksi negara. Rumusan
ini, maka tidak seorangpun merasa awig-awig yang bersumber dari
dibedakan dari orang lain. masyarakat dan dirumuskan secara
Dengan adanya acara slametan partisipatif mendorong masyarakat
masyarakat suku Sasak, akan dapat dengan sukarela menaati dan
tercipta hubungan yang harmonis, tanpa menjaganya. Jadi, ketaatan yang
adanya jarak antara orang per orang dan muncul lebih karena kesadaran, bukan
kelompok dalam komunitas paksaan.
masyarakat. Namun demikian, 4.2 Revitalisasi Prinsip Nilai
Kearifan Lokal Suku Sasak
meskipun ada jarak dalam interaksi
sosial kehidupan masyarakat suku Untuk memahami nilai budaya
Sasak --hal ini tidak dapat dipungkiri-- suku Sasak secara komprehensif,
, dengan slametan akan tetap terjaga dibutuhkan pengertian dan pemahaman
keharmonisannya. Dengan slametan terhadap makna dari setiap perangkat
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 78

simbolnya. Perangkat simbol yang tidak akan dijilat kembali, bagaikan


bermakna ini dapat ditemui dalam bunga yang tidak akan mekar dua kali
berbagai sumber, seperti ungkapan dan hujan jika telah turun tidak akan
dalam komunikasi sehari-hari, interaksi kembali naik. Sehubungan dengan
dan transaksi-transaksi adat, bait-bait ungkapan tersebut, sebuah sesenggak
pantun yang disebut “lelakaq” atau dalam bahasa Sasak mengatakan:
“lawas”, petuah para orang tua ”sampi betali isiq pepit, manuse betali
(pengelingsir) yang disebut “wadi isik raos”, artinya “sapi diikat dengan
temah”, dongeng-dongeng tradisional seutas tali, sedangkan manusia diikat
yang disebut “waran” atau “tuaran”, dengan kata-katanya”.
dan perumpamaan-perumpamaan yang 2. Prinsip dalam Kepemimpinan
disebut “sesenggak”. Selain itu, ada
Dalam Kotaragama diatur
juga sumber-sumber tertulis, seperti
macam-macam sifat yang terpuji antara
naskah-naskah kuno, seperti lontar,
lain, rakyat tidak boleh “nganut”
babad, dan sebagainya.
(sekehendak hati), “sadu” (mengambil
4.3 Prinsip-Prinsip Kearifan Lokal
hak orang lain), “tahu” (bersifat
Suku Sasak
mendua), “kawanten” (menyebarkan
Adapun prinsip-prinsip kearifan
aib pimpinan), “jahil” (memfitnah
lokal suku Sasak dapat dirumuskan
pemimpin); setiap pemimpin terhadap
sebagai berikut.
rakyat haruslah bersifat seperti : ”giri
1. Prinsip Kejujuran dan Kesetian
suci” (bagaikan sebuah gunung yang
Memegang Janji
suci dan anggun), “surya” (matahari
Sifat tersebut di dalam
yang menerangi orang sebumi),
Kotaragama disimbulkan dengan kata
“sasangka” (bulan yang bersinar
“danta” (gading gajah), “danti” (ludah),
lembut dan tidak dinyalakan), “jaladri”
“kusuma” (bunga), “warsa” (hujan).
(bagaikan laut, menampung segala
Artinya, setiap kata-kata yang
aspirasi), “bahni pawaka” (bagaikan
diucapkan atau janji-janji yang
api, tidak gentar menghadapi
diikrarkan wajib dipegang dan
kezaliman), “nilatadu” (bagaikan
dipertahankan dengan kuat bagaikan
langit, tetap pada keagungan).
gading gajah yang apabila telah keluar
Ungkapan simbolik dalam sesenggak
tidak akan masuk lagi, jika berludah,
suku Sasak mengatakan “embe aning
79 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

jarum, ito aning benang”, artinya sungguh berbuat kebajikan), “rurung


“kemana arah jarum ke situ arah bender, turne gantar”, artinya “jalan
benang” (rakyat taat kepada pemimpin lurus lagi pula lebar” (kesejahtraan dan
yang adil), “pancing udang lain dait ketentraman hidup karena menuruti
pancing tune”, artinya “pancing udang, ajaran agama).
berbeda dengan pancing ikan tuna” 4. Prinsip Kebersamaan dan Gotong
Royong
(pendekatan terhadap orang dilakukan
dengan cara yang sesuai dengan watak Kearifan lokal Suku Sasak sangat
dan keadaannya), “tumpu mandi isiq menjunjung tinggi kebersamaan dalam
penyadu”, artinya “obat mujarab oleh menjalani kehidupannya, baik di
kepercayaan” (pemimpin harus lingkungan keluarga, kerabat maupun
mendapat kepercayaan dari rakyatnya). di lingkungan yang lebih luas. Nilai
3. Prinsip dalam Menegakkan kebersamaan dan gotong royong ini
Ajaran Agama
tercermin dalam berbagai ungkapan
Pengamalan hukum adat Sasak yang mengandung kearifan, antara lain
pada hakikatnya menghendaki setiap :“Sorong jukung leq segara, bareng
orang untuk selalu menjaga hubungan onyak bareng lenge”, artinya “dorong
yang harmonis, baik antarsesama, perahu di laut, bersama-sama baik
maupun dengan alam sekitar. bersama-sama buruk” (jalankan hidup
Semuanya harus dijalani dengan senasib dan sepenanggungan), “Sipat
mengharapkan rida dari Allah Swt, anak empaq, tao pesopok diriq”, artinya
Tuhan Semesta Alam. Hal ini tercermin “sipat anak ikan, bisa menyatukan diri”
dalam ungkapan-ungkapan antara lain: (perselisihan dan perbantahan harus
“Agama beteken lan betakaq adat”, dihindari). Ungkapan-ungkapan yang
artinya “agama bertiang dan berwadah mengandung nilai kearifan dalam
adat” (adat istiadat yang berlaku harus lelakaq Sasak, seperti “beriuk”, “beriuk
berfungsi menegakkan dan menyucikan tinjal”, artinya “serempak, selangkah,
agama), “ndaq ta ngaken barak api”, seayun dalam bekerja”, “reme”, artinya
artinya “jangan kita makan bara api” “solidaritas dalam bekerja sama”,
(larangan untuk memakan riba), “pacu- “siru”, artinya “saling berbalas dengan
pacu punik akherat”, artinya “rajin- kebaikan”.
rajin mencetak akhirat” (bersungguh-
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 80

5. Prinsip Persamaan dan saling terbuka untuk dinikmati bersama


Kebersamaan Hak
dan setiap ahli waris tidak bebas untuk
Persamaan hak mengandung arti memperalihkannya kepada orang di
harkat kemanusiaan setiap orang harus luar ahli waris). Jual beli dalam
dihargai dalam wujud mengakui, lingkungan keluarga dan kerabat tidak
menghormati, dan menjalankan hak- dilarang, tetapi fungsi harta warisan
hak yang dimilikinya. Prinsip ini yang menjadi objek transaksi tetap
terlihat pada berbagai aspek dalam sebagai media pemersatu, tidak boleh
kehidupan, seperti dalam pengamalan diabaikan. Hal ini tercermin dalam
hukum adat waris yang dikenal ungkapan “nemu sarat kepeng”, artinya
memiliki nilai-nilai kearifan, antara “menerima warisan dengan syarat
lain: harta warisan yang disebut uang” dalam hal ini tidak dipergunakan
“pusaka” disimbolkan sebagai “tolang istilah beli. Hal ini mengandung makna
daeng papuq baloq”, artinya “tulang untuk tidak menghilangkan mata rantai
rusuk nenek moyang” (harta warisan itu pewarisannya.
meskipun “terbagi”, pada hakikatnya Dalam memiliki harta benda,
tetap dianggap “tidak terpisah” dalam tidak boleh riya dan sombong karena
arti tetap dipandang sebagai “alat harta yang dimiliki hakikatnya adalah
pemersatu” di kalangan para ahli milik Allah (“dowen Neneq”). Dalam
waris). Harta warisan yang belum pergaulan kemasyarakatan, orang Sasak
dibagi disebut “dowe tengaq”, artinya tidak boleh menunjukkan keakuannya
“harta tengah” mengandung arti “hak atas harta bendanya. Hal ini tercermin
dan kewajiban para ahli waris terhadap dalam ungkapan “dowen pelungguh saq
harta warisan adalah seimbang”. leq tiang”. Demikian pula dalam
Artinya nilai warisan yang diterima ahli pergaulan antarsesama, sangat
waris sebanding dengan tanggung dijunjung tinggi falsafah tindih, maliq,
jawab atau kewajiban yang melekat dan matiq.
padanya. Harta warisan (pusaka) yang 6. Prinsip Kemanusiaan
sudah terbagi tetap dipandang tidak
Martabat setiap orang harus
terpisah, tercermin dalam
dihargai dan dijunjung tinggi dalam arti
ungkapan/istilah “dowe sopoq”, artinya
setiap orang dijamin haknya untuk
“harta yang satu” (prinsipnya tetap
berkompetisi demi meningkatkan
81 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

harkat dan martabat kemanusiaannya. Demikian halnya dengan hasil yang


Hal ini tercermin dalam ungkapan dicapai, tidak boleh dihambur-
lelakaq Sasak “kaoq mondong jagung, hamburkan. Dalam konteks ini, ada
sai tao jari agung”, artinya “kerbau beberapa nilai lokal yang berhubungan
memikul jagung, siapa bisa jadi dengan prinsip ekonomi dan etos kerja
terhormat” (tanpa melihat asal usul dan tersebut, di antaranya : “Kendeq teteh
simbol-simbol martabat individual, sie leq segara”, artinya “jangan buang
setiap orang mempunyai hak yang sama garam di laut” (ini mengandung makna
untuk meraih sukses). “ulah mandi isiq larangan melakukan pekerjaan sia-sia).
bisana”, artinya “ular bertuah karena Di dalam bekerja, setiap orang dituntut
bisanya atau racunnya” (seseorang itu untuk cekatan yang disebut “kencak”
berharga atau berguna karena ilmunya). dan rajin yang disebut “genem”. Hasil
7. Prinsip Pemeliharaan yang diperoleh harus digunakan dengan
Lingkungan
hemat yang disebut “itiq”, larangan
Dalam pemeliharaan lingkungan, berperilaku boros, diungkapkan secara
baik bersifat fisik maupun nonfisik, simbolik “serut cina sampat besi”,
kearifan lokal suku Sasak memberikan artinya “serut cina sapu lidi besi” (suka
tuntunan yang sangat arif dan dilandasi menghamburkan harta), karena perilaku
keharusan bagi setiap orang untuk hemat bisa menghantarkan orang
memiliki kesadaran yang tinggi. menjadi kaya yang disebut “tomot”.
Pelaksanaan kewajiban tidak Apabila orang telah meraih
disebabkan rasa takut terhadap kehidupan berkecukupan (tomot), tidak
penguasa, atau pemilik saja, tetapi lebih boleh kikir dan tamak, tetapi harus
dilandasi atas rasa takut terhadap dermawan yang disebut “lome”. Setiap
komunitas dan di atas segala-galanya risiko dalam pekerjaan harus dihadapi
adalah takut kepada Allah Swt. dengan sabar “keduk lindung bani
8. Prinsip dalam Perekonomian dan raok”, artinya “mencari belut berani
Etos Kerja
kena lumpur” (untuk mencapai tujuan
Setiap orang dituntut untuk selalu dalam bekerja harus berani
bekerja dengan penuh kesabaran dan menanggung risiko). “Mesang ima
keuletan. Setiap pekerjaan dilakukan naenta, bawaq lanjaq batur”, artinya
dengan pertimbungan rasional. “ringankan tangan dan kaki kita agar
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 82

tempat nasi teman menjadi rendah” Dalam konteks upaya penyelesaian


(jika kita rajin, rezeki mudah didapat). konflik ini, nilai kearifan lokal suku
Dalam mencari rezeki, jangan sekali- Sasak tercermin dalam ungkapan-
kali memeras orang, “Kendeq nenggala ungkapan antara lain: “empaq bau, aiq
leq atas bongkor batur”, artinya meneng, tunjung tilah”, artinya “ikan
“jangan membajak di atas punggung tertangkap, air tetap jernih, bunga
teman” (larangan mengambil teratai tidak rusak, tetap utuh”.
keuntungan dari jerih payah orang lain). Maksudnya, dalam penyelesaian
“nyuit isiq jaum”, artinya “menyungkil konflik harus diorientasikan untuk
menggunakan jarum” (ketekunan menghasilkan kepuasan kedua belah
berusaha yang akhirnya membawa pihak, kedua belah pihak merasa
hasil). “sorok dampuk, bosang boros”, menang dan tidak ada yang merasa
artinya “sorok selalu menghasilkan, kalah; “adeq ta tao jauk aiq”, artinya
tetapi tempat penyimpanan bocor” “supaya kita bisa membawa air”.
(ketidakmampuan mengatur penghasil- Maksudnya, dalam suatu perselisihan,
an). “tiwas karang jari apuh, manah tan pertengkaran atau konflik yang
keneng obah”, artinya “biarpun batu memanas, kita mampu menjadi
karang jadi kapur, hati tidak boleh pendingin; “sifat anak empaq tao
berubah” (harus memiliki ketetapan pesopoq diriq”, artinya “sifat anak ikan
hati dalam memberikan pengorbanan bisa menyatukan diri”. Maknanya
demi memperjuangkan cita-cita). adalah mengandung nasihat untuk
9. Prinsip dalam Penyelesaian selalu menghindari berbantahan satu
Konflik
sama lain; “sikut tangkong leq awak
Di dalam penyelesaian sengketa, mesaq”, artinya “ukur baju pada badan
kearifan lokal suku Sasak tidak sendiri”. Ungkapan ini mengandung
menghendaki putusan kalah menang, makna bahwa segala perbuatan
akan tetapi harus mengarah kepada seseorang kepada orang lain,
perdamaian yang diselesaikan dengan hendaknya diukur dengan ukuran pada
musyawarah mufakat. Dalam upaya diri sendiri.
penyelesaian itu, kedua belah pihak bisa Beberapa prinsip nilai kearifan
saling menjaga perasaan masing- budaya lokal suku Sasak inilah yang
masing (tao saling undur pasang). perlu direvitalisasi dan dieksplorasi
83 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

secara komprehensif dan holistik, secara individual dan kolektif dengan


sehingga terbentuk pola pemahaman berbagai dimensinya (Baidhawy, 2001).
tentang kearifan lokal yang terpadu,
bersinergi, dan harmoni yang dimiliki 5. Penutup
masyarakat Sasak dalam hidup Demikianlah elaborasi tentang
bermasyarakat sebagai model dalam kearifan lokal suku Sasak yang sarat
mengelola konflik yang melibatkan dengan nilai-nilai yang baik dan sesuai
semua elemen masyarakat dan dengan norma-norma agama yang
stakeholder dalam masyarakat. Oleh selama ini diyakini secara teguh oleh
karena itu, dalam konteks revitalisasi masyarakat Sasak. Aturan-aturan dan
kearifan local, dibutuhkan sebuah norma-norma ini telah lama
dialog yang tidak hanya memunculkan terinternalisasi di masyarakat sehingga
kelebihan masing-masing sambil penghargaan dan penerimaan sebuah
merendahkan nilai yang lain, tetapi keputusan akan bertahan lama.
sebuah dialog yang sanggup Sejatinya, apa yang muncul dari hasil
menciptakan ruang heteroglosia, kesepakatan tersebut merupakan
bersuara majemuk. Dialog bukan hanya kehendak bersama masyarakat. Hal
percakapan atau pertemuan dua pikiran penting yang diperlukan adalah
dan hati mengenai persoalan bersama, kesediaan dari para elit, baik elit agama
tetapi komitmen bersama yang (tuan guru, kyai), elit pemerintah,
tujuannya agar setiap partisipan dapat maupun elit adat untuk duduk bersama
belajar dari yang lain, sehingga dapat mengembangkan pola bina damai
berubah dan berkembang. Dengan berbasis kearifan lokal. Kesediaan para
demikian, paradigma dan sistem nilai elit terhadap prakarsa bina damai ini
sawa adalah menyangkut cara manusia sangat penting karena meskipun sebuah
melakukan perjumpaan dengan dan daerah telah memiliki serangkaian
memahami diri sendiri dan dunia lain nilai-nilai lokal dan mekanisme resolusi
(the others) pada tingkat terdalam (from konflik, tetapi semuanya akan sulit
within), membuka kemungkinan- berjalan tanpa keterlibatan elit secara
kemungkinan untuk menggali dan aktif. Untuk itu, diperlukan penguatan
menggapai selaksa makna fundamental di tingkat elit agar nilai-nilai kearifan
lokal dapat dikembangkan menjadi
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAK… (M. Harfin Zuhdi) | 84

bagian dari upaya resolusi konflik dan Daftar Pustaka


prakarsa perdamaian di masa depan.
Potensi kolaborasi revitalisasi Abdullah, Irwan, dkk (ed.).(2008).
Agama dan Kearifan Lokal dalam
kearifan lokal berbasis agama ini sangat Tantangan Global. Yogyakarta:
mungkin dikembangkan tanpa harus Pustaka Pelajar.
bertabrakan dengan kaidah-kaidah Ayatrohaedi.(1986). Kepribadian
Islam sebagai agama mayoritas Budaya Bangsa (local Genius).
Jakarta: Pustaka Jaya.
masyarakat Lombok karena dalam
Islam sendiri konsep seperti al-‘urf atau Baidhawy, Zakiyuddin.
(2001).“Membangun Sikap
al-‘addah muhakkamah merupakan Multikulturalis perspektif
konsep yang selama ini menjadi bagian Teologi Islam”. Makalah pada
Halqah Tarjih: Menuju Muslim
dari sumber hukum. Pilihan penguatan Berwawasan Multikultural, 2001.
dapat dilakukan dengan banyak cara
Fukuyama, F. (2002). The Great
sesuai kultur lokal, mulai dari kegiatan Disruption: Hakikat Manusia dan
Rekonstitusi Tatanan Sosial.
sangkep (pertemuan, seminar), dan
Yogyakarta: Qalam Press.
gundem (musyawarah) yang difasilitasi
Ismail. (1990). Wawasan Jatidiri dalam
oleh pemerintah atau lembaga swadaya Pembangunan Daerah.
masyarakat. Selebihnya, dalam bidang Semarang: Effhar dan Dahara
Prize.
pendidikan, baik formal (sekolah,
madrasah) maupun nonformal Ja’far, M.(2009). Agama dan
Pergeseran Refresentasi: Konflik
(pesantren), pengembangan kurikulum dan Rekonsiliasi di Indonesia.
muatan lokal hendaknya Jakarta: The Wahid Institute.

memperhatikan kearifan lokal ini. Kaplan, D. and Robert A, Manners.


Sebagaimana watak dari kearifan lokal (1972). Culture Theory. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.,
sendiri yang merupakan sedimentasi Englewood Cliffs.
dari proses dinamika masyarakat dalam
Koentjaraningrat. (1993). Manusia dan
kurun waktu yang lama, eksistensinya Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
akan sangat tergantung dari kesediaan
para aktor lokal dalam merawat dan Marzali, Amri, dkk. (2003). Konflik
Komunal di Indonesia Saat Ini.
mentransmisikan nilai-nilai tersebut Jakarta: INIS
dari generasi ke generasi.
85 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85

Nasir, Mohamamd. (1998). Metode


Penelitian. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Sarjana, Agus. (2004). “Otokritik Islam


dan Budaya Sasak Yang Mandul
Mencegah Kekerasan” dalam
Diskusi Publik “Peran Agama
Dalam Mencari Solusi
Kekerasan” Praya, 16 Februari
2004.

Sholahuddin, Marwan. “Mengenal


Kearifan Lokal di Klepu
Ponorogo: Praktik Hubungan
Sosial Lintas Agama dan
Mekanisme Pencegahan Konflik”

Sriyanto, Agus. (2012).“Resolusi


Konflik Keluarga Berbasis
Kearifan Lokal Islam Nusantara”.
Jurnal Analisis, Volume XII,
Nomor 2, Desember 2012

Sriyanto, Agus. (2012).“Resolusi


Konflik Keluarga Berbasis
Kearifan Lokal Islam Nusantara”.
Jurnal Analisis, Volume XII,
Nomor 2, Desember 2012

Suprapto. (2013). “Revitalisasi Nilai-


Nilai Kearifan Lokal Bagi Upaya
Resolusi Konflik”. Jurnal Wali
Songo, Vol.21, No. 1, 2013

Zada, Khamami, dkk.(2008).Prakarsa


Perdamaian: Pengalaman dari
Berbagai Konflik Sosial. Jakarta:
Lakpesdam NU.

Zuhdi, Muhammad Harfin. (2015).


Parokialitas Adat Wetu Telu:
Dialektika Agama Lokal di Bayan
Lombok. Mataram: Sanabil.

Anda mungkin juga menyukai