Anda di halaman 1dari 8

Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No.

1, Januari 2018, Halaman 81-88 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

KEARIFAN LOKAL TERBONSAI ARUS GLOBALISASI:


KAJIAN TERHADAP EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT
Danggur Konradus
Konsultan Hukum Sumber Daya Alam dan Advokat
Wisma Mitra Sunter Lt. 8, R. 02, Jl Yos Sudarso Kav 89,
Mitra Sunter Boulevard Block C2, Jakarta Utara
kantorhukum_dggrk@yahoo.com & konsdenggo21@gmail.com,

Abstract

The indigenous people had been in existence before the state was founded. Their various existence
required the local wisdom that stated explicitly in Indonesia Constitusion. The acknowledgement
and protection of indigenous people was limited in the sector norm of natural resources and far away
from the legal certainty and contradictory one each other. The legal harmony and reconstruction the
way of thinking of indigenous people. In the beginning, their traditonal rights was single
interpretation and change to be co- interpretation. The state existed to prepare the prosperity and
empower the local wisdom of indegenous people. The state need instrumental norm of indegenous
people that pro - local wisdom and justice. The indigenous people will advance from local to
globalisation without loss the Indonesian unsure.

Keywords :indigenous people, local wisdom, globalisation, Pancasila

Abstrak

Eksistensi masyarakat hukum adat sudah ada sebelum Negara terbentuk. Keberadaannya itu sarat
nilai kearifan lokal yang kemudian menuangkan dalam konstitusi Negara Indonesia. Pengakuan
dan perlindungan masyarakat hukum adat sebatas dalam norma hukum sektoral sumber daya alam,
terkesan jauh dari kepastian dan satu sama lainya bertentangan. Harmonisasi hukum dan
rekonstruksi cara pandang atas masyarakat hukum adat, hak-hak tradisionalnya yang semula mono
interpretasi/tafsir,menjadi co-interpretasi. Negara hadir untuk memakmurkan dan
mensejahterakan dengan memberdayakan kearifan lokal masyarakat hukum adat, untuk itu
memerlukan norma instrumental masyarakat hukum adat yang pro-kearifan lokal, pro keadilan
karena demikian kearifan lokal masyarakat hukum adat bisa maju dari glokalisasi menuju
globalisasi tanpa kehilangan ke-indonesiaan.

Kata Kunci: masyarakat hukum adat, kearifan lokal, globalisasi, Pancasila

A. Pendahuluan sistem hukum dan sistem pemerintahan


Harus diakui, sebelum Negara tradisional tersendiri (Lawang, 1999;
Kesatuan Republik Indonesia berdiri, telah Madung, 2013; Toda, 1999).
hidup masyarakat yang masih berada dalam Keberadaan masyarakat hukum adat
format lokal, homogeny, ekslusif dan (MHA) di Indonesia sangat plural, dengan
memiliki hukum yang tak tertulis yang kekasan masing-masing. Pluralitas tersebut
dinamakan “Moral Kehidupan Komunitas” sebagai aset dan kekayaaan bangsa yang
atau hukum adat (Wignjosoebroto, 2013). bernilai strategis, penting dan tentunya
Mereka terus-menerus berkembang dan berharga dan ekonomis. Itu semua dengan
melembaga, sehingga menjadi sebuah jelas tesimbol pada berbagai ekspresi
kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan budaya, bahasa, seni tari, nyanyian dan
tingkah lakunya. Interaksi yang terus- sebagainya, sebagai wujud jati diri bangsa
menerus di antara mereka, sehingga mereka Indonesia, yang sudah terlindungi tidak saja
mempunyai sistem politik, sistem ekonomi, dari aspek norma dasar dan norma
81
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 1, Januari 2018, Halaman 81-88

instrumental, tetapi hadirnya negara dalam individual dan hedonis berhamburan di


ruang masyarakat adat itu menjadi penting. pelataran ruang hidup MHA. Pertemuan dua
Dalam konteks lingkungan hidup, corak masyarakat tersebut akan menimbulkan
MHA merupakan kelompok yang memiliki perubahan sosial, persepsi dan perilaku
pandangan hidup holistik, komunalistik MHA, terutama generasi mudanya dan
transcendental, yang menjadi dasar b a h k a n a k a n m u n c u l c u l t u re s h o c k
hubunganya dengan alam lingkungannya. (goncangan budaya).
Pandangan hidup itu tercermin pada kearifan Implikasi-implikasi global tersebut
lokal (local wisdom) yang menjadikan hidup diatas sebagai sebab primer terjadinya
mereka tetap stabil dan eksis dalam bingkai perubahan struktural kemasyarakatan dengan
hubungan simbiostis mereka dengan alam bergesernya pluralisme masyarakat timur
lingkungannya yang harmonis. Bumi-alam menjadi masyarakat pluralisme global.
bagi MHA dianggap sebagai seorang “ibu” Dengan demikian disana terjadi pertemuan
yang melahirkan, memelihara dan memberi antara hukumnya MHA yang masih kuat dan
kehidupan kepada mereka dimana hal ini taat pada tradisi dan hukum yang hidup (living
mereka tempatkan sebagai “morality of life” law) serta kearifan lokalnya dengan nilai-nilai
sehingga mereka tidak serakah,rakus dan baru yang bersandar pada sains, teknologi dan
tamak di dalam mengelola sumber daya alam. nilai kebebasan (Menski, 2009) bahkan
Mereka memiliki sistem pengelolaan sumber berhadapan dengan hukum Negara yang
daya alam berdasarkan kearifan lokal yang sentraslistis.
dimiliki turun-temurun dari leluhurnya. Mengacu pada kondisi objektif yang
Dalam masyarakat adat Rongga, Flores-NTT, dihadapi MHA berkaitan dengan terpaan arus
misalnya, terdapat tradisi kebhu Suku Lowa, globalisasi sebagaimana diuraikan
sebuah tradisi menangkap ikan secara massal sebelumnya, permasalahan yang diajukan
di muara Nangarawa yang dilakukan 4 tahun dalam tulisan ini adalah pertama, apa urgensi
sekali dibawah pimpinan tua adat suku Lowa. perlindungan negara terhadap masyarakat
Di luar waktu tersebut masyarakat setempat hukum adat dan hak tradisional serta kearifan
tidak boleh menangkap ikan di muara lokalnya dalam era globalisasi saat ini?
tersebut. Jika ketahuan atau tertangkap Kedua, apakah upaya konkrit pemerintah
tangan, maka yang bersangkutan akan dalam mengintegrasikan nilai kearifan lokal
mendapat sanksi adat berupa denda adat MHA ke dalam sistem hukum pengelolaan
(Sarong, 2013). sumber daya alam yang bernilai adil untuk
Dalam kehidupan sosial, MHA kemakmuran rakyat?
merupakan role model dalam mengembang-
kan kehidupan bersama yang harmonis, adil B. Pembahasan
dan damai, mereka memiliki norma-norma 1. Hak Tradisional Masyarakat Hukum
dalam membangun kehidupan bersama. Adat Dalam Era Globalisasi
Norma-norma tersebut ditetapkan sebagai a. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
nilai dan sebagai pedoman bagi kehidupan Masyarakat adat (the old axisting
bersama demi terwujudnya relasi harmonis, natives) lahir secara alamiah
aman dan damai tersebut. Pelanggaran (Wignjosoebroto, 2014). Dalam sejarah yang
terhadap norma-norma sosial biasanya ditulis beberapa ahli hukum adat dan
diselesaikan secara adat yang tidak antropologi, hadirnya masyarakat tua atau
memerlukan menang-kalah, sehingga pra-moderen tersebut tidak berbasiskan
harmoni tetap terjaga dalam tananan kontraktual, tetapi berdasarkan tradisi suku
kehidupan mereka. komunitas pra-moderen yang menegakkan
Namun, saat ini MHA mengalami tertib hukumnya berdasarkan tradisi hukum
terpaan arus globalisasi dengan dampak suku-suku. Cara mereka menegakan hukum
ikutannya yang tidak dapat dicegah. Kini adalah dengan status askriptif yaitu
nilai-nilai baru dengan semangat kapitalis, menetapkan setiap individu sejak awal

82
Danggur Konradus, Kearifan Lokal Terbonsai Arus Globalisai

kelahirannya menurut tradisi masyarakat itu b. Masyarakat Hukum dalam Instrumen


sendiri, diluar kehendak individu yang Hukum Internasional
bersangkutan. Asas ini t menjadi senyawa dan I n t e r n a t i o n a l Wo r k G ro u p f o r
darah daging dalam dalam diri anggota Indigenious Affairs (IWGA),
komunitas sebagai penuntun perilaku anggota mengidentifikasi, 370 juta penduduk dunia
komunitas tersebut (Wignjosoebroto, 2013). adalah MHA yang berada pada daerah
Kata MHA, terjemahan dari bahasa terpencil, tersebar dari masyarakat hutan (di
Belanda adatrechtsgemeenschap, disebut amazon) sampai masyarakat adat di India, dan
juga masyarakat tradisional. Sedangkan Aborigin di Australia dan berada dalam
masyarakat adat (indigenous peoples) artinya kawasan kaya mineral dan penuh sarat dengan
suku bangsa yang berdiam di negara merdeka nilai kearifan lokal masyarakat tersebut
yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya didalam menjaga keharmonisan hubungan
berbeda dengan kelompok masyarakat lain dengan alam. Keberadaan MHA itu Nampak
atau suku bangsa yang telah memahami suatu begitu penting dalam sejarah umat manusia,
negara sejak masa kolonialisasi yang karena itulah Perserikatan Bangsa-Bangsa
memiliki kelembagaan ekonomi, budaya dan (PBB) menghimbau negara anggota PBB
politik sendiri. agar memberdayakan, menghormati, dan
Terkait dengan keberadaan MHA melindungi MHA termasuk melindungi
tersebut dalam konteks sosiologis, kearifan lokal yang dimilikinya.
antropologis dan kesejerahan, sampai pada Eksistensi MHA begitu penting dan
suatu pertanyaan yakni kriteria seperti apa startegis, karena demikian pula pengakuan
sarat adanya MHA itu. Terkait dengan dan perlindunganya-pun dilakukan melalui
pertanyaan demikian terdapat dua kriteria konvensi-konvensi Internasional maupun di
dasar untuk menentukan identitas kelompok luar Konvensi Internasinal. Konvensi
MHA yaitu kriteria objektif meliputi internasional telah menggariskan
komunitas antropologis yang bersifat pengakuan dan perlindungan MHA melalui
homogen namun memiliki hubungan sejarah beberapa konvensi diantaranya (a) Konvensi
baik rohaniah maupun lahiriah dengan suatu International Labour Organization (ILO) 169,
homeland (wilayah leluhur). Sedangkan Tahun 1989, mengenai perlindungan dan
kriteria subjektif berkaitan dengan integrasi penduduk pribumi, masyarakat adat,
identifikasi diri sebagai komunitas masyarakat asemia adat pada Negara
antropologis dan keinginan kuat memelihara merdeka. Perlindungan tersebut meliputi,
identitas tersebut. Dalam kriteria lain, dari hak menidentifikasi diri sendiri sebagai
aspek susunan masyarakat hukum adat terdiri masyarakat adat, hak untuk menjaga dan
atas masyarakat adat genealogis (hubungan mebgembangkan adat istiadat, tradisi dan
darah), teritorial (didasarkan pada wilayah lembaga adat, (b) konvensi keanekagaman
tempat tinggal yang sama) dan teritorial- hayati (Convention on Bilogical Diversity)
genealogis ( wilayah tempat tinggal yang Rio de Jenerio di Brasil tahun l992, (c)
sama dan ada hubungan darah satu keturunan) konvensi Hak ekonomi, sosial dan budaya
(Samosir, 2013). ditetapkan PBB melalui resolusi Majelis
Kriteria-kriteria dasar tersebut diatas, Umum No.2200 A (XXI) 16 Desember 1966.
dalam perkembangannya terbonsai melalui (d) konvensi proteksi dan promosi
kebijakan politik hukum norma dasar, pasal keanregaman Eksprepsi Budaya di Paris
18 B ayat (2) UUD NKRI Tahun l945, tahun 2005. Sedangkan pengatran diluar
melalui pengakuan dan kriteria bersarat konvensi melalui Deklarasi PBB tentang
terhadap keberadaan masyarakat hukum hak hak masyarakat adat tahun di New York,
adat. Maka diperlukan rekonstruksi politik (2007), Deklarasi Rio De Jenerio dan Agenda
hukum pengakuan masyarakat hukum adat 21 yang menyepakati tentang pengakuan
sebagai identitas keindonesiaan yang peran MHA dalam pembangunan
terkristal dalam nilai-nilai Pancasila. berkelanjutan, Protokol Nagoya , Jepang,

83
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 1, Januari 2018, Halaman 81-88

Deklarasi Universal UNESC0 tentang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
keragaman budaya di Paris (2001) dan UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
lainnya. UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Norma hukum instrumental Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Pulau Kecil;
sebagaiman disebutkan diatas, menunjukkan UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
betapa peran penting MHA dilibatkan secara Batubara.
aktif dan pasti didalam sama –sama Kaidah tentang MHA dan budayanya
mengkonstruksi kebijakan-kebijakan didalam norma instrumental sektoral tersebut
pembangunan sumber daya alam yang diatas, tidak menyentuh substansi sendi
berkelanjutan yang direkemonedasikan kehidupan MHA itu sendiri dan bahkan justru
dalam konvensi internasional. Jaminan dan digunakan sebagai ajang kampanye bahwa
perlindungan norma instrumental melalui negara melindungi MHA dan budayanya.
konvensi internasional maupun deklarasi Ironis memang, di satu sisi negara mengakui
PBB dan sebagainya, sebagai sumber hukum keberadaannya, tetapi di sisi lain pengakuan
yang berlaku bagi negara pengikut dan itu bersyarat. Pengakuan bersyarat inilah
penadatangani norma hukum internasional yang penulis istilahkan MHA terbonsai
tersebut. Konvensi konvensi tersebut dalam (dipelihara, dirawat dan diayomi supaya
prakteknya secara nasional belum bisa kelihatan indah, bersih dan rapi). Padahal
menjadi sumber hukum primer ketika dibalik keindahan itu, MHA berikut nilai
kebijakan politik hukum instrumental kearifan lokal MHA tersebut sebenarnya
nasional, mengkonstruksikan kondisi tidak kuat keberadaannya. Bahkan dapat
obyektif dengan cara pandang mono tafsir dikatakan sebagai tameng klaim
atas MHA itu sendiri. internasional mana kala menanyakan
Negara Indonesia rajin mengikuti perlindungan MHA sebagaimana telah
konvensi internasional bahkan menanda disepakati perlindungan dan pengakuan pada
tangani konvensi tersebut, nampaknya segan tingkat Konvensi Internasional maupun
memprioritaskan isu masyarakat hukum adat Deklarasi Tingkat Tinggi PBB.
tersebut ke dalam politik norma instrumental,
walaupun dalam norma dasar telah mengakui 2. Kearifan Lokal dan Globalisasi
bersyarat masyarakat hukum adat, pasal 18 B Kearifan lokal (local wisdom) atau
atay (2) UUD.NRI Tahun 1945. Amanat dalam kajian lain disebut local genius, atau
norma dasar tersebut adalah keniscayaan cultural identity merujuk pada satu subjek,
untuk dijabarkan ke dalam norma yaitu masyarakat hukum adat setempat.
instrumental, namun masih dalam tahap Istilah culture identity diperkenalkan pertama
Rancangan Undang-Undang MHA yang kali oleh Quritch Wales (Quritch Wales, 1948-
masih diendap di Parlemen.(DPR) 1949). Local genius atau cultural identity
Pengendapan tersebut memperlihat-kan (identitas/ kepribadian) adalah budaya bangsa
adanya berbagai kepentingan politik pada yang mampu menyerap dan mengolah
fraksi-fraksi di DPR, terutama terkait dengan kebudayaan asing sesuai watak dan
pengelolaan sumber daya alam dan eksistensi kemampuan sendiri. Kemampuan budaya
MHA itu sendiri. Pada sisi lain justru sendiri termasuk budaya daerah apapun
keberadaan MHA dimasukan dalam kaidah jenisnya masuk dalam ruang local genius
norma instrumental yang sektoral yaitu yang memiliki ciri-ciri yaitu : (a) mampu
antara lain: UU No. 5 Tahun l960 Tentang bertahan atas budaya luar ; (b) memiliki
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; UU kemampuan untuk mengakomodasi budaya
No. 41 Tahun l999 Tentang Kehutanan; UU luar;(c) mampu mengintegrasikan budaya
No. 5 Tahun l994 tentang Pengesahan luar kedalam budaya asli dan mampu
Konvensi Internasional Mengenai mengendalikan serta mengarahkan
Keanekaragaman Hayati (United Nation perkembangan budaya.
Convention on Biological Diversity); UU Dalam aspek sosial ekonomi, local
No.7 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; UU genius menjadi obyek pariwisata yang
84
Danggur Konradus, Kearifan Lokal Terbonsai Arus Globalisai

memerlukan promosi-promosi (go pantai, permukaan air dan dibawah air).


international) sehingga memerlukan Bangsa Indonesia memiliki kekayaan
penyesuaian tanpa hilang keindonesiaan dan dan keanekaragaman kearifan lokal yang
negara seharusnya hadir dalam ruang promosi merupakan kristalisasi dari cara pandang dan
tersebut untuk mewujudkan tujuan Negara perilaku lebih dari 389 suku bangsa, di
Indonesia sebagaimana tersurat dalam alinea nusantara yang memiliki adat istiadat, bahasa,
ke-4 Pembukaan UUD l945. tata nilai dan budaya yang berbeda-beda.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas Keanekaragaman budaya dan kearifan lokal
dapat dikatakan, local genius merupakan masyarakat adat itulah yang membuat
keseluruhan gagasan yang bersifat bijaksana, Indonesia ditempatkan sebagai taman sari
sarat dengan kearifan yang di dalamnya peradaban dunia. Karena demikian dapat
mengandung nilai baik dan mampu bertahan dikatakan kearifan lokal merupakan
dalam arus budaya asing. Keseluruhan kebenaran yang ajeg dalam suatu daerah,
kearifan lokal tersebut seharusnya menjadi yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai
titik atau sumber-sumber ilmu pengetahuan suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang
yang memiliki nilai universal yang tinggi ada, yang terwujud melalui keunggulan
dalam kehidupan manusia. budaya masyarakat setempat. Kearifan
Memang, pada setiap MHA memiliki tersebut merupakan produk budaya masa lalu
bentuk dan jenis kearifan lokal berbeda-beda. yang secara terus-menerus patut dijadikan
Setiap MHA memiliki tampilan yang pegangan hidup bagi kelompok masyarakat
tangible (berwujud) meliputi kelembagaan, tersebut. Akan tetapi walaupun berstatus
nilai-nilai adat, tatacara adat, prosedur sebagai nilai yang bersifat lokal, namun nilai-
hubungan dengan alam, mekanisme nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal
pemanfaatan ruang,misalnya tanah itu sangat universal (Geriya, 2009) artinya
komunual. dan yang intangible ( Tidak bahwa kearifan lokal itu merupakan
berwujud), meliputi keyakinan kolektif atas kebijaksanaan manusia yang mengandung
kekuatan gaib dan kekuatan tidak nyata nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang
lainnya. Walaupun adanya seperti demikian, sudah melembaga secara tradisional yang
harus dipahami bahwa keberadaan kearifan memiliki daya kenilaian yang membentuk
lokal tidak terlepas dari keberadaan MHA- karakter dan karakter itu berlaku dimanapun
nya. Dimana ada MHA di sana ada kearifan mereka berada. Jepang misalnya
lokal. Mengidentifikasi MHA dapat dimeteraikan sebagai Negara yang berbudaya
diidentifikasi atas kesamaan teritorial, tinggi dan mempertahankan budayanya
geneologis dan teritorial geneologis yang dimanapun mereka berada.
kemudian berimplikasi pada kewenangan Terkait dengan kearifan lokalyang ada
yang dimilikinya. Kewenangan tersebut dalam wilayah nusantara yang berkaitan
melekat pada diri mereka termasuk dengan hubungan dengan sumber daya alam,
kewenangan mereka terhadap sumber daya dan masih kuat dan tetap eksis sampai saat ini,
alam pada wilayah adatnya sendiri. penulis mengambil beberapa dari ribuan
Kewenangan tersebut mencakup kewenangan kearifan lokal MHA yang bertebaran di
mengatur dan menyelenggarakan wilayah nusantara ini. Kearifan lokal tersebut
penggunaan tanah (pemukiman, ruang adalah:
publik, tanah pertanian), kewenangan atas a. kearifan perisitilahan tradisional jawa
tersedianya ladang baru, persawahan baru, yaitu ”ojo tumindak grusa-grusu,
tempat pekuburan dan sebagainya, nanging tumindak khati lendasan
kewenangan untuk memelihara tanah (tanah pikiran kang wening” (jangan
tidak boleh ditelantarkan, kewenangan untuk bertindak terlalu cepat, tetapi
menentukan hubungan hukum antara orang bertindaklah dengan dasar pemikiran
dengan sumber daya alam (pepohonan, air, yang jernih) merupakan contohnya.
binatang, barang galian/bebatuan, pesisir Atau “Ojo Dumeh” (jangan sok)

85
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 1, Januari 2018, Halaman 81-88

mengandung pendidikan moral seperti keseimbangan hidup. Di kawasan


dalam ungkapan 'Ojo Dumeh Kuoso' istana Raja BOTI, misalnya, pohon
(jangan mentang-mentang penguasa). dibiarkan tinggi dan besar ditengah
Ungkapan tersebut merupakan pemukiman warga BOTI. Tujuannya
sindirian pejabat congkak yang adalah agar hewan-hewan tetap
menyalahgunakan jabatannya. terpelihara. Suku BOTI benar-benar
Ungkapan jawa tersebut memberi otonom, tidak meminta kepada
ajaran mawas diri (Waruwuh, 2010). siapapun, karena meminta menurut
b. kearifan lokal “Ongko”suku bajo- suku ini adalah haram, kecuali
Makasar, yaitu pengetahuan tentang pemerintah ingin membangun jalan
lingkungan perairan laut ikut dan memberikan sumbangan.
menentukan atau mengatur tata (Kompas,1 Juli 2017)
kehidupan masarakat bajo d. kearifan lokal “Lingkon pe'ang
sebagaimana terpatri dalam hak ulayat Tembong One” ( di sebagian suku
perairan suku Bajo. Suku Bajo Manggarai–Flores. Kearifan tersebut
memandang dunia laut sama dengan menampilkan ruang sakral yang salah
dunia darat yang memiliki hutan, satu maknanya untuk keadilan dan
gunung, sungai atau kali, lembah dan pemerataan pemberian dan pemilikan
sebagainya. Orang Bajo mengangap tanah dan konservasi hutan alam raya
laut memiliki tempat kramat dan yang disebut dengan ungkapan “
penghuni. Penghuni laut disebut Kembus Wae Teku, Mboas Wae
“Mbo” (dewa laut) yang tetap dijaga Woyang” ( hutan lembat, volume air
jangan sampai murka agar tidak dari mata air besar, rakyat makmur).
membahayakan hidup mereka waktu Sebagaimana diuraikan sebelumnya
di laut, karena itu mereka melakukan bahwa globalisasi dipahami sebagai
ritual “Maduai” Lao”, upacara runtuhnya batas-batas dan jarak antara
melarang tidak boleh menangkap ikan bangsa-bangsa, antara negara dengan negara
dibatu karang, karena diyakini tempat- dan antara budaya yang satu dengan budaya
tempat tersebut tempat tinggalnya lainnya. Dalam konteks ini, budaya lokal mau
“Mbo”. Menurut orang Bajo, hewan tidak mau berhubungan dengan budaya
laut berupa ikan gurita, ikan bawel, modern, familiy global, pasar global, dunia
kulintang dan binatang sejenis penyu menjadi desa buana atau Global Villige.
kunyu hoe, ikan sejenis duyung, ikan Globalisasi dipandang dari dua sisi
lumba-lumba dan hiu merupakan yaitu sisi positif dan negatifnya. Sisi
penjelmaan “Mbo”, karena itu tidak positifnya globalisasi menciptakan new
boleh ditangkap. world dan borderless state, kecuali itu,
c. Kearifan lokal Uis Neno dan Uis Pah, globalisasi memberikan kemudahan bagi
suku Boti di Timor Tengah Selatan. manusia dalam banyak hal, di antaranya:
Keyakinan Uis Neno (Penguasa langit manusia dimudahkan untuk mengakses
yaitu Tuhan Pencipta) dan Uis Pah semua ilmu, sains, teknologi canggih dan
(Roh Roh Leluhur)UIS NENO dan informasi tanpa terbatas dan dibatasi.
UIS PAH disembah melalui pohon- Sebaliknya sisi negatif globalisasi, dengan
pohon, batu-batuan dan tempat-tempat memudahkan akses internasional, sejalan
yang dinilai keramat atau angker. pula arus informasi dan komunikasi tanpa
Mereka percaya Boti Uis Neno berada batas dan tanpa filterisasi berpengaruh pada
didalam Uis Pah”. Karena itu, suku kepribadian, etika, moral kesatuan warga
Boti sangat menghormati alam, bangsa termasuk moral dan karakter MHA,
manusia tidak boleh serakah terhadap bahkan berimplikasi terhadap kebijakan
hutan, binatang, sesama manusia, laut (hukum) nasional. Selain itu tradisi gotong
dan isinya. Mereka sangat menjaga royong yang ada pada MHA semakin pudar

86
Danggur Konradus, Kearifan Lokal Terbonsai Arus Globalisai

dan digantikan dengan budaya Lokal dengan cara mengkonstruksikan


individualistik; masyarakat semakin kebijakan tersebut dalam bentuk norma
teralienasi dari akar budaya lokalnya; instrumental. Artinya ketika pemerintah dan
maraknya peredaran dan penyalahgunaan Parlemen merumuskan kaidah-kaidah
narkoba serta perilaku seksual yang permisif rancangan UU MHA dan kearifan lokalnya,
dan berdampak pada merebaknya penyakit berdampak positif pada MHA dan
menular seksual, termasuk HIV/AIDS dan masyarakat lokal tersebut.
penyakit-penyakit degeneratif, karena gaya Kearifan lokal sebagai bagian penting
hidup permisif, konsumerisme dan dalam mengatur tata kehidupan (design for
hedonisme.Untuk menghadapi implikasi living) MHA harus dilindungi melalui
negatif tersebut Negara hadir dengan konstruksi norma hukum instrumental dan
mengkonstruksikan kebijakan yang pro merekonstruksi peraturan perundang-
rakyat, pro MHA dan pro keadilan dan pro- undangan yang terkait dengan pengelolaan
kearifan lokal sebagaimana diamanatkan sumber daya alam dan budaya lokal yang pro
dalam pembukaan UUD 45 aline ke 4. keadilan, pro kearifan lokal, pro MHA,
karena demikian itu, kearifan lokal MHA
3. Kearifan Lokal, Ciri Keindonesiaan sebagai ciri ke-Indonesiaan tidak akan
Dimana ada MHA, dipastikan tergerus dalam masyarakat pluralis global.
didalamnya ada kearifan lokal. Walaupun Untuk merekonstruksi dan atau
norma dasar mengakui MHA dengan syarat, mengkonstruksikan norma hukum
tetapi kearifan lokal MHA itu, mengandung instrumental yang pro MHA,pro- Kearifan
banyak nilai-nilai yang harus dieksplorasi, Lokal dan pro keadilan, pro masyarakat
diteliti dan dikaji yang kemudian bermanfaat miskin digunakan tolok ukur Pancasila yang
bagi perubahan kebijakan politik hukum memiliki kaidah penuntun dalam
terhadap kearifan lokal MHA. Selain itu pembentukan hukum yaitu:
memberdayakan kearifan lokal MHA tersebut (a) hukum melindungi segenap bangsa
untuk tujuan ekonomis, sosial dan keagamaan dan menjamin keutuhan bangsa (hukum
bahkan bisa menjadi obyek pariswisata. tidak boleh membawa disintegrasi), (b)
Kebijakan Internasional, terhadap MHA, hukum melindungi yang lemah sehingga
kemudian dikonstruksikan dalam kebijakan tidak tereksploitasi dalam persaingan
nasional, tentunya kebijakan itu berdampak bebas atas golongan kuat, (c) hukum
pada MHA yang adalah juga berdampak pada dibangun di atas demokrasi dan
esksistensi kearifan lokal dari MHA tersebut. monokrasi dan (d) hukum tidak boleh
Sally Falk Moore, meginterpretasikan MHA diksriminatif, tetapi hukum mendorong
–masyarakat lokal itu dimaknainya sebagai kesejahteraan atas dasar kemanusiaan
masyarakat tersusun berbagai semi dan keberadaban. (Riyanto, 2014)
autonomous social field (SAFL). Dengan Melalui keempat kaidah penuntun
demikian kebijakan yang terkait dengan dan tersebut diharapkan MHA dan kearifan lokal
berhubungan dengan MHA dan kearifan yang dimilikinya dilindungi oleh Negara dan
lokalnya memberikan manfaat ekonomis, tidak tergerus oleh arus globalisasi.
sosial, religius, atau kebijakan yang
memberikan kemakmuran pada MHA atau C. Simpulan
masyarakat lokal tersebut. 1. Perlindungan dan Pengakuan MHA,
Terkait dengan SAFL tersebut diatas, melalui Konvensi Internasional,
dihubungkan dengan Konvensi Internasional maupun Deklarasi PBB, adalah sumber
maupun Deklarasi PBB tentang pengakuan hukum sekunder bagi Negara Indonesia
dan perlindungan MHA dan kearifan didalam pengakuan dan perlindungan
lokalnya, maka Negara berkewajiban MHA secara bijksana,komitmen dan
melindungi MHA tersebut dengan pelbagai konsisiten melaksanakannya. Peran
kebijakan yang pro MHA dan pro Kearifan Negara dalam era globalisasi adalah

87
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 1, Januari 2018, Halaman 81-88

mengoptimalkan perlindungan kearifan Wignjosoebroto. (2013). Hukum Dalam


lokal MHA, sehingga Keraifan Lokal Masyarakat (ke-2). Yogyakarta: Graha
MHA itu tidak tergerus oleh arus Ilmu.
globalisasi, tetapi globalisasi Wignjosoebroto. (2014). Sosio-Legal
digunakan untuk memeberdayakan Indonesia, Dari Hukum Kolonial ke
nilai kerarifan lokal MHA itu untuk Hukum Nasional (Revisi). Jakarta:
menghasilkan nilai sosial, ekonomis HuMa.
dalam memakmurkan MHA dan atau
masyarakat lokal.
2. Eksistensi MHA, hak-hak dan kearifan
lokalnya, seyogyanya dikonstruksikan
dengan secara jelas dalam norma
instrumental, dengan demikian
kebijakan yang terkait dengan
keberadaan MHA di daerah, dan
kebijakan untuk memberdayakan
kearifan lokal MHA tersebut mengacu
kepada norma instrumental tersebut
yang pro MHA, pro-keadilan dan pro-
kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Geriya. (2009). Menggali Kearifan Lokal


untuk Ajeg Bali. Retrieved January 10,
2015, from http://www.balipos.co.id
Lawang, R. M. Z. (1999). Konflik Tanah di
Manggarai Flores Barat. NTT. Jakarta:
UI Press.
Madung, O. G. (2013). Filsafat Politik
Negara Dalam Bentangan Diskursus
Filosofis. NTT: Penerbit Ledalero.
Menski, W. F. (2009). Comparative Law In A
Global Context (Perbandingan Hukum
Dalam Konteks Global, Sistem Eropa,
Asia dan Afrika. Bandung: Nusa Media.
Riyanto, A. (2014). Berfilsafat Politik.
Yogyakarta: Kanisius.
Samosir, D. (2013). Hukum Adat Indonesia
Eksistensi Dalam Dinamika
Perkembangan Hukum di Indonesia.
Nuansa Aulia.
Sarong. (2013). Serpihan Budaya NTT
(kumpulan Ficer di Harian Kompas).
Maumere: Ledalero.
To d a . ( 1 9 9 9 ) . M a n g g a r a i M e n c a r i
Pencerahan Histografi. NTT: Penerbit
Nusa In
dah.Waruwuh, F. E. (2010). Membangun
Budaya Berbasis Nilai. Yogyakarta:
Kanisius.

88

Anda mungkin juga menyukai