Anda di halaman 1dari 7

Masyarakat Multikultural: Sebuah Pengantar

Elis Shofiyatin
karimaelkarim96@gmail.com

Masyarakat Multikultural di Indonesia


Negara Indonesia merupakan negara dengan tingkat diversitas yang
tinggi, baik diversitas penduduk, kultur, maupun hasil bumi. Diversitas
tersebut memberikan keunikan dalam relasi dan interaksi yang
menciptakan daya tarik dalam setiap wilayahnya, karena keunikan dalam
satu wilayah akan menjadi daya tarik bagi penduduk di wilayah lainnya.
Eksistensi suku-suku di Indonesia dengan masing-masing adat dan
budayanya merupakan kekayaan bangsa yang perlu dihormati dan
dihargai, supaya memberikan kemanfaatan bagi umat manusia. Apalagi,
setiap suku tersebut memiliki nilai atau kearifan lokal yang terwujudkan
dalam pengabdian pada pencipta alam, penghargaan pada alam, nilai-
nilai penguat persaudaraan, bentuk mata pencaharian, struktur sosial dan
kemasyarakatan, serta struktur bahasa dan tata krama/keperilakuan.
Keunikan dan keaslian karakteristik suku-suku tersebut didukung
oleh keindahan dan kekayaan alam yang menjadi daya tarik bagi
masyarakat yang berasal dari wilayah lain, baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri, sehingga masyarakat luar pun datang
berkunjung ke wilayah tersebut. Baik sekedar menikmati keindahan
alamnya maupun melihat kehidupan suku tersebut dari dekat. Interaksi
antara pendatang dan penduduk lokal tersebut berdampak pada
masuknya informasi dari luar dan keluarnya informasi dari dalam
wilayah yang ditempati oleh suku tersebut. Keluar dan masuknya
informasi ini berdampak pada lahirnya peluang usaha, kemungkinan
tercampurnya budaya (akulturasi dan asimilasi budaya), dan masuknya
nilai-nilai dan keyakinan atau agama baru di dalam wilayah tersebut.
Kedatangan wisatawan ini selain mengembangkan aktivitas
perekonomian masyarakat, juga berdampak pada masuknya nilai-nilai
baru, sehingga membentuk keragaman. Keragaman ini berdampak pada

Doc Num: 003/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022


Date issued: December 24th, 2022
Masyarakat Multikultural: Sebuah Pengantar E.Shofiyatin

perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang tinggal dalam


satu wilayah, sehingga terbentuk sosial multikulural1 dalam masyarakat.
Kehidupan masyarakat yang multikutural ini memerlukan
harmonisasi dan toleransi supaya tetap dapat tetap berlangsung dengan
aman dan nyaman bagi masyarakat. Kajian empiris di Desa Tosari
Pasuruan, menunjukkan bahwa harmonisasi masyarakat Tengger
terbentuk karena adanya modal sosial yang ada di dalam masyarakat,
seperti kepercayaan, kewajiban dan harapan, norma dan sanksi serta
informasi. Di mana model sosial tersebut terimplikasi dalam kehidupan
masyarakat seperti sikap hidup sesanti panca setia, guyub rukun, sanjan-
sinanjan (saling mengunjungi), sayan (gotong royong, saling bantu
membantu) yang didasari semboyan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan
genten kuat (saling tolong menolong)2.
Kajian tersebut senada dengan kajian lainnya yang juga
menunjukkan bahwa multikultural dapat terbentuk melalui pemeliharaan
budaya menghargai, budaya saling menolong, saling silaturahim, saling
memberi perhatian. Di mana budaya tersebut terimplikasi dalam ideologi,
teologi, politik, dan pariwisata3. Lebih lanjut, kajian empiris kehidupan
multikultur Suku Tengger di Pasuruan secara umum juga menunjukkan
bahwa eksistensi kehidupan masyarakat yang majemuk tersebut dapat
dipertahankan melali keaktifan masyarakat dalam mengikuti kegiatan
sosial yang diselenggarakan oleh masyarakat, mengikuti dan
melaksanakan adat istiadat serta budaya lokal, dan turut serta gotong
royong membangun desa dan kampung4.

1 Masyarakat multikultural disebut juga sebagai kehidupan masyarakat majemuk


yang dijelaskan oleh Liliweri sebagai masyarakat yang struktur penduduknya terdiri dari
beragam etnik, dan keberagaman ini menjadi sumber dari keberagaman kebudayaan
atau subkultur dari masing-masing etnik sehingga melahirkan masyarakat multikultur.
Keberagaman ini lebih lanjut dijelaskan bukan terbatas pada keberagaman etnik, tetapi
juga keberagaman agama, kelompok, komunitas, linguistik (Lihat Alo Liliweri, Prasangka,
Konflik, dan Komunikasi Antarbudaya, Kencana, Jakarta, 2018, h. 159, 161).
2 Okta Hadi Nurcahyono & Dwi Astutik, Harmonisasi Masyarakat Adat Suku

Tengger (Analisis Keberadaan Modal Sosial pada Proses Harmonisasi pada Masayarakat
Adat Suku Tengger, Desa Tosari, Pasuruan, Jawa Timur), Dialektika Masyarakat: Jurnal
Sosiologi 2(1), 2018, h. 1-12.
3 Ida Bagus Wika Krishna, Kajian Multikulturalisme: Ide-Ide Imajiner dalam

Pembangunan Puja Mandala, Genta Hredaya 3(2), 2019, h. 48-57.


4Imron Muhadi, Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam Multikultural dalam
Masyarakat Muslim Tengger, Pendidikan Multikultural 3(2), 2019, h. 151-160.

Doc Num: 003/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 2


Date issued: December 24th, 2022
Masyarakat Multikultural: Sebuah Pengantar E.Shofiyatin

Kehidupan masyarakat Indonesia yang beberapa sukunya masih


tetap dapat mempertahankan akar adat budayanya di tengah
kemajemukan dan derasnya informasi seiring dengan perkembangan
teknologi, diperlukan upaya yang lebih strategis supaya tidak terjadi
konflik di dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana disebutkan oleh
Strauss dan Quinn5 bahwa budaya dan agama dalam keberagaman dalam
masyarakat memiliki daya sentripetal (daya bertahan) dan sentrifugal
(daya perubahan) yang bisa berperan sebagai pemersatu dan bisa juga
sebagai pemecah. Apalagi, seiring dengan derasnya informasi yang
menerpa masyarakat maka akan berdampak pada pengetahuan, persepsi,
sikap dan perilaku masyarakat. Perilaku tersebut bisa mempengaruhi
durabilitas (daya tahan) sosial multikultural masyarakat.

Konsep Masyarakat
Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang tinggal bersama
dalam suatu tempat. Syaikh Taqyuddim Am-Nabhani menjelaskan bahwa
masyarakat terbentuk ketika masyarakat tersebut memiliki pemikiran,
perasaan, serta sistem atau aturan yang sama6. Berdasarkan pendekatan
Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), masyarakat merupakan
suatu kesatuan yang menyeluruh, di mana unsur yang membentuk
masyarakat adalah fungsional lembaga-lembaga, sistem hukum yang
identik dengan moral dengan didasarkan pada keadilan. Konsep ini
selanjutnya dipertegas oleh M. Machiavelli melalui teori mekanis, bahwa
masyarakat terbentuk karena adanya pemusatan mekanisme
pemerintahan7.
Lebih lanjut, dalam teori kontrak sosial yang didukung oleh Thomas
Wobbes (1558-1679), Jon Lock (1632-1704), dan JJ Rousseau (1712-1728)
masing-masing menjelaskan bahwa8:
a. Hobbes menejlaskan bahwa secara alamiah, kehidupan manusia
didasarkan pada mekanisme persaingan dan perkelahian. Tetapi

5 Yunita T. Winarto & Ezra M. Choesin, Pengayaan Pengetahuan Lokal,


Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan,
Antropologi Indonesia 64, 2001, h. 91-106.
6Sudirman Anwar, Management of Student Development (Perspektif Al-Qur’an dan As-
Sunnah), Yayasan Inragiri, Tembilahan-Riau, 2015, h. 81.
7 Yusnaedi Achmad, Sosiologi Politik, DeePublish, Yogyakarta, 2019, h. 9.
8 Ibid., h. 10.

Doc Num: 003/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 3


Date issued: December 24th, 2022
Masyarakat Multikultural: Sebuah Pengantar E.Shofiyatin

manusia lebih berpikiran bahwa hidup damai dan tentram jauh


lebih baik. Keadaan ini dapat dicapai apabila ada kontrak atau
perjanjian dan mematuhi perjanjian tersebut. Dengan demikian,
masyarakat dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
b. Lock menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai
hak untuk hidup, kebebasan, dan hak atas harta benda, sehingga
ada kontrak sosial antara warga dengan pihak yang berwenang
atas dasar pamrih.
c. JJ Rousseau lebih mengacu pada konsep pemerintahan, di mana
masyarakat terbentuk karena adanya kontrak antara pemerintah
dengan yang diperintah, sehingga dapat menumbuhkan suatu
kolektivtas yang mempunyai keinginan tersendiri yaitu
keinginan umum.
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun (1332-1406), masyarakat
terbentuk karena solidaritas yang mengikat manusia-manusia dalam
sebuah kesatuan masyarakat9. Konsep Ibnu Khaldun ini sejalan dengan
konsep Emile Durkheim (1855-1917) yang menjelaskan bahwa unsur baku
dalam masyarakat adalah solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan
organis. Solidaritas mekanis terjadi ketika masyarakat belum mempunyai
diferensiasi dan pembagian kerja, serta masih mempunyai kepentingan
dan kesadaran yang sama. Sedangkan solidaritas organis adalah
perkembangan masyarakat mekanis di mana masyarakat telah memiliki
pembagian kerja yang ditandai dengan adanya spesialisasi tertentu10.
Prinsip solidaritas ini menjelaskan bahwa dalam konsep Emile Durkheim,
manusia seyogyanya mempedulikan nilai-nilai kolektif, yang
mengarahkan masyarakat dapat membentuk kehidupan yang kohesif11.
Herbert Spencer (1802-1903) menjelaskan terbentuknya masyarakat
yang sempurna dengan mengacu pada konsep biologis organisme. Bahwa
organisme akan semakin sempurna apabila semakin kompleks dan
terdapat diferensiasi antar bagian-bagiannya. Diferensiasi ini
menunjukkan kematangan dan integrasi yang sempurna. Evolusi sosial
dan perkembangan sosial dalam masyarakat pada dasarnya adalah

9 Ibid., h. 9.
10 Ibid., h. 12.
11 Zainuddin Maliki, Rekontruksi Teori Sosial Modern, Gadjah Mada Uniiversity
Press, Yogyakarta, 2012, h. 31.

Doc Num: 003/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 4


Date issued: December 24th, 2022
Masyarakat Multikultural: Sebuah Pengantar E.Shofiyatin

diferensiasi, integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan sebuah transisi


dari homogenitas ke arah heterogenitas12.

Masyarakat Multikultural
Konsep masyarakat yang dijelaskan oleh para pendahulu di muka
menunjukkan bahwa masyarakat pada dasarnya merupakan sebuah
kesatuan dari sekumpulan manusia yang membentuk sebuah komunitas
untuk hidup bersama. Artinya, di dalam konsep masyarakat itu sendiri
sebenarnya sudah terlihat adanya sesuatu yang majemuk atau banyak
anggota. Adapun, masyarakat multikultur dijelaskan oleh Liliweri sebagai
masyarakat majemuk yang dijelaskan sebagai masyarakat yang terdiri
atas keberagaman, baik perbedaan kelompok, agama, ras, suku, budaya,
bahasa13.
Teori multikutural mulai dibicarakan di dunia Barat sejak tahun
1960-an sebagai bentuk respon dari diversitas budaya oleh kelompok
minoritas, penduduk asli, dan para imigran dari negara yang sedang
berkembang. Di mana multikultural dikembangkan, salah satunya karena
latar belakang perlawanan kolonialisme dan ideologi dari sebuah hirarki
budaya, yang baik secara implisit maupun eksplisit ditujukan untuk
tujuan persamaan budaya. Meskipun bukan berarti persamaan secara
substantif atas budaya yang berbeda sebagaimana hak yang sama untuk
tetap ada dan berkembang14.
Kymlicka menyebutkan bahwa pada awal pmunculnya istilah
multikultural, para filsuf cenderung mendefinisikan multikultural dengan
mengambil pengertian dari keterkaitan budaya, dengan kata lain,
pemeliharaan atau pelestarian budaya. Namun kemudian multikultural
melibatkan adanya selektivitas dan kebiasan sebagai akibat dari
penerapan norma liberal15. Karena itu, selanjutnya, Kymlicka memberikan
penjelasan bahwa dalam konsep multikultural, teori normatif tentang hak-
hak minoritas harus menjawab kenyataan bahwa, kelompok minoritas
harus tanggap terhadap risiko yang meluas yang muncul dari tatanan
yang ada. Dengan demikian, maka hak-hak minoritas akan terfasilitasi

12 Yusnaedi Achmad, Loc. Cit.


13 Alo Liliweri, Loc. Cit.
14 Bhikhu Parekh, Ethnocentric Political Theory. International Political Theory, Palgrave

Macmillan, Cham., Switzerland, 2019, h. 161.


15 Will Kymlicka, Deschooling Multiculturalism, Ethnicity 19(6), 2019, h. 971-982.

Doc Num: 003/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 5


Date issued: December 24th, 2022
Masyarakat Multikultural: Sebuah Pengantar E.Shofiyatin

melalui dekolonisasi adat, kemitraan, dan integrasi imigran multikultural


yang kesemuanya dibuat untuk memperbaiki risiko yang mungkin timbul
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara16.
Sementara itu, Parekh menjelaskan bahwa multikulturalisme
menitikberatkan pada bagaimana mengombinasikan diversitas dan
kesatuan tanpa menciderai kebebasan dan persamaan minoritas. Bukan
pada menciptakan kesatuan dari diversitas, karena masyarakat yang luas
sebenarnya telah disatukan, tetapi lebih kepada bagaimana
mengakomodasi diversitas baru dalam kesatuan yang ada17. Sebagaimana
disebutkan Parekh sebelumnya18, bahwa salah satu solusi dalam
masyarakat multikultural adalah adanya sense of belonging yang harus
dipupuk dalam masyarakat multikultural. Dengan demikian, kehadiran
minoritas atau budaya baru tidak harus menjadi permasalahan bagi
kehidupan masyarakat yang sudah ada. Bentuk-bentuk keragaman
lainnya dapat diakomodasi dengan cara yang sama tanpa menghalangi
rasa kebersamaan bersama. Masyarakat multikultural memang tidak
mudah dikelola, karena akan ada faktor eksternal dan internal yang
mungkin membuat kehidupan masyarakat tidak stabil.
Permasalahan multikultural biasanya terjadi karena tiga hal penting,
yaitu pada tataran filosofis, institusional, dan kebijakan yang terkait. Pada
tataran filosofis, maka tingkatannya adalah pada kealamiahan dan
kepentingan budaya, yaitu mengapa budaya harus dihargai dan apa
maksudnya. Mengapa budaya para pendatang baru harus diperlakukan
sama, apa yang diperlukan, apakah dan bagaimana hal itu dibedakan dari
gagasan yang lebih dikenal tentang persamaan individu. Pada tataran
institusional, maka perasalahan yang muncul adalah terkait dengan visi
masyarakat yang paling mampu dalam merekonsiliasi tuntutan persatuan
dan keragaman, di mana identitas minoritas tumbuh subur tanpa
membahayakan kohesivitas sosial. Sedangkan permasalahan ketiga
adalah berkaitan dengan kebijakan yang paling mungkin mewujudkan
visi tersebut19.

16Will Kymlicka, Liberal Multiculturalism as a Political Theory of State–Minority


Relations, Political Theory 46(1), 2017, h. 81-91.
17 Bhikhu Parekh, 2019, Op. Cit., h. 162.
18 Bhikhu Parekh, Unity and Diversity in Multicultural Societies, International Labour

Organization (International Institute for Labour Studies), Genewa, 2005, h. 17.


19 Bhikhu Parekh, 2019, Op. Cit., h. 162.

Doc Num: 003/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 6


Date issued: December 24th, 2022
Masyarakat Multikultural: Sebuah Pengantar E.Shofiyatin

Bahan Bacaan

Alo Liliweri, Prasangka, Konflik, dan Komunikasi Antarbudaya, Kencana,


Jakarta, 2018.

Bhikhu Parekh, Ethnocentric Political Theory. International Political Theory,


Palgrave Macmillan, Cham., Switzerland, 2019.

Bhikhu Parekh, Unity and Diversity in Multicultural Societies, International


Labour Organization (International Institute for Labour Studies),
Genewa, 2005.

Imron Muhadi, Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam Multikultural dalam


Masyarakat Muslim Tengger, Pendidikan Multikultural 3(2), 2019, h.
151-160.

Ida Bagus Wika Krishna, Kajian Multikulturalisme: Ide-Ide Imajiner


dalam Pembangunan Puja Mandala, Genta Hredaya 3(2), 2019, h. 48-
57.

Okta Hadi Nurcahyono & Dwi Astutik, Harmonisasi Masyarakat Adat


Suku Tengger (Analisis Keberadaan Modal Sosial pada Proses
Harmonisasi pada Masayarakat Adat Suku Tengger, Desa Tosari,
Pasuruan, Jawa Timur), Dialektika Masyarakat: Jurnal Sosiologi 2(1),
2018, h. 1-12.

Sudirman Anwar, Management of Student Development (Perspektif Al-Qur’an


dan As-Sunnah), Yayasan Inragiri, Tembilahan-Riau, 2015.

Will Kymlicka, Deschooling Multiculturalism, Ethnicity 19(6), 2019, h. 971-


982.

Will Kymlicka, Liberal Multiculturalism as a Political Theory of State–


Minority Relations, Political Theory 46(1), 2017, h. 81-91.

Yunita T. Winarto & Ezra M. Choesin, Pengayaan Pengetahuan Lokal,


Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam
Kemitraan, Antropologi Indonesia 64, 2001, h. 91-106.

Yusnaedi Achmad, Sosiologi Politik, DeePublish, Yogyakarta, 2019.

Zainuddin Maliki, Rekontruksi Teori Sosial Modern, Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta, 2012.

Doc Num: 003/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 7


Date issued: December 24th, 2022

Anda mungkin juga menyukai