ISSN 2089-8835
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2018: 20-28
NILAI-NILAI PERDAMAIAN
PADA MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Feriyanto
Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Sirnarasa, Ciamis, Indonesia
feriyanto@gmail.com
Abstract
This article intends to describe a necessity for the presence of peace amidst the diversity of
society. This diversity is now an inevitable, especially the depletion of cultural boundaries, and
ethnic identity which fuses in the context of globalization. One of the potentials in this
diversity is the emergence of conflicts of interest and conflicts in the name of primordial
identity. The offer of a multicultural approach will recognize the potential and legitimacy of
diversity and socio-cultural differences of each ethnic group. In this view both individuals and
groups of various ethnicities can join the community, engage in societal cohesion without
having to lose their ethnic and cultural identity, while at the same time still obtaining their
rights to participate fully in various fields of community activities.
Abstrak
Artikel ini bermaksud untuk mendeskripsikan sebuah keniscayaan hadirnya
perdamaian ditengah-tengah keanekaragaman masyarakat. Keragaman ini kini
merupakan keniscayaan tak terelakan terutama semakin menipisnya batas-batas
kebudayaan, dan identitas etnik yang melebur dalam konteks globalisasi. Salahsatu
potensi dalam keragaman ini adalah timbulnya konflik kepentingan maupun konflik
atas nama identitas primordial. Tawaran pendekatan multikultural akan mengakui
berbagai potensi dan legitimasi keragaman dan perbedaan sosio-kultural tiap
kelompok etnik. Dalam pandangan ini baik individu maupun kelompok dari berbagai
etnik dapat bergabung dalam masyarakat, terlibat dalam societal cohesion tanpa harus
kehilangan identitas etnik dan budaya mereka, sekaligus tetap memperoleh hak-hak
mereka untuk berpartisipasi penuh dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat.
Feriyanto - 21
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama
ISSN 2089-8835
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2018
karena selama ini perkembangan Definisi yang sederhana tentang damai
budaya selalu dilihat dari perspektif adalah ketiadaan perang. Hal ini
teologis, dimana kajian budaya dengan berlaku bagi keseluruhan hubungan
pendekatan teologis hanya akan antara seorang dengan yang lainnya,
memunculkan dikotomis antara aliran seseorang dengan masyarakat,
utama dan aliran sempalan, sehingga masyarakat dengan masyarakat,
pendekatan ini lebih menekankan bangsa dengan bangsa dan pendek
analisa dan penilaian yang bersifat kata antara keseluruhan umat manusia
doktrinal teologis; aliran yang satu sama lainnya, dan antara manusia
dianggap sebagai ortodoksi (Martin dan alam semesta. Perdamaian adalah
van Bruinessen. 1999: 243; Asep suatu bentuk pemberdayaan manusia
Gunawan (ed.). 2004: 209) adalah dengan keterampilan, tingkah laku dan
aliran yang benar. Sebaliknya, semua pengetahuan yang meliputi hal-hal
aliran yang dipandang tidak sejalan sebagai berikut:
dengan kebenaran budayanya a. Membangun, menegakkan dan
karenanya dicap sesat. Pendekatan memperbaiki hubungan di
teologis ini bukan tidak ada semua level interaksi manusia
kelemahannya, akan tetapi akan b. Mengembangkan pendekatan-
memicu munculnya kecenderungan pendekatan yang bersifat positif
judgement (penghakiman); menyebut untuk menyelesaikan konflik,
suatu aliran atau ajaran sebagai sesat. dimulai dari personal sampai
Berbeda halnya dengan internasional
pendekatan sosiologis, dimana c. Menciptakan lingkungan yang
pendekatan ini mengandung relevansi aman, baik secara fisik maupun
yang tinggi bagi Pemerintah, agar emosinal yang dibutuhkan
respon terhadap etnis beserta semua individu
kebudayaannya dapat dilakukan secara d. Membangun lingkungan yang
tepat dan sejalan dengan fungsi aman secara berkelanjutan dan
pemerintah sebagai pengayom yang melindungi dari adanya
melindungi kebudayaan setiap eksploitasi dan perang
warganya. (Zamroni. 2008 : 28)
Pemahaman multikultural Sedangkan Tudball (Zamroni.
dengan pendekatan sosiologis ini juga 2008: 31) mengemukakan bahwa
akan membawa implikasi pada sikap perdamaian adalah tingkah laku yang
pemerintah dan masyarakat yang saling menghargai dan penuh
harus mengutamakan pendekatan kedamaian kepada semua anggota
persuasif sesuai dengan nilai-nilai komunitas dan menerapkan prinsip
budaya yang dianut masyarakat, dan kesetaraan serta tidak diskriminatif,
perkembangan berbagai kebudayaan baik pada kebijakan administrasi
dengan segala dinamikanya harus maupun pada prakteknya. Untuk itu,
diakui sebagai satu kenyataan sejarah. salah satu tujuan dari perdamaian
adalah memahami dan mengerti orang
PERDAMAIAN lain dan hal-hal yang mendasari
Makna perdamaian adalah pemikiran mereka, supaya bermanfaat
penghentian permusuhan dan sebagai jalan kehidupan dan kultur
perselisihan (KBBI, 2008). Istilah universal yang memiliki kontribusi
perdamaian diambil dari kata damai. dalam mengembangkan fondasi
Feriyanto - 23
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama
ISSN 2089-8835
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2018
orang peduli dan menaruh empati. dengan orang yang beragama
Dengan demikian, orang tidak lagi lain di negeri ini, bahkan dengan
didasari sikap egois, sikap ingin sesama umat beragama.
menang sendiri, sikap iri hati dan Walaupun saya tinggal di
merendahkan yang lain. Untuk lingkungan pesantren, hidup
terciptanya suasana kedamaian tentu dikalangan keluarga kiyai, itu
dibutuhkan suatu usaha untuk saling tak pernah sedikitpun saya
mengenal, baik antar pribadi maupun merasa berbeda dengan yang
lembaga dan komunitas. Ada pepatah lain.”
“tak kenal maka tak sayang”, pepatah Perbedaan keyakinan tidak
ini kiranya menjadi kunci bagi kita membatasi atau melarang kerjasama
dalam usaha saling mengenal, antara agama yang satu dengan agama
memahami dan toleran dengan pihak yang lainnya, terutama dalam hal-hal
lain. Karena sudah kita ketahui bahwa yang menyangkut kepentingan umat
wajah budaya Indonesia dikenal manusia. Penerimaan akan kerjasama
dengan ke-bhineka-annya, maka dari itu tentunya akan dapat diwujudkan
sanalah kita dituntut untuk dalam praktek kehidupan apabila ada
mempunyai toleransi yang tinggi dari dialog antaragama. Dengan kata lain
setiap anggota masyarakat. Sikap kerjasama tidak akan terlaksana tanpa
toleransi tersebut harus dapat dialog, oleh karena itu dialog
diwujudkan oleh semua anggota dan antaragama juga menjadi kewajiban
lapisan masyarakat sehingga (Abdurrahman Wahid, 2002 : 133-134).
terbentuklah suatu masyarakat yang Islam misalnya mengajarkan
kompak tapi beragam sehingga kaya tentang pluralitas, seperti yang
akan ide-ide baru (Maman Imanulhaq terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13. Ayat
Faqih, 2010: 17). Sehingga perbedaan di tersebut menunjuk kepada perbedaan
Indonesia bisa berkembang dalam yang senantiasa ada antara laki-laki
berbagai dimensi yang ada dan dan perempuan serta antar berbagai
menumbuhkan perdamaian di bumi bangsa atau suku bangsa. Dengan
Indonesia. demikian, perbedaan merupakan
Idealnya, toleransi yang sebuah hal yang diakui Islam,
diajarkan dan dipraktekkan sedangkan yang dilarang adalah
masyarakat tidak sekedar perpecahan dan keterpisahan. Tentu
menghormati dan menghargai saja adanya berbagai keyakinan itu
keyakinan atau pendirian orang lain tidak perlu dipersamakan secara total,
dari agama yang berbeda, tetapi juga karena masing-masing memiliki
harus disertai kesediaan untuk kepercayaan atau aqidah yang
menerima ajaran-ajaran yang baik dari dianggap benar. Demikian pula
agama lain. Misalnya Gus Dur dalam kedudukan penafsiran-penafsiran
pidato perayaan Natal pada tanggal 27 tentang aqidah. Umat Katholik sendiri
Desember 1999 di Balai Sidang Senayan memegang prinsip itu. Seperti dalam
Jakarta, mengatakan (Rumadi, 2001: Konsili Vatikan II1 yang dipimpin Paus
144 ) :
“Saya adalah seorang yang 1
Konsili Vatikan II adalah sebuah
meyakini kebenaran agama pertemuan (konsili) besar para Kardinal (pemimpin
saya, tapi ini tidak menghalangi tertinggi gereja Katolik di suatu negara) se-dunia
untuk membahas persoalan-persolan penting dalam
saya untuk merasa bersaudara
gereja Katolik atas undangan Sri Paus Yohanes
Feriyanto - 25
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama
ISSN 2089-8835
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2018
yang diharapkan menjadi pilar potensi budaya yang dimilikinya harus
multikultural, pluralisme dan dilihat sebagai asset Negara yang dapat
perdamaian. didayagunakan bagi pembangunan
5. Orientasi mengakui pluralitas bangsa ke depan. Intinya adalah
dan heterogenitas. menekankan pada pentingnya
Pluralitas dan heterogenitas memberikan kesempatan bagi
merupakan sebuah kenyataan berkembangnya masyarakat
yang tidak mungkin ditindas multikultural yang masing-masing
secara fasih dengan harus diakui haknya untuk
memunculkan sikap fanatisme mengembangkan dirinya melalui
terhadap sebuah kebenaran kebudayaan mereka.
yang diyakini oleh sekelompok Hal ini juga berarti bahwa
orang. masyarakat multikultural harus
6. Orientasi anti hegemoni dan anti memperoleh kesempatan yang baik
dominasi. untuk menjaga dan mengembangkan
Dominasi dan hegemoni adalah kearifan budaya lokal mereka kearah
dua istilah yang sangat populer kualitas dan pendayagunaan yang
bagi kaum tertindas. Istilah ini lebih baik. Unsur-unsur budaya lokal
dihindari jauh-jauh oleh para yang bermanfaat bagi diri sendiri
pengikut faham liberalis, bahkan perlu dikembangkan lebih
kapitalis, globalis dan lanjut agar dapat menjadi bagian dari
neoliberalis. Hegemoni yang kebudayaan bangsa dalam
dimaksud adalah hegemoni memperkaya unsur-unsur kebudayaan
dalam segalanya; politik, nasional. Meskipun demikian, misi
pelayanan dan lain sebagainya. utamanya adalah mentransformasikan
Sehubungan dengan penjelasan kenyataan multikultural sebagai asset
di atas, sebagai bangsa yang dan sumber kekuatan bangsa,
multikulturalis dalam membangun menjadikannya suatu sinergi nasional,
masa depan bangsa, dipandang perlu memperkukuh gerak konvergensi
untuk memberi tempat bagi keanekaragaman.
berkembangnya kebudayaan suku Oleh karena itu, walaupun
bangsa dan kebudayaan agama yang masyarakat multikultural harus
ada di Indonesia. Dalam kehidupan dihargai potensi dan haknya untuk
sehari-hari, kebudayaan suku bangsa mengembangkan diri sebagai
dan kebudayaan agama, bersama-sama pendukung kebudayaan di atas tanah
dengan pedoman kehidupan berbangsa kelahiran leluhurnya, namun pada saat
dan bernegara mewarnai perilaku dan yang sama, mereka juga harus tetap
kegiatan masyarakat. Berbagai diberi ruang dan kesempatan untuk
kebudayaan itu jalan beriringan, saling mampu melihat dirinya, serta dilihat
melengkapi dan saling mengisi, tidak oleh masyarakat lainnya yang sama-
berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu sama merupakan warga Negara
untuk saling menyesuaikan dalam Indonesia, sebagai bagian dari bangsa
kehidupan sehari-hari. Indonesia, dan tanah leluhurnya
Dalam konteks itu pula, maka termasuk sebagai bagian dari tanah air
ribuan suku bangsa sebagai Indonesia. Satu hal yang harus kita
masyarakat multikulturalis yang pahami adalah perbedaan bukanlah
terdapat di Indonesia serta potensi- hambatan. Seharusnya kita tidak
Feriyanto - 27
Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama
ISSN 2089-8835
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2018
itu, tidak ada yang boleh merendahkan masing-masing (saling menghargai);
atau meremehkan manusia lainnya. dan sesulit apapun masalah yang
Saling menghargai antar suku di dihadapi berusahalah untuk tersenyum
bidang apapun dan apapun meski sulit.
kegiatannya; memahami kondisi
Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid, 2002. Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute
Alwi Shihab, 2001. Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:
kerjasama Mizan dan ANTEVE, cetakan IX,
Azra, Azyumardi, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme
Indonesia”, http://www.kongresbud.budpar.go.id
Dawam, Ainurrofiq, 2003. Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan
Kanibalisme Intelektual,Menuju Pendidikan Multikultural , Yogyakarta: Inspeal
Ahimsa Karya Press
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008. Jakarta, Universitas Indonesia.
Kompas, 14 Maret 2001, Asimilasionisme vs Multikulturalisme.
Lubis, 2006. “Deskontruksi Epistemologi Modern”. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu
Maman Imanulhaq Faqih, 2010. Fatwa dan Canda Gus Dur, Jakarta: Kompas
Rumadi, 2001. “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada
(ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, Jakarta: LAKPESDAM
Sururin, 2007. Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam Bingkai Gagasan yang Berserak. Bandung:
Nuansa
Zamroni. 2008. Peace Education A Reader. (artikel)