Anda di halaman 1dari 19

STRATEGI BUDAYA MELALUI POTENSI SOSIAL BUDAYA

Diajukan untuk memnuhi mata kuliah Inovasi Pembelajaran Sosial Budaya dan Pendidikan

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Bambang Soepeno, M.Pd

Jefri Rieski Triyanto, M.Pd

Disusun Oleh :

Nita Setiawati 200210302027

Muh. Ilham Nurdiansyah 200210302036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kehendaknya Kami
bisa menyusun makalah dengan judul “Strategi Budaya Melalui Potensi Sosial Budaya”. Selain
itu Kami sampaikan terimakasih kepada Bapak Bambang Soepeno dan Bapak Jefri Rieski
Triyanto selaku dosen pengampu mata kuliah Inovasi Pembelajaran Sosial Budaya dan
Pendidikan yang telah membimbing sehingga dapat tersusunnya makalah kelompok kami.

Makalah ini menyajikan dan memaparkan penjelasan lebih rinci mengenai Strategi
Budaya Melalui Potensi Sosial Budaya. Dengan tersusunnya makalah ini, diharapkan bisa
menambah wawasan dan memberikan manfaat bagi pembaca. Kelompok kami menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah masih benyak kekurangan, karena itu kami
mengharapkanadanya kritik yang membangun.

Jember, 08 April 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kata “Budaya” berasal dari Bahasa Sansekerta “Buddhayah”, yakni bentuk
jamak dari “Budhi” (akal). Jadi, budaya adalah segala hal yang bersangkutan dengan akal.
Selain itu kata budaya juga berarti “budi dan daya” atau daya dari budi. Jadi budaya adalah
segala daya dari budi, yakni cipta, rasa dan karsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
budaya artinya pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan yang sukar diubah.Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-
perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh sekumpulan
anggota masyarakat. Merumuskan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan
jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam
sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal dengan keberagaman
budayanya. Beragamnya kebudayaan di Indonesia merupakan potensi kebudayaan yang
ada di Indonesia. Kita sering kali menemukan sikap masyarakat yang kurang yakin akan
potensi yang ada dalam negeri maupun dirinya. Keunggulan suatu bangsa tercemin dari
kebudayaannya, karena budaya sebuah bangsa bukan hanya menyangkut pikiran atau akal
budi tetapi melibatkan nilai-nilai moral yang hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat itu sendiri. Jika diasah lebih lama dan dikembangkan lebih profesional
sekiranya akan memiliki nilai jual yang lebih atau kedudukannya mampu menyamai
sesuatu yang dianggap bagus dari luar, dan pada akhirnya dari sikap seperti itu banyak
sekali nilainilai budaya dan produk lokal kita berdaya saing tinggi dan tidak ditinggalkan
masyarakat .
Potensi budaya setempat yang dikembangkan terbukti dengan adanya bentuk
seni pertunjukan dalam sebuah masyarakat yaitu adanya kebutuhan masyarakat tersebut
yang menyebabkan bentuk seni pertunjukan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda.
Tentunya dalam pengembangan potensi sosial dan budaya tersebut, diperlukan sebuah
strategi budaya yang nantinya dapat menunjang keberhasilan dalam pemanfaatan potensi
sosial dan budaya itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dapat ditemukan
adalah sebagai berikut :
A. Apa Definisi dari Strategi Budaya?
B. Bagaimana Kondisi Masyarakat terhadap Pemahaman Budaya?
C. Apa Potensi Sosial Budaya Indonesia?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui bagaimana definisi strategi budaya
b. Untuk mengetahui bagaimana kondisi masyarakat terhadap pemahaman budaya
c. Untuk mengetahui potensi sosial dan budaya Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Strategi Budaya

Strategi Kebudayaan adalah Strategi Kebudayaan menurut Van Peursen adalah upaya
manusia untuk belajar dan merancang kebudayaannya. Strategi tersebut tidak hanya
menyangkut masalah kebijakan pemerintah tentang kebudayaan, tapi lebih dari itu yakni
berakar dari pertanyaan dalam diri manusia yang diperjuangkan oleh semua kalangan.
Misalnya menyangkut dengan pertanyaan besar tentang tujuan hidupnya, makna kehidupan ini,
norma-norma yang mengatur kontak antar manusia dan perkembangan masyarakat secara tepat
dan lain-lain.

2.2 Kondisi Objektif Bangsa Indonesia

Kondisi objektif bangsa Indonesia menunjukkan adanya empat kelemahan budaya yang
besar. Yaitu, disorientasi budaya, dismotivasi budaya, disfungsionalisasi budaya dan
dependensi budaya. Hinggapnya empat kelemahan budaya ini sudah berlangsung cukup lama.
Keempat kelemahan ini satu dengan lainnya saling berhubungan dan membentuk konstruksi
kelemahan yang cenderung permanen. Sebab di dalam kelemahan ini terkandung potensi dan
proses pelemahan budaya yang terus-menerus. Keempat kelemahan budaya ini kita rasakan
cukup efektif untuk memproduksi kelemahan-kelemahan budaya berikutnya. Dengan
demikian, kalau anak cucu kita pangling dan tidak mengenal lagi budaya miliknya sendiri,
bahkan cenderung melecehkan atau malah antibudaya sendiri, itu sudah tidak mengagetkan
lagi.

Secara gampang kita dapat melihat bagaimana misalnya anak Yogya tidak mengenal
budaya Yogyakarta, anak Minang tidak kenal lagi dengan budaya Minangkabau, dan anak
Bugis sudah tidak paham lagi dengan budaya Bugis. Juga anak beragama Islam tidak mengenal
dan paham dengan budaya Islam. Mari kita teliti satu per satu kelemahan budaya kita.

A. Pertama, disorientasi budaya

Bangsa ini tengah kehilangan arah. Kembali ke masa silam tidak mungkin, menuju ke
masa depan bingung. Sementara hari ini dipenuhi dengan masalah-masalah, mulai dari masalah
yang mendasar berupa nilai, kemiskinan harta dan wawasan, sampai ke masalah teknis berupa
kebijakan publik, dan pilihan kegiatan individu yang kacau balau dlam kehidupan sehari-hari.
Banyak di antara kita yang bingung, misalnya untuk mengisi waktu dalam sehari. Kegiatan
yang bermakna dan bernilai apa yang seharusnya dilakukan, banyak yang tidak tahu. Karena
bingung memilih kegiatan yang bermakna, yang bernilai, dan yang memiliki kualitas budaya
tinggi, banyak warga masyarakat kita yang kemudian menjadikan hari-hari dalam hidupnya
sebagai medan pelarian. Dan sekarang medan pelarian atau ruang pelarian hidup ini tersedia
cukup banyak, mulai dari alat komunikasi dan alat elektronik yang berubah menjadi alat
hiburan yang tidak produkif. Komputer misalnya, yang sebenarnya merupakan alat tulis dan
alat baca dan alat menyampaikan gagasan justru difungsikan menjadi alat untuk
mengoperasikan game, membuka tayangan pornografi, dan alat untuk melakukan transaksi
seksual yang menyimpang.

Sebuah gardu ronda di kampung misalnya, seharusnya kalau malam menjadi tempat
berkumpul warga untuk menjaga keamanan masyarakat dan kalau siang menjadi tempat
berkumpul anak-anak dan ibu-ibu untuk bermain dan ngobrol. Karena banyak warga kampung,
khsusnya anak mudanya yang mengalami disorientasi budaya sehingga bingung hidupnya,
maka mereka justru menjadikan gardu ronda menjadi tempat berkumpul untuk mabuk-
mabukan, melakukan transaksi narkoba, atau sekadar tempat ngorol tetapi masing-masing
asyik memainkan ponselnya. Bahkan dapat juga menjadi alat untuk memobilisasi teman guna
menyiapkan penyerbuan ke kelompok anak muda lain dalam sebuah tawuran iseng, sporadis,
dan spontan. Sebuah kota misalnya, seharusnya merupakan hasil penataan yang harmonis dari
ruang-ruang privat warga, ruang ekonomi, ruang budaya, ruang agama, ruang politik, ruang
sosial, ditambah dengan ruang aspirasi warga. Karena sang walikota bingung dan mengalami
disorienatasi budaya maka kota itu hanya dia kembangkan sebagai ruang ekonomi melulu.
Ruang ekonomi menjadi dominan sementara ruang yang lain tidak dihadirkan dan tidak ditata.
Akibatnya dapat diduga, kota hampir dipastikan akan dipenuhi dengan hotel, bank, mall,
restoran, tempat orang menyajikan produk industri huburan. Kota pun kemudian tumbuh
melulu menjadi pasar barang, pasar jasa, dan pasar harapan semu yang di dalamnya perjudian,
pelacuran, dan narkoba diam-diam merayap dan menguasai anak mudanya.

B. Kedua, dismotivasi budaya Bangsa

Dismotivasi Budaya ini tengah kehilangan motivasi luhur dan unggul dalam
menentukan dan menjalankan langkah-langkahnya ke depan. Cita-cita besar yang termaktub
dalam Pembukaan UUD 45 dan Pancasila menjadi kabur dan tertutup kabut oleh kepentingan
pragmatis. Manusia Indonesa sekarang sungguh amat pragmatis. Siapakah di antara kita yang
masih hafal, mengingat, memahami makna, dan mencoba menjadikan rujukan hidup apa yang
ada dan tertuang dalam teks Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila misalnya. Tentunya banyak
dari masyarakat yang melupakan kedua hal vital bangsa tersebut. Kemudian, peribahasa-
peribahasa lokal yang merupakan mutiara hikmah milik kita sendiri, ada ribuan peribahasa dan
kata mutiara Nusantara yang sekarang terlantar. Tidak dibaca, tidak ditulis, tidak disampaikan,
tidak dipercakapkan, tidak diperdengarkan, tidak dikaji makna hikmahnya, apalagi diamalkan.
Padahal para leluhur kita dulu harus melalui pergulatan hidup yang berat dan panjang waktunya
untuk melahirkan sebuah peribahasa. Misalnya peribahasa yang berbunyi ”Menang jadi arang,
kalah jadi abu”. Untuk melahirkan peribahasa ini para leluhur kita harus merasakan penderitaan
yang panjang dari pertengkaran di antara mereka.

Pertengkaran yang tidak berujung pangkal, pertengkaran karena gengsi dan sebab
sepele. Pertengkaran yang kemudian berubah menjadi perkelahian. Perkelahian yang
berlangsung massif menjadi pertempuran, pertempuran panjang, lama, dan menelan medan
luas menjadi peperangan. Setelah peperangan usai, apalagi kalau ini merupakan perang
saudara, maka semua kemudian akan menyesal. Semua sama-sama menderita. Yang menang
pun juga harus menelan korban dan kerusakan di pihaknya walaupun tidak mengalami
kehancuran. Ini sudah merupakan kerugian tersendiri. Apalagi bagi pihak yang kalah. Jelas dia
jadi abu. Mengalami kehancuran dan kebangkrutan yang nyata. Bahkan diperlukan beberapa
generasi untuk memulihkan diri dari kehancuran ini. Orang-orang yang arif bijasana dari kedua
belah pihak pun bertemu dan menyimpulkan bahwa dalam sebuah peperangan, maka yang
menang jadi arang, yang kalah jadi abu. Peribahasa semacam ini sekarang sudah tidak diingat
lagi oleh kita semua. Ditambah lagi, ayat-ayat suci. Banyak pengikut agama yang menjadikan
ayat suci menjadi bahan hafalan saja. Tidak disertai dengan upaya mengerti arti, makna, dan
spirit di balik ayat suci itu.

Dengan demikian, ayat suci itu tidak diamalkan dan tidak dapat menjadi instrumen
penting dalam mengubah kualitas hidupnya. Ayat suci menjadi ayat-ayat yang mati di mulut
para pengucapnya sendiri. Ini mirip yang terjadi pada ayat-ayat hukum atau pasal-pasal hukum
yang mati justru di mulut pengucapnya dan terbelenggu justru di tangan para penegak hukum.
Mengapa Pembukaan UUD 1945, Pancasila, peribahasa, dan ayat-ayat suci perlu disebut di
sini. Sebab semua itu merupakan sumber inspirasi dan sumber motivasi bagi bangsa Indonesia.
Ketika bangsa Indonesia melupakan itu semua maka yang kemudian terjadi adalah proses
dismotivasi yang akut. Ketika dismotivasi terjadi maka langkah dan kegiatan yang dilakukan
adalah sesuatu yang tanpa arah dan tanpa tujuan. Di tengah suasana yang demikian, maka
godaan untuk mengikuti rayuan budaya asing yang belum sesuai dengan karakter dasar kita
bisa begitu kuat. Inilah yang kdemudian terjadi di negeri ini. Banyak yang kemudian
termotivasi hidupnya oleh semboyan dan tagline dari pihak lain, di luar bangsa kita sendiri.

C. Ketiga, disfungsionalisasi budaya

Pada awalnya bangsa Indonesia sangat menghargai nilai-nilai budaya yang


dimilikinya. Nilai budaya disebut nilai utama kehidupan, melengkapi nilai agama. Semua ini
kemudian berpadu menjadi nilai budaya baru dan menjadi nilai budaya luhur. Ekspresi dari
nilai budaya luhur (kesenian, bahasa, pertunjukan, dan seni visualnya) juga dipandang sebagai
sesuatu yang luhur pula. Mulanya, semua memiliki fungsi yang vital dalam kehidupan ini. Ikut
mewarnai pembentukan watak, mewarnai proses pengambilan keputusan, ikut mewarnai
secara nyata dalam proses mengatasi kehidupan manusia. Fungsi-fungsi utama budaya dan seni
yang semula melekat dalam tubuh bangsa lewat berbagai pranata kemudian pelan-pelan
mengalami perlucutan. Budaya disempitkan menjadi kesenian dan kesenian disempitkan
menjadi hiburan dan hiburan disempitkan lagi hanya sebagai medan untuk mengumbar nafsu
kesenangan. Maka di layar televisi belakangan ini kita saksikan, demi hiburan seni wayang
dirusak makna dan penampilannya. Demi hiburan bahkan pernah kisah dan hikayat yang dapat
dijadikan suri teladan ditampilkan dengan sangat ringan, enteng, segar, dan tanpa makna
mendalam. Sungguh mendekati kebenaran jika ada yang berkata bahwa bangsa ini tengah
mengalami proses degradasi fungsi budaya dari apa yang saat ini dimiliki.

Kekayaan budaya dan kesenian jatuh oleh proses komersialisasi (demi keuntungan
industri hiburan dan industri wisata semata). Komersialisasi yang berlebihan menjadikan para
seniman dan budayawan berkompromi bahkan tunduk dengan kemauan pasar. Karena
dianggap tidak menguntungkan pasar maka lagu anak-anak atau musik anak menjadi terlatar
dan kurang berkembang di negeri ini. Karena kurang sesuai dengan pasar, karya s sastra nyaris
tidak dimuculkan dalam festival seni budaya yang digarap secara kontemporer dan komersial.
Lebih-lebih ketika potensi seni budaya bangsa ini kemudian juga mengalami politisasi. Demi
kepentingan politik ada jenis kesenian dan karya budaya dimunculkan atau tidak dimunculkan.
Sastra, sebagai karya seni budaya yang memiliki potensi kritis, mampu mengkritisi keadaan
memang dibiarkan tumbuh, akan tetapi apresiai dan proses pembangkitan krerativitas sastra di
sekolah dicegat oleh kurikulum yang hanya mendudukkan sastra sebagai gejala bahasa.

D. Keempat adalah dependensi budaya


Terjadinya disorientasi budaya, dismotivasi budaya dan disfungsionalisasi budaya
kemudian melahirkan apa yang sekarang bisa kita sebut sebagai ketidakpercayaan diri secara
budaya. Dan ini melahrkan apa yang disebut sebagai dependensi budaya. Ketergantungan
budaya. Bangsa yang lemah secara budaya karena mengalami disorientsi, dismotivasi dan
disfungsi budaya kemudian menjadi sangat tergantung pada budaya luar. Harus diakui, bangsa
ini mengalamai apa yang disebut sebagai ketergantungan budaya. Tergantung pada budaya
global. Budaya global yang berada di bawah rezim kendali budaya Amerika, Eropa, Jepang,
Cina, India, dan Korea. Lihat anak-anak muda kita sekarang, lihat apa yang mereka lihat,
mereka baca, mereka tonton, mereka pikirkan, mereka tulis, dan mererka nikmati. Apa yang
mereka kenakan, mereka lagukan, mereka bayangkan menenai manusia modern misalnya.
Hampir dipastikan mereka akan menunjuk pada apa-apa yang berasal dari Amerika, Eroa,
Jepang Cina, India dan Korea. Semua berada di bawah pengaruh resim-rezim kendali budaya
di atas. Dan dalam budaya-agama, bangsa kita mulai berada di bawah kendali rezim budaya
Arab-Mesir puritan. Tentu empat kelemahan ini kemudian dapat mengarahkan kepada proses
terjadinya defisit budaya dan menumpuknya hutang-hutang budaya kita kepada diri sendiri
selaku bangsa. Kita tidak menjadi diri sendiri. Kita cenderung hidup minus orientasi, minus
motivasi, minus fungsis, dan bergantug kepada apa-apa yang berasal dari luar. Padahal kalau
kita ingat dan menyadari kita sebagai pewaris budaya Nusantara, sehungguhnya kita amat kaya
raya dan memiliki potensi yang membanggakan, jauh lebih unggul dibanding bangsa asing
yang sekarang kita kagumi dan kita puja-puja kemajuan budaya mereka ini.

Strategi Budaya melalui sistem pendidikan

Pendidikan dikatakan ilmu pendidikan atau pedagogi merupakan disiplin ilmu yang
terkait dengan proses pemeradaban, pemberbudayaan, dan pendewasaan manusia. Salah satu
upaya untuk membangun dan meningkatkan mutu sumber daya manusia menuju era globalisasi
yang penuh dengan tantangan, sehingga pendidikan merupakan sesuatu yang sangat
fundamental bagi setiap individu. Sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang
menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan
masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Oleh karena itu, pendidikan yang
diselenggarakan melalui sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi
kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi nilai-nilai budaya,
penguatan ikatan-ikatan sosial antar-warga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan
untukmengukuhkan peradaban umat manusia.
2.3 Potensi Sosial Budaya Indonesia

A. Pengertian Potensi Sosial Budaya

Pengertian potensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kekuatan,


kesanggupan, daya, atau kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan.
Kemduian secara umum dapat dikatakan ilmu sosial dan budaya dasar merupakan pengetahuan
yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-
konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah sosial manusia dan kebudayaan.

Sosial adalah hubungan manusia dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia,


hubungan manusia dengan kelompok, serta hubungan manusia dengan organisasi untuk
mengembangkan dirinya. Dapat dianalisis bahwa sosial adalah suatu hubungan sosial
kemasyarakatan antara individu manusia dengan masyarakat pada lingkungan tertentu;
hubungan manusia dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia, hubungan manusia
dengan kelompok, serta hubungan manusia dengan organisasi untuk mengembangkan dirinya.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. Dapat dianalisis bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang
dipelajari menyangkut nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Ilmu
ini menerangkan bahwa budaya adalah hal kompleks terkait pengetahuan, kepercayaan, seni,
kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya.

Beberapa hal yang melatarbelakangi sosial budaya dalam konsep adalah sebagai berikut.

1. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dengan segala
keanekaragaman budaya;
2. Proses pembangunan yang sedang berlangsung dan terusmenerus sehingga
menimbulkan dampak positif dan dampak negatif berupa terjadinya perubahan dan
pergeseran sistem budaya;
3. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
Dapat dianalisis bahwa latar belakang terjadinya sosial budaya dalam masyarakat di antaranya
adanya kenyataan, proses pembangunan yang sedang dan atau tengah berlangsung, serta
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Potensi Sosial Budaya ini merupakan sebuah kekuatan,
kesanggupan, daya, atau kemampuan yang mempunyai kemungkinan yang dapat
dikembangkan dalam kajian mengenai masalah-masalah sosial manusia dan kebudayaan baik
itu hubungan sosial kemasyarakatan antara individu manusia dengan masyarakat pada
lingkungan tertentu; hubungan manusia dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia,
hubungan manusia dengan kelompok, hubungan manusia dengan organisasi ataupun hal
kompleks terkait pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta
kesanggupan dan kebiasaan lainnya. (Los, n.d.)

B. Potensi Keberagaman Budaya Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya. Tidak dapat dipungkiri
jika keberagaman budaya Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke dan terdiri dari
banyak ras, suku, agama, budaya, hingga adat istiadat. Hal inilah yang membuat Indonesia
dijuluki sebagai negara dengan masyarakat majemuk. Keberagaman tersebut tercipta karena
Indonesia adalah negara kepulauan yang setiap daerahnya mempunyai ciri khas masing-masing
yang masih dipegang erat oleh para masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak heran jika struktur
sosial masyarakat Indonesia sangat beraneka ragam.

Berbagai potensi keberagaman budaya dikutip dari buku Ensiklopedia Keragaman


Budaya karya Nurul Akhmad, Ida, dan Rini (2020) ada 4 yaitu.

1. Keberagaman Agama
2. Keberagaman Bahasa
3. Keberagaman Ras Etnik
4. Keberadaan Budaya dan Adat Istiadat

C. Contoh Potensi Budaya Sosial Budaya Indonesia

Penulis disini mengambil contoh potensi sosial budaya masyarakat Dusun Cetho
sebagai embrio ekowisata rakyat di Kabupaten Karanganyar. Dusun Cetho, desa Gumeng,
kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu Daerah Tujuan Wisata
(DTW) di Jawa Tengah yang memiliki pesona candi Cetho dan alam pegunungan yang
beriklim sejuk. Komunitas masyarakat dusun Cetho hidupnya masih kental dengan sistem
keagamaan Hindu dan memiliki ketahanan sistem keagamaan yang kuat. Masyarakat Hindu di
dusun Cetho melangsungkan interaksi secara harmonis, hidup berdampingan dengan pemeluk
agama lain seperti Islam dan Kristen.

Kerajinan Tangan

Dari sekitar 436 penduduk laki-laki di dusun Cetho, hanya 3 orang yang menjadi
pengrajin dan mempunyai keterampilan membuat kerajinan tangan berbahan baku dari kayu.
Kayu yang digunakan sebagai bahan baku tersebut oleh masyarakat setempat disebut dengan
“kayu bertuah”, yaitu jenis-jenis kayu yang secara kodrati mengandung dan mempunyai daya
kekuatan atau energi serta daya supranatural yang bukan dari hasil rekayasa manusia. Menurut
salah seorang penduduk asli dusun Cetho, dusun Cetho ini memiliki potensi kerajinan tangan
yang sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai hasil karya seni yang dapat dibanggakan.
Pengetahuan dan keahlian kerajinan yang telah dimiliki oleh pengrajin dusun Cetho berasal
dari keterampilan yang telah dimiliki kemudian dilatih secara terus menerus.

Tradisi/Upacara dan Kesenian

Upacara keagamaan di dusun Cetho antara lain: a) Hari Raya Nyepi. Sehari sebelum
merayakan Nyepi, masyarakat desa Cetho menuju Candi Prambanan untuk bersemedi/
bersembahyang. Apabila ada yang tidak dapat ke Prambanan mereka tetap beribadah di
pelataran Candi Cetho untuk bersembahyang. Pada hari raya Nyepi tidak ada aktivitas di desa
Cetho selama satu hari penuh. b) Galungan. Upacara galungan bagi umat Hindu dusun Cetho
dilaksanakan dua kali dalam satu tahun. Pelaksanaannya di plataran candi sebagai tempat
sembahyang seluruh warga. Upacara galungan ini dilaksanakan pada hari Rabu kliwon
menurut kalender Hindu dari Bali. c) Upacara Saraswati. Tempat upacara keagamaan ini di
Pura Saraswati, Terletak 300 meter dari candi Cetho. Upacara ini dilaksanakan pada hari Sabtu
Legi setiap bulan menurut kalender Hindu dari Bali. d) Upacara Adat Mondosiyo. Upacara
adat mondosiyo dilaksanakan oleh masyarakat Cetho sebagai rasa syukur kepada Danyang
Kyai Grincing Wesi. e) Dawuhan. Upacara adat dawuhan dimaksudkan untuk menghormati
atau bersyukur kepada Mbah Cikal Bakal yaitu nenek moyang mereka yang dipercaya sebagai
pemberi air bagi kehidupan warga dusun Cetho. Biaya penyelenggaraan upacara adat dawuhan
berasal dari swadaya masyarakat. Dalam kepercayaannya, masyarakat pantang meminta
bantuan dari pemerintah, akan tetapi kalau pemerintah atau ada pihak-pihak lain yang ingin
memberikan bantuan mereka tidak menolak. f) Ruwahan. Seperti masyarakat Jawa lainnya,
warga masyarakat dusun Cetho juga masih mempertahankan upacara/tradisi ruwahan. Tradisi
ini dilaksanakan di pemakaman dusun Cetho dengan didahului acara nyekar atau tabur bunga
di makam keluarga masingmasing. Setelah itu tumpeng yang dibawa dimakan bersama-sama
dengan seluruh masyarakat dusun Cetho yang hadir di makam. Upacara ruwahan dilaksanakan
pada tanggal 15 Ruwah. g) Suranan (1 Suro). Upacara untuk menyambut tahun baru Jawa.
Masyarakat dusun Cetho berkumpul di rumah tokoh/kepala dusun semalaman untuk tirakatan.
h) Wetonan. Wetonan adalah upacara untuk mengenang hari lahir (weton) dan rasa bersyukur
kepada Tuhan karena masih diberi keselamatan. Pelaksanaannya setiap bulan sesuai hari
lahirnya masing-masing.

Kesenian

Beberapa kesenian yang ada di dusun Cetho adalah: a) Karawitan. Kesenian ini pada
awalnya cukup berkembang, karena tersedianya peralatan dan adanya pelatih dari Solo dan
Bali yang dengan suka rela melatih kerawitan bagi penduduk dusun Cetho. Pelatih sekaligus
pemain yang berperan sebagai pengendang (pemegang alat kendang). Namun karena kurang
peminat, kelompok karawitan ini pada akhirnya bubar. b) Campursari. Setelah karawitan bubar,
masyarakat Cetho kehilangan aktivitas dalam berkesenian. Untuk mengganti kesenian
karawitan warga membentuk grup campursari. c)Beganjur. Beganjuran ialah peralatan musik
yang dimainkan sebagai latar dalam mengiringi upacara-upacara adat dan agama. Untuk
melestarikan kesenian ini setiap seminggu sekali dilakukan latihan terutama bagi kaum muda
untuk regenerasi agar beganjuran tidak mengalami pergeseran di tengah berkembangnya
globalisasi.

Cerita/Legenda

Dalam kaitannya dengan keberadaan Candi Cetho, masyarakat dusun meyakini


beberapa hal berikut ini: 1) Candi Cetho merupakan peninggalan Brawijaya yang terakhir. 2)
Brawijaya sebagai penguasa gunung Lawu sehingga oleh masyarakat sering menyebutnya
“eyang gunung Lawu”. 3) Keberadaan Candi Cetho sebagai pengayom masyarakat Dusun
Cetho. 4) Pelataran pertama pada candi Cetho diyakini sebagai rumah Eyang Krincing Wesi
yang merupakan danyang dan sesepuh dusun Cetho. Jika ada seorang warga yang
permintaannya terkabulkan atau mempunyai nadar maka ia akan mengadakan syukuran di
pelataran pertama dengan menyembelih kambing.
Pekerjaan dan Teknologi

Bertani

Bertani merupakan pekerjaan utama dari masyarakat dusun Cetho. Setiap keluarga
mempunyai hak kepemilikan lahan, maka tidak heran bahwa mayoritas penghasilan warga
berasal dari hasil pertanian. Dalam mengerjakan lahan pertanian mereka masih menggunakan
peralatan sederhana seperti cangkul, sabit, alat penyemprot hama, plastik (untuk pembibitan
dan perlindungan tanaman), dan sebagainya. Penggunaan cangkul sampai saat ini masih
dipertahankan karena alasan keadaan alam atau geografis lahan pertanian berupa lereng,
sehingga pengoperasian alat pertanian modern seperti traktor akan lebih sulit dibanding alat-
alat pertanian yang konvensional. Mereka sangat terbuka dengan perkembangan teknologi
pertanian,namun karena alasan biaya yang lebih murah lebih memilih alat pertanian yang
sederhanadengan biaya yang masih dapat terjangkau. Termasuk dalam pemilihan pupuk bagi
tanaman, mayoritas petani di dusun Cetho masih memanfaatkan pupuk kompos dari kotoran
hewan ternaknya. Pupuk kompos ini bagi petani juga dirasa lebih bagus daripada pupuk kimia
yang dapat merusak tanah.

Guru

Guru yang bertugas di sekolah dusun Cetho umumnya berasal dari luar daerah. Hanya
dua orang saja penduduk asli dusun Cetho yang berprofesi sebagai guru. Dusun Cetho memiliki
satu Taman KanakKanak dan satu Sekolah Dasar. Pendidikan SMP diselenggarakan pada
tingkat Kecamatan. Keberadaan TK di dusun Cetho juga belum lama hal ini terkait dengan
program pemerintah yaitu dibangun atas bantuan dana PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat). Selain Guru juga terdapat pegawai negeri dari Dinas Purbakala
yang sudah menetap di desa tersebut.

Pa Mangku

Pa Mangku berperan sebagai tokoh agama hindu di daerah tersebut. Pa Mangku


mempunyai tugas yang berbeda yaitu: Pa Mangku Saraswati (bertugas memimpin doa dan
sembahyang di Puri Saraswati); Pa Mangku Gede (bertugas sebagai pemimpin upacara
ritual/adat/sembayang di candi), dan Pa Mangku Wasi (bertugas sebagai pemimpin upacara
kematian).

Pekerjaan lain warga dusun cetho adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS),
pedagang, dan sebagian sebagai pengusaha pemondokan (homestay), buruh pabrik, pegawai
honorer di objek wisata candi Cetho serta pengrajin. Sementara orang-orang yang dianggap
memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih dalam hal spiritual bertugas sebagai pemuka
agama dan pemimpin ritual atau upacara. Selain pekerjaan umum tersebut masyarakat dusun
Cetho juga terdapat pekerjaan khusus yaitu sebagai pemangku adat, yang dalam bahasa lokal
disebut wasi

Arsitektur

Rumah warga dusun Cetho mayoritas berbentuk serotong/kampung dan sedikit sekali
yang berbentuk limasan. Bentuk rumah ini telah mengalami perubahan, dahulu rumah-rumah
masih berbentuk seperti joglo dengan tiang-tiang penyangga yang tinggi dan terbuat dari kayu,
namun sekarang bervariasi sesuai perkembangan jaman dan teknologi. Selain sebagai tempat
tinggal, rumah sekaligus berfungsi sebagai tempat upacara/pertemuan adat. Jika ada pertemuan
warga, warga juga diijinkan menggunakan rumah Kepala Dusun sebagai tempat berkumpulnya
warga dusun.

Agama dan Kepercayaan

Sembilan puluh persen (431 orang) warga Cetho beragama Hindu, dan yang sepuluh
persen (5 orang) beragama Islam. Masyarakat dusun Cetho berjumlah 140 KK yang terdiri dari
436 jiwa. Jumlah laki-laki 211 jiwa dan jumlah perempuan 225 jiwa. Mengenai sejarah agama
Hindu di dusun Cetho ternyata tidak banyak diketahui oleh masyarakat, hanya beberapa orang
tua (sesepuh) dan pemuka/pemangku agama Hindu di dusun Cetho yang mengetahui secara
tepat asal mulanya.

Di antara warga yang berbeda agama tersebut terdapat toleransi dan sikap saling
menghargai antar agama. Mereka berpendapat “agamamu adalah agamamu dan agamaku
adalah agamaku”. Dengan pandangan yang cukup kuat inilah maka semua konflik antar umat
beragama dapat terhindarkan. Sebagai contoh ketika upacara keagamaan upacara Galungan,
Modosionan, Saraswati, dan Nyepi, masyarakat baik yang beragama Hindu maupun Islam
secara bersamaan mengikuti prosesi upacara. Yang membedakan di antara mereka ialah cara
berdoa yang berdasarkan agama masing-masing. Bentuk toleransi lainnya adalah ketika
pemeluk agama Hindu melakukan amati geni, amati karya, dan amati lalungan pada hari raya
Nyepi, pemeluk agama Islam pun menghormati hari besar itu dengan cara tidak melakukan hal
yang dapat merusak konsentrasi pemeluk agama Hindu yang sedang melakukan ritual
keagamaannya
Sistem Pendidikan

Sebagian besar warga dusun Cetho mengikuti pendidikan formal sampai Sekolah
Dasar. Sedangkan pendidikan informal yang diikuti lebih bersifat umum. Pendidikan non
formal ini lebih berkaitan dengan agama, kesenian, dan pembuatan makanan dengan jangka
waktu pendidikannya tidak menentu. Pendidikan itu diperoleh dari berbagai sumber, misalnya
yang sudah berjalan di dusun Cetho ialah pengajaran ketrampilan menjahit dan cara membuat
kue oleh kepala dusun, pendidikan tari dan ketrampilan bagi penabuh dari Bali, serta latihan
kesenian karawitan dan campursari oleh warga dusun yang berhenti karena masalah biaya.
Sebagian besar warga dusun Cetho mengikuti pendidikan non formal yang
diadakanolehpemerintah. Pendidikan non formal ini berkaitan dengan keterampilan dalam
bertani

Pakaian

Kaum wanita di dusun Cetho sehari-hari mengenakan bawahan rok dan atasan kaos
atau kemeja yang sudah lama dipakai. Namun jika sedang berkebun dan mencari rumput atau
kayu, mereka biasanya mengenakan celana panjang berbahan kain tipis dan baju/kaos lengan
panjang. Beberapa wanita yang sudah tua atau nenek-nenek masih berpakaian tradisional,
bawahan jarik dan atasan model kebaya konvensional. Sedangkan kaum pria sudah berpakaian
seperti orang-orang kebanyakan di dusun lain, memakai celana panjang, atasan kaos/ kemeja.
Pemuda-pemudi banyak yang memakai jaket karena udara yang dingin. Saat hari-hari khusus
seperti hari kebesaran umat Hindu ataupun akan melaksanakan upacara/ ritual/tradisi tertentu
maka ada pakaian khusus pula. Kaum wanita mengenakan atasan kebaya dan bawahan jarik.
Sedangkan kaum pria mengenakan bawahan jarik yang dibentuk sarung dan lebih longgar.
Atribut khusus berupa sabuk dan ikat kepala yang disebut antheng dan udheng.

Kegiatan Waktu Luang

Jenis kegiatan yang dilakukan warga dusun Cetho dalam memanfaatkan waktu luang
dengan berkumpul bersama keluarga di rumah serta bercengkrama dengan tetangga sekitar.
Tujuan warga melakukan aktivitas itu ialahuntukmenjalin hubungan yang harmonis dalam
keluarga di sela-sela kesibukan dan mereka sangat mengutamakan kebersamaan. Kegiatan
lainnya, perkumpulan dan pertemuan RT yang diadakan setiap malam Jumat Kliwon dan
perkumpulan pemuda setiap satu bulan sekali. Diadakan pula kerja bakti rutin setiap hari
minggu pagi.
Ada pula warga yang belajar dan ikut membuat cindera mata di rumah Bapak Winarno.
Tujuan masyarakat dusun Cetho melakukan kegiatan ini untuk mengisi waktu luang dan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, walaupun hanya bersifat pekerjaan sampingan. Mereka
melakukan aktivitas ini setelah menyelesaikan pekerjaan bertani di ladang, kira-kira jam 14.00.

Kegiatan lain untuk mengisi waktu luang, pada setiap hari minggu mengadakan kerja
bakti yang diikuti oleh kaum pria dan wanita. Mulai jam 06.00 kaum wanita berkumpul dan
membersihkan rumput atau sampah di sekitar jalan di perkampungan. Pukul 08.00, giliran para
pria yang bekerja bakti membakar sampah-sampah tersebut dan melakukan hal-hal yang lebih
berat seperti meratakan jalan-jalan perkampungan dengan menggunakan peralatan cangkul,
urusan air bersih dan juga irigasi ladang, dan lain sebagainya.

Dapat Disimpulkan bahwa potensi sosial budaya masyarakat dusun Cetho, desa
Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar berupa: kerajinan tangan aneka kayu
bertuah, tradisi/upacara dan kesenian, cerita/legenda dusun Cetho, pekerjaan dan teknologi,
arsitektur, dsb. yang berkembang dan mampu bertahan menghadapi arus kemajuan teknologi
dan informasi. Kemampuan berkembang dan bertahan menghadapi kemajuan jaman tersebut
di samping didorong oleh faktor semangat kebersamaan dan kegotongroyongan juga karena
adanya toleransi diantara sesama warga serta peran pemangku adat yang masih kuat. Di sisi
lain dalam upaya mengembangkan masyarakat dusun Cetho, peran serta dan cara-cara yang
dilakukan Pemerintah dan Lembaga penggerak pariwisata dalam memberdayakan masyarakat
setempat sudah cukup banyak namun belum maksimal. Kendalanya adalah belum adanya
sinergisme antara pemerintah, penggerak pariwisata, dan masyarakat dusun Cetho dalam
menyatukan persepsi pengembangan dusun Cetho sebagai ekowisata rakyat. (Wuryani &
Purwiyastuti, 2012)
BAB III
PENUTUP

Strategi Kebudayaan adalah Strategi Kebudayaan menurut Van Peursen adalah upaya
manusia untuk belajar dan merancang kebudayaannya. Strategi tersebut tidak hanya
menyangkut masalah kebijakan pemerintah tentang kebudayaan, tapi lebih dari itu yakni
berakar dari pertanyaan dalam diri manusia yang diperjuangkan oleh semua kalangan. Kondisi
objektif bangsa Indonesia menunjukkan adanya empat kelemahan budaya yang besar. Yaitu,
disorientasi budaya, dismotivasi budaya, disfungsionalisasi budaya dan dependensi budaya.
Hinggapnya empat kelemahan budaya ini sudah berlangsung cukup lama.

Potensi Sosial Budaya ini merupakan sebuah kekuatan, kesanggupan, daya, atau
kemampuan yang mempunyai kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam kajian mengenai
masalah-masalah sosial manusia dan kebudayaan baik itu hubungan sosial kemasyarakatan
antara individu manusia dengan masyarakat pada lingkungan tertentu; hubungan manusia
dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan kelompok,
hubungan manusia dengan organisasi ataupun hal kompleks terkait pengetahuan, kepercayaan,
seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya. Berbagai
potensi keberagaman budaya ada 4 yaitu keberagaman agama, keberagaman bahasa,
keberagaman ras etnik, keberadaan budaya dan adat istiadat.

Potensi sosial budaya berkembang dan mampu bertahan menghadapi arus kemajuan
teknologi dan informasi didorong oleh faktor semangat kebersamaan dan kegotongroyongan,
toleransi diantara sesama warga. Di sisi lain dalam upaya mengembangkan peran serta dan
cara-cara yang dilakukan Pemerintah dan Lembaga penggerak pariwisata dalam
memberdayakan masyarakat setempat harus dimaksimalkan.
DAFTAR PUSTAKA

M. M. Jamil, K. Anwar, and A. Kholiq, Lunturnya Kebudayaan Indonesia. Riptek, 68 vol. 5,


no. II, pp. 41–51, 2011.

Santosa, Budhi. (2001). Kebudayaan Bangsa, Kebudayaan Nasional, Kebudayaan Daerah


(makalah). Jakarta : Dirjen Dikti

Moertopo, Ali. (1978). Strategi Kebudayaan.Jakarta : CSIS

Peursen, Van, Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Los, U. M. D. E. C. D. E. (n.d.). KONTEKS SOSIAL BUDAYA DAN INOVASI PENDIDIKAN


(M. P. Prof. Dr. Suprani (ed.)). Harapan Cerdas, Jalan Mustofa No. 125 A, Medan,
Sumatera utara.

Wuryani, E., & Purwiyastuti, W. (2012). Potensi Sosial Budaya Masyarakat Dusun Cetho
Sebagai Embrio Ekowisata Rakyat Di Kabupaten Karanganyar. Satya Widya, 28(1), 13.
https://doi.org/10.24246/j.sw.2012.v28.i1.p13-24

Anda mungkin juga menyukai