Anda di halaman 1dari 19

Kekerasan terhadap Perempuan:

Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan

Elis Shofiyatin
karimaelkarim96@gmail.com

Konsep Kekerasan terhadap Perempuan


Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: perihal yang
bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain serta paksaan. Sedangkan dalam
kamus Oxford kata kekerasan dipahami tidak hanya berkaitan dengan
penggunaan fisik saja tetapi juga terkait dengan tekanan emosional dan
psikis. Melihat penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kekerasan di
sini tidak hanya menggunakan fisik tetapi juga kekerasan dengan verbal
(Muhajarah, 2016).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan definisi kekerasan
sebagai sebagai penggunaan kekuatan atau kekuatan fisik yang disengaja,
terancam atau aktual, terhadap diri sendiri, orang lain, terhadap
kelompok atau komunitas yang menghasilkan atau memiliki
kemungkinan besar mengakibatkan cedera, kematian, kerusakan
psikologis, perkembangan atau kekurangan (Semahegn & Mengistie,
2015). Menurut Gelles dan Straus, kekerasaan adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja atau bermaksud menyakiti orang lain,
sedangkan Pasal 1 Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan PBB menyebutkan bahwa kekerasaan terhadap perempuan
(violence against woman) adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan
secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,
baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Syufri,
2009).
Kekerasan umumnya terjadi antargender, dan perempuan umumnya
merupakan korban dalam tindak kekerasan tersebut. Kekerasan terhadap
perempuan dan anak perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia
global dan tantangan pembangunan yang substansial (Ellsberg, et al.,

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

2014). Kekerasan terhadap perempuan terjadi di setiap negara di antara


semua kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan agama. Kekerasan
terhadap perempuan adalah yang paling umum di dalam budaya di mana
peran gender didefinisikan dan ditegakkan secara ketat; di mana
maskulinitas terkait erat dengan ketangguhan, kehormatan laki-laki, atau
dominasi; di mana hukuman perempuan dan anak-anak diterima; dan di
mana kekerasan merupakan cara standar untuk menyelesaikan konflik.
The Fourth Conference of Women pada tahun 1995 telah mendefinisikan
kekerasan terhadap perempuan sebagai tindakan fisik agresi satu
individu atau kelompok terhadap yang lain atau orang lain. Kekerasan
terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan berbasis gender
yang mengakibatkan, kebebasan fisik, seksual atau perampasan
sewenang-wenang dalam kehidupan publik atau pribadi dan pelanggaran
hak asasi perempuan dalam pelanggaran hak asasi perempuan dalam
situasi konflik bersenjata. Kekerasan adalah tindakan yang dilakukan
dengan maksud atau niat untuk menyakiti orang lain secara fisik5.
Kekerasan gender didefinisikan sebagai “setiap tindakan yang melibatkan
penggunaan kekerasan atau paksaan dengan maksud melanggengkan
mempromosikan hubungan gender hierarkis (Hossain, 2016).
Kekerasan kepada perempuan umumnya terjadi dalam ranah rumah
tangga, hingga di Indonesia sendiri kemudian terdapat peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menjelaskan
bahwa,
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga”.

Kekerasan dan viktimisasi merupakan bentuk pelanggaran norma


sosial. Definisi representatif yang mengacu pada norma sosial mengenai
kekerasan adalah: "kerusakan yang menimpa individu karena aktor
manusia lain berperilaku dengan cara yang melanggar norma sosial".

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 2


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

Umumnya, definisi kekerasan hanya berfokus pada tindakan yang


memaksa secara fisik, namun saat ini mulai berkembang pada serangan
psikologis atau verbal harus dianggap sebagai kekerasan. Pendekatan
kesehatan masyarakat juga menekankan bahwa beberapa tindakan
kekerasan tidak harus berupa serangan fisik, misalnya ada kekerasan
yang tidak dalam pukulan dan tamparan, tetapi meyakitkan psikis
(Hamby, 2017).

Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan meliputi kekerasan fisik, seksual,


dan psikologis yang dilakukan oleh anggota keluarga, masyarakat, atau
negara. Bentuk-bentuk kekerasan yang seperti kekerasan terkait mahar,
pelecehan seksual terhadap anak-anak, perkosaan dalam pernikahan,
pemerkosaan, mutilasi alat kelamin wanita, pelecehan seksual,
perdagangan manusia, pelacuran paksa, dan lain-lain (Hossain, 2016).
Kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena global dan melibatkan
spektrum tindakan pengendalian fisik, seksual, dan psikologis, ancaman,
agresi, pelecehan, dan penyerangan. Kekerasan terhadap perempuan
terjadi dalam berbagai bentuk, seperti pembunuhan bayi perempuan,
penganiayaan anak pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan pasangan
intim, dan pelecehan dan pengabaian terhadap wanita yang lebih tua
(Guruge, Roche, & Catallo, 2012).
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2018)
menjelaskan bahwa jika ditinjau dari sisi perempuan sebagai korban,
kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dapat
terjadi dalam beragam bentuk, yaitu:
1. Kekerasan fisik dapat berupa pemukulan, penganiayaan, pelukaan,
atau berbagai bentuk tindakan lain yang mengarah pada anggota tubuh
perempuan korban.
2. Kekerasan seksual meliputi perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan
seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan
seksual. 6. prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan
perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan
kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak
manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual
yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 3


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

seksual ( termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan


agama).
3. Kekerasan psikologis (psikis) misalnya berupa makian, bentakan, kata-
kata kasar, sikap mendiamkan, atau berbagai tindakan lain yang
melukai hati atau perasaan perempuan korban.
4. Kekerasan ekonomi atau penelantaran ekonomi dapat berupa antara
lain melarang perempuan untuk bekerja atau tidak memberi nafkah
kepada perempuan yang menjadi tanggungannya.
Kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam ranah
keluarga atau personal, komunitas, atau negara. Adapun kekerasan
ekonomi umumnya terjadi dalam ranah keluarga atau personal. Dalam
ranah keluarga artinya kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh
orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek),
kekerabatan (ayah tiri, sepupu), atau perkawinan (suami) dengan korban.
Kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas atau publik berarti
kasus di mana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan,
darah, perkawinan, atau hubungan pacaran. Bisa jadi pelakunya adalah
majikan tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang
yang tidak dikenal. Kekerasan perempuan di ranah negara adalah
kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparatur negara
yang melakukan kekerasan dalam kapasitas dan kewenangannya yang
melekat sebagai aparatur negara; dan apabila saat terjadi peristiwa
kekerasan, tidak ada upaya dari aparatur negara yang berada di lokasi
kejadian untuk menghentikan terjadinya kekerasan, atau justru
membiarkan kekerasan tersebut berlanjut (Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, 2018).
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa tindak
kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4
(empat) macam:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam
golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi,
menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya
perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah
atau bekas luka lainnya.

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 4


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

2. Kekerasan psikologis/emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang
termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,
mengisolir isteri dari dunia luar, mengancam atau menakut-nakuti
sebagai sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) isteri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual,
memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak
isteri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari
kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah isteri, bahkan
menghabiskan uang isteri.

Kekerasan oleh Kejahatan


pasangan, seksual, meliputi
meliputi konflik yang
kekerasan fisik, berhubungan
seksual, dan
dengan kejahatan
pelecehan
seksual

Pembunuhan
kehormatan Mutilasi
alat
kelamin

Trafficking Pemaksaan
dan
pernikahan
dini

Gambar 1. Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan


Sumber: Chandra-Mouli & Amin (2017)

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 5


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

Gambar 1 diketahui bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap


perempuan ada enam bentuk antara lain: trafficking, mutilasi alat kelamin
wanita, pemangkasan rambut, kekerasan pasangan intim (termasuk
kekerasan fisik, seksual, dan emosional), kekerasan seksual termasuk
kekerasan seksual terkait konflik), pernikahan paksa dan awal (Chandra-
Mouli & Amin, 2017). Hasil studi yang dilakukan mengindentifikasikan
bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yakni (Syufri,
2009):
1. Kekerasan fisik, meliputi menempelng muka, meninju dan
menjambak rambut.
2. Kekerasan seksual, meliputi pemerkosaan, perbuatn cabul,
penganiyaan seksual dan godaan seksual.
3. Kekerasaan emosi yang secara langsung ditujukan kepada korbannya,
dan yang secara tidak langsung meliputi; mengancam hidup orang
lain, mempunyai gundik atau isteri simpanan, peminum alkohol dan
budak obat-obatan.
4. Kekerasaan ekonomi, meliputi tidak memberikan bantuan keuangan,
menyalah gunakan dana keluarga dan menggunakan dana keluarga
untuk kejahatan yang lainnya.
Kekerasan terdiri dari tindakan memaksakan kekuatan fisik dan
kekuasaan pada pihak lain yang biasanya diikuti dengan tujuan untuk
mengontrol, memperlemah, bahkan menyakiti pihak lain. Tindak
kekerasan tersebut dapat menyebabkan implikasi yang serius bagi
kesehatan fisik dan mental, tetapi fenomena ini bukan hanya sebuah
fenomena medis. Tindak kekerasan juga bukan sebuah fenomena kriminal
yang berdiri sendiri, melainkan sebuah fenomena yang melintasi lingkup
hukum, etika, dan kesehatan serta berkaitan erat pula dengan etika moral,
budaya, politik, dan juga latar belakang pribadi (Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, 2018).

Dampak Kekerasan terhadap Perempuan

Dampak dari kekerasan yang dialami oleh perempuan akan


mengakibatkan sulit berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, akibatnya
korban akan merasa terasing dengan lingkungan sekitarnya. Tingginya
tingkat kecurigaan terhadap orang lain khususnya orang yang tidak

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 6


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

dikenalnya. Kekerasan dapat menimbulkan dampak yang beraneka ragam


(Syufri, 2009). Kekerasan terhadap perempuan memiliki dampak
kesehatan, sosial dan ekonomi dan berkonsekuensi bagi individu,
keluarga, komunitas dan masyarakat (Chandra-Mouli & Amin, 2017).
Dampak dan konsekuensi adanya kekerasan terhadap perempuan dapat
dijelaskan dalam Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Dampak dan Konsekuensi Adanya Kekerasan terhadap


Perempuan

Dampak Konsekuensi
Dampak pada anak-anak dari Angka kematian bayi & kematian bayi lebih
wanita yang mengalami tinggi
kekerasan • Cedera fisik
• Masalah perilaku
• Kecemasan, depresi, bunuh diri
• Kinerja sekolah yang buruk
• Meningkatnya kemungkinan mengalami &
melakukan kekerasan pada saat dewasa
Mengurangi kemampuan untuk bekerja
Dampak pada keluarga • Upah yang hilang
• Gangguan fungsi keluarga
Biaya layanan yang ditimbulkan oleh korban
Dampak sosial dan ekonomi & keluarga mereka
• Kehilangan produktivitas di tempat kerja
• Berlangsungnya kekerasan antar-generasi
& co sosial-ekonomi
Sumber: (Chandra-Mouli & Amin, 2017)
Komisi nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2018)
menyebutkan bahwa dampak kekerasan terhadap perempuan meliputi
dampak fisik, psikis, sosial, dan ekonomi.
1. Dampak fisik
Dampak fisik yang ditimbulkan meliputi luka atau kerusaan fisik
perempuan, bahkan bisa melibatkan kecacatan seumur hidup.
2. Dampak psikis
Kekerasan fisik, selain ada luka atau kerusakan fisik yang mungkin
memerlukan penanganan segera oleh pelayanan medis, juga dapat
membawa pengaruh pada kondisi kejiwaan atau setidaknya pada
kesehatan emosional seseorang. Pengaruh psikologis biasanya tidak
terlihat langsung sehingga cenderung diabaikan. Jika luka fisik telah
sembuh, begitu saja dianggap telah pulih. Jika luka fisiknya tidak

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 7


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

segera sembuh dan berkepanjangan, ada kemungkinan bahwa luka


fisiknya justru menimbulkan penderitaan psikologis juga. Rentetan
dampak tersebut menjelaskan mengapa kebanyakan korban kekerasan
seksual, misalnya, justru didera rasa bersalah. Rasa bersalah yang
muncul karena korban menganggap dirinya, sebagaimana ditudingkan
orang kepadanya, memiliki andil dalam terjadinya tindak kekerasan
itu. Dalam banyak hal, apabila seorang laki-laki menjadi sasaran tindak
kekerasan, tidak akan menerima dampak serupa, karena tidak
diperlakukan serupa. Kekerasan fisik, selain ada luka atau kerusakan
fisik yang mungkin memerlukan penanganan segera oleh pelayanan
medis, juga dapat membawa pengaruh pada kondisi kejiwaan atau
setidaknya pada kesehatan emosional seseorang. Lebih susah lagi,
pengaruh psikologis justru biasanya tidak terlihat langsung sehingga
cenderung diabaikan. Jika luka fisik telah sembuh, begitu saja dianggap
telah pulih. Jika luka fisiknya tidak segera sembuh dan
berkepanjangan, ada kemungkinan bahwa luka fisiknya justru
menimbulkan penderitaan psikologis juga. Rentetan dampak tersebut
menjelaskan mengapa kebanyakan korban kekerasan seksual, misalnya,
justru didera rasa bersalah. Rasa bersalah yang muncul karena korban
menganggap dirinya, sebagaimana ditudingkan orang kepadanya,
memiliki andil dalam terjadinya tindak kekerasan itu. Dalam banyak
hal, apabila seorang laki-laki menjadi sasaran tindak kekerasan, tidak
akan menerima dampak serupa, karena tidak diperlakukan serupa.
Dampak psikis ini terbagi dua, yaitu dampak jangka pendek dan
dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek misalnya dialami
sesaat atau beberapa hari setelah kejadian. Korban biasanya marah,
jengkel, terhina, dan merasa malu. Hal ini di antaranya ditandai dengan
gejala sulit tidur (insomnia) dan berkurangnya selera makan (lost of
appetite). Dampak jangka panjang adalah sikap atau persepsi negatif
terhadap laki-laki karena trauma. Trauma adalah luka jiwa yang
dirasakan korban usai mengalami hal-hal yang dirasanya di luar batas
wajar dan abnormal. Jika ini berlangsung lebih dari 30 (tiga puluh) hari,
maka korban mungkin mengalami kekacauan tekanan jiwa
pascatrauma (post-traumatic stress disorder).
Ada 3 (tiga) kategori gejala kekacauan tekanan jiwa pascatrauma
yang paling umum, yaitu:
a. Hyper arousal: gejala ini dipengaruhi oleh kerja hormon tubuh yang
ikut berubah seiring dengan berubahnya kondisi psikis. Gejala

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 8


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

paling sering adalah agresi, insomnia, dan reaksi emosional yang


intens seperti depresi yang bisa membuat korban bunuh diri.
Indikasi gejala ini adalah perasaan seakan-akan sebuah peristiwa
buruk terusmenerus terjadi;
b. Intrution: pada diri korban terjadi constant reliving of the traumatic
event (korban tidak mampu lagi menghentikan munculnya ingatan-
ingatan akan peristiwa mengerikan yang dialami) dan flashback
ingatan-ingatan yang terus berulang, seperti kilas balik dan pada
tingkat parah berupa kekacauan ingatan; dan
c. Numbing: mati rasa. Gejala ini wajar, namun tidak wajar jika
berlangsung terus-menerus hingga korban menjadi indifferent (dingin
dan acuh tak acuh) dan akhirnya detached (memencil dan terpencil
dari interaksi sosial). Jika ini terjadi berkelanjutan, maka korban akan
dihinggapi karakter rendah diri, tidak percaya diri, selalu
menyalahkan diri sendiri dan mengalami gangguan reproduksi
(misalnya infertilitas atau gangguan siklus haid) karena korban
merasa tertekan atau mengalami tekanan jiwa.
3. Dampak sosial
Tindak kekerasan, baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik,
mengakibatkan perempuan dan anak-anaknya menderita. Dampak
yang dialami korban sering diperparah oleh reaksi masyarakat ketika
seorang perempuan menjadi korban. Mereka dipurukkan ke dalam
kondisi yang serba menyulitkan bagi mereka untuk mampu
menjalankan peranan sosialnya, yang dapat berakibat lebih lanjut pada
eksistensinya dalam relasi sosial di masyarakat. Ada pembatasan
aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya dilarang
melakukan kegiatan-kegiatan selain yang disetujui oleh pelaku. Salah
satu kasus, seorang suami yang melarang istrinya bekerja setelah
menikah dan mengharuskan istrinya meminta izin bila keluar rumah.
Kasus lain, yaitu seorang atasan yang mengharuskan sekretarisnya
untuk melakukan semua perintahnya, tetapi tidak pernah menghargai
hasil kerja bawahannya itu, bahkan lebih jauh lagi sang sekretaris
dilarang menyatakan pendapatnya sendiri. Walaupun tidak kasat mata,
hal itu sebenarnya merupakan tindak kekerasan. Perlakuan-perlakuan
menghambat dan membatasi seperti itu juga berdampak baik pada
penggerogotan rasa percaya diri maupun pada kemampuan
menjalankan sesuatu dengan baik. Dampak yang muncul pada diri
korban menunjukkan bahwa pada dasarnya tindak kekerasan jelas

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 9


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

menghambat pemenuhan hak asasinya, yakni penghargaan sebagai


manusia yang berdaulat dan bebas dari tekanan atau paksaan untuk
menerima perlakuan yang ditujukan pada dirinya. Secara sosial,
dampak yang biasanya cepat dikenali, yaitu korban mengalami
kesulitan untuk membina relasi dengan orang lain baik dengan
lingkungan terdekat seperti keluarga ataupun dengan lingkungan yang
lebih luas. Kesulitan demikian, pada kasus yang ekstrim, menyebabkan
korban kemudian akan lebih merasa “aman” berdiam dengan dunia
yang dibangunnya sendiri, sehingga cenderung menjadi tidak
produktif dan kehilangan semangat untuk bekerja.
4. Dampak ekonomi
Dampak ekonomi ini dapat dimulai dari kehilangan pekerjaan,
menurunnya produktivitas kerja, kehilangan tempat tinggal karena
harus meninggalkan rumah, sampai pada pembiayaan ranah hukum
jika peempuan yang mengalami kekerasan tersebut melaporkan ke
pihak yang berwajib.

Penyebab Kekerasan terhadap Perempuan

Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan


dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap
isteri telah diungkap dalam suatu penelitian yang diringkaskan sebagai
berikut (Sutrisminah, 2012):
1. Hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan isteri.
Budaya patriarki yang menganggap bahwa suami lebih berkuasa dari
pada isteri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan
kultur serta struktur masyarakat. Bahwa isteri adalah milik suami oleh
karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang
memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan
akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap isteri. Ketimpangan
hubungan kekuasaan antara suami dan isteri akan menjadi penyebab
perilaku keras dalam rumah tangga.
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan isteri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa isteri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun
isteri merasa menderita. Bahkan, isteri akan cenderung tidak
melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 10


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini


dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada
isterinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan
dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai
pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak
dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan
dengan tujuan isteri dapat memenuhi keinginannya dan tidak
melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika
perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar isteri
menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami
sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan
problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Perimbangan antara suami dan isteri, baik dalam hal pendidikan,
pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang dialami sejak masih
kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat dapat
menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami
tidak mau kalah, sementara di sisi lain isteri juga tidak mau
terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Suami melakukan kekerasan terhadap isterinya karena merasa
frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi
tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang belum
siap menikah, suamii yang belum memiliki pekerjaan dan
penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan
kebebasan yang terbatasi akibat masih menumpang pada orang tua
atau mertua.
6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Masih minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan
kewajiban isteri sebagai korban, karena posisi isteri hanya sebagai
saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan,
sangat minim kesempatan isteri untuk mengungkapkan kekerasan
yang dialami.
Secara sosial budaya ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga, antara lain (Muhajarah, 2016):

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 11


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

1. Budaya patriarki yang mendukung laki-laki sebagai makhluk superior


dan perempuan sebagai makhluk inferior.
2. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga
menempatkan laki-laki boleh menguasai perempuan.
3. Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayahnya yang suka
melakukan kekerasan terhadap ibunya baik itu kekerasan fisik, psikis
maupun seksual menjadi faktor turunan dimana anak laki-laki sejak
kecil terbiasa melihat dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
4. Kondisi kehidupan suami atau keluarga yang hidup dalam
kemiskinan.
5. Suami pemabuk, frustasi atau mempunyai kelainan jiwa.
Faktor pendukung terjadinya kekerasan terhadap perempuan dapat
digolongkan dalam beberapa kategori antara lain (Chandra-Mouli &
Amin, 2017):
1. Individu:
a. Paparan terhadap penganiayaan anak (untuk pelecehan seksual
pada pria).
b. Pendidikan rendah, penghasilan rendah.
c. Usia muda, terpisah/bercerai status (pada anak
perempuan/perempuan).
d. Penerimaan kekerasan.
2. Masyarakat:
a. Gender dan norma sosial menerima kekerasan dan ideologi hak
laki-laki.
b. Kurangnya akses perempuan ke sumber daya pendidikan,
pekerjaan dan keluarga.
c. Kurang atau buruknya penegakan hukum dan kebijakan tentang
kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
d. Adanya norma gender yang tidak setara yang memaafkan
kekerasan terhadap perempuan dan sanksi komunitas yang lemah.
3. Hubungan:
a. Kontrol pria yang berlebihan atas wanita.
b. Ketidakpuasan perkawinan.
c. Banyak pasangan.

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 12


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

Upaya Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan

Solusi dalam menghentikan masalah kekerasaan, pelecehan dan


berbagai stereotipe terhadap perempuan, diperlukan suatu aksi jangka
pendek dan jangka panjang (Syufri, 2009):
1. Jangka pendek
Kaum perempuan sendiri harus mulai memberikan pesan penolakan
secara tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan
pelecehan agar tindakan kekerasan dan pelecehan tersebut terhenti.
Membiarkan dan menganggap biasa terhadap kekerasan pelecehan
berarti mengajarkan dan bahkan mendorong para pelaku untuk
melanggengkannya. Pelaku penyiksaan, pemerkosaan dan pelecehan
seringkali salah kaprah bahwa ketidak tegasan penolakan
dianggapnya diam-diam perempuan juga menyukainya. Perlu
kiranya dikembangkan kelompok perempuan yang memungkinkan
mereka saling membahas dan saling membagi rasa pengalaman untuk
berperan mengahadapi masalah kekerasan dan pelecehan. Karena
kekerasan, pemerkosaan, pelecehan dan segala bentuk yang
merendahkan kaum perempuan bukan semat-mata salah kaum
perempuan saja, maka usaha untuk menghentikan secara bersama
perlu digalakkan.
2. Jangka Panjang
Perlu dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut.
Mengingat usaha-usaha praktis di atas sering kali justru berhenti dan
tidak berdaya hasil, karena hambatan ideolologis, misalnya bias
gender, sehingga sistem masyarakat justru akan menyalahkan
korbannya, maka perjuangan strategis ini meliputi berbagai
peperanngan ideologis di masyarakat. Bentuk-bentuk peperangan
tersebut misalnya dengan melancarkan kampanye kesadaran kritis
dan pendidikan umum masyarakat untuk menhentikan pelbagai
bentuk ketidak adilan gender. Upaya strategis itu, perlu dilakukan
dengan berbagai langkah pendukung, seperti melakukan studi
tentang berbagai bentuk ketidakadilan gender dan manifestasinya
baik di masyarakat, negara maupun dalam rumah tangga.

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 13


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

Tabel 2. Upaya Praktis (Jangka Pendek) dan Strategis (Jangka Panjang)


dalam Penanggulagan Kekerasan terhadap Perempuan
Upaya Praktis dan Strategis
Jangka Pendek Jangka Panjang
Mempelajaari berbagai teknik oleh Melakukan studi tentang berbagai
kaum perempuan sendiri guna bentuk ketidakadilan gender da
menghentikan kekerasan, manifestasinya baik di masyarakat,
pemerkosaan, dan pelecehan. negara maupun dalam rumah tangga.
Mulai membiasakan diri mencatat
setiap kegiatan dalam buku harian,
termasuk sikap penolakan dan
responsi yang diterima. Catatan ini
kelak akan berguna jika peristiwa
tersebut ingin diproses secara
hukum.
Usaha seperti menyuarakan uneg-
uneg ke kolom surat pembaca perlu
diintesifkan. Usaha ini tidak saja
memiliki dimensi praktis jangka
pendek tetapi juga sebagai upaya
pendidikan dengan cara kampanye
anti kekerasan dan anti pelecehan
terhadap kaum perempuan bagi
masyarakt luas.

Michau, Horn, Bank, Dutt, & Zimmerman (2014) menjelaskan


bahwa penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dapat
direkomendasi dalam enam hal sebagai berikut:
1. Pertama adalah komitmen pada prinsip-prinsip pencegahan
kekerasan yang efektif terhadap perempuan dan anak perempuan.
Pembuat kebijakan, penyandang dana, penyedia layanan, dan
pemrogram semua dapat berusaha untuk memasukkan prinsip-
prinsip ini ke dalam upaya mereka untuk mencegah kekerasan
terhadap perempuan dan anak perempuan. Prinsipnya, berasal dari
praktik selama bertahun-tahun dan semakin ditegaskan melalui
penelitian penilaian, adalah bahan utama untuk pencegahan
kekerasan yang efektif dan bermakna terhadap perempuan dan anak
perempuan.
2. Kedua, respons sektor kesehatan harus diperkuat. Kebijakan dalam
sektor kesehatan dapat memastikan perawatan berkualitas yang aman
dan dapat diakses tersedia untuk semua korban kekerasan. Penyedia
layanan kesehatan seringkali merupakan titik kontak pertama bagi

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 14


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

perempuan dan anak perempuan yang mengalami kekerasan. Sistem


perawatan kesehatan dapat melatih penyedia pada dasar-dasar
kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan,
memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi dan menanggapi
kekerasan dengan lebih baik, dan berpartisipasi dalam upaya
pencegahan di masyarakat.
3. Ketiga, kepemimpinan sektor kesehatan perlu ditingkatkan. Praktisi
dan sistem layanan kesehatan dapat memperkuat integrasi
pencegahan primer dalam kebijakan dan protokol terhadap kekerasan
terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk persimpangan
dengan masalah kesehatan masyarakat lainnya seperti HIV/AIDS,
kesehatan seksual dan reproduksi, dan kesehatan mental.
4. Keempat, dukungan untuk aktivisme berbasis gerakan kolektif dan
pro-feminis diperlukan. Secara historis, aktivisme kolektif untuk
pencegahan di semua tingkat model ekologi telah terbukti sangat
penting untuk menantang norma-norma gender yang tidak adil,
membentuk kebijakan dan menginformasikan model intervensi.
Dukungan ini membutuhkan keterlibatan aktif baik perempuan
maupun laki-laki dengan cara yang berkontribusi terhadap
transformasi ketidaksetaraan jenis kelamin. Pekerjaan ini harus
berkelanjutan dan sumber daya sebagai bagian dari pendekatan
pencegahan yang komprehensif (lihat lampiran untuk lebih lanjut
tentang pendanaan untuk gerakan perempuan).
5. Kelima, investasi harus dilakukan dalam inovasi. Meskipun beberapa
model pencegahan kekerasan telah dinilai dan dilaporkan efektif,
komunitas donor internasional dan pemerintah harus terbuka untuk,
dan mendorong, kreativitas dan eksperimen teori-informasi dalam
desain intervensi. Kompleksitas dan skala kekerasan terhadap
perempuan dan anak perempuan memerlukan cara-cara inovatif
untuk memanfaatkan perubahan jangka panjang dalam sikap, norma,
dan praktik yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan dan
anak perempuan. Ini termasuk dukungan untuk inovasi lintas-sektor
dalam desain dan implementasi program dan kebijakan, dan
kolaborasi untuk pengumpulan dan analisis data.
6. Keenam, investasi juga diperlukan dalam pencegahan kekerasan
berbasis komunitas terhadap perempuan dan anak perempuan.
Investasi dalam pencegahan di tingkat masyarakat dan masyarakat
diperlukan untuk mengurangi prevalensi kekerasan. Pendanaan harus

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 15


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

mendukung upaya perubahan norma sosial yang memengaruhi


perubahan tingkat individu, serta di tingkat masyarakat dan
masyarakat.
Akhirnya, evaluasi dampak praktisi-peneliti kolaboratif harus
didukung. Penilaian efek pemrograman untuk pencegahan kekerasan
terhadap perempuan dan anak perempuan melalui beragam metode
kualitatif dan kuantitatif, terutama di tingkat masyarakat dan masyarakat,
sangat penting untuk memastikan investasi yang ditargetkan dengan baik
di masa depan dan pertukaran pengetahuan yang bermakna (Michau,
Horn, Bank, Dutt, & Zimmerman, 2014).
Kemitraan pembelajaran yang saling menguntungkan antara
lembaga penelitian dan organisasi praktisi, di mana keterampilan,
pengalaman, dan kebutuhan kedua mitra dianggap bernilai sama, telah
menjadi sangat penting dalam bidang pengurangan kekerasan terhadap
perempuan dan anak perempuan. Kolaborasi masa depan harus
membangun basis bukti saat ini untuk mengukur efek strategi
pencegahan, serta memperkuat kapasitas pemantauan dan penilaian
dalam organisasi pelaksana. Diperlukan jalan dan mekanisme yang
inovatif untuk berbagi teori, temuan studi, dan rekomendasi untuk masa
depan dengan semua pemangku kepentingan (Michau, Horn, Bank, Dutt,
& Zimmerman, 2014).
Menurut Ellsberg et al (2014) ada penekanan yang jauh lebih besar
pada pencegahan kekerasan di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Sebagian besar intervensi menggunakan lebih dari satu
pendekatan, dan banyak target faktor-faktor risiko yang mendasari
kekerasan, seperti kemiskinan, ketergantungan ekonomi perempuan pada
laki-laki, pendidikan rendah, dan norma yang tidak adil untuk perilaku
laki-laki dan perempuan. Saat ini pencegahan kekerasan tidak hanya
berfokus pada perempuan, namun program sekarang juga menargetkan
laki-laki. Program bergerak dari perubahan dalam kelompok individu ke
perubahan di tingkat komunitas, di antaranya:
1. Intervensi pelatihan berbasis kelompok untuk memberdayakan
perempuan
Sebagian besar program pencegahan kekerasan di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah menggunakan pelatihan
kelompok partisipatif, yang terdiri dari serangkaian pertemuan
pendidikan atau lokakarya dengan kelompok individu sasaran.
Tujuan dari program-program tersebut tidak hanya untuk mencegah

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 16


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga untuk mengatasi harapan


mendasar tentang peran dan perilaku laki-laki dan perempuan, dan
untuk mendukung pengembangan keterampilan baru untuk
komunikasi dan resolusi konflik melalui proses refleksi kritis, diskusi,
dan latihan. Ada berbagai durasi pelatihan, kelompok sasaran, dan
komponen. Komponen-komponen pencegahan kekerasan terhadap
perempuan dan anak perempuan seringkali tertanam dalam program
yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan seksual dan
reproduksi, atau program mata pencaharian seperti keuangan mikro
atau pelatihan kejuruan. Dua program yang sukses di Uganda dan
Kenya berusaha memberdayakan gadis-gadis remaja melalui
pelatihan dalam kecakapan hidup, pertahanan diri, dan pelatihan
kejuruan.
2. Pelatihan kelompok yang menargetkan laki-laki
Melalui pelatihan kelompok dan program komunikasi sosial
bertujuan untuk mengurangi kekerasan yang dilakukan pria terhadap
wanita dengan mengubah norma gender yang tidak adil.
3. Pelatihan kelompok dengan pria dan wanita: menyinkronkan
pendekatan gender.
Dalam menanggapi meningkatnya pengakuan bahwa keduanya laki-
laki dan perempuan harus dilibatkan dalam upaya untuk mencegah
kekerasa terhadap perempuan, lebih banyak program menggunakan
pendekatan yang diselaraskan gender yang secara sengaja
menjangkau laki-laki dan perempuan secara terkoordinasi. Stepping
Stones adalah program yang diadaptasi secara luas yang
menggunakan pendekatan pembelajaran partisipatif dengan laki-laki
dan perempuan untuk membangun pengetahuan, kesadaran risiko,
komunikasi, dan keterampilan hubungan seputar gender, kekerasan,
dan HIV.
4. Mobilisasi komunitas
Berbeda dengan program pelatihan kelompok, yang berupaya
mengurangi kekerasan dalam kelompok individu yang ditargetkan,
intervensi mobilisasi masyarakat bertujuan untuk mengurangi
kekerasan pada tingkat populasi melalui perubahan dalam wacana
publik, praktik, dan norma-norma untuk gender dan kekerasan.
Pendekatan mobilisasi masyarakat biasanya merupakan intervensi
kompleks yang melibatkan banyak pemangku kepentingan di

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 17


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

berbagai tingkatan (misalnya, laki-laki dan perempuan masyarakat,


pemuda, tokoh agama, polisi, guru, dan pemimpin politik).
Beberapa strategi dapat dilakukan mulai dari pelatihan kelompok
hingga acara-acara publik, dan kampanye advokasi. Intervensi sering
menggunakan media sosial, termasuk aplikasi smartphone, seperti
Hollaback, Circle of Six, dan Safetipin di India, untuk memberikan
informasi tentang kekerasan dan keselamatan lingkungan, dan untuk
membantu perempuan melaporkan kekerasan atau menerima
bantuan darurat dari teman-teman dan otoritas.
5. Pemberdayaan ekonomi
Studi di seluruh dunia telah secara konsisten menunjukkan hubungan
antara kekerasan pasangan intim dan kemiskinan pada tingkat rumah
tangga dan masyarakat (berkorelasi dengan kekayaan negara) 87,88
meskipun arah dan mekanisme untuk asosiasi ini tidak jelas. Temuan-
temuan ini telah menyebabkan beberapa praktisi pembangunan
berpendapat bahwa peningkatan peluang ekonomi perempuan harus
menjadi strategi utama untuk mengurangi kekerasan. Namun, bukti
untuk pemberdayaan ekonomi perempuan dan pengaruhnya
terhadap kekerasan beragam, dengan penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan akses ke kredit dan aset dapat mengurangi atau
meningkatkan risiko perempuan dari kekerasan pasangan intim,
tergantung pada konteks di mana perempuan hidup. Peningkatan
akses ke aset dapat mengurangi risiko kekerasan perempuan dalam
banyak hal; berpotensi memungkinkan otonomi keuangan
memungkinkan perempuan untuk meninggalkan hubungan yang
penuh kekerasan. Ini juga dapat meningkatkan nilai seorang wanita
untuk rumah tangga, dan meningkatkan daya tawar relatif seorang
wanita dalam hubungan tersebut. Lebih luas lagi, pengurangan
kemiskinan rumah tangga dapat mengurangi tekanan ekonomi dan
dengan demikian mengurangi pemicu potensial untuk konflik.

Referensi
Chandra-Mouli, V., & Amin, A. (2017). Violence Against Women and Girls:
Forms, Levels, Consequences, Causes & Growing Commitment to Address
It. New York: Department of Reproductive Health & Research,
World Health Organization.

Ellsberg, M., Arango, D. J., Morton, M., Gennari, F., Kiplesund, S.,
Contreras, M., et al. (2014, November). Prevention of Violence

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 18


Date issued: December 24th, 2022
Kekerasan terhadap Perempuan:
Konsep, Penyebab, dan Penanggulangan E. Shofiyatin

Against Women and Girls: What Does the Evidence Say? Violence
Against Women and Girls 1, pp. 1-12.

Guruge, S., Roche, B., & Catallo, C. (2012). Violence against Women: An
Exploration of the Physical and Mental Health Trends among
Immigrant and Refugee Women in Canada. Nursing Research and
Practice, 1-15.

Hamby, S. (2017). On Defining Violence, and Why It Matters. Psychology of


Violence, 7(2), 167-180.

Hossain, A. (2016). The Impact of Domestic Violence on Women: A Case


Study of Rural. Sociology and Criminology-Open Access, 4(1), 1-8.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2018). Membangun


Akses ke Keadilan bagi Perempuan Korban Kekerasan: Perkembangan
Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan
terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Jakarta: Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Michau, L., Horn, J., Bank, A., Dutt, M., & Zimmerman, C. (2014).
Prevention of Violence Against Women and Girls: Lessons from
Practice. Violence Against Women and Girls 4, pp. 1-13.

Muhajarah, K. (2016, April). Kekerasan terhadap Perempuan dalam


Rumah Tangga: Perspektif Sosio-Budaya, Hukum, dan Agama.
SAWWA, 11(2), 127-146.

Semahegn, A., & Mengistie, B. (2015). Domestic Violence Against Women


and Associated Factors in Ethiopia; Systematic Review. Reproductive
Health, 12(78), 1-12.

Sutrisminah, E. (2012). Dampak Kekerasan pada Istri dalam Rumah


Tangga terhadap Kesehatan Reproduksi. Majalah Ilmiah Sultan
Agung, 50(127), 1-12.

Syufri. (2009). Perspektif Sosiologis tentang Kekerasan terhadap


Perempuan dalam Rumah Tangga. Jurnal Academica, 1, 95-105.

Doc Num: 006/Sosiologi-ES/Gen-X11-2022 19


Date issued: December 24th, 2022

Anda mungkin juga menyukai