Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ADOPSI DALAM HUKUM ADAT

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Hukum Adat

Oleh :

1. Lorensia Resda G 125010107111023


2. Dona Sri Sunardi W 125010107111079
3. Albi Mahardian 125010107111139
4. Danu Wahyu H 125010107111095
5. Dimas Antep S 125010100111021
6. Natasha 125010100111033

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2015
A. Pengertian Adopsi
Adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda, atau “adopt” (adoption) bahasa
Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Pengertian dalam bahasa
Belanda berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.1
Selanjutnya dikemukakan oleh beberapa pendapat mengenai adopsi sebagai berikut:
1. Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke
dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak
dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti
yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.2
2. Adopsi, ambil anak, kukut anak, anak angkat adalah suatu perbuatan hukum di dalam
rangka hukum adat keturunan, bilamana seseorang diangkat atau didudukan dan
diterima dalam suatu posisi, baik biologis maupun sosial, yang semula tak padanya.3
3. Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh orang tua angkat dengan
resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan
keturunan dan/atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.4
4. Anak angkat adalah anak yang bukan keturunan dari suami istri namun diambil,
dipelihara dan diberlakukan seperti halnya anak keturunannya sendiri, sehingga antara
anak yang diangkat dan orang yang mengangkat anak timbul suatu hubungan
kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandung sendiri.5
Pengertian mengenai anak angkat tidak hanya dikemukakan oleh pendapat para ahli
hukum adat berdasarkan penelitian yang dilakukannya. Namun, dalam hukum positif
yang berlaku di Indonesia juga memberikan batasan mengenai seorang anak yang
dikategorikan sebagai anak angkat. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, bahwa yang dimaksud
dengan anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

1
Muderis Zaini, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 4.
2
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 1995,
hlm 117-118.
3
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, PT Balai Pustaka, Jakarta Timur, 2013, hlm 33.
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1977, hlm 149.
5
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin (Pasca Keluarnya Putusan MK
Tentang Uji Materiil UU Perkawinan), Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2012, hlm 48-49. Mengutip dari
Juli Astuti, Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Pewarisan Adat Di Kecamatan Colomadu Kabupaten
Karanganya, Tesis Program Pasca-Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, hlm 20.
B. Pengertian Pengangkatan Anak
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang
sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
C. Alasan Pengangkatan Anak
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ellyne Dwi Poespasari pada masyarakat
Osing Banyuwangi bahwa proses pengangkatan anak di wilayah tersebut pada umumnya
dilatarbelakangi oleh beberapa alasan antara lain:
1. Karena tidak mempunyai anak sendiri sehingga mengambil anak angkat dari keluarga
dekat atau family sendiri, biasanya anak yang diangkat tidak harus laki-laki atau
perempuan tetapi menurut pilihan dan kebutuhan, hal ini berdasarkan atas alasan
supaya menikmati perasaan seolah-olah telah mempunyai anak kandung sendiri.
2. Karena belum dikarunia anak, sehingga dengan mengambil anak angkat dari keluarga
terdekat (anak keponakan sendiri), diharap atau dimungkinkan akan mempercepat
mendapatkan anak hal ini ada kaitannya dengan kepercayaan atau kekuatan magis
yang menyebabkan mempercepat mempunyai anak kandung.
3. Terdorong oleh rasa kasihan terhadap anak (keponakannya) yang bersangkutan,
misalnya karena hidupnya kurang terurus dan lain-lain.
4. Mengangkat anak hanya untuk melengkapi keluarga karena hanya mempunyai anak
laki-laki saja atau anak perempuan saja.6
5. Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua. Hal ini
memang suatu kewajiban moral bagi yang mampu, di samping sebagai misi
kemanusiaan;
6. Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat mempunyai anak
kandung. Motivasi ini berhubungan erat dengan kepercayaan yang ada pada
sementara anggota masyarakat;
7. Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orang tua angkatnya mempunyai
banyak kekayaan;

6
D.Y. Witanto, op.cit, hlm 49-50. Mengutip dari Ellyne Dwi Poespasari, Hak Waris Anak Dalam Sistem
Hukum Adat Masyarakat Osing Banyuwangi, Jurnal Perspektif Hukum, Vol. 6 No.2, November 2006, hlm
119-120.
8. Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik. Motivasi
ini erat hubungannyaa dengan misi kemanusiaan;
9. Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, disamping motivasi sebagai pemancing untuk
dapat mempunyai anak kandung, juga sering pengangkatan anak ini dalam rangka
untuk mengambil berkat baik bagi orang tua angkat maupun dari anak yang diangkat
demi untuk bertambah baik kehidupannya;
10. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak mempunyai
anak kandung. Hal ini berangkat dari keinginan agar dapat memberikan harta dan
meneruskan garis keturunan;
11. Adanya hubungan keluarga, maka orang tua kandung dari si anak tersebut meminta
suatu keluarga supaya dijadikan anak angkat. Hal ini juga mengandung misi
kemanusiaan;
12. Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang
tidak mempunyai anak. Dari sini terdapat motivasi timbal balik antara kepentingan si
anak dan jaminan masa tua bagi orang tua angkat;
13. Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengertian tidak terurus,
dapat saja berarti orang tuanya hidup namun tidak mampu atau tidak bertanggung
jawab, sehingga anaknya menjadi terkatung-katung. Di samping itu, juga dapat
dilakukan terhadap orang tua vang sudah meninggal dunia;
14. Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi untuk mempererat
pertalian famili dengan orang tua si anak angkat;
15. Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka untuk
menyelamatkan si anak, diberikannya anak tersebut kepada keluarga atau orang lain
yang belum atau tidak mempunyai anak, dengan harapan anak yang bersangkutan
akan selalu sehat dan panjang usia. Dari motivasi ini terlihat adanya unsur
kepercayaan dari masyarakat kita.7
D. Tata Cara Pengangkatan Anak
Seorang anak angkat termasuk sebagai anggota masyarakat adat sehingga proses
pengangkatan seorang anak harus dilakukan dengan terang dan tunai. Adapun yang
dimaksud dengan terang adalah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan itu
dilakukan di hadapan dan diumumkan di depan orang banyak, dengan resmi secara
formal, dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan yang dimaksud dengan kata

7
Zaini Mudaris, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta. 1992), hal.61
tunai berarti bahwa perbuatan itu akan selesai itu juga, tak mungkin ditarik kembali.
Pengangkatan anak dilaksanakan melalui upacara-upacara dengan bantuan pemuka-
pemuka rakyat, dengan perkataan lain perbuatan itu harus terang, dan hal ini terjadi dalam
rangka ketertiban hukum masyarakat, misalnya terjadi di Nias, Gayo, Lampung,
Kalimantan.8
E. Macam-Macam Adopsi
1. Adopsi Langsung (mengangkat anak)
Untuk keperluan hukum, maka seorang anak langsung diangkat menjadi anak,
misalnya nyentanayang di Bali yang disenggarakan hampir selalu dalam lingkungan klan
besar, dari kaum keluarga, akhir-akhir ini telah terjadi lebih banyak lagi dari luar
lingkungan keluarga atau juga dalam beberapa dusun telah terjadi pengangkatan anak dari
luar sanak saudara istri atau pradana. Bila bini tua tidak mempunyai anak sedangkan bini
selir mempunyai seorang anak kandung, maka anak itu terkadang dengan jalan adopsi
dijadikan anaknya bini tua. Bila tidak ada anak laki-laki yang dapat diambil anak, maka
dapat juga seorang anak perempuan dipungut menjadi sentana. Anak itu diangkat dengan
jalan perbuatan hukum rangkap, yaitu pertama dipisahkan dari kerabatnya sendiri dan
dilepas dari ibu kandungnya sendiri dengan jalan pembayaran adat berupa seribu kepeng
serta seperangkat pakaian perempuan, kemudian baru ia dihubungkan dengan kerabat
yang mengangkat diperas.9
Suami yang mengambil anak bertindak dengan persetujuan kerabatnya lalu
diumumkan dalam desa (siar), dari pihak raja sebagai kepala harus dikeluarkan ijin yang
disusun dalam suatu penetapan raja berupa sepucuk surat akta yang disebut surat peras.
Alasan dari pengangkatan anak semacam ini adalah kekhawatiran akan meninggal dunia
tanpa meninggalkan anak dan akan kehilangan garis keturunannya sendiri. Setelah itu,
anak yang telah dipungut sepenuhnya karib dengan anggota kerabat baru. Mengenai
hukum waris maka ia sudah terputus dari kerabatnya yang lama. Sesudah matinya suami
maka pihak janda dapat mengambil anak tersebut atas nama janda itu.10
Di Jawa dan Sulawesi, baik keluarga beranak maupun keluarga tak beranak
melakukan adopsi secara tidak terang, artinya tanpa sepengetahuan kepala adat dengan
tujuan mendapatkan keturunan, tetapi juga untuk mendapatkan tenaga kerja atau karena
belas kasihan semata. Di Jawa, adopsi kemenakan adalah lebih banyak dilakukan

8
Bushar Muhammad, op.cit, hlm 33-34.
9
Bushar Muhammad, loc.cit.
10
Mr. B. Ter Haar Bzn terjemah K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat
(Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht), PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1999, 155-156.
disbanding pengangkatan anak dari luar kerabat, karena dapat memperkokoh kekerabatan.
Anak angkat tersebut adalah seperti anak sendiri, hanya dalam urusan warisan ia tak
berhak atas harta pusaka orang tua angkat, tetapi mendapat bagian tertentu dari harta
pencaharian. Ia adalah tetap anak dari orang tua asal, karena itu menjadi ahli waris dari
orang tua asal, hanya di Sulawesi anak angkat sering kali mendapat warisan melalui
hibah.11
Dari penjelasan diatas dapat disimulkan bahwa pengangkatan anak sendiri di setiap
daerah berbeda-beda antara lain sebagai berikut:
a) Mengangkat anak bukan warga keluarga
Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan dalam keluarga orang
yang mengangkat ia menjadi anak angkatnya.
Lazimnya tindakan ini disertain dengan penyerahan barang-barang magis atau
sejumlah uang kepada keluarga anak semula.
Alasan adopsi adalah pada umumnya “ takut tidak ada keturunan” sedangkan
kedudukan hukum daripada anak yang diangkat demikian ini adalah sama dengan
anak kandung dari pada suami-istri yang mengangkat ia, sedangkan hubungan
kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat akan putus.
Adopsi sendiri harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta
dengan bantuan kepala adat. Adopsi demikian ini terdapat di daerah-daerah Gayo,
Lampung, ulau Nias dan Kalimantan.
b) Mengangkat anak dari kalangan keluarga
Di Bali perbuatan ini disebut “nyetanayang”. Anak lazimnya diambil dari salah
satu clan yang ada hubungan tradisonalnya, yaitu yang disebut dengan purusa, tetapi
akhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari luar clan itu. Bahkan di beberapa desa
dapat pula diambil anak dari lingkungan keluarga istri (pradana).
Dalam keluarga selir-selir (gundik) maka apabila istri tidak mempunyai anak,
maka anak dari selir-selir dapat dijadikan anak istri-istrinya..
Prosedur pengangkatan anak di Bali adalah sebagai berikut:
1) Orang (laki-laki) yang ingin mengangkat anak wajib membicarakan
kehendaknya dengan keluarganya secara matang;
2) Anak yang diangkat hubungan keluarga dengan ibunya dan dengan
keluarganya secara adat harus diputuskan, yaitu dengan membakar benang dan

11
Bushar Muhammad, op.cit, hlm 37.
membayar menurut adat seribu kpeng disertai pakaian pakaian wanita lengkap
(hubungan anak dan ibu menjadi putus);
3) Anak kemudian dimasukan dalam hubungan kekeluargaan dari keluarga yang
memungutnya, istilah diperas;
4) Pengumuman kepada warga desa (siar), untuk siar ini ada masa kerajaan harus
seijin raja, sebab pegawai kerajaan untuk keperluan adopsi ini membuat surat
peras “akta”
c) Menangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan
Perbuatan ini banyak terdapat di jawa,sulawesi dan beberapa daerahlainnya
Pengangkatan keponakan menjadi anak itu sesungguhnya merupakan pergeseran
hubungan kekeluargaan (dalam pengertian yang luas)dalam lingkungan
keluarga.lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran-
pembayaran uang ataupun penyerahan-penyerahan sesuatu barang kepada orang
tua anak yang bersangkutan yang pada hakikatnya masih saudara sendiri dari
orang yang memungut anak.Tetapi di Jawa Timur sekedar sebagai tanda kelihatan
,bahwa hubungan antara anak dengan orang tuanya telah terputus(pedot),kepada
orang –tua-kandung anak yang bersangkutan diserahkan sebagai syarat (magis)
uang sejumlah “rongwong segobang” (=17 ½ sen )
Kalau di daerah Minahasa ada kebiasaan kepada anak yang diangkat diberikan
tanda kelihatan yang disebut “parade” sebagai pengakuan telah memungut
keponakan yang bersangkutan sebagai anak . 12
2. Adopsi Tidak Langsung
Adopsi ini terjadi apabila seseorang kawin atau mengawinkan dan sesudah itu atau
selanjutnya ia mengangkat seorang anak atau anak tirinya atau anak mantunya sebagai
anak sendiri, yang akan melanjutkan keturunan, kadang-kadang juga sebagai ahli waris
sepenuhnya.
a) Di Rejang Bengkulu yang disebut mulang jurai adalah suatu peraturan ambil anak
oleh seorang suami dan yang mengadopsi anak tirinya, yaitu anak bawaan istri dari
perkawinan yang terdahulu. Perbuatan seperti ini hanya terjadi apabila bapak dari
anak yang masih hidup dan memperkenankan dan mengijinkan.

12
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 1995,
hlm 118-119.
b) Suku Dayak Maanyang Siung disebut ngukup anak, tetapi adopsi tak langsung dapat
terjadi apabila seorang bapak ibu mengawinkan anaknya perempuan dengan seorang
anak laki-laki yang kemudian diangkat menjadi anak, meneruskan keturunan atau
sekaligus menjadi ahli waris penuh.
c) Kawin semendo ngangkit di Muara Sipongi adalah mengenai hal memasukkan
(mengangkat) seorang gadis ke dalam kerabat suaminya dengan maksud supaya
bersama suaminya memiliki harta peninggalan.
F. Keabsahan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP 54/2007”) adalah suatu
perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang
tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkat.
Yang dimaksud dengan anak angkat berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan
Anak”) dan Pasal 1 angka 1 PP 54/2007:
“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”
Pada dasarnya, pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang
dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 2 PP 54/2007).
Mengenai pengangkatan anak, ada 2 jenis pengangkatan anak, yaitu: (lihat Pasal
7 PP 54/2007)
a) Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan
b) pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.

Pengangkatan antar Warga Negara Indonesia meliputi: (lihat Pasal 8 PP 54/2007)


a) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan

b) pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Yang dimaksud dengan pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat
adalah pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata
masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat (Pasal 9 ayat
(1) PP 54/2007). Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan
tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan (Pasal 19 PP 54/2007).
Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat dimohonkan
penetapan pengadilan (Pasal 9 ayat (2) PP 54/2007).

Lebih lanjut, menurut Pasal 17 ayat (2) Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 110/Huk/2009 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak
(“Permensos 110/2009”), Kepala Instansi Sosial Provinsi dan kabupaten/kota
berkewajiban melakukan pencatatan dan pendokumentasian terhadap Pengangkatan
Anak

Jadi pada dasarnya tidak ada suatu keharusan bahwa pengangkatan anak harus
dengan penetapan pengadilan. Bisa juga berdasarkan adat kebiasaan setempat. Akan
tetapi, disarankan dengan penetapan pengadilan, karena pada dasarnya pengangkatan
anak ini dilakukan demi kepentingan si anak. Ini sebagaimana dikatakan dalam Pasal
17 ayat (3) Permensos 110/2009, bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat
kebiasaan dapat dimohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh status hukum
anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke
Departemen Sosial, instansi sosial dan instansi terkait (Pasal 17 ayat (4) Permensos
110/2009).

Status hukum anak akan diperlukan salah satunya terkait hak waris. Untuk
seseorang yang beragama non-muslim yang menggunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sebagai ketentuan warisnya, pada dasarnya anak angkat mendapatkan
bagian warisan dari orang tua angkatnya. Yang mana bagiannya sama dengan anak
sah dari orang tua angkatnya. Akan tetapi, Notaris yang membuat surat keterangan
hak waris akan meminta penetapan pengadilan sebagai bukti bahwa orang tersebut
adalah memang anak angkat dari pewaris (orang tua angkat yang meninggal).
Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 27 K/Pdt/2009. Dalam
putusan ini, ada 2 orang anak angkat, yang pertama adalah Penggugat Konvensi dan
Penggugat Intervensi. Penggugat Konvensi menjadi anak angkat dari pewaris
berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Ponogoro No. 30 /Pdt.P/2003/PN.Po.,
sedangkan Penggugat Intervensi tidak memiliki bukti penetapan pengadilan untuk
membuktikan bahwa ia adalah anak angkat pewaris.
Pengadilan pada akhirnya memutuskan bahwa Penggugat Konvensi adalah anak
angkat yang sah dari pewaris sehingga sah sebagai ahli waris, sedangkan gugatan
Penggugat Intervensi tidak dikabulkan oleh pengadilan.13
Berdasarkan Pasal 12 PP No. 54 Tahun 2007, syarat-syarat pengangkatan anak
meliputi:
(1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
(2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)
tahun,sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapanbelas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a. Sehat jasmani dan rohani;
b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun;
c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
e. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. Tidak merupakan pasangan sejenis;
g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

13
Hukum Online, Keabsahan Pengangkatan Anak Secara Adat, 2011, (Online),
http://www.hukumonline.com, diakses 19 November 2015.
k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan
m. Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi social.
G. Kedudukan Anak Angkat Menurut Tata Hukum Adat
1. Bali
Perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu
dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dan memasukkan anak itu
ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan sebagai
anak kandung untuk meneruskan turunan bapak angkatnya.
2. Jawa
Pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang
diangkat dan orang tuanya sendiri. Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga
orang tua yang mengambilnya sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi ia
tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan
turunan bapak angkatnya. Anak yang diambil sebagai anak angkat itu biasanya
anak keponakannya sendiri baik laki-laki atau perempuan.14
H. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Terdapat banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap
daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan anak
dalam kehidupan masyarakat adat sangat menarik. berikut beberapa contoh tentang
pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di beberapa
daerah di Indonesia, antara lain :
1. Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan sepengetahuan kepala desa.
Mereka mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan. Lazimnya
mengangkat anak keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang atau
penyerahan barang kepada orang tua si anak.
2. Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya
diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut
purusa (pancer laki-laki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat pula diambil dari keluarga
istri (pradana).

14
Soepomo, BAB-BAB Tentang Hukum Adat, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm 99.
3. Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak harus
dilepaskan dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya,
penggantiannya, yaitu berupa benda magis, setelah penggantian dan penukaran itu
berlangsung anak yang dipungut itu masuk ke dalam kerabat yang memungutnya,
itulah perbuatan ambil anak sebagai suatu perbuatan tunai. Pengangkatan anak itu
dilaksanakan dengan suatu upacara-upacara dengan bantuan penghulu atau
pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan lain perbuatan itu harus terang.15
4. Di Pontianak, syarat-syarat untuk dapat mengangkat anak adalah:
1.Disaksikan oleh pemuka-pemuka adat.
2.Disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu orang tua kandung dan orang tua
angkat.
3.Si anak telah meminum setetes darah dari orang tua angkatnya.
4.Membayar uang adat sebesar dua ulun (dinar) oleh si anak dan orang tuanya
sebagai tanda pelepas atau pemisah anak tersebut, yakni bila pengangkatan
anak tersebut dikehendaki oleh orangtua kandung anak tersebut. Sebaliknya
bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orang tua angkatnya maka
ditiadakan dari pembayaran adat. Tetapi apabila dikehendaki oleh kedua belah
pihak maka harus membayar adat sebesar dua ulun.16
I. Kedudukan Anak Angkat Menurut Tata Hukum Barat
Rujukan yang didekati mempermasalahkan hal ini ialah S 1917-129 jo 1925-92.
Aturannya dirumuskan dalam Bab II yang terdiri dari beberapa pasal (pasal 5
sampaidengan pasal 15).
1. Anak yang diadopsi
Anak yang dapat diadopsi menurut ketentuan pasal 5 ayat 1adalah hanya anak
laki-laki. Oleh karena itu pasal 15ayat 2 mengancam bahwa adopsiterhadap anak
perempuan adalah “batal demi hukum”. Ketentuan ini jelas sangat mengandung
nilai diskriminatif dan terlampau ekstrim. Padahal sebagaimanayang kita ketahui
bahwa gerakan emansipasi sendiri telah menempatkan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam kedudukan yang sama oleh karena itu, patokan anak lai-laki

15
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994., hal. 182
16
Amir Mertosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara : Prize, Semarang, 1987,
hal.22.
yang hanya dapat diadopsi sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai peradapan dan
kemanusiaan.17
2. Yang Dapat Mengadopsi
Sesuai dengan pasal 5 ayat 2dan 3:
a) Adopsi dilakukan oleh suami-istri;
b) Janda atau duda boleh juga mengadopsi apabila suami atau istri telah
meninggal.
3. Kebolehan Mengadopsi
Adopsi boleh dilakukan apabila sesorang dalam suatu perkawinan tidak
melahirkan keturunan anak laki-laki (pasal 5 ayat 1 dan 3).jadi jika anak dalam
perkawinan tersebutperempuat dimungkinkan suami atauistri tersebutmelakukan
suatu adopsi. Namun ketentuan ini dianggap terlampau diskriminatif. Sehingga
ketentuan ini tidak lagi mutlak di terapkan.
4. Anak Yang Boleh Diadopsi (pasal 6)
a) Anak laki-laki;
b) Belum kawin;
c) Belum diadopsi orang lain.18
5. Syarat Persetujuan (pasal 8)
a) Persetujuan dari suami-istri yang mengadopsi;
b) Persetujuan dari orang tua alami anak yang diadopsi;
c) Persetujuan dari ibu anak apabila ayahnyatelah meninggal;
d) Dan persetujuan dari anak yang diadopsi itu sendiri.
6. Adopsi Berbentuk Akta Notaris (pasal 10)
a) Para pihak menghadap Notaris;
b) Namun boleh dikuasakan, tetapi harus berbentuk surat kuasa khusus yang
berbentuk notariel;
c) Pada akta dituangkan pernyataan persetujuan bersama antara orang tua alami
dengan calon orang tua angkat;
d) Dan aktanya disebut “akta adopsi”.19
e) Pengangkatan Anak Menurut Sistem Hukum Barat (BW)

17
M.YahyaHarahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993, hlm 89.
18
Ibid, hlm 90.
19
Ibid, hlm 91.
Sebetulnya, di dalam BW sendiri juga tidak ditemukan ketentuan yang berkaitan
dengan pengangkatan anak atau adosi. Ketentuan yang ada dalam BW hanyalah
ketentuan yang “berdekatan” dengan itu, yaitu ketentuan tentang pengakuan anak
di luar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam buku I BW bab XII begian ketiga,
pasal 280 sampai dengan 289. Ketentuan dalam pasal-pasal ini pun sama sekali
tidak ada hubungannya dengan maslaah pengangkatan anak. Oleh karena itu,
sampai saat ini pun orang-orang Belanda yang ada di Indonesia tidak bisa
memungut atau mengangkat anak secara sah. Akan tetapi, di negeri Belanda
sendiri telah diundangkan sebuah undang-undang tentang adopsi (adoptie wet).20
Sementara itu, kenyataannya adopsi itu sendiri telah menjadi kebiasaan dan
kebutuhan masyarakat semenjak zaman dahulu. Ia termasuk perbuatan perdata
yang menjadi bagian dari hukum kekeluargaan. Oleh karena tuntutan masyarakat
itu, maka pemerintah Hindia Belanda berusaha membuat suatu aturan tersendiri
tentang adopsi ini. Untuk itu, dikeluarkanlah Staatsblad nomor 129 tahun 1917.
Dalam staatsblad tersebut, khususnya pasal 2 sampai 25, masalah adopsi diatur
dan diberlakukan untuk golongan masyarakat Tionghoa atau golongan Timur
Asing. Selanjutnya, hanya Staatsblad inilah yang dapat dijadikan acuan dalam
menelusuri ketentuan hukum pengangkatan anak menurut sistem hukum Barat.21
Pasal 5 Staatsblad 1917 nomor 129 mengatur tentang siapa saja yang boleh
mengadopsi, yaitu ayat 1 menyebutkan:
(1) Bila seorang laki-laki, kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai
keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik karena hubungan
darah maupun karena pengangkatan, dapat mengangkat seseorang sebagai
anak laki-lakinya.
(2) Adopsi dilakukan oleh suami bersama dengan isterinya atau, jika terjadi
sesudah putusnya perkawinan, oleh suami itu sendiri.
(3) Janda yang tidak telah kawin lagi dapat mengangkat seseorang seabgai
anak laki-lakinjya, jika tidak ada keturunan seperti dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini yang ditinggalkan oleh suami yang telah meninggal dunia. Tetapi bila
suami yang meninggal menyatakan dengan wasiat bahwa ia tidak
menghendaki adopsi sedemikian oleh jandanya, maka adopsi itu tidak dapat
dilakukan.22

Ketentuan di atas memberikan kesimpulan bahwa yang berhak mengangkat anak


adalah sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda

20
Ibid., hal. 31-32
21
Ibid., hal. 32-33
22
Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 4-5
yang tidak mempunyai anak laki-laki, ataupun seorang janda yang tidak
mempunyai anak laki-laki, asal saja janda tersebut tidak dtinggalkan wasiat dari
suaminya yag menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak. Di sini tidak
diatur secara konkrit batasan usia dan orang yang belum berkawin untuk
mengangkat anak.
Pasal 6 dan 7 mengatur tentang siapa saja yang dapat diadopsi. Pasal 6
menyebutkan: “Yang boleh diangkat sebagai anak hanyalah orang Tionghoa laki-
laki yang tidak kawin dan tidak mempunyai anak, yang belum diangkat oleh orang
lain”.23
Pasal 7 ayat 1 menyebutkan:
(1) Orang yang diadopsi harus berusia paling sedikit delapan belas tahun lebih
muda dari laki-laki, dan paling sedikit lima belas tahun lebih muda dari wanita
yang bersuami atau janda, yang melakukan adopsi.
(2)Dalam adopsi terhadap seorang keluarga, sah atau di luar perkawinan, maka
orang yang diadopsi dalam hubungan keluarga dengan ayah moyang bersama
harus berkedudukan dalam derajat yang sama dalam keturunan seperti
sebelum adopsi terhadap ayah moyang itu karena kelahiran”.24
Ketentuan itu menegaskan bahwa yang dapat diangkat hanyalah laki-laki
berkebangsaan Tionghoa yang tidak beristeri, tidak beranak dan belum diangkat
sebagai anak oleh orang lain. Konsekwensinya, anak-anak atau orang perempuan
tidak bisa dijadikan sebagai anak angkat.25 Hal itu secara tegas disebutkan pada
pasal 15 ayat 2 (lihat di bawah).
Selain itu, ketentuan di atas juga menjelaskan antara calon orang tua angkat
dengan calon anak angkat minimal harus terpaut usia 18 tahun dengan calon ayah
angkat dan 15 tahun dengan calon ibu angkat. Ketentuan tersebut sama sekali
tidak membatasi hubngan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya; keluarga dekat atau orang asing sama sekali. Penegasan yang
dimunculkan dalam aturan itu hanyalah dalam hal kalau ada hubungan darah, baik
keluarga sah atau keluarga luar kawin, maka anak angkat itu harus memperoleh
derajat keturunan yang sama dengan derajat keturunannya, karena kelahiran
sebelum ia diangkat.
Staatsblad 1917 nomor 129 sama sekali tidak menyinggung motif atau tujuan
adopsi. Kalaupun dapat dijadikan sebagai petunjuk, tujuan pengangkatan anak

23
Ibid., hal. 5
24
Ibid.
25
Muderis Zaini, op.cit., hal. 35
yang disebutkan Staatsblad tersebut hanyalah untuk penyambung keturunan,
seperti dapat “dipahami” dari ketentuan pasal 15 ayat 2 (lihat di bawah).
Selanjutnya pasal 8 sampai 10 Staatsblad 1917 nomor 129 mengatur tentang tata
cara adopsi. Pada pasla 8 disebutkan empat syarat untuk adopsi, sebagai berikut:
1. Persetujuan dari orang atau orang-orang yang mengadopsi;
2. Dalam hal yang diadopsi adalah seorang anak sah, maka persetujuan dari
orang tuanya, atau jika salah satu telah meninggal dunia, dari suami atau isteri
yangmasih hidup, dengan pengecualian dari I b unya yang kawin lagi; dalam
hal ini, demikian juga jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia, untuk
melakukan adopsi seorang anak yang belum cukup umur diharuskan
persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan.
Dalam hal rang yang diadopsi adalah seorang anak di luar perkawinan;
persetujuan dari orang tuanya, jika ia diakui oleh keduanya, atau jika ia hanya
diakui oleh salah satu dari mereka, persetujuan daripadanya; jika tidak terjadi
pengakuan atau orang tuanya yang mengakuinya telah meninggal dunia, maka
untuk melakukan adopsi terhadap orang yang bleum cukup umur diharuskan
persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan.
3.Persetujuan dari orang yang diadopsi, jika ia telah mencapai usia lima belas
tahun.
4.Dalam hal adopsi oleh seorang janda seperti dimaksud dalam pasal 5 ayat
(3), persetujuan dari kakak-kakak yang telah dewasa dan dari ayah (dari
suami) yang telah meninggal dunia, dan, jika mereka tidak ada atau jika orang-
orang tersebut tidak bertempat tinggal di Indonesia, dari dua orang di antara
keluarga laki-laki terdekat yang sudah dewasa dari garis bapak dari suami
yang telah meninggal dunia sampai derajat keempat yang bertempat tinggal di
Indonesia.26

Persetujuan yang dimaksud dalam persyaratan keempat di atas dapat diganti


dengan izin dari Pengadilan Negeri di wilayah kediaman janda yang ingin
mengadopsi tersebut. Hal itu didasarkan pada aturan yang dimuat dalam pasal 9
ayat 1.27
Menurut pasal 10, pengangkatan anak harus dilakukan dengan akte notaries.
Untuk itu, para pihak menghadap di depan notaries secara pribadi atau diwakili
kuasanya. Dalam akta notaries itu sendiri harus disebutkan persetujuan
pelaksanaan adopsi.28
Sedang yang menyangkut dengan masalah akibat hukum dari pengangkatan anak
itu diatur dalam pasal 11 sampai 14 Staatsblad 1917 nomor 129. Pasal 11
mengenai nama keluarga orang yang mengangkat anak, nama-nama juga menjadi

26
Soedharyo Soimin, op.cit., hal. 5-6
27
Ibid., hal. 6
28
Ibid.
nama dari anak yang diangkat. Pasal tersebut berbunyi: “Adopsi membawa akibat
demi hukum, bahwa orang yang diadopsi, jika ia mempunyai nama keturunan lain
daripada laki-laki yang mengadopsinya sebagai anak laki-lakinya, memperoleh
nama keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti dari nama keturunan
orang yang diadopsi itu.29
Pasal 12 menyamakan seorang anak angkat dengan anak sah dari perkawinan
yang mengangkat. Pasal ini terdiri dari tiga ayat, sebagaai berikut:
(1) Bila orang-orang yang kawin mengadopsi seorang laki-laki, maka ia
dianggap dilharikan dari perkawinan mereka.
(2) Bila seorang suami mengadopsi seorang anak laki-laki sesudah putusnya
perkkawinan, maka ia dianggap dilahirkan dari perkawinan suami itu yang
putus karena kematian.
(3) Bila si Janda mengadopsi seorang anak laki-laki, maka ia dianggap
dilahirkan dari perkawinannya dengan suami yang telah meninggal dunia,
dengan ketentuan, bahwa ia dapat dimasukkan sebagai ahli waris dalam harta
peninggalan orang yang telah meninggal dunia, sepanjang ia tentang hal itu
tidak menentukan dengan surat wasiat, hanya jika adopsi itu terjadi dalam
waktu enam bulan sesudah kematian, atau jika si Janda dalam tenggang waktu
itu memohon suatu kuasa dari hakim tersebut dalam pasal 9 dan
menggunakannya dalam waktu satu bulan sesudah diperolehnya.30

Pasal 13 mewajibkan balai harta peninggalan untuk, apabila ada seorang janda
yang mengangkat anak, mengambil tindakan-tindakan yang perlu, guna mengurus
dan menyelamatkan barang-barang kekayaan dari anak yang diangkat itu. Pasal
ini terdiri atas dua ayat yang masing-masingnya berbunyi sebagai beriktu:
(1) Bila seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan seorang janda
yang berwenang melakukan adpsi, maka balai harta peninggalan berkewjabian
untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu dan mendesak, yang
diharuskan guna mempertahankan dan mengurusi barang-barang yang akan
jatuh pada orang yang diadopsi.
(2) Hak-hak dari pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi adopsi, ditunda
sampai waktu adopsi terjadi, tetapi paling lama dalam tenggang waktu seperti
dimaksud dalam ayat terakhir pasal 12.31

Pasal 14 mengatur penegasan akibat hukum dari adopsi, yaitu putusnya hubungan
hukum antara anak yang diadopsi dengan orang tua dan keluarganya sendiri. Pasal
tersebut berbunyi: Karena suatu adopsi, maka gugurlah hubungan-hubungan
keperdataan yang terjadi karena keturunan alamiah antara orang tua atau keluarga
sedarah dan semenda dengan orang yang diadopsi, kecuali terhadap.

29
Ibid., hal. 7
30
Ibid., hal. 7-8
31
Ibid., hal. 8
1.Derajat kekeluargaan sedarah dan semenda yang dilarang untuk perkawinan;
2. Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana yang didasarkan pada keturunan
alamiah
3. Perhitungan (kompensasi) dari biaya perkara dan penyanderaan;
4. Pembuktian dengan seorang saksi.
5. Bertindaknya sebagai saksi pada akta-akta otentik.32
Tentang pembatalaan adopsi, Staatsblad 1917 nomor 129 hanya memuat satu
pasal, yaitu pasal 15. Pasal tersebut terdiri dari 3 ayat yang berbunyi sebagiai
berikut:
(1) Adopsi tidak dapat dihapus oleh saling persetujuan dari kedua belah pihak.
(2) Adopsi terhadap anak perempuan dan dengan cara lain daripada dengan
akte notaris, adalah batal demi hukum.
(3) Adopsi dinyatakan batal karena bertentangan dengan salah satu pasal 5, 6,
7, 8, 9, atau ayat (2) dan (3) pasal 10.33
Dari ketentuan yang terdapat pada ayat (1) pasal 15 di atas dapat disimpulkan
bahwa kesepakatan antara orang yang mengadopsi dengan orang yang diadopsi
tidak berkekuatan hukum untuk membatalkan adopsi yang telah dilakukan
sebelumnya. Selanjutnya ayat (2) dan (3) menyebutkan adopsi dinyatakan batal
demi hukum karena beberapa hal: Pertama, adopsi terhadap anak perempuan.
Kedua, adopsi yang dilakukan tanpa akta notaris. Ketiga, adopsi yang dilakukan
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan yang terdapat di dalam salah
satu pasal 5, 6, 7, 8, 9, atau ayat (2) dan (3) pasal 10.
J. Tinjauan Hukum dan Akibat Hukum dari Adopsi
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum yang berlaku dan mengatur
permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah hukum
Islam, hukum Adat dan hukum Barat.
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
a. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua
angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan
kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat
perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali
nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.

32
Ibid.
33
Ibid.
b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama,
artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan
pewarisan bagi anak angkat.
K. Hak Waris Anak Angkat
1. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat
tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, Jawa
misalnya, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara
anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak
waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua
kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban
hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga
angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan
meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan
Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
2. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum
dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris
dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya
dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H,
Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991).
3. Peraturan Perundang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak
adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat,
dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan
menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka
terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena
kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.”34
L. Penetapan dan Status Hukum Anak Angkat yang Berlaku di Indonesia
(Yurisprudensi)

34
Hukum Online, Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya, 2011, (Online), http://www.hukumonline.com,
diakses 19 November 2015.
Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim
yang berkekuatan tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi.
Dengan putusan ini hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan
untuk selama-lamanya dengan maksud supaya, apabila tidak ditaati secara sukarela
dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara (“dengan kekuatan hukum”).35
Penetapan anak angkat di Indonesia termasuk dalam kategori Putusan Putusan
“declaratoir”, yaitu yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan
yang sah menurut hukum.36
Contoh lain Putusan deklarator adalah putusan yang menyatakan ikatan perkawinan
sah, perjanjian jual beli sah, hak pemilikan atas benda yang disengketakan sah atau
tidak sah sebagai milik penggugat; penggugat tidak sah sebagai ahli waris atau harta
terperkara adalah harta warisan penggugat yang berasal dari harta peninggalan orang
tuanya. Atau putusan yang menyatakan peralihan saham dari pemegang saham semula
kepada penggugat adalah sah karena telah sesuai dengan ketentuan Pasal 49 UU PT
No. 1 Tahun 1995. Dari berbagai contoh di atas, putusan yang bersifat deklarator atau
deklaratif (declaratoir vonnis) adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan
yang dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan Indonesia bahwa seorang dapat
mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2(dua)
tahun.
2. Untuk sahnya pengangkatan anak di Indonesia, setelah permohonan pengangkatan
anak melalui prosedur dari aturan dalam perundang-undangan yang ada,
pengangkatan anak selanjutnya disahkan melalui langkah terakhir yaitu dengan
adanya putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh pengadilan dengan bentuk
penetapan pengadilan atau dikenal dengan putusan deklarator, yaitu pernyataan dari
Majelis hakim bahwa anak angkat tersebut adalah sah sebagai anak angkat dari orang
tua angkat yang mengajukan permohonan pengangkatan anak. Putusan pengadilan
juga mencakup mengenai status hukum dari anak angkat dalam keluarga yang telah
mengangkatnya, mengenai hak mewaris dari anak angkat diatur secara beragam baik
dari hukum adat maupun peraturan perundang-undangan, hak waris anak menurut
hukum adat mengikuti aturan adat dari masing-masing daerah.

35
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1989, Hal. 124
36
Subekti, Op cit, Hal. 127
Daftar Pustaka

Buku:
Muderis Zaini, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), Sinar Grafika, Jakarta,
2002.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, PT Toko Gunung Agung,
Jakarta, 1995.
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, PT Balai Pustaka, Jakarta Timur, 2013.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1977.
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin (Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan), Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, 2012, hlm 48-49. Mengutip dari Juli Astuti, Kedudukan Anak
Luar Kawin Dalam Pewarisan Adat Di Kecamatan Colomadu Kabupaten
Karanganya, Tesis Program Pasca-Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.
D.Y. Witanto, op.cit, hlm 49-50. Mengutip dari Ellyne Dwi Poespasari, Hak Waris Anak
Dalam Sistem Hukum Adat Masyarakat Osing Banyuwangi, Jurnal Perspektif
Hukum, Vol. 6 No.2, November 2006, hlm 119-120.
Zaini Mudaris, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
1992.
Mr. B. Ter Haar Bzn terjemah K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas Dan Susunan
Hukum Adat (Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht), PT Pradnya Paramita,
Jakarta, 1999.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, PT Toko Gunung Agung,
Jakarta, 1995.
Soepomo, BAB-BAB Tentang Hukum Adat, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Pradnya Paramita, Jakarta), 1994.
Amir Mertosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara : Prize,
Semarang, 1987.
M.YahyaHarahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta,
2004.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1989.
Internet :
Hukum Online, Keabsahan Pengangkatan Anak Secara Adat, 2011, (Online),
http://www.hukumonline.com, diakses 19 November 2015.
Hukum Online, Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya, 2011, (Online),
http://www.hukumonline.com, diakses 19 November 2015.

Anda mungkin juga menyukai