Disusun oleh:
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
1. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negeri yang kaya “gemah ripah loh jinawi”.Kekayaan itu
tidak sebatas pada hasil alam saja, tetapi juga pada ragam suku, bahasa, agama,
kepercayaan, dan adat istiadat. Misal untuk kekayaan suku bangsa, Indonesia
memiliki ratusan nama suku bahkan ribuan jika dirinci hingga subsukunya.
Kemajuan teknologi dan kemudahan di bidang transportasi mendorong peningkatan
mobilitas penduduk. Imbas dari mobilitas penduduk diantaranya adalah
mempercepat perubahan komposisi suku di suatu wilayah. Perubahan komposisi
suku ini kerap menjadi potensial konflik sosial, ekonomi, maupun politik. Terkait
hal itu, mengkaji data etnis menjadiurgen. Terlebih sejak tahun 1998, Indonesia
mulai melaksanakan proses demokrasi dan desentralisasi.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 yang dilakukan BPS dapat
diketahui bahwa Jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia secara keseluruhan
mencapai lebih dari 1.300 suku bangsa1 Selain dari keragaman suku bangsa, masih
terdapat keragaman bahasa, adat istiadat dan sebagainya yang keberadaannya tidak
terlepas dari eksistensi masyarakat adat1.
Berkenaan dengan masyarakat adat, Martinez Cobo mendefinisikan masyarakat
adat sebagai berikut:
“Komunitas Adat, masyarakat dan bangsa
adalahmerekayang,memilikikesinambungan sejarah dengan pra-invasi dan
pra-kolonial masyarakat yang dikembangkan di wilayah mereka,
menganggap diri mereka berbeda dari sektor lain dari masyarakat sekarang
berlaku di wilayah-wilayah, atau bagian dari mereka. Mereka membentuk
saat ini sektor non-dominan masyarakat dan bertekad untuk melestarikan,
mengembangkan dan mengirimkan ke generasi masa depan wilayah leluhur
mereka, dan identitas etnik mereka, sebagai dasar kelangsungan mereka
sebagai masyarakat, sesuai dengan pola budaya mereka sendiri, institusi
sosial dan sistem hukum2.”
Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian masyarakat adat yang
dikemukakan oleh Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang
mengemukakan bahwa masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang
memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu,
1
https://www.bps.go.id (diakses pada 27 desember 2022)
2
Katja Göcke, Indigenous Peoples in International Law dalam Göttingen Studies in Cultural Property,
Volume 7, Adat and Indigeneity in Indonesia: Culture and Etitlements between Heteronomy and Self-
Ascription, Universitȁtsverlag Göttingen, 2013, hal 18
serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah
sendiri. Definisi ini lebih bersifat sebagai definisi kerja untuk membantu
mengidentifikasi komunitas masyarakat adat yang menjadi subjek pendampingan
yang dilakukan oleh JAPHAMA3.
Dalam banyak kasus, hal ini diakibatkan oleh upaya negaranegara untuk
mengejar pembangunan ekonomi, bersama dengan kebutuhan ekonomi global,
sehingga memacu meningkatnya kebutuhan SDA yang tinggi yang berujung pada
pencarian global terhadap SDA di seluruh dunia, hingga masuk ke wilayahwilayah
masyarakat adat.
4
http://www.komnasham.go.id (diakses pada 27 desember 2022)
2. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yakni :
a. bagaimanakah implementasi hukum HAM internasional dalam melindungi hak
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat di Indonesia?
b. Bagaimana kondisi hak masyarakat adat dalam melakukan aktivitas kehidupan
ekonomi, sosial dan budaya?
c. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hak masyarakat adat dalam melakukan
aktivitas yang dilakukan oleh Pemerintah?
3. PEMBAHASAN
3.1. implementasi hukum HAM internasional dalam melindungi hak
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat di Indonesia
Secara teoritis, persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional merupakan hal yang perlu dikaji, mengingat teori ini berkaitan dengan
pengaruh masuknya beberapa instrumen internasional yang berkaitan dengan HAM
kedalam hukum nasional.
Adanya dua pandangan tentang hukum internasional yaitu pandangan yang
dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional
bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada kemauan negara,
dan pandangan obyektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum
internasional ini lepas dari kemauan negara.
Dalam hal hukum internasional berhadapan dengan sistem hukum nasional,
tidak ada peraktek yang seragam dan universal yang menentukan bagaimana
negaranegara seharusnya memasukkan hukum internasional kedalam sistem hukum
nasionalnya.
Dalam hubungan ini Akehurst menyatakan bahwa negara memiliki
kewajiban untuk menyesuaikan hukum nasionalnya dengan kewajibankewajiban-
kewajiban di bawah hukum internasional. Hukum internasional dapat menjadi
hukum nasional melalui inkorporasi, adopsi, transformasi atau resepsi, yang dalam
pelaksanaannya ditentukan oleh masing-masing negara berdasarkan perundang-
undangan nasionalnya5.
5
Selain teori transformasi, dikenal pula teori inkorporasi. Praktik ini
merupakan perkembangan dari the Blackstonian Doctrine yang dikembangkan oleh
Sir William Blackstone yang kemudian lebih dikenal sebagai Incorporation
Doctrine. Doktrin ini menganggap bahwa hukum kebiasaan internasional sebagai
bagian dari common Law, sehingga dapat langsung diberlakukan tanpa perlu
persyaratan apapun. Dalam hal ini Blackstone menyatakan bahwa hukum antar
bangsa dalam masalah yang berkaitan dengan yurisdiksi, menurut sitem hukum
common law hal itu dianggap sebagai bagian dari hukum negara.
Komite Hak Asasi Manusia telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
tidak hanya mengenai hak-hak minoritas dan aspek-aspek hak yang secara jelas
tercakup dalam pasal tersebut, taetapi juga tentang isu-isu yang membawa kepada
interpretasi yang lebih luas dari rumusan Pasal 27 yang limitatif. Dalam hal ini
Komite Hak Asasi Manusia telah menegaskan bahwa toleransi dan non-
diskriminasi tidaklah cukup bagi terealisasinya hak-hak minoritas, tetapi harus
menuntut bahwa negara harus mengambil tindakan-tindakan yang secara aktif
memajukan hakhak minoritas, termasuk minoritas masyarakat adat yang mencakup
isu hak atas tanah, hak atas sumberdaya alam dan lingkungan masyarakat adat.
Berdasarkan ketentuanketentuan di atas, adanya keterkaitan antara hak
menetukan nasib sendiri dalam rangka pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat adat sebagai bagian rakyat yang berada dalam suatu bangsa (negara),
maka mereka bebas untuk menentukan hak ekonomi, sosial dan budayanya.
Demikian pentingnya hak-hak tersebut bagi masyarakat adat sehingga dalam
pembangunan nasional yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi sosial
serta kebutuhan masing-masing negara dalam rangka merealisasikan HAM pada
umumnya dan hak masyarakat adat khususnya, negara diwajibkan untuk
melaksanakannya tanpa pembedaan apapun yang didasarkan pada prinsip non-
diskriminasi
di beberapa daerah terdapat suatu pengaturan yang bersifat internal (self regulatory)
pada masyarakat yang dijadikan sebagai pedoman atau pijakan dalam bersikap dan
bertindak, baik dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat maupun
pengelolaan lingkungan serta pemanfaatan sumber daya alam, yang disebut sebagai
sasi. Substansi hukum sasi antara lain mencakup larangan/pantangan, anjuran,
sanksi atau denda pelanggaran adat, mekanisme penyelesaian atas pelanggaran sasi,
hak dan kewajiban masyarakat negeri6.
Pelaksanaan sasi tersebut dapat dilakukan di darat maupun dilaut. Sasi darat
dilakukan di atas tanaman/tumbuh-tumbuhan seperti kelapa, jeruk, cengkeih,
pisang, nanas dan binatang antara lain kusu atau kuskus, burung; sedangkan sasi
laut dilakukan atas ikan, lola, teripang, rumput laut, siput atau bia. Pencanangan
sasi dilaut adalah belo yaitu tonggak kayu dari pohon mange-mange atau pohon
bakau.
Selain adanya pembatasan hak-hak masyarakat adat dalam melakukan cara adat
sasi, di beberapa tempat juga terdapat permasalahan hak berkebudayaan
masyarakakat sebagai akibat adanya penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah.
Dalam hal ini kawasan hutan negara salah satunya adalah Hutan adat. Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 854/Menhut-II/2014 tanggal 29
September 2014, luas kawasan hutan di provinsi Maluku mencapai 3.919.617
hektar yang dibagi fungsinya menjadi hutan konservasi, hutan lindung, hutan
produksi dan hutan produksi yang dapat dikonservasi.
6
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku dan Maluku Utara, Laporan Kegiatan Pemulihan
dan Penataan Kembali Budaya Sasi di Maluku, Ambon, 2004, hal 3
7
Eliza Kissya, Kapata Kewang Haruku dan Sasi Aman Haku-ukui, PT. Ininnawa, Makassar, 2013, hal. 43
Menurut pihak Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, Kategori hutan adat masih
membingungkan karena yang yang dimaksud sebagai hutan adat tersebut harus
memiliki ketentuan., seperti terdapat pembudidayaan untuk gaharu atau rotan,
sehingga kehidupan mereka memang benar tergantung pada hutan tersebut. Oleh
karena itu perlu adanya dokumen yang secara legal membuktikan bahwa hal
tersebut masuk dalam tanah adat, sehingga tidak timbul permasalahan pada saat
Pemerintah memberikan konsensi ijin untuk ijin produksi karena pada saat
pelaksanaan sering ditemukan hutan adat pada area yang berada dalam hutan yang
diberikan oleh Pemerintah.
Oleh karena itu masyarakat adat setempat pun melakukan aksi penolakan terhadap
kehadiran konsorsium Perusahaan Milik Swasta tersebut dengan berbagai alasan
yang antara lain di areal hutan terdapat sejumlah tempat pusaka dan daerah
keramat. Selain itu hutan juga merupakan tempat mereka untuk bercocok tanam
dan berburu serta terdapat pohon sagu dan dusun kelapa yang menjadi kebutuhan
pokok masyarakat adat.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa Hak Komunal atas tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Komunial adalah hak milik bersama atas tanah suatu
masyarakat hukum adat atau hak miliki bersama atas tanah yang diberikan kepada
masyarakat yang berada dalam kawasan hutan atau perkebunan. Pengertian hak
ulayat dan hak komunal tersebut mengandung arti bahwa masyarakat adat memiliki
hak atas tanah yang berada wewenang untuk memanfaatkan berbagai sumber daya
alam wilayahnya tersebut, sehingga berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya alam di wilayah masyarakat adat harus sepengetahuan
ketua adat setempat,. Akan tetapi pada kenyataannya masyarakat adat tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk memperoleh ijin dalam
pemanfaatan sumber daya alam yang berada dalam wilayahnya tersebut. Hal ini
menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam telah mengubah tatanan kehidupan
masyarakat adat, bahkan mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia, sebagai
akibat adanya pembiaran (act of ommission).
8
Moh. Koesnoe, Prinsip-prinsip Hukum Adat Tentang Tanah, Ubhara Press, Surabaya, 2000, hal 39
Dalam Prinsip Maastricht19 , juga dikemukakan mengenai perlindungan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, yang menyatakan bahwa semua negara harus
mengambil tindakan, secara terpisah, dan bersama-sama melalui kerja sama
internasional, untuk melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya orang-orang
yang berada dalam teritorial dan ekstrateritorial mereka.
4. PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Implementasi hukum HAM internasional dapat dilakukan dengan cara
meratifikasi perjanjian internasional. Dengan demikian, perjanjian internasional
tersebut dapat diimplementasikan dalam produk perundang-undangan dengan
melakukan penyesuaian hukum nasional yang mengatur masalah terkait dengan
pemenuhan hak yang ada di dalam perjanjian tersebut. Penyesuaian tersebut
dapat berupa melakukan legal reform terhadap undang-undang atau
mengamandemen konstitusi yang tidak sesuai dengan kovenan, selain itu
penyesuaian dapat pula berarti memberlakukan peraturan-peraturan yang baru.
secara turun temurun melakukan aktivitas ekonomi, sosial dan budayanya,
tidak hanya diwilayah daratan, melainkan juga di wilayah perairan laut. Hal ini
dapat terlihat dari aktivitas ekonomi, sosial dan budaya yang dilakukan
diwilayah perairan Tanjung Suino maupun di
kawasanhutan.AkantetapiKehidupanmasyarakat adat tersebut mengalami
gangguan saat mereka tidak dapatlagimelakukan berbagai aktivitas yang sudah
sejak lama mereka lakukan, baik diwilayah perairan maupun kawasan hutan.
Hal ini sangat memprihatinkan mengingat mata pencaharian mereka tergantung
pada wilayah perairan dan kawasan hutan serta ritual adat istiadatmereka pun
selalu dilakukan ditempat yang sama. Hambatan atau permasalahan yang ada
tersebut seringkali disebabkan oleh adanya penerapan peraturan perundang-
undangan, proses pembangunan dan pembuatan kebijakan berupa Peraturan
Daerah yang kurang mempertimbangkan sisi Hak Asasi Manusia, sehingga
masyarakat adat pun kurang dilibatkan dalam berbagai proses pembangunan
Pada kasus yang terjadi di Provinsi Maluku, dapat diketahui bahwa
pelaksanaan perlindungan hak masyarakat adat dalam melakukan aktivitas
ekonomi, sosial dan budaya telah dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota walaupun belum maksimal. Hal ini dikarenakan
adanya otonomi daerah menyebabkan berbagai instansi pada Pemerintah
Provinsi tidak dapat memberikan perlindungan secara langsung kepada
masyarakat adat terkait terhambatnya hak masyarakat adat sebagai akibat
adanya proses pembangunan atau kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah
kabupaten.kota. Provinsi hanya dapat melakukan pengawasan saja pada
aktivitas masyarakat adat. Padahal keterlibatan Pemerintah provinsi sangatlah
penting untuk menghindari terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat adat
setempat.
4.2. SARAN
Kewajiban pemerintah dalam mengimplementasikan hukum HAM
internasional harus disertai dengan komitmen untuk melakukan pemenuhan hak
yang dijamin di dalam hukum HAM internasional. Dalam hal ini, diharapkan
kepada pemerintah perlu meratifikasi dengan segera Kovensi ILO 169, dengan
demikian perlindungan hak masyarakat adat melalui hukum HAM internasional
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pemerintah dalam hal ini DPR RI perlu segera mengesahkan Rancangan
UndangUndang mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat agar dapat dijadikan sebagai payung hukum bagi Pemerintah Daerah
dalam membuat Peraturan Daerah tentang Perlindungan Hak Masyarakat adat,
sehingga dalam berbagai proses pembangunan, hak-hak masyarakat adat tidak
terabaikan. Selain itu juga juga Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota perlu
melibatkan masyarakat adat dalam pembuatan Peraturan Daerah maupun proses
Pembangunan. Hal ini berarti Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan
memberikan peran pada masyarakat adat dalam proses pemberian rekomendasi
terhadap perizinan usaha yang akan dilakukan di wilayahnya.