Anda di halaman 1dari 20

0

PARADIGMA BARU HUKUM PENATAAN RUANG


YANG MELINDUNGI HAK SUKU OSING KEMIREN BANYUWANGI
BERBASIS EKO RELIGI
1

PARADIGMA BARU HUKUM PENATAAN RUANG


YANG MELINDUNGI HAK SUKU OSING1 KEMIREN BANYUWANGI
BERBASIS EKO RELIGI

Oleh:
Siti Barora Sinay

A. Pendahuluan
Tujuan penyelenggaraan Negara sebagaimana dirumuskan pada alinea
keempat pembukaan UUD Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal ini bermakna bahwa segala
warga Negara, warga bangsa termasuk tanah tumpah darah memperoleh jaminan
perlindungan Negara yang disisi lain menempatkan kesejahteraan umum dan
keadilan sosial sebagai muara penyelenggaraan pembangunan dalam bingkai
kehidupan bermasyarakat dan berNegara yang tertib dan damai.
Dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan Negara melalui
pembangunan disegala bidang dengan mengelola dan mendayagunakan segala
potensi sumber daya alam hayati maupun sumber daya manusia secara terencana
dalam dimensi ruang, sistematis dan berjangka waktu. Hal ini didasarkan pada
kewenangan penguasaan Negara yang secara konstitusional dirumuskan dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pengelolaan sumber daya alam dalam dimensi keruangan/kewilayahan
meliputi kesatuan wilayah darat, laut, dan udara yang dikelola secara
berdayaguna melalui perencanaan sistematik jangka panjang, menengah maupun
tahunan sehingga terjaga keberlanjutannya tidak hanya untuk generasi masa kini
maupun untuk generasi dimasa mendatang yang terwujud melalui penataan ruang
1
Terminologi yang dipakai dalam tulisan ini adalah Suku dengan pemaknaan sebagai
masyarakat adat (sebagai keseragaman diksi). Pengertian suku menurut Ensiklopedia Indonesia
adalah kelompok sosial yang memiliki kedudukan tertentu karena faktor garis keturunan, adat,
agama, bahasa, dan lain sebagainya. Biasanya anggota suku memiliki kesamaan dalam sejarah,
bahasa, adat istiadat dan juga tradisi.
2

secara berjenjang berdasarkan kewenangan Pemerintahan (Pemerintah dan


Pemerintah Daerah) dengan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh setiap
orang sebagai bentuk penegasan negara terhadap jaminan hak asasi manusia.
UU Nomor 26 Tahun 2007 sebagai bagian dari sistem hukum diharapkan
mampu menjadi sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool of social
engineering). Hukum dalam konsepsi ini diasumsikan sebagai kaidah atau
peraturan hukum yang dapat berfungsi sebagai alat atau sarana pembangunan
dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh
pembangunan atau pembaharuan serta disisi lain hukum juga dimaksudkan untuk
menstrukturkan seluruh proses, sehingga kepastian dan ketertiban terjamin.2
Roscoe Pound mengemukakan bahwa fungsi hukum tidak hanya sebagai kontrol
sosial, melainkan juga sebagai pendorong/pengarah kemajuan masyarakat (a tool
of social engineering) atau sebagai alat pacu pembangunan (an agent of
development) dan sebagai sarana penjamin keadilan.3
Masyarakat Adat4 sebagai subyek hukum warga Negara, juga diakui dan
dihormati oleh Negara sebagaimana Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Hal ini mengandung 2 (dua)
dimensi utama yakni (1) Dimensi Realitas yang memandang eksistensi entitas
masyarakat adat beserta hak tradisionalnya yang tercermin dari pranata dan nilai
adat yang selaras/tidak bertentangan dengan nilai-nilai keadaban; (2) Dimensi
Ideal/Formal yang meletakan syarat subyektif formal bahwa masyarakat adat
sebagai subyek hukum yang memperoleh jaminan pengakuan dan penghormatan
Negara sesuai dengan prinsip integratif NKRI yang diatur dalam Undang-Undang.
Disisi lain, konsep pengakuan diatas mencerminkan pengakuan konstitusionalitas
bersyarat (conditionally constitutionality).

2
Mochtar Kusumaatmadja, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta,
Bandung, 1976, hlm. 9
3
Soetandyo Wignyosubroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam
dan Huma, Jakarta, 2002, hlm. 60
4
Istilah resmi yang dipakai dalam pelbagai regulasi adalah Masyarakat Hukum Adat sebagai
padanan dari Rechtgemeenschapt/adatrechtgemeenschap. Istilah masyarakat adat mengacu
pada sejumlah kesepakatan internasional sebagai padanan dari indigeneous people.
3

Dalam pelaksanaannya, hukum penataan ruang di Indonesia belum mampu


menjalankan fungsi sebagai sarana untuk mengantarkan masyarakat Indonesia
kearah perubahan untuk kesejahteraan. Hal ini didasarkan pada realitas penerapan
perencanaan yang cenderung teknoratik mengesampingkan nilai-nilai kultural
pranata kehidupan masyarakat yang dipraktikan oleh persekutuan
(genealogis/territorial) dengan alasan modernitas dan homogenitas merupakan
solusi terbaik penataan ruang.
Realitas empiris menunjukan bahwa masyarakat hukum adat yang telah ada
dari generasi ke generasi semakin lebih terpinggirkan dan termarjinalkan karena
berbagai alasan atas nama pembangunan maupun modernisasi. Kondisi ini
menjadikan adanya disparitas masyarakat hukum adat pada aspek ekonomi,
pendidikan dan sosial. Disisi lain, ketiadaan UU terkait Pengakuan dan
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat menjadi titik lemah dalam
mempertahankan eksistensi hukum adat, sekalipun syarat-syarat dapat dipenuhi
oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Menurut Achmad Sodiki, hukum
adat yang menjamin hak-hak adat berada pada posisi bertahan dan terus-menerus
eksistensinya menghadapi hak-hak yang bersumber pada Undang-Undang. Hal ini
pulalah yang menjadi ancaman terhadap eksistensi pluralisme hukum Indonesia,
karena UU mengusung kredo kebebasan dan persamaan dimuka hukum, padahal
realitas sosial diskrepansi sosial, ekonomi, pendidikan, politik masih menyisakan
jurang yang lebar antara satu daerah dengan daerah lainnya.5
Suku Osing yang secara geografis mendiami beberapa kecamatan di Kab.
Banyuwangi merupakan persekutuan masyarakat yang telah mengalami
pergeseran skema ketergantungan dengan alam sekitar sejak intervensi
modernisasi dan teknologi melalui industri perkebunan dan industri wisata.
Pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan
industri dan pelayanan pemerintahan seperti jalan, serta fasilitas pariwisata
(pemandian, fasilitas rekreasi) telah mengurangi areal persawahan yang beralih
fungsi.
Pemanfaatan ruang untuk berbagai kepentingan manusia tunduk pada
Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi/kabupaten (dalam hal ini Kab.
5
Achmad Sodiki, Hukum Progresif Untuk mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai
Nilai-Nilai Pancasila (II), Makalah, 9 Maret 2012
4

Banyuwangi) berkaitan dengan perencanaan struktur dan pola ruang


mengakibatkan terjadi komodifikasi ruang hidup suku Osing yang mempengaruhi
kosmologi masyarakat petani suku Osing.

B. Pembahasan
1. Suku Osing Kemiren, antara realitas dan eksistensi Hak Tenurial
Masyarakat Adat Osing merupakan suku asli Banyuwangi yang dipercaya
sebagai keturunan raja Blambangan mendiami beberapa Kecamatan6 di Kab.
Banyuwangi. Secara khusus pada Desa Kemiren Kecamatan Glagah, berjarak 9
km dari Kota Banyuwangi di kaki gunung Ijen pada ketinggian 150 mdpl, secara
historis-genealogis-sosiologis masih memperlihatkan tata kehidupan kultural yang
masih murni dan ketat. Kebudayaan Osing merupakan produk adat yang
mempunyai relasi dengan nilai religi dan pola mata pencaharian dibidang
pertanian.
Pertanian merupakan leading sector bagi pembangunan Kab. Banyuwangi
yang terukur pada luasan wilayah pertanian terutama persawahan sebesar 65.553
ha, serapan tenaga kerja tertinggi sebesar 379.343 Orang dibandingkan sektor
lainnya serta produksi komoditi tertinggi yakni padi sebanyak 793.308 Ton,
disamping jagung, kedelai, kacang-kacangan, dan umbi-umbian.7 Secara khusus,
luas wilayah desa Kemiren 117.052 m2, memanjang hingga 3 km2 dengan kedua
sisi dibatasi 2(dua) sungai sangat potensial guna pengembangan pertanian berbasis
irigasi. Hal ini terukur pada ketersediaan luas sawah pada Desa Kemiren sebesar
306 ha dengan produksi 1.878 Ton yang menyerap tenaga kerja sebanyak 398
Orang. Berdasarkan gambaran makro ini dapat simpulkan bahwa, pada ruang
hidup Suku Osing bergantung pada alam dengan sektor pertanian sebagai
tumpuan kehidupan.
Sebagai keturunan kerajaan Majapahit, suku Osing mewarisi agama Hindu
dan Budha, namun saat ini mayoritas penduduk memeluk agama Islam dengan

6
Beberapa Kecamatan yang mayoritas penduduknya suku Using/Osing adalah Kec.
Banyuwangi Kota, Giri, Glagah, Kabat, Songgon, Rogojampi, Singojuruh, Srono, Cluring dan
Gendeng. Lihat Imam Suyitno, Mengenal Budaya Etnik Melalui Pemahaman Wacana Budaya,
A3 (Asih, Asah, Asuh), Malang, hlm.1
7
Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2017, Badan Pusat Statistik
5

masih mempertahankan tradisi religi berbalut budaya warisan leluhur. Pranata


budaya ini berwujud tradisi lisan dalam nyanyian dan ritual budaya lainnya yang
terlihat misalnya dalam hal penggarapan lahan pertanian yang wajib melakukan
tradisi selamatan saat pembukaan lahan, ndaut, tandur, ngrujaki, dan methik yang
berkaitan dengan kepercayaan perlunya meminta izin untuk menghindari bala/sial.
Hal ini menunjukan adanya pandangan suku Osing terhadap alam sekitar
sebagai tempat untuk mencari dan memperoleh kebutuhan hidup sebagaimana
tercermin dalam tuturan lagu berjudul aring-aring, berantas wereng, dan
ngampung8 yang memberikan makna interaksi antara manusia dengan alam
pertanian yang dikelola secara seimbang berdasarkan keinginan/kebutuhan
manusia dan alam. Hal ini disampaikan oleh Suhaimi Ketua Adat Desa Kemiren,
bahwa:
“...Bentuk udeng yang berbentuk segitiga bermakna adanya hubungan
timbal balik antara manusia dengan Allah, hubungan antar sesame manusia,
dan hubungan antara manusia dengan Alam, ketiga hubungan ini harus
berlangsung harmoni. Orang Osing mempercayai bahwa adanya ritual yang
dilaksanakan sebagai wujud pemujaan terhadap Tuhan, nenek moyang dan
leluhur.”9

Uraian diatas menunjukan adanya konstruksi konseptual berkaitan dengan


kosmologi yang eksis inheren bagi suku Osing yang tersembunyi eksis dalam
totalitas kehidupan menuju harmoni. Dengan demikian, menurut Dominikus Rato
harmoni didalam alam tetap terjaga, misalnya harmoni antara alam makro (jagad
gedhe atau alam semesta) dengan alam mikro (jagad alit atau alam manusia).10
Berkaitan dengan hak tenurial11 yang dipahami sebagai hak
penguasaan/pemilikan atas suatu sumber daya yang menjadi ruang hidup
persekutuan masyarakat tertentu seperti tanah, hutan, air, laut. Membicarakan
persoalan tenurial, tidak lain membicarakan soal status hukum dari suatu
penguasaan atas tanah dan segala tanam-tumbuh yang ada di atasnya.

8
Imam Suyitno, Opcit, hlm.53,221
9
Suhaimi, Ketua Adat Desa Kemiren, paparan diskusi, 12 Mei 2018
10
Dominikus Rato, 2009, Dunia Hukum Orang Osing, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 2
11
Kata “tenurial” berasal dari “tenure” berasal dari bahasa latin “tenere” yang mencakup arti :
memelihara, memegang, memiliki.
Von Benda Beckman mengatakan bahwa hak tenurial terhadap sumber daya alam merujuk
pada hubungan sosial dan lembaga yang mengatur akses dan tata guna lahan dan sumber daya.
Baca dalam Anne M. Larson, 2013, Hak Tenurial dan Akses ke Hutan, CIFOR, Bogor.
6

Suku Osing merupakan masyarakat tradisional berkarakter sederhana,


menurut Adi Purwadi bahwa:
“…orang Osing hidupnya sederhana berdasarkan falsafah ojo kepingin
gayoh kadung yang bermakna bahwa seseorang tidak perlu berpikir yang
jauh/ingin keluar kampung sedangkan tetangga saja belum tentu disinggahi;
jangan berpikir yang jauh melambung sedangkan yang dekat/kecil saja
belum tentu dilakukan.”12

Untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan suku Osing juga


terinternalisasi falsafah “siapa yang bekerja keras akan kenyang perutnya,
sebaliknya siapa yang malas akan kelaparan perutnya”. Nilai ini mengajarkan
kerja keras bagi orang Osing untuk bisa memetik hasil tidak hanya bagi diri
sendiri, keluarga namun bagi generasi dimasa mendatang.
Dengan mata pencaharian utama yakni bercocok tanam, mengolah sawah
atau bertani ladang, berarti pelembagaan hak atas tanah yang mungkin adalah hak
milik, namun juga teridentifikasi adanya status warga masyarakat sebagai buruh
tani dari pemilik lahan yang tinggal di Banyuwangi guna menggarap sawah dan
tanah ladang untuk menghasilkan singkong, kopi dan kelapa dengan tidak ada
kepastian pembagian hasil panen.13 Berkurangnya lahan pertanian ini disampaikan
oleh Adi Purwadi, Dewan Pembina Lembaga Adat Osing bahwa:
“…dahulu masyarakat desa menggantungkan hidup dengan lahan pertanian,
namun seiring bertambah jumlah penduduk dan kebutuhan hidup banyak
sawah yang beralih fungsi karena mengejar keuntungan jangka pendek
sehingga melupakan kemanfaatan dimasa mendatang. Ketergantungan ini
juga sama seperti menjaga sumber air dengan pembagian wilayah air yang
khusus untuk konservasi dimana ada ritual khusus yang dilaksanakan,
namun seiring pipanisasi air PDAM, budaya menjaga hulu air menjadi
berangsur-angsur tidak lagi dilakukan.”14

Disisi lain, juga teridentifikasi adanya areal khusus yang dikeramatkan


seperti makam serta ritual terhadap sumber air sebagai eksistensi kepercayaan
suku Osing pada roh leluhur, reinkarnasi, dan karma serta mempercayai roh yang
dipuja (danyang) di sebuah tempat yang disebut punden15 yang biasanya ada
dibawah pohon atau batu besar. Hal ini menunjukan bahwa realitas
12
Adi Purwadi, Ketua Dewan Pembina Lembaga Adat Osing Banyuwangi yang menjadi afiliasi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, wawancara, 14 Mei 2018.
13
http://benoebiru.blogspot.co.id/2008/08/selayang-pandang-suku-osing.html, diakses pada 2
Mei 2018
14
Adi Purwadi, Ibid.
15
Batu besar
7

ketergantungan suku Osing dengan ruang hidupnya/alam melahirkan hubungan


magis religious yang terus dijaga kesinambungannya melalui ritual
rutin/insidentil.
Keragaman kebudayaan suku Osing ini menggambarkan filosofi manusia
dari hidup sampai meninggal yang mengalami komodifikasi seiring berjalannya
waktu sesuai dengan program Pemerintah Daerah. Eksistensi Bahasa, tradisi dan
adat serta karateristik pemukiman masyarakat adat yang khas merupakan modal
penting bagi pengembangan wisata alam dan budaya.
Sebagai salah satu destinasi wisata sejak 1995, Pemerintah Daerah terus
melakukan komodifikasi ruang hidup suku Osing melalui kebijakan Desa Wisata
Kemiren dengan jumlah masyarakat adat sebanyak 2.805 Jiwa yang dimaksudkan
guna melestarikan budaya, adat dan tradisi berbentuk kepercayaan mistis dan
kesenian (pertunjukan dan upacara adat) seperti tari gandrung, kebo-keboan,
perang bangkat, geredhoan, barong idher bumi, tari seblang, larung sesaji16.
Belum diketahui, kebijakan pariwisata tersebut selaras dengan penetapan
masyarakat adat sebagai tindaklanjut Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
dan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ataukah penetapan desa adat Kemiren
sebagaimana amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dengan demikian, keberadaan suku Osing realitasnya masih tetap ada dan
eksis dalam pelaksanaan tradisi dan adat yang dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan hubungan antar sesama masyarakat adat, namun berkaitan dengan
ruang hidup (lebensraum)/alam sekitar dengan karateristik yang khas telah
mengalami komodifikasi seiring dengan adanya proses kooptasi terhadap
kosmologi yang dalam pandangan Dominikus Rato17 sebagai proses adaptif-aktif,
reinstitusionalisasi, rekonstruksi, asimilasi masyarakat yang oleh beberapa
kalangan dipandang sebagai pertentangan budaya.

2. Kebijakan Penataan Ruang, Akomodasi perlindungan hak suku Osing

16
Ela Yuliatik, Suku Osing, makalah, Institut Seni Indonesia Surakarta, hlm. 10
17
Dominikus Rato, Akademisi, paparan Diskusi, 15 Mei 2018
8

Konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development) oleh


Brundtland mengartikan sebagai “pembangunan yang mampu memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang”. 18
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks otonomi daerah memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola sumber daya alam
secara terpadu dan terkoordinasi dengan sumber daya lain (SDM dan sumber daya
buatan) termasuk didalamnya memperhatikan kearifan lokal sebagai modal sosial
secara tepat guna, berhasil guna dan berdaya guna berdasarkan perencanaan yang
sistematik dan berkelanjutan.
Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan secara nasional maupun di daerah
dari segi hukum penataan ruang dimulai pada tahapan perencanaan sehingga
menjamin adanya kepastian hukum (rechtzekerheid), pemanfaatan tata ruang
maupun pengendalian pemanfaatan ruang disertai penegakan hukum yang
berkeadilan.
Penyelenggaraan penataan ruang di Kabupaten Banyuwangi
diselenggarakan berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kab. Banyuwangi Tahun 2012-2032 dengan berpedoman pada
Rencana Jangka Menengah Daerah dengan mengusung Visi “terwujudnya
pengembangan wilayah dalam pertumbuhan ekonomi kabupaten berbasis pada
potensi sumber daya alam daerah yang didukung oleh pembangunan sarana dan
prasarana yang memadai dengan memperhatikan harmonisasi antara pengelolaan
kawasan budidaya, kawasan lindung dan pengendalian kawasan rawan bencana”
yang bertujuan untuk mewujudkan kabupaten berbasis pertanian bersinergi
dengan pengembangan perikanan, pariwisata, industri, perdagangan dan jasa yang
berdaya saing dan berkelanjutan.19
Guna pengembangan kawasan pertanian, Pemerintah Daerah berupaya
menerapkan berbagai strategi diantaranya pengembangan lahan pertanian baru,
mempertahankan kawasan pertanian produktif dan mengendalikan alih fungsi
lahan pertanian. Disisi lain, berlandaskan pada kondisi sosial budaya suku Osing
yang masih eksis Pemerintah Daerah menetapkan prioritas strategi pengembangan

18
Eko Budiharjo, Kota Berkelanjutan, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 18
19
Perda Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Banyuwangi Tahun
2012-2032
9

kawasan pariwisata terpadu berbasis potensi wisata alam, wisata budaya dan
wisata buatan diantaranya melalui penetapan wilayah pengembangan pariwisata
(WPP) termasuk kawasan obyek wisata unggulan serta pengembangan jalur
pariwisata yang terintegrasi dengan sistem jaringan prasarana wilayah.
Suku Osing yang berada dalam wilayah pengembangan Kecamatan Glagah
yang akan diatur lebih lanjut dengan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan
Glagah berdasarkan karateristik spasial rawan bencana kerentanan tanah dan
gunung berapi. Kebijakan penataan struktur jaringan prasarana berupa jalan sudah
memadai dengan sistem trayek, namun perlu diidentifikasi terkait sarana lainnya
seperti prasarana pelayanan publik lainnya. Disisi lain, pola ruang yang
direncanakan perwujudannya untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat
Using/Osing khususnya kawasan lindung berupa penetapan kawasan sekitar danau
dan waduk (waduk kalibendo), kawasan ruang terbuka hijau, dan kawasan rawan
bencana alam.
Demikian halnya dalam perencanaan kawasan budidaya, Kecamatan Glagah
merupakan wilayah yang ditetapkan guna pengembangan kawasan hutan
produksi, hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian yang meliputi:
pengembangan tanaman pangan khususnya padi dan kacang tanah 20, kawasan
pengembangan hortikultura khusunya tanaman sayuran21, buah-buahan khususnya
durian, kawasan perkebunan swasta yakni perkebunan kopi, karet, cengkeh, dan
kelapa serta kawasan perkebunan rakyat dengan komoditi kelapa buah, kopi,
tembakau white burly. Untuk pengembangan sektor peternakan juga ditetapkan
pengembangan peternakan besar jenis sapi perah, sapi potong, ayam buras, ayam
petelur, itik dan entok. Untuk pengembangan sektor perikanan khususnya
perikanan budidaya air tawar meliputi budidaya air kolam, minapadi dan karamba.
Untuk pengembangan sektor pertambangan ditetapkan pertambangan mineral
bukan logal khususnya tanah liat, sedangkan untuk pengembangan industri

20
Pasal 55 Perda Nomor 8 Tahun 2012
21
Dalam Perda Nomor 8 Tahun 2012 menetapkan komoditi pengembangan tanaman sayuran
diantaranya kacang panjang, terung, ketimun, labusiam, kangkung, sawi, petai, bawang merah,
dan bayam.
10

ditetapkan kawasan sentra industry aneka olehan makanan dan minuman22, aneka
sandang23, aneka kayu24, dan aneka kerajinan25.
Secara khusus dalam RTRW Kab. Banyuwangi menegaskan bahwa pada
kebijakan pola ruang terkait penetapan kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan menurut Pasal 48 ayat (7) Perda Nomor 8 Tahun 2012 pada kategori
kawasan lingkungan non bangunan adalah kawasan permukiman suku Osing di
Kecamatan Glagah. Hal ini berarti bahwa pada wilayah suku Osing dimaksud
terdapat warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya,
bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan
cagar budaya di darat dan/atau dia air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya.
Dengan karateristik tradisi dan budaya yang ada, dalam RTRW Kab.
Banyuwangi ditetapkan wilayah pengembangan pariwisata berdasarkan
keberadaan bangunan/lokasi bersejarah seperti situs buyut cili, daya Tarik wisata
budaya meliputi upacara adat dan kesenian tradisional 26, daya tarik wisata alam,
dan daya Tarik wisata buatan meliputi pemandian wisata Osing.
Konsekuensi penetapan ruang hidup suku Osing sebagai kawasan cagar
budaya dan ilmu pengetahuan meletakkan kewajiban Pemerintah Daerah untuk
melakukan langkah-langkah perlindungan baik secara fisik keruangan untuk
menjamin tidak terjadi alih fungsi ruang pada kawasan adat Osing karena
kebijakan pembangunan infrastruktur maupun investasi penanaman modal
terutama yang berkaitan dengan pariwisata. Kawasan cagar budaya dengan
kesatuan ruang geografis yang ada harus tetap dilindungi sehingga karateristik/ciri
tata ruang yang khas tetap terjaga orisinalitasnya.

22
Jenis makanan yang dikembangkan antara lain: sale pisang, bagiak, kripik pisang, kripik
singkong, kripik nangka, jenang, rengginan, kue kering, roti, tahu, tempe, kopi bubuk, dan
aneka sirup.
23
Jenis produk yang dikembangkan antara lain: batik, tenun, rajut dan border.
24
Jenis produk yang dikembangkan antara lain: mebel dan bubut.
25
Jenis kerajinan yang dikembangkan antara lain: patung gandrung, manik-manik (monte),
ukiran kayu, topeng, bubut kayu kelapa, tempurung kelapa, anyaman rotan, anyaman bamboo,
anyaman abaca, kursi bambo, perak, kerang, dan kulit.
26
Upacara adat meliputi: barong ider bumi, tumpeng sewu, obor belarak. Sedangkan kesenian
tradisional meliputi: angklung caruk, gedongan, dan mocoan lontar yusuf.
11

Penggabungan fasilitas rekreasi modern berupa kolam permandian umum


pada kawasan desa wisata suku Osing, tidak terlalu tepat dalam tatanan fungsi
cagar budaya. Oleh karena itu, selaras dengan fungsi cagar budaya maka
pelestarian cagar budaya dimungkinkan untuk dilakukan dengan
mempertimbangkan pengembalian kondisi awal cagar budaya terutama pada
orisinalitas struktur fisik dan kosmologinya.
Dengan demikian, penyusunan RTRW Kab. Banyuwangi secara sistematik
mewarnai RTRW dibawahnya (ditingkat Desa), sehingga penetapan Pasal 48 ayat
(7) Perda Nomor 8 Tahun 2012 terkait penetapan kawasan permukiman menjadi
satu kesatuan lingkungan yang melestarikan tatanan struktur bangunan dan pola
bermukim seperti bentukan atap pada bangunan rumah yang memiliki makna
khusus serta tatanan tradisi yang melekat sebagai harmoni suku Osing di
Kecamatan Glagah. Dengan perencanaan jangka panjang merekonstruksi
permukiman suku Osing sebagai bagian dari cagar budaya, Pemerintah Daerah
secara konsisten dan ekslusif mendorong terjaganya lingkungan fisik dan spasial
yang selaras dengan kosmologi suku Osing.

3. Integrasi Perlindungan Hak Suku Osing perspektif Eko-Religi


Pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan bernegara memberikan
perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah
seharusnya melakukan berbagai upaya kebijakan yang dituangkan dalam program
pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah untuk
melaksanakan pembnagunan nasional/regional/daerah terangkum dlam kebiajakan
social (social policy). Kebijakan sosial memuat kebijakan politik, ekonomi,
hukum, pertahanan keamanan, pengolahan sumber daya alam, kesehatan,
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, penataan ruang, dan lain
sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh pada peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat.
Secara filsafati dalam penyelenggaraan pembangunan Indonesia khususnya
penataan ruang, terdapat pergeseran nilai dari sosialisme Indonesia kearah isu neo
sosialisme, dimana ruang (tanah) dipandang sebagai komoditas. Hal ini terjadi
sejalan dengan unifikasi hukum tanah nasional yang menderivasi konsep hak
12

penguasaan tanah sebagaimana Buku II KUH Perdata dengan pelembagaan yang


berbeda yang memberikan ruang pemanfaatan ruang untuk kepentingan
pengusahaan pada sektor ekonomi. Padahal sosialisme Indonesia menegaskan
landasannya pada hukum adat yang berkonsepsi komunalistik religious, hal mana
yang sejalan dengan pandangan masyarakat hukum adat bahwa tanah tidak hanya
menjadi tempat hidup melainkan sebagai karunia Tuhan yang mengandung nilai
magis warisan leluhur.
Melalui penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berkewajiban
menyusun rencana umum tata ruang wilayah berdasarkan potensi sumber daya,
kondisi ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, lingkungan hidup, kerentanan
terhadap bencana serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan.
Disisi lain, kewenangan memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai
subyek hukum entitas tradisional berkonsekuensi terhadap perlunya
mengintegrasikan nilai/pranata hak ulayat dalam perencanaan serta pemanfaatan
ruang sehingga melahirkan kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam
mewujudkan identitas beserta hak tradisionalnya sebagai bagian dari hak asasi
manusia sebagaimana dijamin pada Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
yang menyatakan bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati sejalan dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Konflik Agraria, konflik pengelolaan sumber daya hutan, kerusakan
lingkungan, alih fungsi kawasan merupakan contoh-contoh krisis yang lahirnya
dari kebijakan pembangunan yang lebih menempatkan hutan dan tanah sebagai
sumber ekonomi meningkatkan devisa negara terutama pendapatan asli daerah.
Komodifikasi ruang guna mendorong pertumbuhan ekonomi terutama sektor
pariwisata berdampak terhadap masuknya nilai-nilai budaya luar sehingga
berpotensi terjadinya akulturasi budaya bahkan inflitrasi budaya modern yang
menghancurkan tatanan kebudayaan lokal. Tatanan prilaku sebagai dampak
pelaksanaan investasi juga akan berpotensi menghancurkan secara perlahan nilai
moralitas dan religiusitas.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup pada
hakikatnya merefleksikan makna yang sarat dengan harapan untuk memadukan
lingkungan hidup ke dalam proses pembangunan guna menjamin kemampuan,
13

kesejahteraan dan mutu generasi masa kini dan generasi masa depan. Prinsip ini
menjadi landasan filosofis pembangunan nasional, meski realitas menunjukan
bahwa intensitas pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tetap terjadi dan
mengancam kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup itu sendiri.
Pembangunan berwawasan lingkungan secara teoritis merupakan suatu kebutuhan
pembangunan yang tidak dapat dihindarkan dalam konteks pembangunan yang
dilakukan dewasa ini. Esensi dari prinsip ini adalah berupaya untuk memadukan
unsur lingkungan hidup dan pembangunan sebagai dua hal yang tidak dapat
terpisahkan satu sama lainnya dalam rutinitas pembangunan nasional khususnya
dibidang lingkungan hidup.
Menurut A. Sonny Keraf, terdapat beberapa syarat dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dalam pengelolaan lingkungan hidup (good
environmental governance), yaitu: 1) prinsip efektif dalam pemerintahan; 2)
tunduk pada aturan hukum yang berlaku; 3) tegak sebagai wasit, untuk menjaga
kepentingan bersama; 4) perampingan kelembagaan yang demokratis yang
berfungsi maksimal dan efektif; 5) kontrol positif antara kekuatan-kekuatan utama
dalam masyarakat.27
Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian manfaat tata ruang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, dan harus dilakukan sesuai dengan
kaidah penataan ruang sehingga nantinya diharapkan:
a. dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna
serta mampu mendukung perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang berkelanjutan;
b. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan
c. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas fungsi lingkungan hidup.
Pembentukan tata ruang dilakukan dalam rangka terciptanya penggunaan
wilayah, bumi/tanah, air dan ruang angkasa serta ruang bawah tanah oleh
pemerintah dan masyarakat baik secara bersama-sama maupun secara
perseorangan. Pembentukan rencana tata ruang merupakan kewenangan

27
Sonny Keraf, 2002. Etika Lingkungan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 191
14

pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c dan d UU
Nomor 23 Tahun 2014.
Politik hukum penataan ruang berkaitan erat dengan kewenangan
penguasaan Negara atas wilayah darat yang tunduk pada hukum agraria nasional,
wilayah laut dan wilayah udara yang diselenggarakan secara sistematik dan
berkelanjutan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007, bahwa:
“Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan yaitu untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.”28

Pasal diatas menunjukan bahwa dalam penyusunan rencana maupun


pelaksanaan pemanfaatan ruang berbasis pada keberlanjutan fungsi lingkungan
hidup. Oleh karena itu, Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah preventif
maupun preemtif dengan menggunakan instrumen hukum sesuai dengan ruang
lingkup penataan ruang yakni perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
penataan ruang demi tercapainya tuugas Negara dalam penyelenggaraan penataan
ruang yakni untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pendekatan Eko-Religi merupakan penggabungan antara ideologi ekologi
dan religious. Kecenderungan religi sebagai salah satu unsur kebudayaan tidak
bersifat statis, melainkan dinamis. Istilah religi mengandung makna
kecenderungan batin manusia untuk berhubungan dengan kekuatan alam semesta,
dalam mencari nilai dan makna.29 Demikian halnya suku Osing yang percaya
bahwa “yang diagungkan/disucikan/roh leluhur” ada dan berada di luar
kemampuan dan kekuasaannya, sehingga harus meminta perlindunganNya dengan
cara menjaga keseimbangan alam melalui berbagai upacara. Dengan demikian,
istilah religi disini menunjukkan adanya hubungan antara manusia dengan
kekuasaan ghaib di luar kemampuannya, berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
mereka yang termanifestasikan ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem
28
Pasal 3 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
29
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 17-19.
15

gagasan, sistim tindakan dan artefak. Disisi lain, Ekologi sebagai ilmu yang
memperlajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya sebagai satu
kesatuan sistem. Lingkungan dipandang sebagai ruang hidup bagi semua
pendukung ekosistem yang saling mempengaruhi, sehingga keberlangsungan daur
kehidupan bergantung pada peran mahluk hidup dalam lingkungannya.
Dengan berpijak pada kosmologi suku Osing serta tujuan penataan ruang
berbasis eko-religi, maka kebijakan penataan ruang yang mengakomodasi
perlindungan dengan hak suku Osing selaras dengan arah pengembangan
pariwisata daerah dilaksanakan sebagai suatu mata rantai yang memberikan
dampak positif dengan alur sebagai berikut:
Gambar 1
Alur Integrasi perlindungan hak suku Osing Kemiren dalam Penataan Ruang

RTRW Kab.
BanyuwangiTatanan bangunan, struktur
pemukiman, tradisi (ritual
dan kesenian)

Rencana
Struktur
Suku Rencana Pola
Ruang Osing Ruang

Jaringan Hutan lindung,


prasarana, sempadan mata
permukiman air, ruang terbuka
Perlindungan hijau
Cagar Budaya

Alur diatas menggambarkan bahwa suku Osing menjadi subyek dalam


kebijakan penataan ruang yang dilaksanakan secara berjenjang oleh Pemerintah
Daerah Kab. Banyuwangi melalui Perda RTRW yang didalamnya mengatur
komponen struktur ruang dan pola ruang. Disisi lain, penetapan permukiman suku
Osing dalam Perda Nomor 8 Tahun 2012 perlu ditindaklanjuti dengan keselarasan
pengaturan dalam Rencana Induk Pariwisata Daerah guna menjaga konsistensi
fungsi cagar budaya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2010
termasuk pelestariannya. Implementasi penataan ruang dimaksud diarahkan pada
pemenuhan dan perlindungan hak suku Osing berkaitan dengan kearifan lokal
16

(local genius) yang tercermin pada tata bangunan, struktur permukiman, serta
tradisi (ritual dan kesenian) yang mempercayai adanya triologi hubungan
(Pencipta, Manusia, dan Alam) yang selaras dengan paradigma eko-religi,
sehingga meskipun suku Osing berkarakter terbuka terhadap modernisasi, namun
melalui kebijakan penataan ruang akan memberikan proteksi terhadap lestarinya
kosmologi suku Osing termasuk kesinambungan fungsi lingkungan hidup.
Prinsip penyelenggaraan pembangunan yang memperhatikan lingkungan
berlandaskan pada prinsip kehati-hatian menurut Jimly Asshidiqie bahwa “asas
kehati-hatian digunakan sebagai upaya utnuk mengantisipasi dan merespon
kekawatiran yang timbul sebagai akibat possible harmful effect of technologies
(kemungkinan akibat buruk dari penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi) yang
mencemarkan atau membahayakan lingkungan hidup”,30
Asas kehati-hatian ini terinternalisasi dalam hubungan antara suku Osing
dengan alam sekitar yang disimbolkan dengan “ilok-ilok” dan “bau rekso” sebagai
mitos yang menjaga keberlangsungan fungsi lingkungan hidup untuk masa
mendatang. Menjadikan wilayah tertentu pada kawasan hulu mata air sebagai
tempat keramat merupakan bentuk kearifan lokal menjaga kesinambungan sumber
air yang berkualitas.31

Pemanfaatan ruang dilakukan melalui penerapan hukum dengan


memberikan akses seluas-luasnya terhadap warga negara untuk memperoleh
manfaat dari ruang sesuai dengan fungsi dan peruntukannya secara seimbang
dengan kepentingan umum melalui penatagunaan tanah, konsolidasi tanah serta
pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum yang menurut
Imam Koeswahyono32 harus berpijak pada dasar konstitusional yakni Pasal 33
ayat (3) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Disisi lain, masyarakat
juga harus diberi ruang partisipasi dalam memberikan penilaian atas kebijakan

30
Jimly Asshidiqqie, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hlm. 65
31
Adi Purwadi, Ketua Dewan Pembina Lembaga Adat Osing Banyuwangi, ibid
32
Imam Koeswahyono, Mengkritisi Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Pembangunan, Suatu Catatan Kritis, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun
ke-41 Nomor 2 April-Juni 2011.
17

pemerintah berkaitan dengan penataan ruang termasuk penilaian terhadap dampak


lingkungan akibat pelaksanaan kebijakan penataan ruang.
Kompleksitas pengaturan rencana tata ruang harus dilaksanakan secara
konsisten oleh Pemerintah Daerah guna menjamin optimalisasi pemanfaatan
ruang sesuai dengan fungsi dan peruntukannya melalui arahan pemanfaatan ruang.
Implementasi pemanfaatan ruang oleh pemerintah, masyarakat maupun sektor
swasta yang mengedepankan prinsip-prinsip berwawasan lingkungan
dilaksanakan sesuai zonasi pemanfaatan serta ketentuan perizinan. Hal ini secara
langsung berkontribusi terhadap tercapainya tujuan penegakan hukum lingkungan
sebagaimana disampaikan oleh Mas Achmad Sentosa bahwa:
“tujuan penegakan hukum lingkungan esensinya adalah penataan terhadap
nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan
hidup. Untuk mencapai hal tersebut, sesungguhnya penegakan hukum
lingkungan bukan satu-satunya cara, karena perlindungan terhadap
lingkungan hidup dapat dilakukan dengan cara atau pendekatan lain, yaitu:
a. Pendekatan commad and control
b. Pendekatan ekonomi
c. Pendekatan perilaku
d. Pendekatan pendayagunaan tekanan publik.”33

Konsistensi terhadap penetapan kawasan serta kebijakan pengelolaan yang


memperhatikan aspek lingkungan serta mempertahankan nilai-nilai religiusitas
menjadi tantangan ditengah gempuran modernism. Dengan demikian, arah
pengembangan pembangunan berdasarkan potensi daya alam dan budaya perlu
dirumuskan secara selaras dengan perundangan sektoral seperti mengintegrasikan
RTRW dalam penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah serta
Peta Penatagunaan Lahan/Tanah sehingga tidak mengakibatkan terjadinya konflik
aturan.

C. Penutup
33
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008. Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung, hlm. 76
18

Dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya, manusia dan alam memiliki


hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Suku Osing yang mewarisi
tradisi dan adat memandang dan menyikapi alam sebagai penyedia kebutuhan
hidup; sumber inspirasi dan pengetahuan; tempat berlindung serta sarana
berkomunikasi dengan Tuhan merupakan kosmologi yang perlahan-lahan
mengalami proses adaptif aktif, reinstitusionalisasi, rekonstruksi, asimilasi
masyarakat.
Melalui kebijakan penataan ruang, Pemerintah Daerah Kab. Banyuwangi
telah menetapkan wilayah penguasaan suku Osing sebagai kawasan cagar budaya
dan ilmu pengetahuan pada pola ruang Kabupaten serta arahan pengembangan
pada kawasan budidaya. Hal ini akan berkonsekuensi terhadap masuknya nilai-
nilai budaya asing/luar yang mempengaruhi kebudayaan bahkan moralitas
masyarakat adat sejalan dengan praktik investasi oleh sektor swasta.
Pendekatan Eko-Religi sebagai ideologi menjaga keseimbangan lingkungan
kosmos termasuk manusia, perlu diintegrasikan dalam merencanakan,
memanfaatkan, dan mengendalikan pemanfaatan struktur ruang dan pola ruang.
Pendekatan ini merupakan cermin prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan
pembangunan lingkungan berdasarkan nilai-nilai religious.
Konsistensi komitmen Pemerintah Daerah dalam kebijakan penataan ruang
yang tercermin dalam RTRW Kabupaten Banyuwangi yang menetapkan kawasan
permukiman suku Osing sebagai kawasan cagar budaya perlu ditindaklanjut
dengan pemenuhan dan perlindungan hak suku Osing melalui penyelarasan
kebijakan struktur ruang dan pola ruang dengan mempertimbangkan kosmologi
suku Osing.
19

Daftar Pustaka

Asshidiqqie, Jimly. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali Press, Jakarta, 2009.
Budiharjo, Eko. Kota Berkelanjutan, Alumni, Bandung, 1999.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1993.
Keraf, Sonny. Etika Lingkungan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2002.
Kusumaatmadja, Mochtar. Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
Cipta, Bandung, 1976.
Rato, Dominikus, Dunia Hukum Orang Osing, Laksbang Mediatama, Yogyakarta,
2009.
Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung,
2008.
Suyitno, Imam. Mengenal Budaya Etnik Melalui Pemahaman Wacana Budaya,
A3 (Asih, Asah, Asuh), Malang 2010.
Wignyosubroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, 2002.
Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2017, Badan Pusat Statistik
Koeswahyono, Imam. Mengkritisi Rancangan Undang-Undang Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan, Suatu Catatan Kritis, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-41 Nomor 2 April-Juni 2011.
Sodiki, Achmad. Hukum Progresif Untuk mewujudkan Keadilan Substantif dalam
Bingkai Nilai-Nilai Pancasila (II), Makalah.
Yuliatik, Ela. Suku Osing, Institut Seni Indonesia Surakarta, Makalah.
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Perda Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab.
Banyuwangi Tahun 2012-2032
http://benoebiru.blogspot.co.id/2008/08/selayang-pandang-suku-osing.html

Anda mungkin juga menyukai