Oleh:
Siti Barora Sinay
A. Pendahuluan
Tujuan penyelenggaraan Negara sebagaimana dirumuskan pada alinea
keempat pembukaan UUD Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal ini bermakna bahwa segala
warga Negara, warga bangsa termasuk tanah tumpah darah memperoleh jaminan
perlindungan Negara yang disisi lain menempatkan kesejahteraan umum dan
keadilan sosial sebagai muara penyelenggaraan pembangunan dalam bingkai
kehidupan bermasyarakat dan berNegara yang tertib dan damai.
Dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan Negara melalui
pembangunan disegala bidang dengan mengelola dan mendayagunakan segala
potensi sumber daya alam hayati maupun sumber daya manusia secara terencana
dalam dimensi ruang, sistematis dan berjangka waktu. Hal ini didasarkan pada
kewenangan penguasaan Negara yang secara konstitusional dirumuskan dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pengelolaan sumber daya alam dalam dimensi keruangan/kewilayahan
meliputi kesatuan wilayah darat, laut, dan udara yang dikelola secara
berdayaguna melalui perencanaan sistematik jangka panjang, menengah maupun
tahunan sehingga terjaga keberlanjutannya tidak hanya untuk generasi masa kini
maupun untuk generasi dimasa mendatang yang terwujud melalui penataan ruang
1
Terminologi yang dipakai dalam tulisan ini adalah Suku dengan pemaknaan sebagai
masyarakat adat (sebagai keseragaman diksi). Pengertian suku menurut Ensiklopedia Indonesia
adalah kelompok sosial yang memiliki kedudukan tertentu karena faktor garis keturunan, adat,
agama, bahasa, dan lain sebagainya. Biasanya anggota suku memiliki kesamaan dalam sejarah,
bahasa, adat istiadat dan juga tradisi.
2
2
Mochtar Kusumaatmadja, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta,
Bandung, 1976, hlm. 9
3
Soetandyo Wignyosubroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam
dan Huma, Jakarta, 2002, hlm. 60
4
Istilah resmi yang dipakai dalam pelbagai regulasi adalah Masyarakat Hukum Adat sebagai
padanan dari Rechtgemeenschapt/adatrechtgemeenschap. Istilah masyarakat adat mengacu
pada sejumlah kesepakatan internasional sebagai padanan dari indigeneous people.
3
B. Pembahasan
1. Suku Osing Kemiren, antara realitas dan eksistensi Hak Tenurial
Masyarakat Adat Osing merupakan suku asli Banyuwangi yang dipercaya
sebagai keturunan raja Blambangan mendiami beberapa Kecamatan6 di Kab.
Banyuwangi. Secara khusus pada Desa Kemiren Kecamatan Glagah, berjarak 9
km dari Kota Banyuwangi di kaki gunung Ijen pada ketinggian 150 mdpl, secara
historis-genealogis-sosiologis masih memperlihatkan tata kehidupan kultural yang
masih murni dan ketat. Kebudayaan Osing merupakan produk adat yang
mempunyai relasi dengan nilai religi dan pola mata pencaharian dibidang
pertanian.
Pertanian merupakan leading sector bagi pembangunan Kab. Banyuwangi
yang terukur pada luasan wilayah pertanian terutama persawahan sebesar 65.553
ha, serapan tenaga kerja tertinggi sebesar 379.343 Orang dibandingkan sektor
lainnya serta produksi komoditi tertinggi yakni padi sebanyak 793.308 Ton,
disamping jagung, kedelai, kacang-kacangan, dan umbi-umbian.7 Secara khusus,
luas wilayah desa Kemiren 117.052 m2, memanjang hingga 3 km2 dengan kedua
sisi dibatasi 2(dua) sungai sangat potensial guna pengembangan pertanian berbasis
irigasi. Hal ini terukur pada ketersediaan luas sawah pada Desa Kemiren sebesar
306 ha dengan produksi 1.878 Ton yang menyerap tenaga kerja sebanyak 398
Orang. Berdasarkan gambaran makro ini dapat simpulkan bahwa, pada ruang
hidup Suku Osing bergantung pada alam dengan sektor pertanian sebagai
tumpuan kehidupan.
Sebagai keturunan kerajaan Majapahit, suku Osing mewarisi agama Hindu
dan Budha, namun saat ini mayoritas penduduk memeluk agama Islam dengan
6
Beberapa Kecamatan yang mayoritas penduduknya suku Using/Osing adalah Kec.
Banyuwangi Kota, Giri, Glagah, Kabat, Songgon, Rogojampi, Singojuruh, Srono, Cluring dan
Gendeng. Lihat Imam Suyitno, Mengenal Budaya Etnik Melalui Pemahaman Wacana Budaya,
A3 (Asih, Asah, Asuh), Malang, hlm.1
7
Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2017, Badan Pusat Statistik
5
8
Imam Suyitno, Opcit, hlm.53,221
9
Suhaimi, Ketua Adat Desa Kemiren, paparan diskusi, 12 Mei 2018
10
Dominikus Rato, 2009, Dunia Hukum Orang Osing, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 2
11
Kata “tenurial” berasal dari “tenure” berasal dari bahasa latin “tenere” yang mencakup arti :
memelihara, memegang, memiliki.
Von Benda Beckman mengatakan bahwa hak tenurial terhadap sumber daya alam merujuk
pada hubungan sosial dan lembaga yang mengatur akses dan tata guna lahan dan sumber daya.
Baca dalam Anne M. Larson, 2013, Hak Tenurial dan Akses ke Hutan, CIFOR, Bogor.
6
16
Ela Yuliatik, Suku Osing, makalah, Institut Seni Indonesia Surakarta, hlm. 10
17
Dominikus Rato, Akademisi, paparan Diskusi, 15 Mei 2018
8
18
Eko Budiharjo, Kota Berkelanjutan, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 18
19
Perda Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Banyuwangi Tahun
2012-2032
9
kawasan pariwisata terpadu berbasis potensi wisata alam, wisata budaya dan
wisata buatan diantaranya melalui penetapan wilayah pengembangan pariwisata
(WPP) termasuk kawasan obyek wisata unggulan serta pengembangan jalur
pariwisata yang terintegrasi dengan sistem jaringan prasarana wilayah.
Suku Osing yang berada dalam wilayah pengembangan Kecamatan Glagah
yang akan diatur lebih lanjut dengan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan
Glagah berdasarkan karateristik spasial rawan bencana kerentanan tanah dan
gunung berapi. Kebijakan penataan struktur jaringan prasarana berupa jalan sudah
memadai dengan sistem trayek, namun perlu diidentifikasi terkait sarana lainnya
seperti prasarana pelayanan publik lainnya. Disisi lain, pola ruang yang
direncanakan perwujudannya untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat
Using/Osing khususnya kawasan lindung berupa penetapan kawasan sekitar danau
dan waduk (waduk kalibendo), kawasan ruang terbuka hijau, dan kawasan rawan
bencana alam.
Demikian halnya dalam perencanaan kawasan budidaya, Kecamatan Glagah
merupakan wilayah yang ditetapkan guna pengembangan kawasan hutan
produksi, hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian yang meliputi:
pengembangan tanaman pangan khususnya padi dan kacang tanah 20, kawasan
pengembangan hortikultura khusunya tanaman sayuran21, buah-buahan khususnya
durian, kawasan perkebunan swasta yakni perkebunan kopi, karet, cengkeh, dan
kelapa serta kawasan perkebunan rakyat dengan komoditi kelapa buah, kopi,
tembakau white burly. Untuk pengembangan sektor peternakan juga ditetapkan
pengembangan peternakan besar jenis sapi perah, sapi potong, ayam buras, ayam
petelur, itik dan entok. Untuk pengembangan sektor perikanan khususnya
perikanan budidaya air tawar meliputi budidaya air kolam, minapadi dan karamba.
Untuk pengembangan sektor pertambangan ditetapkan pertambangan mineral
bukan logal khususnya tanah liat, sedangkan untuk pengembangan industri
20
Pasal 55 Perda Nomor 8 Tahun 2012
21
Dalam Perda Nomor 8 Tahun 2012 menetapkan komoditi pengembangan tanaman sayuran
diantaranya kacang panjang, terung, ketimun, labusiam, kangkung, sawi, petai, bawang merah,
dan bayam.
10
ditetapkan kawasan sentra industry aneka olehan makanan dan minuman22, aneka
sandang23, aneka kayu24, dan aneka kerajinan25.
Secara khusus dalam RTRW Kab. Banyuwangi menegaskan bahwa pada
kebijakan pola ruang terkait penetapan kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan menurut Pasal 48 ayat (7) Perda Nomor 8 Tahun 2012 pada kategori
kawasan lingkungan non bangunan adalah kawasan permukiman suku Osing di
Kecamatan Glagah. Hal ini berarti bahwa pada wilayah suku Osing dimaksud
terdapat warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya,
bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan
cagar budaya di darat dan/atau dia air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya.
Dengan karateristik tradisi dan budaya yang ada, dalam RTRW Kab.
Banyuwangi ditetapkan wilayah pengembangan pariwisata berdasarkan
keberadaan bangunan/lokasi bersejarah seperti situs buyut cili, daya Tarik wisata
budaya meliputi upacara adat dan kesenian tradisional 26, daya tarik wisata alam,
dan daya Tarik wisata buatan meliputi pemandian wisata Osing.
Konsekuensi penetapan ruang hidup suku Osing sebagai kawasan cagar
budaya dan ilmu pengetahuan meletakkan kewajiban Pemerintah Daerah untuk
melakukan langkah-langkah perlindungan baik secara fisik keruangan untuk
menjamin tidak terjadi alih fungsi ruang pada kawasan adat Osing karena
kebijakan pembangunan infrastruktur maupun investasi penanaman modal
terutama yang berkaitan dengan pariwisata. Kawasan cagar budaya dengan
kesatuan ruang geografis yang ada harus tetap dilindungi sehingga karateristik/ciri
tata ruang yang khas tetap terjaga orisinalitasnya.
22
Jenis makanan yang dikembangkan antara lain: sale pisang, bagiak, kripik pisang, kripik
singkong, kripik nangka, jenang, rengginan, kue kering, roti, tahu, tempe, kopi bubuk, dan
aneka sirup.
23
Jenis produk yang dikembangkan antara lain: batik, tenun, rajut dan border.
24
Jenis produk yang dikembangkan antara lain: mebel dan bubut.
25
Jenis kerajinan yang dikembangkan antara lain: patung gandrung, manik-manik (monte),
ukiran kayu, topeng, bubut kayu kelapa, tempurung kelapa, anyaman rotan, anyaman bamboo,
anyaman abaca, kursi bambo, perak, kerang, dan kulit.
26
Upacara adat meliputi: barong ider bumi, tumpeng sewu, obor belarak. Sedangkan kesenian
tradisional meliputi: angklung caruk, gedongan, dan mocoan lontar yusuf.
11
kesejahteraan dan mutu generasi masa kini dan generasi masa depan. Prinsip ini
menjadi landasan filosofis pembangunan nasional, meski realitas menunjukan
bahwa intensitas pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tetap terjadi dan
mengancam kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup itu sendiri.
Pembangunan berwawasan lingkungan secara teoritis merupakan suatu kebutuhan
pembangunan yang tidak dapat dihindarkan dalam konteks pembangunan yang
dilakukan dewasa ini. Esensi dari prinsip ini adalah berupaya untuk memadukan
unsur lingkungan hidup dan pembangunan sebagai dua hal yang tidak dapat
terpisahkan satu sama lainnya dalam rutinitas pembangunan nasional khususnya
dibidang lingkungan hidup.
Menurut A. Sonny Keraf, terdapat beberapa syarat dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dalam pengelolaan lingkungan hidup (good
environmental governance), yaitu: 1) prinsip efektif dalam pemerintahan; 2)
tunduk pada aturan hukum yang berlaku; 3) tegak sebagai wasit, untuk menjaga
kepentingan bersama; 4) perampingan kelembagaan yang demokratis yang
berfungsi maksimal dan efektif; 5) kontrol positif antara kekuatan-kekuatan utama
dalam masyarakat.27
Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian manfaat tata ruang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, dan harus dilakukan sesuai dengan
kaidah penataan ruang sehingga nantinya diharapkan:
a. dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna
serta mampu mendukung perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang berkelanjutan;
b. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan
c. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas fungsi lingkungan hidup.
Pembentukan tata ruang dilakukan dalam rangka terciptanya penggunaan
wilayah, bumi/tanah, air dan ruang angkasa serta ruang bawah tanah oleh
pemerintah dan masyarakat baik secara bersama-sama maupun secara
perseorangan. Pembentukan rencana tata ruang merupakan kewenangan
27
Sonny Keraf, 2002. Etika Lingkungan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 191
14
pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c dan d UU
Nomor 23 Tahun 2014.
Politik hukum penataan ruang berkaitan erat dengan kewenangan
penguasaan Negara atas wilayah darat yang tunduk pada hukum agraria nasional,
wilayah laut dan wilayah udara yang diselenggarakan secara sistematik dan
berkelanjutan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007, bahwa:
“Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan yaitu untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.”28
gagasan, sistim tindakan dan artefak. Disisi lain, Ekologi sebagai ilmu yang
memperlajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya sebagai satu
kesatuan sistem. Lingkungan dipandang sebagai ruang hidup bagi semua
pendukung ekosistem yang saling mempengaruhi, sehingga keberlangsungan daur
kehidupan bergantung pada peran mahluk hidup dalam lingkungannya.
Dengan berpijak pada kosmologi suku Osing serta tujuan penataan ruang
berbasis eko-religi, maka kebijakan penataan ruang yang mengakomodasi
perlindungan dengan hak suku Osing selaras dengan arah pengembangan
pariwisata daerah dilaksanakan sebagai suatu mata rantai yang memberikan
dampak positif dengan alur sebagai berikut:
Gambar 1
Alur Integrasi perlindungan hak suku Osing Kemiren dalam Penataan Ruang
RTRW Kab.
BanyuwangiTatanan bangunan, struktur
pemukiman, tradisi (ritual
dan kesenian)
Rencana
Struktur
Suku Rencana Pola
Ruang Osing Ruang
(local genius) yang tercermin pada tata bangunan, struktur permukiman, serta
tradisi (ritual dan kesenian) yang mempercayai adanya triologi hubungan
(Pencipta, Manusia, dan Alam) yang selaras dengan paradigma eko-religi,
sehingga meskipun suku Osing berkarakter terbuka terhadap modernisasi, namun
melalui kebijakan penataan ruang akan memberikan proteksi terhadap lestarinya
kosmologi suku Osing termasuk kesinambungan fungsi lingkungan hidup.
Prinsip penyelenggaraan pembangunan yang memperhatikan lingkungan
berlandaskan pada prinsip kehati-hatian menurut Jimly Asshidiqie bahwa “asas
kehati-hatian digunakan sebagai upaya utnuk mengantisipasi dan merespon
kekawatiran yang timbul sebagai akibat possible harmful effect of technologies
(kemungkinan akibat buruk dari penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi) yang
mencemarkan atau membahayakan lingkungan hidup”,30
Asas kehati-hatian ini terinternalisasi dalam hubungan antara suku Osing
dengan alam sekitar yang disimbolkan dengan “ilok-ilok” dan “bau rekso” sebagai
mitos yang menjaga keberlangsungan fungsi lingkungan hidup untuk masa
mendatang. Menjadikan wilayah tertentu pada kawasan hulu mata air sebagai
tempat keramat merupakan bentuk kearifan lokal menjaga kesinambungan sumber
air yang berkualitas.31
30
Jimly Asshidiqqie, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hlm. 65
31
Adi Purwadi, Ketua Dewan Pembina Lembaga Adat Osing Banyuwangi, ibid
32
Imam Koeswahyono, Mengkritisi Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Pembangunan, Suatu Catatan Kritis, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun
ke-41 Nomor 2 April-Juni 2011.
17
C. Penutup
33
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008. Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung, hlm. 76
18
Daftar Pustaka