Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura
dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat, budaya maupun bahasanya (Stoppelaar, 1927).
sebagai kelompok budaya yang keberadaannya tidak ingin dicampuri budaya lain. Penilaian
masyarakat luar terhadap orang Osing menunjukkan bahwa orang Osing dengan budayanya
belum banyak dikenal dan selalu mengaitkan orang Osing dengan pengetahuan ilmu gaib
yang sangat kuat. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha
terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini
pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.
SEJARAH PERANG BAYU ini jarang di ekspos oleh media sehingga sejarah ini seperti
tenggelam.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah para petinggi Majapahit berhasil hijrah ke Bali dan
membangun kerajaan di sana, Blambangan, secara politik dan kultural, menjadi bagian dari
Bali atau, seperti yang diistilahkan oleh beberapa sejarawan, di bawah perlindungan Bali.
Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah juga ingin menaklukkan
Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak
korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang (G.D.E. Haal,
seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75). Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan
kekuatannya, pada masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan
dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial
Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah
pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.
Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan
sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap
pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai
berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orangorang yang oleh Belanda dijuluki sebagai orang-orang Bayu yang liar (Lekkerker,
1926:401-402; Ali, 1997:9). Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda
memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati
pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan
pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk
mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa
betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun
1767-1781. Dengan merujuk catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson
mengatakan: daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah
berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali.
Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat
Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat.
Cortesao, seperti yang dikutip oleh Herusantosa (1987:13), dengan merujuk pada Tome Pires,
menyebut rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat warlike, suka
berperang dan selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari
kekuasaan pihak lain. Scholte (1927:146) menyatakan:
Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena
terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti
kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC.
Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang
ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang
dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban
baru. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah
yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Osing atau sisa-sisa wong blambangan.
Bahasa
Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa
Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga
bahasa Osing bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa
kalangan[butuh rujukan]. kamus boso Osing
Kepercayaan
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah HinduBudha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di pantura
menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Berkembangnya
Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh
usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Osing mempunyai tradisi
puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah
penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang
lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan
Bayu pada tahun 1771 M.
Demografi
Suku Osing menempati beberapa kecamatan di kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan
bagian utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan
Sempu, Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan
Kalipuro, dan Kecamatan Songgon. Komunitas Osing atau lebih dikenal sebagai wong Osing
oleh beberapa kalangan dan hasil penelitian1 dianggap sebagai penduduk asli2 Banyuwangi,
sebuah wilayah di ujung paling timur pulau Jawa yang juga dikenal sebagai Blambangan.
Komunitas ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur
Banyuwangi yang secara administratif merupakan kecamatan-kematan Giri, Kabat, Glagah,
Rogojampi, Sempu, Singojuruh, Songgon, Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan Srono.
Di tiga kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk non-Osing, migran
berasal dari bagian barat Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta (wong Osing
menyebutnya wong Jawa-Kulon).
Profesi
Profesi utama Suku Osing adalah petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang dan
pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.
Stratifikasi Sosial
Suku Osing berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak
mengenal kasta seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang
dianut oleh sebagian besar penduduknya.
Seni
Kesenian Suku Osing sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya
suku bali dan suku tengger. Kesenian utamanya antara lain Gandrung Banyuwangi, Patrol,
Seblang, Angklung, Tari Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak,
Angklung Caruk dan Jedor.
Desa Adat Kemiren
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku Osing yang cukup besar
dengan menetapkan desa Kemiren di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus tetap
mempertahankan nilai-nilai budaya suku Osing. Desa kemiren merupakan tujuan wisata yang
cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan
acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini
Sumber :
Wikipedia